Muhasabah

Tabiat Kikir, Bisakah Tersingkir?

Al-Qur’an menyebutkan bahwa di antara tabiat dasar manusia adalah kikir, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

قُلْ لَوْ أَنْتُمْ تَمْلِكُونَ خَزَائِنَ رَحْمَةِ رَبِّي إِذًا لَأَمْسَكْتُمْ خَشْيَةَ الْإِنْفَاقِ ۚ وَكَانَ الْإِنْسَانُ قَتُورًا

“Katakanlah: “Kalau seandainya kamu menguasai perbendaharaan-perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya perbendaharaan itu kamu tahan, karena takut membelanjakannya, dan adalah manusia itu sangat kikir.” (QS al-Isra’: 100)

Ibnu Abbas dan Qatadah berkata, “Yakni manusia takut miskin. Ia takut perbendaharaan itu akan lenyap,” Sedangkan Qatur ialah sangat kikir.” Seandainya mereka mempunyai bagian dalam menjalankan kekuasaan, niscaya mereka tidak akan memberi sedikitpun kepada orang lain.”

Inilah tabiat kebanyakan manusia, kecuali yang dirahmati oleh Allah. Jika suatu kali memperoleh suatu nikmat, kesenangan atau harta, maka ia menyangka bahwa semua itu diperoleh semata-mata karena kepandaian ilmu dan gigihnya usaha. Karena ia berusaha, maka ia memperolehnya, bukan karena pertolongan dan anugerah Allah kepadanya.

Kemudian setan membisikkan ke telinganya bahwa ia adalah orang yang kuat dan mampu mandiri, tidak butuh pertolongan orang lain. Hal ini membuatnya merasa tidak perlu memberikan perhatian kepada orang lain. Jika ia memberi dan mengindahkan orang lain ia akan menjadi miskin.

Padahal hakikatnya, segala apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah, diberikan-Nya kepada orang yang dikehendaki-Nya sebagai anugerah, tapi juga sebagai titipan dan ujian. Sewaktu-waktu bisa diambil untuk dipindahkan ke tangan orang lain atau mungkin dimusnahkan jika Dia menghendaki.

Orang kikir itu lupa bahwa ketika Allah menitipkan kepadanya rezeki, lalu menghasungnya untuk mengeluarkan sebagiannya untuk kemanfaatan manusia atau untuk menegakkan agamanya, Allah Kuasa untuk memberikan ganti yang lebih baik untuknya.

Seakan ia menyangka, ketika ia mendermakan hartanya, maka akan berkuranglah miliknya, lalu habis. Seakan Allah tidak memiliki stok lain sebagai pengganti dari yang telah dikeluarkannya. Bukankah sudah sekian lama dan panjang kehidupan alam berlangsung dan Allah terus Kuasa menghidupi seluruh makhluk di alam semesta?.

Disebutkan dalam Shahihain, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

إنَّ يَمِينَ اللَّهِ مَلأَى لاَ يَغِيضُهَا نَفَقَةٌ سَحَّاءُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ ، أَرَأَيْتُمْ مَا أَنْفَقَ مُنْذُ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ فَإِنَّهُ لَمْ يَنْقُصْ مَا فِى يَمِينِهِ

“Tangan Allah penuh dengan kekayaan, yang tidak akan berkurang oleh nafkah para dermawan pada malam dan siang hari. Tidakkah kalian mengetahui, apa yang Dia nafkahkan sejak penciptaan langit dan bumi, sama sekali tidak mengurangi apa yang ada di tangan kanan-Nya?” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hal lain yang membuat seseorang pelit untuk mengeluarkan hartanya adalah, karena ia menyangka dengan cara seperti itu akan mebawa keuntungan baginya. Hartanya akan menumpuk dan dikenal sebagai orang kaya. Padahal, seandainya ia mau berpikir sehat, apalah manfaat harta jika tidak dimanfaatkan, ia kumpulkan sebanyak mungkin lalu ia mati tanpa sempat menikmati semua yang pernah dikumpulkannya. Jika pun seseorang ingin langsung menikmati hartanya secara boros, tetap saja rugi.

Keinginannya mungkin tak terbatas, tapi kemampuan untuk menikmati sangat terbatas. Makan, sanggup berapa porsi sekali? Minum, sanggup berapa gelas sehari? Atau jika dibelikan berbagai macam properti maupun kendaraan dengan berbagai model dan teknologi terkini, apakah ia bisa menikmati semua dalam satu waktu? Kenapa ia tidak mau berbagi sedikit saja dari banyaknya hartanya yang menganggur?

Jika orang bakhil mengira bahwa dengan kekayaannya membuat orang lain terpana dan memuja, maka ia salah besar. Kekayaan di tangan orang kikir itu justru menumbuhkan sikap dengki orang lain terhadapnya. Rasa dengki itu membawa kebencian hingga yang paling fatal adalah perlakuan buruk orang akan tertuju kepadanya.

Itu semua belum seberapa, derita yang tragis akan dialami oleh orang yang bakhil terhadap hartanya. Karena harta yang tidak dinafkahkan itu akan dikalungkan di leher mereka kelak di hari kiamat sebagai azab dan siksaan yang amat berat, sebab harta benda yang dikalungkan itu akan berubah menjadi ular yang melilit mereka dengan kuat. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

من أتاه الله مالا فلم يؤد زكاته مثل له شجاع أقرع له زبيبتان يطوقه يوم القيامة فيأخذ بلهزمتيه (شد قيه) يقول: أنا مالك أنا كنزك ثم تلا هذه الأية

“Barang siapa yang telah diberi Allah harta, kemudian tidak mengeluarkan zakatnya, akan diperlihatkan hartanya berupa ular sawah yang botak, mempunyai dua bintik hitam di atas kedua matanya, lalu dikalungkan kepadanya di hari kiamat nanti. Ular itu membuka rahangnya dan berkata: “Saya ini adalah hartamu saya ini adalah simpananmu”. (HR. Imam Bukhari dan Nasa’i)

Meski kikir menjadi tabiat dasar manusia, bukan berarti menjadi harga mati yang tak bisa berubah.  Allah Ta’ala berfirman,

Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung. (QS. Al-Hashr: 9)

Ayat ini menunjukkan bahwa kikir bisa tersingkir, sekaligus menunjukkan bahwa siapa yang terhindar dari sifat kikir dan bakhil, maka orang-orang itulah orang-orang yang beruntung.

Jika pun seseorang ingin langsung menikmati hartanya secara boros, tetap saja rugi. Keinginannya mungkin tak terbatas, tapi kemampuan untuk menikmati sangat terbatas. Makan, sanggup berapa porsi sekali? Minum, sanggup berapa gelas sehari? Atau jika dibelikan berbagai macam properti maupun kendaraan dengan berbagai model dan teknologi terkini, apakah ia bisa menikmati semua dalam satu waktu? 

Imam Ash-Shan’ani rahimahullah berkata, “Ketahuilah, bakhil adalah penyakit, maka tersedia obat untuknya. Allah tidaklah menurunkan penyakit, kecuali ada obatnya. Penyakit ini muncul dari dua sebab. Sebab pertama adalah keinginan memperturutkan keinginan syahwat, yang tidak terwujud kecuali dengan harta dan angan-angan panjang. Sedangkan sebab kedua adalah cinta berlebihan terhadap harta.”

Beliau juga menjelaskan obatnya, bahwa untuk mengobati keinginan memperturutkan syahwat, adalah qana’ah dengan sesuatu yang sedikit tentu disertai kesabaran. Adapun untuk mengobati angan-angan panjang adalah dengan memperbanyak mengingat kematian, juga mengingat kematian teman-temannya. Melihat kepada panjang dan lamanya rasa letih yang mereka alami demi mengumpulkan harta (semasa hidupnya). Kemudian setelah meninggal, harta yang mereka kumpulkan, yang melupakan dari sekian banyak maksud dan tujuan tidak memberi manfaat bagi mereka. Semoga Allah hilangkan sifat kikir dari jiwa kita, aamiin.

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Adab Islam

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *