Kajian

Pertarungan Orientasi

Riuh rendah penanganan korupsi di negeri ini telah sampai pada usulan membubarkan KPK, lembaga yang dibentuk justru untuk menangani korupsi. Argumentasinya, di alam demokrasi tidak boleh ada lembaga superbody seperti KPK, demikian menurut Fahry Hamzah, anggota Banggar DPR dari PKS. Sebelumnya ketua DPR Marzuki Ali telah lebih dulu melontarkan hal itu ketika kasus Nazaruddin mencuat. Statement itu memicu kontroversi luas. Ada yang membela eksistensi KPK ada yang menuntut di-likuidasi.

Sedikit flashback, keberadaan KPK sebagai lembaga ad hoc dengan wewenang super itu ditetapkan dengan UU no 30 thn 2002. Pertimbangan membuat lembaga khusus dengan kewenangan super tersebut karena belum efektifnya upaya pemberantasan korupsi melalui lembaga negara reguler yang sudah ada. Apalagi ketika kasus korupsi melibatkan oknum-oknum yang duduk di lembaga penegak hukum.

 

Mindset Manusia dan Pengaruhnya

Kita tinggalkan sejenak kebingungan para penyelenggara pemerintahan aparat negara RI di atas, mari kita lihat dari sisi lain.

Mindset, kerangka berpikir manusia akan mempengaruhi cara seseorang mempersepsi masalah yang dihadapi dan upaya memecahkannya, juga mempengaruhi sikap dan pola bertindak. Seperti mesin pengenal, yang kemudian memproses hasil pengenalannya dan mengajukan rekomendasi  sikap dan tindakan apa yang harus dilakukan terhadap sesuatu yang dipersepsinya.

 

Sekularisme adalah Kerangka Berpikir

Di era ini, tidak ada paham yang lebih besar pengaruhnya terhadap kerangka berpikir manusia melebihi paham sekular. Paham ini menjadi asas hampir semua organisasi dari yang sederhana sampai yang rumit setingkat organisasi penyelenggara negara. Pada level personal, sekularisme tanpa sadar telah mempengaruhi kerangka berpikir manusia sehingga ber-implikasi pada pola pikir dan tingkah laku secara nyata. Hal itu tidak saja menimpa mereka yang secara eksplisit mengaku sekuler, bahkan menjangkiti orang-orang yang mengaku beragama, mengenakan atribut keshalehan dan menampilkan diri sebagai sosok religius. Penetrasi paham sekuler begitu lembut tak terasa, menembus sekat-sekat kelompok, organisasi maupun isme yang secara formal dipeluk oleh manusia.

Sejak awal memang telah ada dua kecenderungan orientasi manusia; ada yang berorientasi kepada kehidupan dan kesenangan dunia, ada yang berorientasi meraih kebahagiaan hidup sesudah mati. Di zaman ini orientasi kepada kesenangan dunia itu menjelma menjadi isme  yang didukung landasan teori, mengalir dalam bentuk gerakan kemasyarakatan yang didukung beragam organisasi, memiliki struktur, ditopang dana, memiliki target-target berjangka maupun ultimate goal yang dicanangkan. Tujuan utama gerakan ini adalah merubah orientasi hidup manusia dari kehidupan akherat kepada kehidupan dunia ansich (Muh. Syarif Syakir dalam Al-’Ilmaniyah wa Tsimaruha al-Khabitsah).

Hakekat Persoalan

Ketika lembaga pemerintahan dan organisasi derivate-nya adalah institusi sekuler, para pemegang jabatan (baca amanah) juga pribadi yang berpaham sekuler, berarti orientasi institusi maupun personalnya adalah kehidupan dunia dan kesenangannya, klop sudah. Sebenarnya, inilah pangkal masalahnya.

Seorang yang berpaham sekuler, selain orientasi hidupnya kesenangan hidup di dunia, dia adalah pribadi yang memiliki anggapan bahwa apa yang dilakukan untuk dunianya tidak mempengaruhi hubungan dirinya dengan tuhannya. Baik-buruk dalam urusan dunia (menurutnya) tidak mempengaruhi hubungan dia dengan tuhan, jika dia masih menyisakan ruang dalam kehidupannya untuk tuhan.

Karena itu, ketertiban sistem hidup sekuler bertumpu pada kelengkapan perundangan (peraturan) yang mengatur hajat hidup dalam sebuah komunitas, keefektifan lembaga kontrol yang mengawasi pelaksanaan undang-undang dan kontrol publik (rakyat). Tak ada lagi pengawasan di atas itu. Tanggung jawab pelaksanaan tugas dan kewenangan pun sebatas itu, tak lebih. Tak ada pertanggungjawaban di atas itu.

Seorang sekuler, jika dia memiliki integritas, berdedikasi, memiliki etos kerja yang baik, pertimbangannya karena dengan semua itu dia akan sukses. Sesuatu yang akan ber-implikasi kepada kesuksesan dunianya; kedudukan tinggi, harta berlimpah, dihormati orang lain dll. Jika dengan semua itu dia tidak mendapatkan imbalan yang memadai, maka ketika dia merasa perlu menggunakan posisinya untuk mendapatkan tambahan sehingga menurutnya imbalan itu seimbang, atau memang merasa perlu membiayai kerakusannya terhadap kelezatan hidup dengan menggunakan kewenangannya, dia juga tidak merasa bersalah selain sekadar karena melanggar peraturan, tak lebih. Tak ada perasaan bersalah di atas itu, dan (menurutnya) tak ada pertanggungjawaban di atas itu. Baginya, persoalannya hanya apakah pelanggarannya diketahui atau tidak, menghadapi proses hukum atau tidak.

Hari ini sistem sekuler ini sudah hampir mendekati titik itu. Sistem birokrasi yang secara berjenjang memasok kader ke atas untuk mendapatkan promosi (amanah) yang lebih tinggi, hampir berhasil melakukan sekularisasi sempurna. Kader yang naik jenjang dijamin telah dirusak orientasi hidupnya sehingga hanya untuk kehidupan dunia. Hal itu dimulai sejak penerimaan sebagai anggota baru birokrasi, lingkungan kerja keseharian yang meniscayakan orang jujur tersingkir, kenaikan pangkat dan promosi jabatan yang selalu menyertakan peran uang dll. Jika ada kader birokrasi yang mendapat sedikit celupan tarbiyah imaniyah, mereka juga harus ‘taqiyah’ demi memberi keuntungan bagi pembiayaan partainya.

Eksistensi KPK sebagai lembaga ad hoc dimaksudkan untuk memberi jawab atas keadaan itu. Lembaga penegak hukum yang seharusnya berfungsi sebagai pengawas mandul karena ditengarai lemah terhadap godaan uang, kelu ketika harus menegakkan peraturan, mudah dibeli agar tidak menuntut dengan tuntutan berat sehingga menimbulkan efek jera, bahkan mem-’peti es’-kan kasus lantaran uang. Eksistensi KPK dipersoalkan oleh sejawatnya sesama institusi penyelenggara negara yang lain, barangkali karena mengambil alih lahan basah mereka, atau membahayakan eksistensi mereka yang korup, atau jangan-jangan oknum-oknum KPK sendiri juga mulai tak tahan godaan.

Sungguh amat berlainan dengan sistem hidup yang bertumpu kepada asas keimanan. Para sahabat hasil didikan Nabi shallalLahu ‘alayhi wa sallam dekat dengan beliau atau ditugaskan jauh dari pengawasan, memimpin pasukan atau mengawasi bayt al-maal tidak ada masalah. Hal itu dikarenakan mereka merasa diawasi oleh Dzat yang Maha Tahu, semua dicatat oleh utusan-Nya dari kalangan para malaikat. Mereka tidak peduli pujian atau celaan manusia dalam melaksanakan amanah, karena pujian dan celaan tidak mempengaruhi pertanggungjawaban yang sebenarnya di hadapan Allah di akherat nanti. Sungguh memang kontradiktif diametral dua orientasi hidup manusia tersebut.(wan)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *