Islam Adalah Darah Daging Kita, Takkan Hidup Manusia Tanpanya

Ada nasihat indah dari seorang ulama tabi’in yang tak asing di telinga, Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Wahai saudaraku, sesungguhnya Islam adalah darah dagingmu…”

Betapa tepatnya perumpamaan beliau tentang agama sebagaimana darah dan daging, karena agama yang benar adalah ruh manusia dan intinya. Apabila Islam itu lenyap dari diri seseorang, maka ia seperti bukan lagi manusia yang hidup. Sebagaimana jika manusia telah hilang darah dan dagingnya, dapatkah ia disebut sebagai manusia?

Seorang muslim yang telah menjadikan Islam sebagai darah dagingnya, hidupnya tak bisa dipisahkan dari Islam. Seluruh aktivitasnya tak bisa lepas dari bimbingan Islam. Ini sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu alaihi wasallam, “Ra’sul amri al-Islam, pokok dari segala urusan adalah Islam.” Memandang apapun, melihat dari sudut pandang Islam, bukan yang lain. Baik baginya adalah apa yang dianggap baik oleh Islam. Buruk baginya adalah apa yang buruk dalam sudut pandang Islam, meksipun kebanyakan manusia berpendapat sebaliknya.

Baca Juga: Cara Allah Menjaga Iman Hamba-Nya

Siapa yang dianggap saudara atau kawan menurut Islam, itulah saudara ataupun kawan. Siapa yang menjadi musuhnya adalah siapapun yang memusuhi Islam dan dianggap musuh oleh Islam.

Jika dia mencari maisyah (pendapatan), Islam menjadi pedoman; mana yang halal dan mana yang haram. Jika ingin berkeluarga, maka Islam juga menjadi panduan memulai dan bagaimana mendidik keluarga. Ringkasnya, segala hal dipandang dari sudut pandang Islam.

Jika setiap muslim menggunakan sudut pandang ini, kemuliaan umat Islam akan terwujud, dan ukhuwah Islamiyah akan terjalin dengan baik. Bagaimana ukhuwah tegak jika yang sebagian menjadikan Islam sebagai pijakan dan sebagian lagi menjadikan selain Islam sebagai patokan?

Lagi pula, Islam adalah jaminan keselamatan, komplit pula mengatur segala urusan, jalan hidup terbaik yang telah Pencipta gariskan. Adakah yang lebih paham tentang kita, dunia dan akhirat kita selain dari Sang Pencipta?

Baca Juga: Yang Menyenangkan Belum Tentu Membuat Bahagia

Sangat disayangkan, ketika sebagian yang menisbahkan dirinya muslim lalu terprovokasi oleh para libearlis maupun atheis, hingga merendahkan martabat Islam, melecehkan orang-orang yang berpegang teguh dengannya.

Sekali-kali umat Islam ini tidak akan kembali berjaya, tegak, berkuasa dengan lurus bagi manusia melainkan jika mereka kembali mengambil pelajaran sebagaimana yang dikatakan oleh Imam ini, menguatkan ikatannya terhadap Islam dan meletakkannya pada tempat yang semestinya dalam rangka membina pribadi dan mengatur masyarakat.

Maka tak ada alasan untuk mengelak dari aturan-Nya, apa-apa yang belum Islam dari bagian hidup kita, segera kita sempurnakan agar makin semurna pula kebahagiaan kita dan jaminan akhir kita. Wallahu a’lam bishawab.

 

Oleh: Abu Umar Abdillah/Muhasabah

Rahmatan lil ‘alamiin versi Anu

Islam adalah agama Rahmatan lil ‘alamin, semua orang sepakat akan hal ini. Artinya islam adalah agama yang membawa keadilan, kedamaian dan rahmat bagi seluruh alam. Bukan hanya manusia terlebih orang islam, akan tetapi segenap makhluk yang ada di dunia ini yang meliputi manusia, jin, binatang, tumbuhan dan benda mati.

Sebagaimana Allah berfirman dalam surat al-Anbiya: 107,

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

“Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”

Sayangnya ada beberapa orang yang mengkerdilkan makna Rahmatan lil ‘alamin. Mereka salah dalam memahami tafsir dari ungkapan tersebut, sehingga berbuat suatu hal yang dipandang hormat dan mengundang rahmat, padahal justru laknat dan adzab.

Sebut saja contohnya, ketika seorang muslim terlalu bertoleransi dengan kekufuran sehingga menjadikan orang kafir atasannya, pujaannya dan memberikan gelar-gelar keislaman seperti sunan, kyai, santri dan lain sebagainya. Ia berdalih, bahwa ia telah mengaplikasikan islam rahmatan lil ‘alamin dengan berkasih-sayang kepada sesama manusia.

Ada juga beberapa orang memaknai Rahmatan lil ‘alamin dengan memberikan toleransi pada penghina agama islam. Menganggap semua agama sama di sisi Allah dan membiarkan kemusyrikan meraja-lela dimana saja. Lagi-lagi dengan dalih bahwa islam agama rahmat dan kasih sayang, tidak membentak, tidak menyakiti dan tidak mengusik kemungkaran karena itu hak asasi manusia yang harus dijaga.

Sahabat Abdullah bin Abbas, orang yang palih mahir dalam urusan tafsir al-Qur’an memberikan gambaran jelas kepada kita makna Rahmatan lil ‘alamin. Beliau berkata bahwa Allah mengutus Nabi Muhammad sebagai rahmat bagi semesta alam, baik orang islam maupun non muslim. Adapun rahmat bagi kaum muslimin adalah menjadikan mereka hamba yang beriman, diberikan petunjuk dan diberikan kesempatan beramal shalih sehingga kelak akan masuk surga. Adapun rahmat bagi orang diluar islam, mereka ditundakan adzab di dunia ini dan di akhirkan di neraka. Berbeda dengan kaum-kaum terdahulu yang di segerakan adzab mereka di dunia.

Islam menerapkan syariat jihad bukan untuk kekerasan, bukan untuk kezhaliman, melainkan rasa kasih sayang kepada segenap manusia agar mereka kembali dari kekufuran menuju fitrah tauhid dan mengembalikan mereka ke tempat asal muasal mereka yaitu surga. Bentuk kezhaliman sebenarnya tentu membiarkan mereka dalam kesalahan dan memberikan jalan lapang menuju neraka.

Adapun makna rahmat bagi makhluk lainnya adalah bumi menjadi subur dengan turunnya hujan karena ketaatan manusia kepada Rabbnya dan hewan-hewan kenyang memakan makanan tanpa sedikitpun kelaparan karena ketaqwaan manusia terhadap perintah rabbnya. Dengan demikian, bukan hanya orang muslim yang mendapatkan keuntungan dari alam, bahkan orang diluar islam. Itulah sebenar-benarnya rahmat.

Bukan membiarkan orang kafir tetap dalam kekufurannya atau justru mendukungnya, dan tidak membiarkan orang maksiat terus-menerus dalam kemaksiatannya, justru hal tersebut bukanlah rahmat melainkan bentuk kezhaliman kita kepada sesama manusia. Sebagaimana beberapa orang keliru memaknainya. Mungkin maksud mereka adalah rahmatan lilkufri li nailil ujroti laa lil ‘alamin, memberikan rahmat bagi kekufuran agar mendapat imbalan bukan kepada semesta alam. Wallahu a’lam.

 

(Nurdin. Aj)