Hadharah

Petualangan Portugis di Jawa

Barangkali perjumpaan pertama antara orang Jawa dengan orang Portugis terjadi di Malaka saat bangsa Paranggi –sebutan lain untuk orang Portugis dan Spanyol– itu datang pada 1511. Tidak lama setelah berhasil menguasai Malaka, Alfonso de Albuquerque mengirimkan pasukan ekspedisinya ke beberapa wilayah lain di Nusantara. Jawa adalah salah satu wilayah yang menjadi tujuan ekspedisi tersebut.

Orang Portugis yang pertama datang ke Jawa adalah Antonio de Abreu. Ia mengunjungi Jawa pada 1511. Ada dua pelabuhan yang dikunjunginya, yaitu pelabuhan Tuban dan Gresik. Ia melaporkan bahwa pelabuhan Gresik penuh dengan para pedagang Cina. Dari Gresik, ia melanjutkan pelayarannya ke Ambon dan Banda. (Donald M. Campbell, Java: Past and Present, Volume I, hlm. 157)

 

Perjanjian dengan Padjadjaran

Kunjungan berikutnya terjadi pada 1522. Kali ini Portugis mengunjungi Banten, pelabuhan kerajaan Padjajaran yang sangat ramai pada masa itu. Portugis bermaksud mengadakan perjanjian dagang. Peristiwa ini dicatat oleh Joao de Barros sebagai berikut.

Pada tahun 1522, Jorge de Albuquerque, kapten kota Malaka untuk urusan perdagangan, mengirim utusan yang dipimpin oleh Henrique Leme menghadap Samiam, raja Sunda. Sewaktu utusan tersebut tiba di pelabuhannya raja tersebut menerima orang-orang Portugis dengan baik. Guna memperoleh bantuan dalam peperangan yang sedang berlangsung melawan orang Islam, dan untuk memperkuat berbagai hubungan dagang, orang Portugis diberi hak untuk membangun benteng dan dijamin bahwa mereka boleh memuat merica sejumlah yang mereka kehendaki. Selain itu, raja pun berjanji memberikan 1000 karung merica setiap tahunnya kepada raja Portugal mulai hari dibangunnya benteng tersebut. Perjanjian itu dibuat secara tertulis. Tiga orang menteri setempat turun mengambil bagian dalam pembicaraan tersebut: Mandari Tadam, Tamungo Sague de Pate dan Bengar, syahbandar setempat. Atas perintah raja, mereka mengantar Leme ke tempat akan dibangunnya benteng tersebut, di sebelah kanan muara sungai, di kawasan yang dinamai Calapa, di situ mereka mendirikan sebuah padrao (semacam tugu peringatan). Selanjutnya Leme pulang ke Malaka. Jorge de Albuquerque menilai hal itu sangat penting dan menulis kepada raja Portugal untuk meminta persetujuannya. Joao III menyetujui usaha tersebut dan mempercayakan pelaksanaannya kepada Francisco de Sa yang berangkat dengan armada kapal yang dipimpin oleh Vasco da Gama, wakil raja India yang baru. Oleh karena Vasco da Gama kemudian meninggal, maka Francisco de Sa tinggal beberapa waktu di Goa.

Baca Juga: Citra Pribumi di Mata Penjajah Portugis

Ketika Francisco de Sa tiba di Malaka, armada Portugis sedang menyiapkan operasi militer melawan Bintan di bawah pimpinan Pero Mascarenhas. Francisco de Sa dengan armadanya bergabung, dan setelah selesai baru berangkat menuju Sunda. Armadanya terserang badai. Duarto Coelho, salah seorang kapten armada tersebut, berhasil sampai di Calapa, sementara kapalnya tenggelam di situ. Semua penumpang kapal diserang oleh orang-orang Islam yang beberapa hari sebelumnya telah merebut kota itu dari Samiam, sahabat orang Portugis.

Orang Islam yang telah merebut kota itu adalah orang rendahan bernama Faletehan asal Pasai. Sewaktu Pasai baru saja direbut oleh Portugis, Faletehan pergi berlayar menuju Mekah dengan kapal yang memuat rempah-rempah, dan tinggal di sana selama kira-kira dua atau tiga tahun untuk belajar agama Islam. Sekembalinya di Pasai, dia menganggap tidak mungkin dapat mengajarkan agama Islam di dekat benteng orang Portugis, ia lalu pergi ke Jepara, mengislamkan rajanya dan dia sendiri menjadi kadinya. Sebagai imbalan, raja memberikan saudara perempuannya untuk diperistri. Terdorong oleh keinginan untuk mengislamkan banyak orang, Faletehan meminta izin kepada raja untuk pergi ke Bintam, kota di Sunda. Di kota itu, dia diterima dengan baik oleh seorang tokoh setempat yang kemudian masuk Islam. ketika Faletehan menganggap keadaan kota itu cocok untuk melaksanakan rencananya, dia meminta kepada raja Jepara untuk mengirim pasukan tentara. Raja Jepara menyanggupinya dan segera mengirimkan dua ribu orang tentara. Ketika Francisco de Sau tiba di Pelabuhan Sunda, Faletehan telah menguasai keadaan dengan begitu baiknya, sehingga mampu melarang pembangunan benteng itu.

 

Kandasnya Perjanjian

Setelah ikut mengambil bagian dalam ekspedisi Pero Mascarenhas melawan Bintan, Francisco de Sa berlayar menuju Sunda untuk membangun benteng. Selama perjalanan, armada yang dipimpinnya diserang badai sehingga kapal-kapalnya terpencar-pencar selama beberapa hari. Tiga di antaranya, sebuah kapal yang besar pimpinan Duarte Coelho serta dua kapal lainnya, dengan susah payah berhasil mencapai Pelabuhan Sunda. Pada waktu terserang badai itulah salah satu kapalnya terdampar, tiga puluh orang Portugis yang ada di dalamnya berenang menuju daratan, tetapi di pantai itu mereka diserang oleh musuhnya, orang-orang Islam. sebenarnya raja yang menghendaki dibangunnya benteng itu sudah meninggal dan musuh yang diperanginya telah merebut daerahnya. Pada waktu itu, musuh dalam jumlah yang besar telah tiba di kota Bantam, kota terpenting di kerajaannya, dan berusaha menundukkannya. Begitu orang Islam melihat kedatangan armada Portugis, timbul niat mereka untuk membalas dendam, mereka tahu bahwa raja yang meninggal itu telah memberi izin kepada Portugis membangun benteng di pelabuhan tersebut. Namun demikian, kapal besar dan satu kapal lainnya tidak terdampar. Sewaktu melihat apa yang menimpa para penumpang kapal yang terdampar itu, tanpa mengetahui nasib Francisco de Sa beserta kapalnya, Duerte Coelho bertolak kembali ke Malaka.

Francisco de Sa beserta kapalnya terbawa badai sampai di pantai Jawa. Dia berhasil menghimpun kembali kapal-kapal lainnya di Pelabuhan Panarukan, dan membawa armadanya menuju pelabuhan Batam untuk berlabuh. Dikirimnya utusan untuk memperingatkan raja akan janji yang sudah pernah diberikan oleh raja yang digantinya. Karena raja menolak, Francisco de Sa memutuskan untuk mempergunakan kekuatan, tetapi di daratan dia menghadapi pertahanan yang begitu kuat –di antara pasukan Portugis, empat orang terbunuh dan sejumlah orang lainnya luka-luka– sehingga dia mengundurkan diri dan kembali ke Malaka.

 

Oleh: Ust. M. Isa Anshari/Sejarah Islam Indonesia 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *