Menumbuhkan Akhlak Anak Sejak Usia Dini

Setiap orang tua, tentu memiliki harapan besar bagi buah hatinya. Semua itu, tak hanya tersirat dalam sorot mata yang penuh pinta. Bahkan goresan pena “semoga menjadi anak sholeh/ sholehah” tertulis dengan berjuta impian dalam setiap lembar doa menyambut lahirnya makhluk kecil, yang sekian lama dinantikannya.

Namun seiring berjalannya waktu, tak sedikit orang tua yang justru mengeluhkan kehadiran anaknya. Katanya, mereka berkembang tak sesuai harapan. Apa pasalnya? Anak yang semula nampak lucu dan menyenangkan, kini sering berkata kasar, membantah orang tua bahkan tidak mengerti adab atau sopan santun. Hmm… kalau begitu, siapa ya yang harus diluruskan?

Jujur, para orang tua sering mengabaikan pendidikan akhlak bagi anaknya sejak usia dini. Bukan bermaksud menyalahkan, tapi nyatanya terkadang kita tak bisa membedakan antara al khuluq (akhlak) dengan al khim (watak). Bahkan para orang tua sering menyamaratakan keduanya. Padahal, akhlak adalah tabiat yang bisa dibentuk. Sedangkan watak lebih kepada tabiat yang bersifat naluri.

Mari kita simak perkataan Ibn Qoyyim dalam kitabnya Ahkamul Maulud,  “Yang sangat dibutuhkan oleh anak adalah perhatian terhadap akhlaknya. Dia akan tumbuh menurut apa yang dibiasakan oleh pendidiknya ketika kecil. Jika sejak kecil ia terbiasa marah, keras kepala, tergesa-gesa dan mudah mengikuti hawa nafsu, serampangan, tamak dan seterusnya, maka akan sulit baginya memperbaiki hal tersebut ketika dewasa. Perangai ini akan menjadi sifat dan perilaku yang melekat pada dirinya. Jika tidak dibentengi betul dari hal itu, maka pada suatu ketika semua perangai itu akan muncul. Jadi, bila kita temui akhlak yang menyimpang dari kebanyakan manusia, bisa jadi karena pendidikan akhlak yang dilaluinya.”

Baca Juga: Jangan Cemas Bila Anak Tak Paham Pelajaran di Sekolahan

Maka jangan terburu-buru menyalahkan anak atau guru mereka di sekolah. Mungkin tanpa disadari, kita telah menanamkan deretan kekeliruan yang kemudian menjadi tabiatnya. Boleh jadi kita membiarkan mereka serba terburu-buru dalam menjalankan sesuatu. Makan terburu-buru, berangkat sekolah terburu-buru bahkan sholat pun terburu-buru. Hingga kebiasaan ini melekat, menjadi pribadi egois dan selalu kemrungsung dalam setiap tindak tanduknya. Atau, mungkin juga tanpa disadari kita selalu mengikuti kemauan anak. Hingga anak-anak tumbuh sebagai manusia manja dan keras kepala yang selalu berusaha memenuhi hawa nafsunya. Tanpa peduli dengan orang yang ada di sekitarnya.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimanakah membangun akhlak yang mulia itu? Jawabnya ada pada “Pendidikan Adab”.

Akhir-akhir ini, banyak orang tua yang cenderung melalaikan pendidikan adab bagi anak-anaknya. Menganggapnya sebagai hal sepele yang dapat diabaikan. Atas nama pola pendidikan modern, para orang tua membiarkan perilaku anak tanpa pagar sopan santun yang dibenarkan. Ia tidak tahu, yang demikian itu berarti menyiapkan anak-anak untuk berbuat durhaka. Ia tidak tahu bahwa menanamkan adab merupakan hak anak atas bapaknya sebagaimana hak mereka untuk diberi makan, dan minum yang menjadi kewajiban orang tuanya.

Sebenarnya urgensi adab akan tampak jelas dalam kehidupan seorang anak ketika bermuamalah dan bergaul. Khususnya bagaimana mereka menghormati yang tua maupun memperlakukan yang lebih muda. Rasulullah bahkan memberikan perhatian besar terhadap hal ini. Ibn Abbas meriwayatkan dari Ibn Majah, Rasulullah bersabada, “Muliakanlah anak-anak kalian dan perbaikilah adab mereka.”

Baca Juga: Salah Kaprah Mendidik Anak

Tak heran, para salafush sholih juga memiliki perhatian besar terhadap hal ini. Mereka menumbuhkembangkan anak diatas pilar adab mulia. Ibrahim bin Habib bin Syahid menceritakan bahwa ayahnya pernah berucap, “Datangilah para fuqaha dan para ulama, dan belajarlah dari mereka. Ambillah adab, akhlak dan petunjuk mereka. Karena hal itu lebih aku sukai daripada banyak bicara.”

Jelaslah kini. Tujuan utama perhatian terhadap akhlak dibangun agar menjadi karakter dan perangai dalam diri anak. Adab yang baik akan menghasilkan akal yang efektif. Sedangkan dari akal yang efektif akan melahirkan  kebiasaan- kebiasaan yang baik. Dari kebiasaan baik melahirkan karakter terpuji; dari karakter terpuji melahirkan amal shalih; dan dari amal shalih akan mendapatkan keridhaan Allah SWT. Bila Allah ridha, maka akan muncul kejayaan bagi umat ini. In syaAllah.

Pendeknya, persoalan adab atau sopan santun bukanlah perkara main-main. Hal ini dapat menjadi tabiat yang sulit diubah bila telah melekat kuat. Masih banyak para orang tua yang membiarkan anaknya berlaku ‘tidak sopan’ ketika bertamu. Masih banyak anak-anak yang orang tuanya rajin menghadiri majelis takllim –bahkan sekolah di SDIT- namun tak peduli dengan orang yang lebih tua. Rupanya, ini juga PR besar bagi kita semua.

 

Oleh: Redaksi/Parenting Anak/Majalah ar-risalah edisi 166

Ayah Ideologis, Tak Skeptis Menghadapi Krisis

Banyak di antara kita, para ayah, yang akhir-akhir ini bermuka masam. Nilai tukar dollar naik, imbasnya harga sembako melambung, kebutuhan meningkat, namun uang semakin tipis saja yang tertinggal di kantong. Boro-boro menyisihkannya untuk ditabung, hidup sederhana saja terasa demikian sulit. Bayangan masa depan yang suram, sulit, dan lesu telah menjadi trauma bagi mereka. Merosostnya ekonomi nampaknya menjadi kambing hitam yang dituding menjadi biang penyebab masalah. Benarkah krisis ini serupa monster mengerikan yang akan melumat kita bulat-bulat?

Seperti kehilangan akidah, banyak yang sedih, murung, stress, skeptis hingga depresi menghadapi hari-hari. Hingga kita lupa bahwa Allah-lah yang menjadi penentu segalanya, bukan asing dan aseng, merosotnya rupiah, atau apapun nama makhluk yang bisa kita sebut. Padahal, Sang Mahakaya yang memiliki seluruh perbendaharaan yang ada, bahkan dalam semua yang tidak pernah kita duga, telah menjamin rezeki bagi seluruh makhluk-Nya yang melata. Lalu, adakah jalan keluar?

Pertama

Harus kita sadari, bahwa melambungnya harga, bahan pokok dan melemahnya rupiah saat ini adalah buah dari kecongkakan manusia dengan sistem ekonomi ribawinya. Sistem zhalim yang penuh kecurangan itu benar-benar telah terbukti menyengsarakan umat manusia. Hal yang akan membuat kita tahu bahwa solusinya, mestinya, adalah kembali kepada sistem ekonomi syariah yang menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Sistem yang jauh dari kezhaliman antar sesama; lebih adil, manusiawi, menguntungkan, dan barakah.

Kedua

Insyaallah, inilah saatnya merenung tentang tujuan pernikahan yang sebenarnya. Bahwa ia bukan semata mencari kemapanan finansial belaka, hal yang memang seringkali dianggap sebagai indikator keberhasilan, bahkan harga diri seseorang. Hingga segalanya tampak mudah dan selesai dengan uang. Yang berarti pula, semua masalah akan muncul dengan ketiadaannya. Jika tanpa krisis saja, kita sudah pontang-panting mengumpulkan materi, apa jadinya kita di masa kritis begini?

Padahal, tujuan pernikahan jelas lebih luas daripada itu. Kemapanan mental emosional, sosial, bahkan spiritual juga sangat dihajatkan. Saat-saat seperti ini sangat tepat jika kita pergunakan untuk mengatur ulang prioritas hidup. Melancarkan komunikasi dan meneguhkan peran serta masing-masing anggota keluarga. Seberapa sebenarnya jumlah materi yang kita butuhkan, dan seberapa yang kita inginkan. Kemudian, hal lain apa yang ingin kita capai dengan keluarga ini? Inilah yang akan membuat hidup menjadi selaras seimbang, dan tidak terjebak menjadi penghamba materi. Hal yang akan menyeret kita ke dalam pusaran pencarian yang melelahkan dan mengorbankan banyak hal.

Mereka yang fokus pada kemapanan materi, sebenarnya melalaikan fakta bahwa banyak kebutuhan non finansial, dan banyak masalah yang tidak akan pernah selesai dengan uang. Ia terpendam menjadi bom waktu yang mengancam keharmonisan dan keutuhan rumah tangga, dan akan meledak saat krisis finansial datang. Apalagi bagi mereka yang mengidap sindrom ingin lebih, berapapun capaian materi yang mereka dapatkan, selalu ada keinginan untuk menambahnya. Sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam, ia tiada berkesudahan kecuali jika kematian datang. Terus, bagaimana dengan mereka yang gagal mencapai keinginan materinya? Jelas lebih mengerikan!

Ketiga

Kita harus belajar berhemat; hanya membeli hal-hal yang benar-benar kita butuhkan. Demi untuk keberhasilannya, selain komitmen yang tinggi, teladan dari orangtua dan dukungan seluruh anggota keluarga mutlak diperlukan. David Hochman, seorang penulis barat, pernah berlatih hidup sederhana, dan dalam sebulan, dia bisa menghemat uang belanja keluarga hingga 2000 dollar. Nilai yang sangat besar, tentu saja. Nah, kalau David bisa, kenapa kita tidak? Meski dengan jumlah uang yang jauh lebih kecil, penghematan tetaplah pilihan yang cerdas dan terpuji. Dan kalau ternyata ada sisa uang belanja, kita harus menabungnya, seraya memikirkannya agar kelak bisa kita gunakan sebagai modal investasi.

Satu hal yang harus kita ingat, bahwa apa yang akan terjadi besok adalah hal ghaib yang tidak kita ketahui, hingga tidak ada alasan untuk takut menghadapinya. Agar siap menghadapi apapun keadaan yang akan kita temui nanti, kita harus menambah kadar keimanan. Bukankah keadaan orang yang beriman itu sangat menakjubkan? Bersyukur di saat mendapatkan kelapangan, dan bersabar saat menemui kesempitan. Alangkah indahnya!

Jangan lupakan untuk membangun komunitas muslim yang saling berta’awun dalam kebaikan dan ketakwaan, termasuk dalam perekonomian. Sebab menurut Ibnu Abbas, loyalitas sesama muslim yang dilandasi kecintaan dan kebencian karena Allah, akan menjadi jalan tergapainya pertolongan Allah.

Selain itu, kita harus tetap berbuat kebaikan sebanyak mungkin. Karena kita percaya sunatullah, bahwa mereka yang menanam kebaikan akan memanen kebaikan, dan demikian juga sebaliknya. Karena Allah Mahaadil yang tidak mungkin berbuat zhalim terhadap hamba-hamba-Nya, inilah saatnya kita memperbanyak tabungan kebaikan.

Jadi, tetap optimis menghadapi krisis. Semoga Allah memudahkan urusan kita semua!

Oleh: Redaksi/Keluarga