Bijak Menasihati Tidak ‘Menelanjangi’

Kita sering menjumpai seseorang menasihati saudaranya, baik secara langsung maupun melalui sarana media. Sayangnya, caranya menasihati justru terkesan mengkritik, menghina, atau ‘menelanjangi’ kesalahan saudaranya. Ia tidak sungkan menyatakannya di depan umum, atau dibeberkan melalui media sosial yang bisa dilihat banyak orang. Niatnya ingin menasihati, tetapi hati justru tersakiti. Bukan cinta yang ia dapat, tetapi benci yang kemudian melekat.

Nasihat seharusnya menghadirkan kebaikan kepada orang yang diberi nasihat, bukan malah mendatangkan keburukan. Al Khaththabi mengingatkan, “Nasihat adalah kalimat ungkapan yang bermakna memberikan kebaikan kepada yang dinasihati.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1:219).

 

Mengikat Hati dalam Menasihati

Setiap insan bisa berbuat kekeliruan, kesalahan, atau tersesat karena salah jalan. Hal ini senada dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ

“Setiap anak Adam pernah berbuat salah dan sebaik-baik yang berbuat salah adalah yang bertaubat dari kesalahannya.” (HR. At Tirmidzi no. 2499, Hasan)

Kesalahan adalah keniscayaan, dan bertaubat darinya merupakan keharusan. Proses itu mungkin butuh nasihat, perlu diingatkan agar tidak bermaksiat. Memberi nasihat bukan sekedar memberikan penjelasan mengenai aturan dan konsekuensinya. Bukan pula menyatakan bahwa ia harus begini dan begitu, tidak boleh ini atau itu.

Ia harus dilakukan dengan cara yang bijak, sehingga hati bisa menerima dengan baik. Cara yang bijak akan memperindah nasihat itu sendiri. Tersebut dalam atsar, “Barangsiapa memerintahkan kebaikan, hendaklah memerintahkannya dengan cara yang baik.”

Ada dua cara menasihati dengan bijak.

Pertama, menasihati dengan perkataan yang lembut. Dari Abdurrahman bin Abi Uqbah, dari ayahnya yang pernah menjadi budak orang Persia bahwa ia berkata, “Aku turut berperang bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perang Uhud, lalu aku memukul seseorang dari kalangan kaum musyrikin. Aku katakan kepada orang musyrik itu, ‘Ayo kalau berani, aku adalah seorang pemuda Persia!’ Rasulullah kemudian menoleh kepadaku dan berkata, “Mengapa tidak kamu katakan saja, aku adalah seorang Anshar, putra dari saudari mereka?” (HR. Abu Dawud)

Inilah nasihat yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tidak langsung menghardik, tetapi justru memberikan nasihat yang menarik. Sebuah cara yang indah, namun tetap terkesan gagah. Cara yang tidak menyalahkan, tetapi mengarahkan.

Kedua, menasihati dengan memberikan teladan melalui perbuatan. Dari Abu Sa’id Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertemu dengan seorang anak yang sedang menguliti seekor kambing, namun keliru dalam melakukannya. Beliau bersabda, “Menyingkirlah dulu, akan aku perlihatkan kepadamu cara menguliti yang benar.” Beliau kemudian memasukkan tangan di antara kulit dan daging lalu menyusupkannya hingga masuk ke bagian ketiak. Sesudah itu beliau berlalu untuk melaksanakan shalat bersama para sahabat tanpa berwudhu lagi.” (HR. Abu Dawud)

Cara menasihati ala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan cara yang cukup efektif. Lembut dan tidak menyakiti, namun justru mengikat hati. Beliau juga memilih bahasa yang bisa diterima, susunan kata yang tepat untuk diungkap. Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tidaklah engkau berbicara dengan suatu kaum dengan bahasa yang tak terjangkau akal pikiran mereka kecuali akan menjadi fitnah bagi sebagian mereka.” (HR. Muslim)

 

Menasihati Bukan ‘Menelanjangi’

Sebagian orang merasa tidak bersabar ketika menjumpai orang lain melakukan kesalahan atau kelalaian dalam berucap dan bersikap. Dengan spontan mereka langsung menghina, mencaci dan menghakimi. Hal semacam ini merupakan kesalahan dalam menasihati.

Menasihati tidak dilakukan dengan menghina dan mencaci. Tidak perlu pula mengungkapkan kesalahan itu di depan orang lain, karena seharusnya kita menutupinya. Membuka kesalahannya di depan orang sama seperti ‘menelanjangi’ saudara kita, membuka aib yang semestinya kita tutupi.

Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Seorang mukmin itu biasa menutupi aib saudaranya dan menasehatinya. Sedangkan orang fajir biasa membuka aib dan menjelek-jelekkan saudaranya.” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 225).

Imam Syafii rahimahullah mengajarkan agar kita tidak menasihati seseorang di depan umum. Ia berkata, “Tutuplah kesalahanku dengan menasihatiku seorang diri dan janganlah menasihatiku di depan banyak orang. Karena sesungguhnya menasihatiku di hadapan banyak orang adalah bagian dari menjelekkanku. Aku tidak ridha mendengar seperti itu. Jika engkau menyelisihi dan menolak saranku, maka jangan marah jika nasihatmu tak kuikuti.”

Baca Juga: Kesempatan Berharga Bersama Orang Tua

Menyalahkan bukan sikap yang baik untuk memberi nasihat. Apalagi jika dilakukan dengan membuka aib saudara kita di depan orang lain, hakikatnya sama dengan menelanjanginya. Jika hal itu dijadikan kebiasaan, maka nasihat yang diberikan tidak akan menjadi kebaikan, bahkan cenderung menyebabkan kebencian. Maksud hati hendak merangkul, tetapi justru memukul, dan pada akhirnya nasihat menjadi tumpul.

Ikutilah teladan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memberikan nasihat. Beliau pernah mengingatkan Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma yang pada saat itu masih kecil dan tidak menjaga pandangannya. Beliau bersabda kepadanya, “Nak, sesunggunya pada hari ini (Arafah), siapa saja yang bisa memelihara pandangannya, maka ia akan mendapatkan ampunan.”

Betapa indahnya cara yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam meluruskan kesalahan. Beliau menunjukkan kesalahan tersebut dengan nasihat, sehingga anak yang mendapat teguran dapat langsung memperbaiki kesalahannya. Begitulah seharusnya kita, menasihati dengan mengikat hati, bukan dengan membuka aib saudara sendiri.

Oleh: Ust. Asadullah al-Faruq/Fadhilah Amal

 

Khutbah Jumat: Solusi Andalan Saat Sulit Dan Terjepit

الْحَمْدَ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أشْهَدُ أنْ لاَ إِلٰه إلاَّ اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

عِبَادَ اللهِ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ حَيْثُ قَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى، أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

Jamaah Jumat Rahimakumullah

Kita bersyukur kepada Allah ta’ala atas segala limpahan nikmat dan karunianya. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi agung Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga juga siapapun yang mengikuti sunahnya hingga akhir zaman.

Selanjutnya, marilah kita tingkatkan kualitas takwa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Karena takwa adalah ukuran derajat kita dihadapan Allah. Mulia atau hina diri kita dalam pandangan Allah tergantung pada ketakwaan kita.

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Allah berfirman:

أَمَّن يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ ۗ أَإِلَـٰهٌ مَّعَ اللَّـهِ ۚ قَلِيلًا مَّا تَذَكَّرُونَ

 “ Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan.” (QS. an-Naml: 62)

Betapa sering manusia menghadapi masa-masa sulit, situasi terjepit atau didera timbunan problem yang terus menghimpit. Dengan kelemahannya sebagai manusia, seringkali manusia juga menemui jalan buntu dalam menghadapi masalah. Ikhtiar dengan pikiran dan tenaga yang telah mencapai klimaksnya, pada beberapa kasus juga belum bisa mengatasi persoalan.

Untuk itu, manusia berusaha mencari alternatif lain, entah dengan maksud sebagai pelengkap, penyempurna, atau bahkan sebagai pengganti dari ikhtiar yang rasional. Banyak sekali pilihan alternatif dicari, dan banyak pula tawaran tersaji. Sayangnya, seringkali pilihan itu jatuh semata-mata mempertimbangkan ‘yang penting tujuan tercapai’, meski harus menabrak aturan syar’i.

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Di balik hiruk pikuknya manusia mencari jalan keluar yang irasional itu, kebanyakan mereka melupakan hal yang paling penting untuk diingat ketika itu. Bahwa, ketika seseorang dalam kondisi sulit, terjepit dan terhimpit itu sebanarnya menjadi modal paling besar untuk berdoa. Andai saja mereka mau berdoa kepada Allah agar diberi jalan keluar, kemudahan, kelapangan dan keselamatan, niscaya Allah akan mengabulkan. Karena Allah berfirman,

Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan.”

Ya, Dialah Allah yang mengabulkan doa orang yang sakit, apalagi ketika segala usaha telah ditempuh semampunya demi kesembuhannya. Ketika dokter angkat tangan untuk mengatasi, berbagai cara pengobatan yang masuk akal telah dijalani. Meskipun, tentu saja seorang muslim tidak akan menunggu jalan buntu untuk berdoa kepada sang Pencipta.

Suatu hari, Ubaidullah bin Abi Shalih sakit dan dijenguk oleh Thawus bin Kaisan, ia berkata, “Doakan untuk kesembuhanku wahai Abu Abdirrahman (Thawus)!” Ubaidullah meminta Thawus karena memandang bahwa beliau seorang ulama dan juga ahli ibadah. Akan tetapi, Thawus rahimahullah justru berkata, “Berdoalah untuk dirimu sendiri, karena Allah memperkanankan doa orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya.” Ini bukan karena Thawus menolak untuk mendoakannya, tapi beliau hendak menegaskan, bahwa doa orang yang sakit itu mustajab jika ia mau berdoa.

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Allah lah yang mampu menyelamatkannya, saat fisik tak lagi kuat bertahan, akal sudah buntu untuk mencari jalan keluar, tapi terkabulnya doa justru makin terbuka lebar. Bahkan Allah menyelamatkan orang-orang musyrik yang menghadapi bahaya di tengah laut, yang dalam keadaan kepepet, namun mereka tahu hanya Allah yang mampu menolong mereka, meskipun mereka memiliki banyak sesembahan,

وَإِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فِي الْبَحْرِ ضَلَّ مَن تَدْعُونَ إِلَّا إِيَّاهُ ۖ فَلَمَّا نَجَّاكُمْ إِلَى الْبَرِّ أَعْرَضْتُمْ ۚ وَكَانَ الْإِنسَانُ كَفُورًا

“Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia, Maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. dan manusia itu adalah selalu tidak berterima kasih.” (QS. al-Isra’: 67)

Ibnu Katsier menceritakan perihal ayat tersebut, “Ketika Ikrimah bin Abu Jahal hendak lari dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam peristiwa Fathul makkah, dia menaiki kapal menuju Habsyah. Tiba-tiba badai pun datang, lalu orangorang saling berkata, “Tak ada lagi yang bisa kalian perbuat selain berdoa hanya kepada Allah semata.” Ketika itu Ikrimah berkata dalam hati, “Demi Allah, jika tidak ada yang bisa memberikan manfaat di laut selain Allah, maka tiada pula yang mampu memberi manfaat di darat selain Dia. Ya Allah, saya berjanji, jika Engkau menyelamatkan aku dari badai ini, sungguh aku akan datang dan meletakkan tanganku di atas tangan Nabi, dan aku dapatkan beliau dalam keadaan lembut dan santun.” Akhirnya mereka bisa selamat dari bahaya di laut itu. Ikrimah kembali kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu masuk Islam dan bagus keislamannya, semoga Allah meridhainya dan menjadikan ia ridha.”

Sayangnya, sangat sedikit orang semisal Ikrimah, yang bisa mengambil pelajaran berharga saat kondisi sulit menghimpit. Kebanyakan mereka kembali musyrik setelah selamat sampai di darat. Karenanya, Allah menyebutkan di ayat tersebut, “Dan manusia itu adalah selalu tidak berterima kasih”, yakni kebanyakan dari mereka.

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Tapi, keadaan orang sekarang, kebanyakan lebih parah daripada orang-orang musyrik yang hanya mentauhidkan Allah dalam doanya saat terjepit, namun akhirnya kembali lupa setelah mereka selamat dan berada di tempat yang aman.

Mereka dikatakan kufur oleh Allah, pun begitu masih memiliki sisi lebih dari orang-orang musyrik hari ini. Di mana mereka hanya mengingat Allah dalam doanya saat kepepet. Mereka melupakan sesembahan mereka berupa batu, pohon, jimat dan para dukun. Mereka yakin, saat seperti itu, hanya Allah yang mampu menolong.

Bandingkanlah kondisi mereka dengan orang-orang musyrik hari ini. Ketika ekonomi sulit, ketika terjangkiti penyakit, ketika dijerat hutang yang membelit dan ketika didera urusan yang serba sulit, mereka justru melupakan Allah. Yang pertama mereka ingat justru jin penunggu, batu akik, rajah dan jimat, atau orang sakti yang telah mati. Tempat pertama yang mereka tuju justru para dukun, kuburan dan tempat-tempat keramat.

Di manakah iman mereka, di manakah akal mereka. Peluang terkabulnya doa saat kondisi sulit mereka sia-siakan, justru mereka beralih kepada cara dan tempat yang tak jelas hasilnya, namun sudah pasti kesesatannya.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa memelihara dan menjaga iman, tauhid dan ketakwaan kita. amin.

 

 

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هذا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

 

KHUTBAH KEDUA

 

إِنَّ الْحَمْدَ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أشْهَدُ أنْ لاَ إِلٰه إلاَّ اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدّعَوَاتِ

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدِيْنَا وَارْحَمْهُمْ كَمَا رَبَّوْنَا صِغَارًا

رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

اللَّهُمَّ انْصُرْ إِخْوَانَنَا الْمُجَاهِدِيْنَ فِي كُلِّ مَكَانٍ،

اللَّهُمَّ وَحِّدْ صُفُوْفَهُمْ وَسَدِّدْ رَمْيَهُمْ وَثَبِّتْ أَقْدَامَهُمْ وَاجْمَعْ كَلِمَاتِهِمْ وَأَلِّفْ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ

اللَّهُمَّ أَفْرِغْ فِي قُلٌوْبِهِمْ صَبْرًا، يَا إِلَهَ الْحَقُ، لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ

اللَّهُمَّ دَمِّرْ أَعْدَائَكَ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ، اللَّهُمَّ مَزِّقْ صُفُوْفَهُمْ، وَشَتِّتْ شَمْلَهُمْ وَفَرِّقْ جَمْعَهُمْ، وَمَزِّقْهُمْ كُلَّ مُمَزَّقٍ، يَا عَزِيْزُ ذُو انْتِقَامٍ

اَللَّهُمَّ انْصُرْ إِخْوَانَنَا الْمُسْتَضْعَفِيْنَ فِي كُلِّ مَكَانٍ، اللَّهُمَّ ارْحَمْ نِسَائَهُمْ وَصِبْيَانَ هُمْ، اللَّهُمَّ ارْحَمْ ضُعَفَاءَ هُمْ، اللَّهُمَّ دَاوِ جَرْحَهُمْ وَاشْفِ مَرْضَاهُمْ

رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي القُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالمُنْكَرِ وَالبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

وَاذْكُرُوْا اللهَ الْعَظِيْمَ الْجَلِيْلَ يَذْكُرْكُمْ، وَأَقِمِ الصَّلَاة

 

Oleh: Majalah ar-risalah/Materi Khutbah Jumat

Materi Khutbah Jumat Lainnya:
Minder Taat Akhirnya Maksiat,
Kandas Karena Malas
Pejabat; Orang yang Paling Butuh Nasihat

 

Islam Adalah Darah Daging Kita, Takkan Hidup Manusia Tanpanya

Ada nasihat indah dari seorang ulama tabi’in yang tak asing di telinga, Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Wahai saudaraku, sesungguhnya Islam adalah darah dagingmu…”

Betapa tepatnya perumpamaan beliau tentang agama sebagaimana darah dan daging, karena agama yang benar adalah ruh manusia dan intinya. Apabila Islam itu lenyap dari diri seseorang, maka ia seperti bukan lagi manusia yang hidup. Sebagaimana jika manusia telah hilang darah dan dagingnya, dapatkah ia disebut sebagai manusia?

Seorang muslim yang telah menjadikan Islam sebagai darah dagingnya, hidupnya tak bisa dipisahkan dari Islam. Seluruh aktivitasnya tak bisa lepas dari bimbingan Islam. Ini sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu alaihi wasallam, “Ra’sul amri al-Islam, pokok dari segala urusan adalah Islam.” Memandang apapun, melihat dari sudut pandang Islam, bukan yang lain. Baik baginya adalah apa yang dianggap baik oleh Islam. Buruk baginya adalah apa yang buruk dalam sudut pandang Islam, meksipun kebanyakan manusia berpendapat sebaliknya.

Baca Juga: Cara Allah Menjaga Iman Hamba-Nya

Siapa yang dianggap saudara atau kawan menurut Islam, itulah saudara ataupun kawan. Siapa yang menjadi musuhnya adalah siapapun yang memusuhi Islam dan dianggap musuh oleh Islam.

Jika dia mencari maisyah (pendapatan), Islam menjadi pedoman; mana yang halal dan mana yang haram. Jika ingin berkeluarga, maka Islam juga menjadi panduan memulai dan bagaimana mendidik keluarga. Ringkasnya, segala hal dipandang dari sudut pandang Islam.

Jika setiap muslim menggunakan sudut pandang ini, kemuliaan umat Islam akan terwujud, dan ukhuwah Islamiyah akan terjalin dengan baik. Bagaimana ukhuwah tegak jika yang sebagian menjadikan Islam sebagai pijakan dan sebagian lagi menjadikan selain Islam sebagai patokan?

Lagi pula, Islam adalah jaminan keselamatan, komplit pula mengatur segala urusan, jalan hidup terbaik yang telah Pencipta gariskan. Adakah yang lebih paham tentang kita, dunia dan akhirat kita selain dari Sang Pencipta?

Baca Juga: Yang Menyenangkan Belum Tentu Membuat Bahagia

Sangat disayangkan, ketika sebagian yang menisbahkan dirinya muslim lalu terprovokasi oleh para libearlis maupun atheis, hingga merendahkan martabat Islam, melecehkan orang-orang yang berpegang teguh dengannya.

Sekali-kali umat Islam ini tidak akan kembali berjaya, tegak, berkuasa dengan lurus bagi manusia melainkan jika mereka kembali mengambil pelajaran sebagaimana yang dikatakan oleh Imam ini, menguatkan ikatannya terhadap Islam dan meletakkannya pada tempat yang semestinya dalam rangka membina pribadi dan mengatur masyarakat.

Maka tak ada alasan untuk mengelak dari aturan-Nya, apa-apa yang belum Islam dari bagian hidup kita, segera kita sempurnakan agar makin semurna pula kebahagiaan kita dan jaminan akhir kita. Wallahu a’lam bishawab.

 

Oleh: Abu Umar Abdillah/Muhasabah