Memaknai Islam Sebagai Rahmatan Lil ‘alamiin

Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin, artinya Islam merupakan agama yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi seluruh alam semesta, termasuk hewan, tumbuhan dan jin, apalagi sesama manusia. Sesuai firman Allah, “Dan tidaklah engkau (Muhammad) diutus ke muka bumi ini kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (QS. al-Anbiya: 107)

Namun, hari ini kita menemukan adanya upaya mendistorsi (tahrîf) makna rahmatan lil ‘alamin, sebagai dalih atas pemahaman sesat dan menyesatkan. Rahmatan lil ‘alamin selalu dikaitkan dengan masalah toleransi dan intoleransi, kehidupan sosial dalam bernegara, dan masalah kearifan lokal. Meskipun ada benarnya, namun masalahnya tak melulu soal itu. Jika hal ini dibiarkan tentu akan berakibat fatal. Salah satunya muncul istilah-istilah asing yang sebelumnya belum pernah dikenal dalam Islam semacam Islam fundamental, Islam Arab, Islam Nusantara, Islam radikal dan semisalnya yang disematkan kepada suatu kelompok tertentu. Akar dari semua ini karena adanya pemaknaan yang salah terhadap makna rahmatan lil ‘alamin.

Padahal jika kita telisik lebih dalam tujuannya tak lain adalah untuk menstigma negative terhadap ummat Islam yang konsisten dengan keislamannya dan mencoba menerapkan syari’at Islam secara kaafah.

MAKNA RAHMATAN LIL ‘ALAMIN

Para ulama mufassir berbeda pendapat dalam menafsirkan kata rahmatan lil ‘alamin dalam surat al-Anbiya’: 107. Imam Thabari menjelaskan, “Para ahli tafsir berbeda pendapat dalam masalah ini, apakah rahmatan lil ‘alamin diperuntukkan khusus bagi orang Islam saja atau berlaku umum bagi seluruh manusia?. Namun pendapat yang benar dalam hal ini adalah perkataan yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, beliau mengatakan bahwa Allah mengutus Rasulullah sebagai rahmat bagi seluruh alam baik itu yang beriman ataupun mereka yang kafir. Kepada mereka yang beriman Allah berikan kepada mereka hidayah dan untuk yang kafir Allah menunda adzab bagi mereka sebagaimana yang terjadi pada ummat-ummat terdahulu yang mereka mendustakan apa yang dibawa oleh Rasul mereka.” (Jami’ul bayan fi ta’wilil qur’an: 18/552).

Ibnu Katsir dalam tafsir al-qur’anul ‘adzim menukilkan sebuah hadits dari Abu Hurairah yang menyatakan bahwa syari’at yang dibawa oleh Rasulullah selain rahmatan lil ‘alamin juga berfungsi sebagai hadiah dari Allah, إنما أنا رحمة ومهدة (sesungguhnya aku adalah rahmat dan hadiah).

Maknanya, Allah tidak akan menurunkan langsung adzab kepada orang-orang kafir dan ingkar sebagaimana Allah turunkan adzab kepada kaum Tsamud, ‘Ad, juga sebagaimana Allah menenggelamkan Fir’aun, atau menurunkan hujan batu pada kaum Nabi Luth. Tapi Allah akan menunda adzab itu selama masih ada yang mengamalkan syari’at Nabi Muhammad sampai hari kiamat. Itulah makna rahmatan lil’alamin bagi orang-orang kafir.

KANDUNGAN SYARI’AT ADALAH MASLAHAT

Inti syari’at Islam adalah maslahat, sebagaimana yang dikatakan oleh  Ibnu ‘Asyur, “Maksud umum dari syari’at secara global maupun terperinci adalah menjaga tata aturan dan keberlangsungan maslahat yang menjadi bagian dari manusia baik dari sisi akal atau amalnya, atau apa yang ada dikedua tangannya dengan perantara orang-orang alim yang hidup dizamannya.” (Maqashid as-syari’ah al-Islamiyah, hal: 148)

Maslahat adalah salah satu cara untuk melihat bentuk rahmatan lil ‘alamin dari sisi kandungannya. Menurut Imam asy-Syatibi, maslahat yang terkandung dalam syari’at Islam terbagi menjadi tiga berdasarkan tingkatannya, yaitu dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyat. Dharuriyat adalah kebutuhan yang jika tidak dipenuhi maka keselamatan ummat manusia akan terancam. Hajiyat adalah kebutuhan yang jika tidak terpenuhi tidak sampai mengancam keselamatan manusia tapi akan menyusahkannnya. Keberadaannya dibutuhkan untuk memberikan kemudahan serta menghilangkan kesukaran dan kesulitan bagi seorang mukallaf. Sedangkan tahsiniyat adalah semua keperluan dan perlindungan untuk membuat manusia lebih nyaman dan terlindungi (al-muwafaqat, 2/17)

Dari tiga klasifikasi maslahat tersebut, pembahasan tentang dharuriyatlah yang menjadi inti dari maslahat. Ada lima point penting kandungan dharuriyat. Para ulama menyebutnya dharuriyat al-Khamsah atau al-Kulliyat al-khamsah. Lima hal itu adalah: hifdz ad-ddin (penjagaan terhadap agama), hifdz an-nafs (penjagaan teradap jiwa), hifdz an-nasl (penjagaan terhadap keturunan), dan hifdz al-‘aql (penjagaan terhadap akal), hifdz al-maal (penjagaan terhadap harta). Kandungan inilah yang menjadi pondasi bangunan maslahat dalam syari’at Islam. Namun hal ini menjadi tak bermakna ketika berhenti pada tataran teori tanpa aplikasi. Adapun aplikasinya terbagi menjadi dua sisi: jihat al-wujud (sisi keharusan untuk mewujudkannya) dan jihat al-‘adam (sisi keharusan untuk menghilangkannya).

CONTOH APLIKASI DHARURIYAT AL-KHAMSAH

Hifdz ad-addin dilihat dari keharusan untuk mewujudkannya (jihat al-wujud) seperti perintah untuk beriman kepada Allah, mencintai-Nya, mengagungkan-Nya, mengetahui nama-nama dan sifat-Nya. Kemudian kewajiban untuk berpegang teguh kepada Islam, mempelajari serta mendakwahkannya. Sedangkan dari sisi harus meniadakannya (jihat al-‘adam), ada perintah untuk berhati-hati terdahap perkara riya’, perintah untuk menjauhi bid’ah dan memerangi para pelakunya, perintah untuk memerangi orang-orang murtad. Masalah ini berkaitan erat dengan perkara-perkara yang bersidat I’tiqadiyah (keyakinan).

Hifdz an-nafs dilihat dari jihat al-wujud, aplikasinya seperti kebolehan untuk memakan hal-hal yang diharamkan dalam keadaan darurat dan perintah untuk mencari nafkah. Dari jihat al-‘adam  haramnya membunuh jiwa yang tidak bersalah dan kewajiban untuk melakukan qishash.

Hifdz al-‘aql dilihat dari jihat al-wujud adanya perintah syari’at untuk mengikuti petunjuk yang dibawa oleh Rasulullah, sebab akal tidak bisa membedakan antara baik dan buruk kecuali atas bimbingan risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Sedangkan dari jihat al-‘adam keharaman berjudi, nyanyian, melihat hal-hal yang diharamkan, keharaman khamer, ganja, dan jenis-jenis narkoba lainnya

Hifdz an-nasl dilihat dari jihat al-wujud adanya anjuran untuk menikah, keharusan adanya saksi dalam pernikahan, perintah untuk menafkahi keluarga. Sedangkan dari jihat al-‘adam adanya larangan untuk berzina dan adanya ketetapan hukum syari’at bagi bagi pezina, larangan untuk mencerai istri kecuali dalam keadaan darurat, keharaman menyingkap aurat dan memandang yang bukan mahram, haramnya ikhtilath antara laki-laki dan perempuan, serta keharaman meremehkan pendidikan anak.

Yang terakhir adalah hifdz al-maal, dilihat dari jihat al-wujud kewajiban untuk bekerja dan berusaha, kewajiban untuk menjaga harta yang menjadi tanggungan, anjuran untuk bershadaqah, kebolehan jual beli dan berhutang. Dari jihat al-‘adam haramnya merampas harta, mencuri dan adanya ketetapan hukuman bagi pencuri, perintah mempertahankan harta benda jika dirampas, haramnya merusak harta dan menghilangkan harta milik orang lain tanpa sebab (Diringkas dari: Maqashid as-Syari’ah ‘inda Ibn at-Taimiyyah: 445-487)

Inilah maslahat universal yang dikehendaki oleh syari’at. Jika semua maslahat itu terwujud secara sempurna maka Islam akan menjadi rahmatan lil ‘alamin. Letak rahmatan lil ‘alaiminnya pada  maslahat yang terkandung dalam syari’at Islam yang bukan hanya diakui oleh agama Islam saja, tetapi oleh semua agama. (al-muwafaqat,1/31).

Dalam tataran praktek dalam mewujudkan semua maslahat di atas, semua maslahat tersebut harus terakomodir oleh sistem yang berasal dari Islam. Ia tidak akan sempurna ketika diatur oleh sistem kufur. Dalam sistem kufur akan banyak maslahat yang hilang karena tidak bisa diterapkan. Padahal Allah tak menghendaki yang demikian. Perintah Allah jelas untuk totalitas dalam berislam:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kedalam Islam secara sempurna dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh ia musuh yang nyata bagimu.” (QS. al-Baqarah: 208).

Maka rahmatan lil ‘alamin, bukan melulu bicara soal toleransi dan intoleransi; soal kehidupan antar agama dalam bernegara; atau soal kearifan lokal, tapi mencakup seluruh syari’at secara global dan terperinci. Ia akan terwujud ketika syari’at Islam dilaksanakan secara sempurna dibawah payung sistem Islam yang bernama khilafah a’la minhaj an-nubuwah. Wallahu a’lam

 

 

Kala Cinta Bersalin Rupa

Setiap manusia mestinya takut menyelisihi perintah Allah. Takut kalau-kalau dirinya tertimpa fitnah atau tertimpa azab lantaran itu. Setiap kita mestinya takut bermaksiat kepada Allah. Jangan melihat kecilnya, tetapi lihatlah kebesaran Zat yang dimaksiati.

 

Baca Juga:  Cinta-Mu, Cinta Pecinta-Mu, dan Cinta Amal Kebaikan

 

Jangan menganggap remeh sekecil apapun dosa karena Rasulullah bersabda bahwa perumpamaan dosa-dosa remeh itu seperti suatu kaum yang singgah di sebuah lembah. Kemudian satu orang datang membawa sebatang kayu lalu yang lain datang membawa sebatang kayu. Begitu seterusnya hingga kayu tersebut cukup untuk memasak roti. Dan ketika dosa-dosa remeh itu ketika dilakukan akan membinasakannya.

Akibat dari maksiat yang dilakukan iblis adalah laknat di dunia dan akhirat. Ia menjadi pemuka bagi para pendosa dan membawa mereka masuk ke neraka. Padahal neraka adalah seburuk-buruk tempat yang didatangi.

Setan juga telah memaklumatkan permusuhan dengan manusia. Ia ingin mengubah fitrah lurus yang manusia diciptakan di atasnya. Membelokkan manusia dari jalan lurus yang semestinya dan menjerumuskannya ke dalam kebinasaan. “Karena Engkau telah menghukum saya sesat, saya akan menghalang-halangi mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka. Dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur,” begitu ia bersumpah kepada Rabbnya.

 

BACA JUGA : Ketaatan Adalah Ujian

 

Apa yang menyebabkan iblis terusir dari kerajaan langit. Yang menyebabkan batinnya lebih buruk daripada rupanya. Yang menggantikan kedekatannya dengan Allah dengan kejauhan. Rahmat dengan laknat. Ketampanan dengan keburukan. Surga dengan neraka yang menyala. Iman dengan kufur. Cinta kepada yang Maha Melindungi dengan permusuhan dan penentangan. Suara tasbih dan tahlil dengan suara kekafiran, kesyirikan, kedusataan, kepalsuan, dan kekejian.

Menggantikan pakaian iman dengan pakaian kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan? Lalu ia menjadi mahluk terhina di hadapan Rabbnya. Ia terjatuh dari rahmat-Nya sejatuh-jatuhnya dan mendapatkan kemurkaan-Nya. Allah menghinakannya dan memurkainya semurka-murkanya. Lalu menjadikannya sebagai pengendali setiap orang fasik lagi jahat. Ia lebih suka memegang kendali ini daripada ibadah dan dan kemuliaan yang ia miliki sebelumnya. Kami berlindung kepadamu ya Allah dari perbuatan menyelisihi perintah-Mu dan larangan-Mu. Demikian Ibnu Qayim al-Jauziah menuliskan renungan dalam kitabnya.

Semoga orang-orang yang hidup hatinya bisa mengambil pelajaran dan orang-orang yang lalai segera tersadar.

Keberkahan Hujan

اللَّهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا

“Allahumma shoyyiban naafi’an.” Ya Allah jadikallah hujan ini mendatangkan kemanfaatan.”

Hujan menjadi suatu pemandangan yang biasa di indonesia, apalagi di musim hujan, hampir setiap hari kita bisa menyaksikannya. Karena terlalu sering, kita dilupakan untuk mentadaburinya. Apa yang Allah inginkan dengan menciptakan hujan dan menurunkannya di pekarangan kita, sehingga kita bisa menyaksikannya?

Ternyata Allah hendak mengingatkan kita akan kehidupan setelah kematian, Allah Berfirman :
Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, Maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu berbagai macam buah-buahan. seperti Itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, Mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran. (QS. Al A’raf : 57)

 

Baca Juga: Amanah yang Mendatangkan Berkah

 

Bila hujan bisa mengingatkan kita akan akhirat, maka kebaikan selanjutnya yang diharapkan adalah segera beramal untuk mempersiapkan bekal menempuh perjalanan panjang setelah kematian. dan tempat beramal adalah di dunia, karena di akhirat sudah tidak ada lagi kesempatan beramal yang ada hanya perhitungan dan balasan amal.

Bentuk amal shaleh yang bisa kita jadikan bekal di akhirat adalah berdoa kepadaNya, bahkan amalan doa tidaklah terkategori kecuali masuk dalam jenis ibadah seagaimana sabdanya “ad du’au huwal ibadah,” doa itu adalah ibadah. makanya kalau doa ini diarahkan kepada selain Allah, ia tidak termasuk ibadah bahkan termasuk kesyirikan.

Termasuk doa yang terikat dengan keadaan adalah doa di saat hujan. bahkan pada keadaan hujan, doa itu menjadi mustajab. Rasulullah shallallhu’alaihi wasallam bersabda :

اُطْلُبُوْا إجَابَةَ الدُعَاءِ عِنْدَ التِقَاءِ الجُيُوْشِ , وَإقَامَةِ الصَلاةِ وَنُزُوْلِ المَطَرِ

“Carilah ijabah doa ketika (hendak) bertemunya para pasukan, saat (akan) didirikan shalat dan saat turunnya hujan.” (Hadits diriwayatkan Imam syafi’i dalam al Umm dan dinyatakan hasan oleh Al Albany rahimahullah)

Apa saja kebutuhan kita, doakan saja kepada Allah Ta’ala di saat hujan. Dan sebelum mendoakan dengan doa umum yang berkaitan dengan pribadi kita, dahulukan doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh ibu kita, ummahatul mukminin ‘Aisyah Radhiallahu’anha :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَأَى الْمَطَرَ قَالَ : (اللَّهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا).

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam jika melihat hujan beliau berdoa, “Allahumma shoyyiban naafi’an.” Ya Allah jadikallah hujan ini mendatangkan kemanfaatan.” (HR. Bukhari)

Rahmat Nabi kepada umatnya, memohonkan kemanfaatan dari hujan yang diturunkan. Karena Ketika hujan turun ada dua kemungkinan, ia mendatangkan kemanfaatan atau mendatangkan kemadharatan. Dikisahkan dalam al qur’an tentang kaum ‘Aad yang mereka meyangka awan yang datang akan menurunkan kebaikan atau hujan, namun Allah berkehendak lain disebabkan kekafiran mereka dan penentangannya kepada utusanNya :

“Maka tatkala mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka, berkatalah mereka: “Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami”. (Bukan!) bahkan Itulah azab yang kamu minta supaya datang dengan segera (yaitu) angin yang mengandung azab yang pedih. Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Rabnnya, Maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi Balasan kepada kaum yang berdosa. (QS. Al Ahqaaf: 24-25)

Makna kemanfaatan hujan adalah dengan suburnya bumi dan dapat menumbuhkan sesuatu yang bermanfaat. Dan termasuk madharot bahkan disebut sebagai musim kemarau adalah Allah menurunkan hujan tapi ia tidak mendatangkan manfaat dengan tidak menumbuhkan apapun. Dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, bahwa Rasululah shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

لَيْسَتْ السَّنَةُ بِأَنْ لَا تُمْطَرُوا وَلَكِنْ السَّنَةُ أَنْ تُمْطَرُوا وَتُمْطَرُوا وَلَا تُنْبِتُ الْأَرْضُ شَيْئًا

“Kemarau itu bukannya kalian tida dihujani, tapi kemarau adalah kalian dihujani dan dihujani tapi bumi tidak menumbuhkan apa pun.” (HR. Muslim)

Tidak hanya lisan saja yang berdoa ketika ada hujan, ada sunnah fi’liyah yang dilakukan Nabi ketika hujan

وعن أَنَسٌ قَالَ أَصَابَنَا وَنَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَطَرٌ قَالَ: فَحَسَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَوْبَهُ حَتَّى أَصَابَهُ مِنْ الْمَطَرِ فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لِمَ صَنَعْتَ هَذَا؟ قَالَ: (لِأَنَّهُ حَدِيثُ عَهْدٍ بِرَبِّهِ تَعَالَى)

Dari Anas ia berkata; Kami diguyur hujan ketika bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lantas beliau membuka pakaiannya sehingga terkena hujan, lalu kami pun bertanya, “Wahai Rasulullah, kenapa Anda melakukan hal itu?” beliau menjawab: “Karena hujan ini merupakan rahmat yang diberikan oleh Allah ta’ala.”

Agar lebih berpahala lagi, perlu kita hadirkan perasaan cemas dan takut ketika melihat awan hitam dan mendung yang sangat pekat. Begitulah perasaan yang dihadirkan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, ‘Aisyah Radhiallahu’anha menceritakan ;

Apabila langit gelap berawan, maka beliau akan kelihatan pucat, keluar masuk rumah, ke depan dan ke belakang. Dan jika hujan turun, beliau pun merasa lega, dan hal itu dapat diketahui dari raut wajahnya. Aisyah berkata; Saya menanyakan hal itu pada beliau, maka beliau berkata: “Wahai Aisyah, kalau cuaca seperti ini, saya khawatir jangan-jangan akan terjadi seperti apa yang diungkapkan oleh kaum ‘Aad, ‘Maka tatkala mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka, berkatalah mereka: ‘Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami.” (HR. Muslim)

Satu Sedekah Seribu Berkah

Dikisahkan dalam Kitab Min ‘Ajaa’ibish Shadaqah, suatu malam ada orang fakir mengetuk pintu rumah seorang ulama, lalu orang alim itu bertanya kepada istrinya tentang sesuatu yang dimilikinya. Sang istri berkata, “Kita tidak memiliki apa-apa selain sepuluh butir telur ayam.” Suaminya berkata, ”Berikanlah telur-telur itu kepadanya.” Maka telur itu diberikannya kepada si fakir, dan disisakan satu butir telur untuk anaknya tanpa sepengetahuan suaminya.  Tak lama kemudian, datang seorang tamu  mengetuk pintu dan membawa rejeki yang diperuntukkan untuk keduanya sebanyak 90 dinar. Lalu orang alim itu bertanya kepada istrinya, ”Berapa telur yang kamu berikan kepada si fakir?” Istrinya menjawab, ”sembilan butir.” Lalu beliau berkata, ”Kita mendapatkan 90 dinar, setiap kebaikan dilipatkan sepuluh kali.”

Kisah ini hanyalah sampel tentang sedekah yang membuahkan keberkahan. Qadarullah, Allah berkehendak menjadikan berkah tersebut begitu nyata dan dapat dihitung dengan rumus matematika, Allah menggantinya dengan sepuluh kali lipat. Meski tentunya tak selalunya ’reward’ itu bisa diindera sedemikian rupa. Yang pasti, seseorang akan mendapatkan hasil lebih banyak dari apa yang ia sedekahkan karena Allah.

Penderma Lebih Butuh dari Penerima

Sekilas, tatakala seseorang mendermakan hartanya kepada orang fakir, maka si fakirlah yang mendapat manfaat dari sedekah itu. Namun sejatinya, keuntungan yang didapatkan oleh penderma, jauh lebih banyak dan lebih besar. Tidak berlebihan jikalau disimpulkan bahwa kebutuhan kita untuk bersedekah itu lebih besar dari kebutuhan orang fakir terhadap harta yang kita sedekahkan. Bukankah Allah telah berfirman,

”Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka (faedahnya) itu untuk kamu sendiri.” (QS. al-Baqarah: 272)

Begitupun dengan firman-Nya, ”In ahsantum ahsantum li anfusikum”, jika kamu berbuat baik, maka sesungguhnya kamu berbuat baik untuk diri kamu sendiri. Ini menjadi kaidah umum untuk seluruh kebaikan. Adapun kebaikan berupa sedekah sangat nyata dirasakan pengaruhnya oleh orang yang pernah mengalaminya.

Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam telah meyakinkan kita, bahwa harta tidak berkurang dengan disedekahkan,

“Tidaklah berkurang harta yang disedekahkan.” (HR Muslim)

Imam an-Nawawi menjelaskan dalam Syarah Muslim, bahwa maksud tidak berkurang itu mengandung dua pengertian. Pertama bahwa harta itu diberkahi dan dengannya madharat bisa tercegah, sehingga berkurangnya harta secara fisik tergantikan dengan keberkahan, dan ini bisa dirasakan dan terbukti sebagaimana pengalaman yang bisa disaksikan. Yang kedua, meskipun secara dzatnya berkurang, namun dari sisi pahala lebih banyak dari harta yang berkurang.”

Ada hadits lain yang menguatkan bahwa, setiap sedekah yang kita keluarkan, pasti akan mendapatkan ganti. Sebagai pengabulan doa dari para malaikat sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam,

Tiada datang waktu pagi melainkan ada dua malaikat yang turun atas manusia, lalu satunya berdoa, “Ya Allah, Berilah ganti bagi yang bersedekah.”  (HR. Bukhari)

Seribu Berkah Ba’da Sedekah

Allah tidak akan menjadikan orang yang berdema menjadi pailit. Bahkan sebaliknya, berkah yang melimpah akan disandang oleh para dermawan. Logika iman mengajarkan, bahwa sedekah berarti investasi kepada Allah yang pasti untung dan mustahil merugi.

Jika seseorang atau badan usaha yang profesional, datang kepada kita dengan cashflow yang menjanjikan keuntungan, ditambah lagi dengan kemungkinan minimnya resiko, lalu menawarkan saham untuk kita, tentulah kita akan bergegas untuk menyambutnya, dan menanamkan modal demi keuntungan yang besar. Meskipun keuntungan itu masih bersifat asumsi maupun prediksi. Masih ada resiko kerugian, atau bahkan kebangkrutan. Baik disebabkan oleh keteledoran dalam mengelola usaha, atau adanya faktor eksternal di luar perhitungan. Anehnya ketika tawaran itu datang dari Dzat yang menjanjikan keuntungan jauh lebih tinggi, Dia juga Maha Menepati janji, dan Mahakuasa membagi rejeki,  masih ada orang yang meragukan untuk menyambut tawaran-Nya. Masih berfikir jikalau investasi itu akan berujung pada kerugian dan kemiskinan. Alangkah buruk persangkaan mereka kepada Allah.

Bagaimana mungkin akan merugi, investasi usaha yang dikelola oleh Allah yang Maha Mengatur segala alam semesta? Mari kita simak, jaminan keuntungan yang Allah janjikan bagi siapapun yang berkenan menanam investasinya kepada-Nya,

”Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.” (QS. al-Hadiid: 11)

Adakah yang lebih layak dipercaya selain Allah, yang Mahakaya, dan Maha Berkuasa atas segalanya? Bagaimana mungkin orang yang berakal ragu untuk menitipkan investasinya kepada Allah?

Allah subhanahu wa ta’ala pun telah berjanji dalam hadits qudsi,

“Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman, “Berinfaklah wahai Anak Adam, niscaya Aku akan berinfak untukmu.”

(HR al-Bukhari)

Pun begitu, ganti yang dijanjikan itu belum tampak di depan mata. Hanya orang yang yakin dan tawakal yang berani mengambil keputusan. Toh, fakta menunjukkan, tak ada cerita orang yang miskin lantaran over dosis dalam berderma.

Keberkahan sedekah tak hanya mengundang datangnya kemaslahatan yang diharapkan, tapi juga mencegah kemadharatan yang ditakutkan. Sedekah yang kita lakukan seakan menjadi tebusan hingga di kemudian hari kita aman dari suatu bahaya yang mengancam.

Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mengisahkan tentang Yahya bin Zakariya yang memerintahkan Bani Israil dengan lima hal, salah satunya adalah, “Aku memerintahkan kalian untuk bersedekah. Karena perumpamaan sedekah itu seperti seseorang yang ditawan musuh, lalu tatkala musuh sudah memegang leher dan hendak menebasnya, tiba-tiba dia berkata, ”Aku menebusnya dari kalian dengan harta sedikit dan yang banyak.” Maka iapun berhasil membebaskan diri dari mereka.”  (HR Tirmidzi, beliau mengatakan, ”hadits hasan shahih”)

Ibnu Syaqiq bercerita, bahwa Abdullah bin Mubarak pernah ditanya oleh seseorang tentang luka di lututnya yang terus mengeluarkan nanah sejak tujuh tahun. Dia juga sudah berusaha menempuh berbagai macam pengobatan, pergi ke tempat para tabib, namun juga belum menunjukkan hasilnya. Maka Ibnul Mubarak menyarankan, ”Pergilah dan buatkanlah sebuah sumur di tempat perkampungan yang membutuhkan air, saya ber-harap air bisa mengalir di sana, dan ketika itu lukamu akan sembuh. Orang itupun melakukan saran beliau dan kemudian sembuh.

Buah Sedekah di Akhirat

Begitulah keajaiban faedah sedekah di dunia. Sedangkan faedah sedekah di akhirat lebih hebat lagi. Karenanya, Andai saja manusia setelah mati dikembalikan ke dunia, maka yang ingin mereka lakukan adalah bersedekah,

”Wahai Rabbi, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh” (QS. al-Munaafiqun: 10)

Ini menunjukkan betapa mereka melihat bahwa di akhirat sedekah sangat bermanfaat. Orang yang bersedekah akan tahu, bahwa harta sejati yang menjadi miliknya adalah harta yang disedekahkannya. Sedangkan harta yang tersisa, atau telah dipergunakan itu akan fana.

Ketika ummul mukminin ditanya oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam tentang kambing yang disembelih, adakah masih tersisa? Aisyah menjawab, ”Telah habis dibagi, hanya tersisa sebelah bahunya saja.” Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”(yang benar), masih utuh semua, kecuali sebelah bahunya.” (HR Muslim)

Yang dibagik-bagikan itulah hakikat harta yang sebenarnya, sedangkan yang tersisa itu bukanlah menjadi miliknya selain hanya sementara saja. Kemurahan Allah yang melipatkan pahala sedekah hingga 700 kali lipat dan bahkan bahkan masih lebih banyak lagi.

Kedermawanan akan mendekatkan pelakunya menuju jannah, sekaligus membentengi dan menjauhkan pelakunya dari neraka. Ya Allah, jauhkanlah kami dari sifat bakhil. Amin. (Abu Umar Abdillah)