Agar Suara Para Da’I Didengar Umat

Tak lama pasca Sa’ad bin Mu’adz masuk Islam melalui dakwah duta Islam pertama Mush’ab bin Umair, tak ada satu rumahpun di Bani Asyhal Madinah melainkan di dalamnya ada Islam. Peristiwa spektakuler lainnya, dengan asbab dakwah Abu Dzar Al-Ghifari masuk Islamlah kaum Ghifar dan kaum Aslam—dua suku yang tadinya identik dengan sarang perampok dan penyamun—secara berbondong-bondong.

Sejarah para pendahulu kita yang shalih begitu padat dengan keberhasilan di medan dakwah. Baik berupa masuk Islamnya suatu kaum secara berbondong-bondong, atau ramainya para kafilah yang bertaubat karena nasehat yang tulus dari para da’i fi sabililillah. Ucapan mereka menyentuh, nasehat mereka berpengaruh, kendati singkat kalimat yang diutarakan, meski diam mereka lebih banyak dari bicaranya. Bahkan suara mereka lebih didengar dari orang kaya dan para raja.

Ada rahasia dibalik kesuksesan mereka. Sa’ad bin Mu’adz memiliki modal cukup sehingga masyarakat mendengar omongannya. Mereka mengenal Sa’ad sebagai sosok yang patut diteladani, jujur, amanah dan santun kepada sesama. Begitu pula dengan sahabat yang lain. Terlebih apa yang dialami oleh Nabi kita ﷺ, kepercayaan umat akan kejujuran dan sifat amanahnya, membuat umat tak sanggup mengingkari kebenaran risalahnya.

Baca Juga: Maraknya Tren Membeda-bedakan Ustadz dan Ulama’

Ketika awal-awal beliau diperintahkan berdakwah secara terang-terangan, beliau naik ke atas bukit dan menyeru kaumnya. Setelah mereka berkumpul beliau berkata, “Jika aku katakan bahwa di balik bukit ini akan ada pasukan kuda yang akan menyerang kalian, apakah kalian membenarkan aku?” Serentak mereka berkata, “Kami belum pernah mendapatkan Anda berdusta.” Dengan modal inilah Nabi ﷺ dan juga para pengikutnya yang setia sukses dengan dakwahnya.

 

Problematika Dakwah

Apa yang kita alami hari ini sungguh berkebalikan. Betapa banyak para khathib, mubaligh, juru dakwah dan para kyai, namun tak juga mampu membendung arus kemaksiatan. Betapa banyak pula pengajian diadakan, seminar digelar dan kajian digalakkan, pun peningkatan pelaku maksiat lebih drastis ketimbang segelintir orang yang mau bertaubat.

Kenyataan ini mestinya menggugah kesadaran para da’i, mengharuskan intropeksi diri dan mencari solusi. Adakah sesuatu yang “error” hingga materi yang sama menimbulkan pengaruh yang berbeda? Bukankah Islam yang kita dakwahkan hari ini sama dengan islam yang dahulu para salaf serukan?

 

Beda Pembawanya

Tidak dipungkiri bahwa faktor keberhasilan dan kegagalan suatu hal dipengaruhi bermacam variabel. Bisa jadi tergantung kondisi obyeknya, sarana yang digunakan atau retorika penyampaiannya.

Hendaknya seorang da’i senantiasa mawas diri, mungkinkah kegagalan dan hambatan dakwah itu bermuara dari dirinya? Sangat mungkin, karena ia adalah unsur yang paling penting dalam dakwah itu sendiri.

Sudah sewajarnya jika seorang da’i berbenah dan berdandan dengan apa yang dapat menyempurnakan karakternya sebagai seorang penyeru. Tentu saja para salaf menjadi cermin untuk hal ini. Karena, tidak akan baik umat ini melainkan dengan melihat kebaikan pada para pendahulunya.

 

Membekali Diri dengan Ilmu

Seirama dengan apa yang dikabarkan Nabi, bahwa dekatnya kiamat ditandai dengan banyaknya khatib namun sedikit ilmu. Berapa jumlah masjid dalam satu kampung? Berapa khatib dalam satu RT? Namun sejujurnya kita melihat, tidak banyak di antara mereka yang memiliki kemauan serius untuk mempelajari ilmu syar’i. Teknik berpidato dan trik mengatasi minder kerap kali lebih diprioritaskan dari materi yang dipidatokan. Padahal suatu keharusan bagi seorang da’i untuk memahami apa yang ia serukan, tidak boleh ia berbicara sepatah katapun yang ia tidak mengetahui ilmunya. Inilah makna dari hadits Nabi:

بَلِّغُوْا عَنِّي وَلَوْ ايَة

“Sampaikanlah apa-apa dariku walaupun satu ayat.”

Jika hanya satu ayat atau hadits yang ia ketahui dengan benar, maka sebatas itu pula yang boleh ia katakan, tidak boleh lebih. Allah berfirman:

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra’: 36)

 

Memberikan Keteladanan

Inilah hal yang tidak banyak dimiliki oleh para da’i kontemporer. Kiprah amalnya tak selincah lidahnya tatkala di atas mimbar. Wajar jika tak banyak merubah kondisi pendengar, alih-alih hanya mendapat tepukan tangan, acungan jempol atau guyonan yang dan lelucon. Mimbar dakwah dan majlis ilmu nyaris tak beda dengan hiburan lawak dan tontonan murahan.

Baca Juga: Dakwah: Mencari Kawan Atau Mencari Lawan?

Peristiwa yang dialami Imam Tabi’in Hasan Al-Bashri menjadi bukti, betapa keteladanan memberikan support luar biasa bagi mad’u untuk mengikuti wejangannya. Beberapa kali beliau diminta menjelaskan fadhilah memerdekakan budak saat berkhutbah jum’at, namun tak segera beliau kabulkan usulan itu, hingga pada suatu hari Jumat baru Ia sampaikan tentang hal itu. Seketika, ratusan bahkan ribuan budak dimerdekakan.

Beliau ditanya, mengapa tidak dari dahulu menyampaikan materi itu sehingga manfaatnya dapat dirasakan lebih awal? Beliau memberikan alasannya, karena baru saat itu ia mampu membeli budak dan memerdekakannya. Subhanallah!

 

Tulus dari Hati

 Hamdun bin Ahmad rahimahullah pernah ditanya, “Mengapa perkataan salaf lebih bermanfaat dibandingkan perkataan kita?” Beliau menjawab, “Karena mereka berbicara demi kemuliaan Islam, keselamatan diri dan mencari ridha Allah. Sementara kita berbicara untuk kemuliaan diri, mengejar dunia  dan mencari ridha manusia.”

Inilah rupanya yang membedakan kita dengan pendahulu kita yang shalih. Wajar jika hasil yang diraih demikian nyata selisihnya. Jika mubaligh hanya ingin mempertontonkan kehebatan orasinya, memamerkan lihainya lidah untuk berbicara dan unjuk kebolehan dalam memaparkan dongeng jenaka dan membuat orang tertawa, adakah yang dihasilkan dakwahnya selain untuk menonjolkan dirinya? Ini adalah pengkhianatan terhadap tujuan dakwah itu sendiri.

Seharusnya seorang da’i tatkala berdakwah, secara tulus mendambakan adanya perubahan mad’u ke arah yang lebih baik, merindukan sekiranya pendengar yang masih bermaksiat segera menghentikannya, berharap kepada Allah agar menurunkan hidayah kepada  mereka. Akhlak mulia inilah yang disandang oleh guru besar dan teladan para da’i, Muhammad ﷺ hingga dipuji Allah dalam firman-Nya:

“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu’min.” (QS. At-Taubah: 128)

Ucapan yang hanya datang dari lisan semata, tidak akan masuk menghujam hati dan jiwa  melainkan hanya seperti pepatah “masuk telinga kanan keluar lewat telinga kiri”, namun ucapan yang muncul dari dalam hati akan singgah pula di hati yang mendengarnya, innama minal qalbi yasiiru ilal qalbi, demikian yang diutarakan Hasan Al-Bashri rahimahullah, Wallahu a’lam

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Dakwah/Terkini

Dakwah Viral, Positifkah?

Dunia dakwah kita dikejutkan dengan beberapa fenomena menarik. Beberapa ustadz muda tersandung kalimat yang tidak mengenakkan hati ummat. Mereka pada akhirnya minta maaf dan kemudian umat pun memaafkan kesalahan-kesalahan mereka.

Beberapa faktor yang menjadi penyebabnya adalah ketimpangan antara teks dan konteks. Di saat teks berdiri sendiri tanpa konteks maka teks akan mudah disalahpahami. Sementara jika orang hanya melihat pada teksnya saja, mereka akan selalu mudah untuk memvonis hal hal yang mereka tidak ketahui.

Saat seorang dai berceramah dengan metode live, lalu dengan metode ini dakwahnya langsung bisa dinikmati melalu saluran internet, tentu saja para pemirsa online ini tidak secara menyeluruh mengetahui bagaimana konteks itu dibangun. Mereka tidak mengikuti dari awal. Mereka hanya menyimak potongan-potongan video saja. Alhasil mudah sekali bagi mereka untuk mengambil kesimpulan yang keliru.

Tak dapat dipungkiri akhirnya sering muncul salah sikap yang berlebihan. Apalagi jika sang dai memang selama ini ditunggu tunggu kesalahannya. Sehingga saat sang dai melakukan kesalahan, pihak pihak yang tidak suka dengan sangat mudah melakukan sebuah penyerangan.

majalah ar-risalah, ustadz viral
Ustadz Hanan at-Taqi, salah satu ustadz viral di kalangan anak muda

Dakwah Online

Satu sisi memang dakwah online adalah sebuah kebutuhan. Namun di sisi lain para dai harus berhati-hati dengan fenomena ini. Konten yang disampaikan di sebuah masjid dengan pendengar terbatas, tentu sangat berbeda dengan konten yang disebarluaskan secara massif. Apa apa yang disampaikan di dalam masjid tentu saja aman karena tidak tersebar secara bebas. Selain itu juga sangat minim untuk berpeluang disalahpahami. Sedangkan ketika konten dakwah itu keluar masjid dan disebarluaskan tanpa editing, maka penyebutan nama dan yang lainnya bisa menyentuh ranah pelanggaran hukum.

Minimal ketika ada pihak-pihak yang tidak suka, mereka dengan mudah melakukan penyerangan terhadap sosok dai tersebut. Penyerangan yang terjadi bisa dalam bentuk pemberian gelar gelar yang buruk yang tidak produktif untuk keberlangsungan dakwah islam.

Maka ke depan perlu ditata ulang bagaimana mekanisme dakwah via online. Jangan sampai semangat dalam dakwah online membuat para dai lengah dan tidak mempersiapkan diri dengan baik. Memviralkan video itu baik, tetapi juga video yang diviralkan tidak disertai dengan pemahaman akan resiko dan yang lainnya, maka akan menumbuhkan persoalan yang baru.

Setiap dai harus sadar sesadar-sadarnya bahwa ketika mereka berdakwah via online, akan ada banyak orang yang mendengar ucapannya. Akan ada banyak pihak yang mungkin terkena dakwahnya. Sehingga reaksi akan mungkin sangat muncul setelah dakwah disampaikan. Jika para dai sudah mengukur resiko itu maka tidak akan menjadi masalah. Namun, jika ternyata para dai tidak memahami resiko tersebut, dan justru malah memilih serampangan dalam dakwahnya, maka hal ini tentu saja menimbulkan masalah-masalah baru.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ”Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaaf: 18).

Kecepatan viral sebuah konten dakwah akan berpengaruh pada sikap masyarakat terhadap dakwah itu sendiri. Jika dai dalam berdakwah melalui dunia maya hanya mementingkan faktor popularitas, maka ini merupakan sebuah tujuan yang salah. Apalagi saat ini banyak dai yang sangat melek dalam dunia medsos. Mereka satu sisi ingin konten dakwah mereka diterima secara luas. Tapi sisi lain mereka harus berani melawan keinginan nafsu mereka untuk terkenal.

Maka ada beberapa dai yang sangat serius menggarap konten dakwahnya dengan memilih tema-tema yang sedang hangat di masyarakat. Bahkan tidak jarang mereka memilih menjadi dai yang penuh kontroversi. Sehingga dampaknya mereka menjadi mudah sekali dikenal dimasyarakat melalui video-video dakwahnya. Hal ini baik baik saja selama niatnya memang semata mata untuk dakwah. Maka setiap dai yang melakukan ini harus terus berupaya membersihkan hatinya dari niat niat yang tidak perlu.

Disaring Sebelum Disharing

Ada baiknya setiap lembaga dakwah memerhatikan soal editing dalam dakwahnya. Memerhatikan apakah jika konten dakwah itu disebar secara viral akan menyebabkan sebuah masalah ataukah tidak. Sebab, prinsip dakwah adalah menyampaikan kebenaran dan bukan mengolok-olok sebuah kesalahan. Jangan sampai kebenaran belum sempat tersampaikan, akan tetapi dakwah sudah terlanjur ditolak oleh pihak pihak lain.

Penyaringan konten dakwah juga dalam rangka untuk menjembatani ketimpangan antara teks dan konteks yang saya sebutkan di awal. Ketika orang hadir dalam majelis bersama dengan ustadz yang menyampaikan, tentu saja berbeda dengan orang yang hanya menyimak secara online. Mereka yang menyimak secara online tidak akan merasakan atmosfer kajian yang ada di masjid itu. Mereka tidak mendapatkan kehangatan dan semangat yang sama.

Lalu apa yang terjadi? Orang-orang yang berada dalam satu majelis bisa jadi merasakan bahwa kesalahan sang ustadz dalam ceramah adalah bagian dari bumbu retorika karena terbawa suasana. Sedangkan orang yang hanya menyimak via online memiliki semangat yang berbeda. Mereka menyimak bukan untuk mencari kebenaran, tetapi mencari kesalahan kesalahan yang mungkin saja dilakukan ustad tersebut.

Harapan ke depan dakwah kita semakin lama semakin banyak menjangkau berbagai kalangan. Tentu saja dengan meminimalkan masalah dan membesar maslahat yang ada. Karena jika yang dibesarkan adalah masalahnya, maka dakwah hanya akan jalan di tempat saja dan tidak ada progress yang berarti.

 

Oleh: Ust. Burhan Shadiq/Realitas