Sejarah Para Tuhan Kaum Nuh

Ada lima berhala yang dituhankan kaum Nuh: Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr. Beberapa riwayat sejarah menyatakan bahwa asal usul tuhan-tuhan ini sebenarnya adalah manusia yang shalih. Salah satu riwayat mengatakan, Wadd adalah anak dari Adam. Adam memiliki 20 anak lelaki dan 20 anak perempuan. Beberapa nama yang diriwayatkan adalah Qobil, Habil, Shalih, Abdurrahman, Abdul Harits dan Wadd atau yang disebut Syits. Adapun Suwa’, Yaghuts, Yauq dan nasr ada yang menyebutkan mereka adalah anak Wadd ada pula yang menyatakan mereka adalah saudara Wadd.

Rentang waktu antara Adam dan Nabi Nuh adalah 10 qurun (abad). Jika qurun yang dimaksud Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam tersebut adalah seratus tahun, maka nabi Nuh diutus menjadi rasul seribu tahun setelah Adam.  Di masa antara inilah kehidupan manusia mulai berkembang. Pada masa awal, mereka mengikuti ajaran Nabi Adam. Bahkan Qobil yang dikisahkan membunuh saudaranya pun seorang muslim.

Wadd sendiri adalah anak Adam yang sangat shalih. Dia ditokohkan di tengah saudara-saudaranya dan paling berbakti kepada Nabi Adam.

Setelah keturunan Adam mulai banyak, semakin banyak pula orang yang menjadi pengikut Wadd. Demikian pula keshalihan Suwa’, Yaghuts dan Nasr mendapat banyak simpati dari saudara-saudara dan keturunannya. Hingga suatu saat, tibalah ajal menjemput mereka.

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan, “Suatu ketika ada obrolan tentang Yazid bin al-Muhallab di dekat Abu Jakfar (al- Baqir) saat beliau sedang shalat. Setelah selesai shalat, Abu Jakfar mendekat dan berkata,

“Kalian membicarakan Yazid bin al-Muhallab. Dia itu dibununh di tempat pertama disembahnya tuhan selain Allah. Ada “Wadd”, dia dahulunya adalah muslim yang shalih yang sangat dicintai kaumnya. Pasca kematiannya, mereka berkumpul di kuburnya dan bersedih. Melihat hal itu, Iblis menjelma menjadi manusia. Dia berkata kepada mereka, “Aku melihat kesedihan kalian akan orang ini. Maukah kalian aku lukiskan wajah yang serupa dengannya di tempat ibadah kalian agar kalian dapat mengingatnya?” Orang-orang menjawab, “Ya silakan.” Iblis pun memahat patung yang serupa dengan Wadd dan meletakkannya di tempat ibadah mereka. Melihat betapa seringnya mereka mengingat Waad, Iblis kembali menawarkan, “Maukah aku buatkan patung yang serupa dengan itu untuk ditempatkan di rumah-rumah kalian agar kalian bisa lebih sering mengingatnya?” mereka menjawab, “Ya.” lalu Iblis pun membuat patung-patung yang serupa dengan Wadd untuk setiap rumah. Tradisi mengenang Wadd ini berlanjut dari generasi ke generasi. Dan pada generasi jauh, akhirnya patung Wadd disembah.”

Penyembahan berhala semakin merajalela. Tidak hanya patung Wadd saja yang dipertuhankan tapi juga patung-patung lain; Suwa’ Yaghuts, Yauq dan Nasr. Pada saat inilah Allah mengutus Nabi Nuh. Disebutkan bahwa Nabi Nuh diutus menjadi Rasul pada saat berumur 50 tahun. Beliau berdakwah mengajak kaumnya untuk meningalkan penyembahan berhala dan kembali menyembah Allah dan menjadi muslim.

Dari kisah ini, ada beberapa poin penting yang perlu kita resapi, diantaranya;

  • Pertama, mengenai tipu daya Iblis. Untuk membentuk sebuah dosa terbesar berupa syirik, Iblis tidak secara langsung menyuruh manusia menyembah selain Allah. Dengan halus, Iblis seakan justru membantu ibadah mereka dengan cara membuatkan lukisan dan patung untuk mengenang leluhur yang shalih. Dan benar, lukisan dan patung ini awalnya memang tidak disembah dan semakin menambah semangat dalam ibadah. Iblis tidak langsung memetik buahnya. Buah kesyirikan itu matang setelah berlalu beberapa generasi dan distrosi sejarah secara sistematis dilakukan, dari sekadar untuk mengenang leluhur menjadi menyembah para leluhur.

Mengetahui efektivitas pola ini, Iblis dan setan pun terus menggunakan metode ini dan mengembangkannya. Penyembahan Uzair dan Isa oleh kaum Yahudi dan Nashrani pun tidak jauh-jauh dari metode ini. Awalnya, kaum nashrani mengimani Isa sebagai Rasul, yang kemudian di angkat ke langit. Namun lambat laun, persepsi ini dirusak sembari dibangun ulang dengan menyusupkan keyakinan bahwa Isa adalah anak tuhan atau penjelmaan lain dari tuhan. Perbuatan bid’ah pun sama. Awalnya dilakukan para moyang sebagai bagian dari budaya, tapi kemudian setan memasukkannya ke dalam ritual ibadah dan keyakinan. Latta yang disembah kaum musyrik, dahulunya adalah orang baik yang senantiasa menggiling gandum untuk disedekahkan kepada orang-orang yang berhaji.

  • Kedua, mengenai susahnya dakwah di tengah kaum Nuh. Pernahkah kita bertanya, mengapa dakwah selama 950 tahun hanya menghasilkan belasan pengikut? Tentu salah jika yang kita evaluasi adalah dakwahnya Nabi Nuh. Beliau sudah berdakwah sesuai wahyu-Nya, siang malam, dengan beragam metode. Dengan ini, tidak ada penghalang lain selain faktor kaum Nuh yang memang luar biasa keras kepala. Tapi sekeras apapun manusia, bukankah ada kemungkinan generasi selanjutnya bisa lebih lunak dan moderat? Dan bukankah Nabi Nuh berdakwah dari generasi ke generasi?

Ternyata, Ibnu Katsier menyebutkan, faktor utama mengapa kaum Nuh begitu susah didakwahi adalah karena mereka secara konsisten mewariskan kekufuran kepada generasi setelahnya. Dikisahkan bahwa setiap kali seorang anak mulai berakal, orangtuanya pasti mendoktrin anaknya agar jangan mempercayai Nuh dan pengikutnya. Doktrin ini terus dicecar sampai dewasa hingga menyatu dengan pikiran dan perasaan si anak. Inilah yang menjadi dinding penghalang masuknya iman di hati kaum Nuh. Sebuah kekufuran yang diwariskan secara turun temurun.

[bs-quote quote=”Ibnu Katsier menyebutkan, faktor utama mengapa kaum Nuh begitu susah didakwahi adalah karena mereka secara konsisten mewariskan kekufuran kepada generasi setelahnya. Dikisahkan bahwa setiap kali seorang anak mulai berakal, orangtuanya pasti mendoktrin anaknya agar jangan mempercayai Nuh dan pengikutnya. Doktrin ini terus dicecar sampai dewasa hingga menyatu dengan pikiran dan perasaan si anak. ” style=”default” align=”center” color=”#156fbf”][/bs-quote]

Peran orangtua dalam membentuk sebuah generasi memang tak diragukan lagi. Seperti yang disabdakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa keyakinan anak akan sangat dipengaruhi orangtuanya. Jika mereka menanamkan keimanan, anak akan tumbuh menjadi manusia beriman. Sebaliknya jika yang mereka tanamkan kekufuran, maka kekufuran akan turun-temurun menjadi akidah dalam silsilah nasabnya. Wallahua’lam.

Oleh: Ust. Taufik Anwar/Akidah

Syirik, Mengharap Syafaat Peroleh Laknat

Mereka mengatakan: Tidaklah kami berdoa kepada mereka dan menghadapkan wajah kepada mereka kecuali untuk mendapatkan kedekatan dan syafaat.

Para pelaku syirik tidak mengatakan bahwa apa yang mereka sembah mampu menciptakan dan memberi rezeki bersama Allah. Mereka juga tidak mengatakan bahwa mereka dapat memberi manfaat, mendatangkan madharat, atau mengatur bersama Allah. Mereka hanya menjadikan sesembahan itu sebagai pemberi syafaat, sebagaimana yang telah Allah ta’ala firmankan mengenai mereka yang artinya, “Dan mereka menyembah dari selain Allah sesembahan yang tidak dapat mendatangkan madharat dan tidak dapat memberi manfaat. Dan mereka mengatakan bahwa sesembahan itu adalah pemberi syafaat kami di sisi Allah.” (QS. Yunus: 18). Para pelaku keyirikan berkurban dan berdoa agar sesembahan itu menjadi perantara untuk mereka di sisi Allah dan memberi syafaat di sisi Allah.

Allah juga menjelaskan keadaan para penyembah berhala dalam firmannya,

 

أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ ۚ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ

Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar. (QS. Az-Zumar: 3)

Ketika menjelaskan ayat ini, Ibnu Katsir berkata, “Sesungguhnya hal yang mendorong mereka menyembah berhala-berhala itu hanyalah karena berhala-berhala tersebut mereka pahat dengan rupa malaikat-malaikat yang terdekat (dengan Allah) menurut dugaan mereka. Lalu mereka sembah patung-patung itu yang mereka anggap sebagai malaikat-malaikat.yang terdekat, agar malaikat-malaikat tersebut mau meminta pertolongan bagi mereka di sisi Allah Swt. untuk menolong mereka, memberi mereka rezeki, dan melepaskan dari mereka perkara duniawi yang menimpa diri mereka. Adapun terhadap hari kemudian, maka mereka mengingkari dan kafir terhadapnya.

Qatadah, As-Saddi, dan Malik telah meriwayatkan dari Zaid ibnu Aslam dan Ibnu Zaid sehubungan dengan makna firman-Nya: melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. (Az-Zumar: 3) Yaitu agar sembahan-sembahan itu dapat menolong kami dan mendekat­kan kami kepada Allah Swt.

 

Baca Juga: Tauhid Rububiyyah Saja Tidak Cukup 

 

Karena itulah mereka mengatakan dalam talbiyahnya bila melakukan ibadah haji di masa Jahiliah, “labbaika la syarikalaka illa syar’ikan huwa laka tamlikuhu wama malak.” (Kupenuhi seruan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu kecuali sekutu yang kepunyaan-Mu, Engkau memilikinya, sedangkan sekutu-sekutu itu tidak memiliki).

Kekeliruan semacam inilah yang sengaja dilakukan oleh orang-orang musyrik di masa silam dan masa sekarang. Lalu datanglah kepada mereka para rasul yang menolak keyakinan seperti ini, melarangnya, serta menyeru mereka untuk memurnikan penyebaran hanya kepada Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Dan bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang dibuat-buat oleh orang-orang musyrik dari diri mereka sendiri. Allah tidak mengizinkan hal itu, tidak merestuinya, bahkan murka terhadapnya dan melarangnya.

 

{وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ}

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah tagut itu.” (QS. An-Nahl:36)

Dan firman Allah Swt:

{

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدُونِ}

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, “Bahwasanya tidak ada tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku. (QS. Al-Anbiya: 25)

Allah Swt. memberitahukan bahwa para malaikat yang ada di langit, yaitu para malaikat yang terdekat dan juga malaikat lainnya, semuanya ialah hamba-hamba Allah yang tunduk patuh kepada-Nya; mereka tidak mau meminta syafaat di sisi-Nya kecuali dengan seizin-Nya terhadap orang yang direstui-Nya. Para malaikat di sisi-Nya tidaklah seperti keadaan para amir di hadapan raja-raja mereka yang dapat memberikan syafaat (pertolongan) di sisi raja-raja mereka tanpa restu dari raja-raja mereka; raja mereka setuju ataukah tidak, syafaat tetap dilakukan.

 

{فَلا تَضْرِبُوا لِلَّهِ الأمْثَالَ}

Maka janganlah kamu membuat perumpamaan-perumpamaan bagi Allah. (QS. An-Nahl: 74)

 

Syafaat dan Macamnya

Syafaat adalah penengah (perantara) bagi yang lain dengan mendatangkan suatu kemanfaatan atau menolak suatu kemudharatan. Pemberi syafa’at berada di antara yang diberi syafa’at dan syafa’at yang diberikan sebagai perantara untuk mendatangkan manfaat atau menolak mudharat darinya.

Syafaat bisa benar dan bisa keliru. Syafaat yang benar adalah yang ditetapkan oleh Allah dalam al-Qur’an atau yang ditetapkan oleh Rasulullah. Abu Hurairah pernah bertanya kepada Nabi, “Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling bahagia dengan mendapatkan syafa’at baginda ?”. Beliau menjawab, “Orang yang mengatakan Laa ilaaha illallah secara ikhlas (murni) dari kalbunya”.

Syaikh Utsaimin menjelaskan bahwa syafaat ini bisa diperoleh dengan tiga syarat:
Keridhaan Allah terhadap yang memberi syafaat, keridhaan Allah terhadap yang diberi syafaat, dan izin Allah bagi pemberi syafaat untuk memberi syafa’at.

Allah berfirman yang artinya “Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafaat mereka sedikitpun tidak berguna kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhai(Nya)”. (QS. An-Najm: 26).

“Pada hari itu tidak berguna syafa’at, kecuali (syafa’at) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya dan Dia telah meridhai perkataanNya.” (QS. Thaha : 109).

“Mereka tidak bisa memberi syafa’at kecuali kepada orang yang diridhai oleh Allah.” (QS. Al-Anbiya: 28).

Syafaat ada yang bersifat umum dan ada yang khusus.

Syafaat yang bersifat umum artinya Allah mengizinkan siapa saja yang dikehendaki dari hamba-hambaNya yang shalih untuk memberikan syafaat kepada orang yang juga diizinkan oleh Allah untuk memperoleh syafaat. Syafaat semacam ini bisa didapatkan dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan selain beliau dari para Nabi yang lain, shidiqqin, syuhada’ dan shalihin. Yaitu bisa berupa syafaat kepada penghuni neraka dari kalangan orang beriman yang bermaksiat agar mereka bisa keluar dari neraka.

Sementara, syafa’at yang bersifat khusus hanya dimiliki oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan merupakan syafaat yang paling agung. Syafaat yang paling agung ini adalah syafaat pada hari kiamat ketika manusia tertimpa kesedihan dan kesukaran yang tidak mampu mereka pikul, kemudian mereka meminta orang yang bisa memohonkan syafaat kepada Allah Azza wa Jalla untuk menyelamatkan mereka dari keadaan yang demikian itu.

 

Baca Juga: Iman Butuh Bukti Bukan Sekedar Teori

 

Mereka datang kepada Adam, kemudian kepada Nuh, kemudian Ibrahim, Musa dan Isa -‘alaihimus salam-, namun mereka semua tidak bisa memberi syafa’at, sehingga akhirnya meminta kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliaupun bangkit untuk memohonkan syafa’at di sisi Allah Azza wa Jalla untuk menyelamatkan hamba-hambaNya dari keadaan seperti ini. Allah mengabulkan do’a beliau dan menerima syafa’atnya.

Ini merupakan Al-maqam Al-Mahmud (tempat yang terpuji) yang telah dijanjikan oleh Allah dalam firmanNya:

“Dan pada sebagian malam hari shalat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Rabb-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji”. [QS. Al-Isra : 79]

Di antara syafaat khusus dari Rasulullah adalah syafaat beliau terhadap ahlul jannah untuk masuk jannah. Karena ahlul jannah itu ketika melewati shirath, mereka diberhentikan di atas jembatan antara jannah dan naar, lalu hati mereka satu sama lain disucikan, kemudian barulah diizinkan masuk jannah dan dibukakan untuk mereka pintunya dengan syafa’at Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

 

Syafa’at Yang Batil
Inilah yang dilakukan oleh para pelaku kesyirikan. Mereka menganggap apa yang mereka sembah bisa menyelamatkan mereka di sisi Allah. Syafaat ini sama sekali tidak akan memberikan manfaat kepada mereka. Allah berfirman.

“Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafaat dari orang-orang yang memberikan syafaat.” [QS. Al-Muddatsir : 48]

Allah tidak ridha terhadap kemusyrikan dan tidak mungkin mengizinkan kepada siapapun untuk memberikan syafaat kepada mereka. Sementara syafaat hanya diberikan kepada orang-orang yang diridhai oleh Allah Azza wa Jalla. Ketergantungan orang-orang musyrik terhadap ilah-ilah mereka yang mereka ibadahi serta mengatakan, “Mereka adalah para pemberi syafaat bagi kami di sisi Allah), adalah ketergantungan yang batil yang tidak bermanfaat,” justru akan menjauhan mereka dari Allah. Wallahu a’lam.

 

Oleh: Redaksi/Akidah