Hadharah

Penerimaan Islam Di Sulawesi Selatan

            Pada edisi sebelumnya telah dibahas kedatangan Islam di Sulawesi Selatan sebagai periodisasi pertama Islamisasi wilayah tersebut. Pada periode ini, dakwah Islam memang belum menyebar luas. Dakwah Islam baru pada tahap pengenalan dan perintisan. Paling lambat, periode ini terjadi pada akhir abad 15 dan berakhir pada awal abad 17.

Selanjutnya, Islamisasi Sulawesi Selatan memasuki periodisasi kedua, yaitu periode penerimaan Islam. Pada periode ini, dakwah Islam mulai menyebar luas dan diterima oleh masyarakat. Islam menjadi agama resmi kerajaan-kerajaan yang telah menerima dakwahnya. Menurut Ahmad M. Sewang, penerimaan Islam pada beberapa tempat di Nusantara memperlihatkan dua pola yang berbeda. Pertama, Islam diterima terlebih dahulu oleh masyarakat lapisan bawah, kemudian berkembang dan diterima oleh masyarakat lapisan atas atau elite penguasa kerajaan. Kedua, Islam diterima langsung oleh elite penguasa kerajaan, kemudian disosialisasikan dan berkembang kepada masyarakat bawah. Pola terakhir ini berlaku di Sulawesi Selatan. (Islamisasi Kerajaan Gowa, hlm. 86)   

Kedatangan Tiga Mubaligh

            Meski upaya dakwah Islam di Sulawesi Selatan sudah dirintis sejak akhir abad 15, namun perkembangannya sangat lambat. Sementara itu, misi Katolik telah menyebarkan pengaruhnya ke dalam istana Kerajaan Gowa. Persaingan antara dakwah Islam dan misi Katolik pun tidak bisa dihindari. Oleh karena keadaan tersebut, para pedagang Muslim Melayu yang berada di Sulawesi Selatan mendatangkan tiga orang mubaligh untuk mengislamkan elite kerajaan-kerajaan di wilayah itu. Mereka adalah: 1) Abdul Makmur, Khatib Tunggal, yang lebih populer dengan nama Dato’ ri Bandang, 2) Sulaiman, Khatib Sulung, yang lebih populer dengan nama Dato’ Patimang, dan 3) Abdul Jawwab, Khatib Bungsu, yang lebih populer dengan nama Dato’ ri Tiro. (Mattulada, “Islam di Sulawesi Selatan” dalam Taufik Abdullah, Agama dan Perubahan Sosial, hlm. 231)

            Ketiga orang mubaligh itu berasal dari Minangkabau, namun mereka berangkat ke Sulawesi Selatan sebagai utusan dari Kerajaan Aceh. Sebelum berangkat ke Makassar, Dato’ ri Bandang lebih dahulu belajar di Giri Jawa Timur. Saat itu, Giri menjadi salah satu pusat pusat penyebaran Islam dimana pengaruhnya menyebar hingga wilayah timur Nusantara. (H.J. de Graaf, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, hlm. 170) Dengan demikian, terbentuklah jaringan dakwah antara Aceh, Giri, dan wilayah Nusantara lainnya.     

Dakwah ke Kerajaan-Kerajaan Bugis-Makassar

            Ketika tiba di Makasar, Dato’ ri Bandang beserta kedua temannya tidak langsung melaksanakan misinya, tetapi lebih dahulu menyusun strategi dakwah. Mereka menanyakan kepada orang-orang Melayu yang sudah lama bermukim di Makassar tentang raja yang paling dihormati. Setelah mendapat penjelasan, mereka berangkat ke Luwu untuk menemui Datu (Raja) Luwu, La Patiware Daeng Parabu. Datu Luwu adalah raja yang paling dihormati karena kerajaannya dianggap sebagai kerajaan tertua dan tempat asal nenek moyang raja-raja Sulawesi Selatan.

            Kedatangan tiga orang mubaligh itu diterima baik oleh Datu Luwu. Ia menerima Islam sebagai agamanya pada 15 Ramadhan 1013 H (1603 M). Ia lalu diberi nama Islam Sultan Muhammad Waliyul Mudharaddin. Ia menerima Islam bersama segenap anggota keluarga istana Kerajaan Luwu. Para mubaligh tadi kemudian meminta agar Kerajaan Luwu dapat memberi bantuan untuk penyebaran Islam ke negeri-negeri Bugis-Makassar lainnya. Datu Luwu menjawab bahwa ia ingin sekali memberi bantuan. Akan tetapi, yang amat perlu didekati adalah kerajaan Gowa dan Tallo karena dua kerajaan kembar orang Makassar itulah yang memiliki kekuatan. Kata Datu Luwu, “Alebbiremmani engka ri-Luwu’, awatangeng engkai ri Gowa.” Artinya, hanya kemuliaan saja yang ada di Luwu, sedangkan kekuatan terdapat di Gowa. (Mattulada, “Islam di Sulawesi Selatan”, hlm. 230-231)

            Ketiga mubaligh itu lalu bersepakat untuk mengunjungi Gowa. Mereka berhasil mengislamkan kerajaan Gowa dan Tallo. Pengajaran Islam dilanjutkan oleh mereka dengan memilih lokasi tertentu yang dianggapnya kuat berpegang pada tradisi. Dato’ ri Bandang mengunjungi daerah-daerah Makassar dan Bugis yang kuat melakukan perjudian, minum ballo’ (tuak), banyak melakukan perzinaan dan banyak makan riba. Kepada penduduk demikian, Dato’ ri Bandang melakukan pendekatan syariat. Dakwah lebih banyak diberikan kepada mereka tentang hukum syariat Islam yang mengharamkan minum-minuman keras, haramnya perjudian dan haramnya babi. Pendekatan akidah tentu juga diberikan kepada mereka tentang hari pembalasan serta tentang surga dan neraka.

            Rekannya yang lain, Dato’ Patimang mengunjungi daerah Bugis dan Makassar, kemudian menetap di Luwu. Ia mengadakan pendekatan kepada penduduk yang berpegang kuat pada kepercayan lama yang menganggap Tuhan itu adalah Dewata Seuwae. Mula-mula ia mengajarkan tauhid sesuai pemahaman mazhab Asy‘ariyah. Tujuan utamanya adalah untuk mengganti kepercayaan Dewata Seuwae menjadi kepercayaan kepada Allah SWT, yang tercermin dalam dua kalimat syahadat sebagai ikrar wajib bagi orang yang akan masuk Islam.

            Mubaligh lain, Dato’ ri Tiro kemudian menetap di Tiro. Ia mendatangi penduduk yang berpegang kuat pada ilmu kebatinan dan ilmu sihir dengan segala manteranya. Ia mengajarkan Islam melalui pendekatan tasawuf. Saat itu, orang-orang Tiro senang menggunakan ilmu hitam yang disebut doti, yaitu suatu ilmu kebatinan yang menggunakan kekuatan sakti untuk membinasakan musuh-musuhnya melalui usaha batin dan metode semadi. Usaha batin ini digantikan oleh Dato’ ri Tiro dengan usaha batin mendekatkan diri kepada Allah Sang Pencipta alam ghaib dan alam nyata.      

            Setelah raja Gowa dan Tallo memeluk Islam dan agama ini dinyatakan sebagai agama resmi kerajaan, kedua kerajaan Makassar itu menjadi pusat penyiaran Islam ke seluruh daerah di Sulawesi Selatan. Menurut syariat Islam, setiap orang Islam adalah dai. Kewajiban ini dipenuhi oleh raja Gowa dengan mengirim seruan kepada raja-raja di tanah Bugis agar masuk Islam sebagai jalan yang baik. Sebagian kerajaan, seperti Sawitto, Balanipa di Mandar, Bantaeng, dan Selayar, menerimanya. Akan tetapi, sebagian lain, seperti Bone, Soppeng, dan Wajo, menolaknya. Kepada kerajaan-kerajaan yang menolak dakwah Islam, Gowa-Tallo tidak segan untuk menyatakan perang. (Abu Hamid, “Sistem Pendidikan Madrasah dan Pesantren di Sulawesi Selatan” dalam Taufik Abdullah, Agama dan Perubahan Sosial, hlm. 338-341) Wallahu a‘lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *