Abawiyah

Saat Konflik Mendera

Ketika kita menyadari bahwa problematika keluarga adalah sebuah keniscayaan, maka kemunculannya tidak mungkin kita tolak. Persoalannya bukan pada mengingkari adanya konflik di dalam keluarga, namun lebih kepada bagaimana penyelesaian yang dipilih. Sebab, pada bagaimana cara kita menghadapi masalah itulah nilai kita ditentukan, pendewasaan diri kita menemukan jalan. Apakah ia bernilai ibadah, atau hanya menjadi sampah.

Rasulullah pernah bersabda, “Tidak ada satu musibah yang menimpa setiap muslim, baik rasa capek, sakit, bingung, sedih, gangguan orang lain, resah yang mendalam, sampai duri yang menancap di badannya, kecuali Allah menjadikannya sebagai sebab pengampunan dosa-dosanya.” (HR. Bukhari 5641).

Maka, meski didera persoalan, sebuah keluarga yang baik, yang memahami syariat, tetap mengetahui aturan dan adab-adabnya, mana yang boleh dan tidak. Sehingga meski mungkin sakit hati, bukan sekedar yang penting masalah selesai, namun juga menjaga agar bernilai di sisi Allah. Selain lebih menentramkan hati, hal itu juga akan mencegah munculnya kezhaliman dalam keluarga itu. Baik berupa caci-maki, sumpah serapah, KDRT, atau bahkan pembunuhan.

Ada tiga hal yang harus kita hindari saat pertengkaran muncul dalam keluarga kita, agar kita bisa  mendapatkan manfaat dari masalah yang ada. Minimal, masalah yang ada tidak bertambah berat dan semakin parah. Secara umum, aturan ini disebutkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beliau ditanya tentang kewajiban suami kepada istrinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kamu harus memberi makan kepadanya sesuai yang kamu makan, kamu harus memberi pakaian kepadanya sesuai kemampuanmu memberi pakaian, jangan memukul wajah, jangan kamu menjelekannya, dan jangan kamu melakukan boikot kecuali di rumah.” HR. Ahmad 20011 dan Abu Daud 2142.

Pertama, hindari KDRT. Meski Allah membolehkan seorang suami memukul istrinya yang durhaka dengan pukulan yang tidak menyakitkan, namun hal ini tidak berlaku secara mutlak. Ia adalah alternatif terakhir setelah upaya pemberian nasihat dan boikot di atas ranjang tidak membawa hasil. Itupun dengan pembatasan wajah dan area kepala secara umum, mengingat posisinya sebagi organ yang vital bagi manusia.

Termasuk makna pukulan yang tidak menyakitkan adalah pukulan dengan siwak atau yang semacamnya, sehingga tidak meninggalkan bekas, seperti memar, atau bahkan menimbulkan luka dan mengeluarkan darah. Karena sejatinya, pukulan itu tidak bertujuan untuk menyakiti, tapi sebagai sarana pendidikan bagi istri.

Dan meski ada izin untuk pemukulan ringan, tidak memukul tentu jauh lebih baik. Karena wanita bukanlah lawan yang sebanding bagi lelaki, sehingga lawan yang sesunguhnya bagi para laki-laki adalah emosinya. Dan pemukulan kepada istri tanpa alasan justru menunjukkan kelemahannya. Faktanya, Rasulullah belum pernah sekalipun memukul anggota keluarga dan para pembantu beliau. Pukulan Rasulullah terjadi hanya saat berjihad fi sabilillah.

Yang kedua, hindari caci maki. Karena ia menunjukkan moral yang rendah, dan syariat hanya membolehkan hal ini dalam satu keadaan, yaitu ketika seseorang dizhalimi. Sebagaimana firman Allah dalam An-Nisa 148, “Allah tidak menyukai ucapan yang buruk (caci maki), (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya.” Paling tidak, ketika yang terzhalimi tidak mampu memberi balasan secara fisik, dia mampu membalas dengan melukai hati orang yang menzhaliminya.

Maka, jika tujuan pembangunan sebuah keluarga adalah sakinah, semua bentuk caci maki harus dihindarkan. Selain menunjukkan kerendahan moral, caci maki tanpa sebab yang dibenarkan, termasuk dalam menyakiti orang mukmin atau mukminah yang dikecam dalam Al-Qur’an. Allah berfirman di dalam Al Ahzab ayat 58, “Orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Maka Sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.”

Selain itu, caci maki yang muncul tanpa kendali bisa menancap dan membekas di dalam hati dalam waktu yang lama, yang sangat sulit sembuhnya. Belum lagi jika kekecewaan yang ada karena kata yang terdengar, bisa memunculkan hal yang tak terduga sebelumnya. Semisal perasaan terhina, kemarahan yang memuncak, lontaran doa keburukan, pemukulan fisik, cacian kepada orang lain, atau bahkan ucapan cerai.

BACA JUGA : Menjelang Pernikahan

Adapun yang ketiga adalah penjagaan akan rahasia keluarga. Karena masing-masing keluarga pasti memiliki aib dan kekurangan. Ia bukanlah konsumsi publik namun menjadi rahasia bersama antara suami dan istri. Yang akan jauh lebih mudah disesalkan saat konflik datang ketika ia tetap menjadi rahasia bersama.

Penyebarannya di ranah publik, bukan saja merendahkan martabat keluarga dan memperkeruh keadaan, namun juga membuka peluang hadirnya pihak ketiga. Alih-alih persoalan selesai, ia bisa jadi membuat semakin rumit dan sulit. Dalam hal ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatkan untuk tidak memboikot istri kecuali di dalam rumah. Sehingga ketika berada di luar rumah menampakkan kesan tidak ada masalah. Sambil tetap mengupayakan jalan keluar dari masalah yang ada.

Pengecualian dalam masalah ini adalah ketika muncul kezhaliman di dalam keluarga bersangkutan. Karena haram hukumnya melakukan kezhaliman, apalagi kepada keluarga sendiri, karena kezhaliman adalah kegelapan di hari kiamat nanti. Sehingga jika hal ini terjadi, melibatkan pihak ketiga yang kapabel dan netral sangat dihajatkan. Seperti Hindun binti Utbah yang mengadukan masalah pelitnya Abu Sufyan dalam memberi uang belanja kepada Rasulullah.

2 thoughts on “Saat Konflik Mendera

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *