Kajian

Panggilan Kesayangan

Pernikahan adalah seni mengelola hubungan tingkat tinggi karena melibatkan keintiman dan emosi yang kuat dan dekat. Juga proses panjang pembelajaran yang kita tidak tahu sampai kapan. Bisa bilangan hari, pekan, bulan, tahun, windu, atau seperti harapan kita, selama mungkin. Dan siapa pun di antara kita, para suami, menginginkan hasil karya bercita rasa tinggi untuk proses panjang itu. Menyenangkan dipandang dan menentramkan dinikmati. Sebuah karya bernama sakinah, mawaddah dan rahmah.

Sayangnya, ada hal yang kita lupakan, atau memang tidak tahu, bahwa selayaknya sebuah karya seni, hal-hal kecil sering menjadi faktor kunci ketinggian nilai estetika dan artistiknya. Sebuah pencapaian indah karena penguasaan akan detil. Sebuah persembahan sepenuh hati yang berkomitmen untuk mencapai kesempurnaan tanpa henti. Dan ini membutuhkan kepekaan yang tinggi karena kita adalah manusia yang memiliki hati nurani.

Salah satu hal kecil yang bisa memberi efek dahsyat dalam pengelolaan hubungan ini, insyaallah, adalah memanggil seorang dengan panggilan khusus. Sangat sederhana, namun dibalik itu terkandung energi pengikat cinta yang memiliki daya rekat kuat. Panggilan yang menyenangkan, menyentuh dan menentramkan. Membuat sebuah hubungan menjadi semakin berwarna sebab si dia merasa spesial, merasa istimewa dan berbeda. Hubungan tidak lagi bernuansa mekanik, sehingga menjadi lebih mesra, hangat dan intim dibandingkan saat memanggil nama aslinya.

Meski panggilan khusus mengandung penerimaan, penghargaan, dan penghormatan, ia sering dianggap tidak penting, yang karenanya banyak diabaikan. Mungkin karena sungkan, malu, merasa lucu atau perasaan-perasaan lain yang mengikutinya. Atau bisa juga karena meremehkannya. Padahal ia melukiskan hubungan yang akrab dan dekat, yang cair dan akrab tanpa balutan formalitas dan kekakuan. Karena panggilan ternyata tidak sekedar sebuah sebutan. Ia adalah peneguh hubungan-hubungan emosi  di antara kita. Hanya butuh keberanian untuk memulai, dan selanjutnya merubahnya menjadi kebiasaan.

Studi tentang ‘bahasa cinta’ menunjukkan, bahwa semakin unik sebuah julukan atau kode kalimat yang dipakai untuk berkomunikasi dengan sang kekasih, maka pasangan tersebut akan semakin merasa puas dan bahagia dengan hubungan mereka karena  adanya ‘insider language’. Bahasa khusus yang tidak ada di dalam kamus dan hanya mereka yang tahu artinya. Hanya mereka yang memakainya. Dan dalam sehari, kita mungkin memanggil pasangan lebih dari 20 kali. Ini artinya, dalam 20 kali pula kita mengungkapkan rasa sayang melalui panggilan mesra.

James Turndoff, PhD, seorang terapis relationship, mengatakan, “Menggunakan nicknames dan bahasa yang dibuat sendiri adalah cara yang mudah untuk menyampaikan komunikasi yang positif dalam hidup sehari-hari.” Private language, menurutnya, juga merupakan cara yang baik untuk menampilkan hubungan yang penuh kerjasama dan partner yang saling mendukung. Bahkan, ia juga bisa membantu menyelesaikan masalah dengan kepala dingin.

Panggilan mesra yang baik adalah panggilan yang hanya dimiliki oleh sepasang suami isteri. Artinya, panggilan tersebut tidak diucapkan oleh orang lain. Seperti halnya panggilan Nabi Muhammad n kepada Aisyah: humairaa. Ibnu Atsiir berkata, “Al Humairaa adalah bentuk tashghiir dari kata al-hamraa yang berarti al-baidhaa’ atau wanita yang putih kemerah-merahan”. Panggilan ini khusus untuk  Aisyah dari Rasulullah dan tidak untuk yang lain.

Dalam hal ini, para istri kita jelas sangat layak mendapatkan panggilan khusus ini. Selain karena mereka memang orang-orang spesial dalam hidup kita, panggilan ini juga memenuhi kebutuhan jiwa mereka akan penerimaan dan perhatian dari kita, para suami. Ia tidak diminta, ia tidak selalu diungkapkan melalui kata, tapi jelas ia terbahasakan. Sebuah sapaan mesra yang kita berikan kepada istri-istri kita, insyaallah, akan menjawab sebagian kebutuhan jiwan mereka.

Hanya saja, karena Islam mengajarkan ketinggian akhlak dan keluhuran budi, tidak pantas bagi kita jika memanggil para istri dengan panggilan-panggilan yang merendahkan, menghina, atau konyol, meski mungkin mereka ridha. Seumpama memanggil dengan monyet, gendut, pendek, atau yang semisal.

Juga, tidak boleh kita memanggil mereka dengan panggilan kefasikan atau kekufuran. Alloh berfirman, “Jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Hujurat: 11)

Jadi mari kita memilih panggilan itu; ummi, bunda, yayang, ibu, atau berbagai panggilan lain yang pantas. Atau malah membuatnya sendiri sesuai kesepakatan. Sederhana bukan? Hanya saja tidak banyak yang menyadari manfaatnya. Wallahu a’lam.(Tri Asmoro K)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *