Memulai Perayaan Tertentu dan Seminar Dengan Pembacaan Ayat Suci Al Qur’an

Apa hukum memulai perayaan, seminar dan perkumpulan dengan membaca (beberapa ayat) dari Al-Qur’an?

Alhamdulillah

Bukan termasuk sunnah, karena bukan bagian dari petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya –menurut sepengetahuan kami-. Terus menerus melakukan hal tersebut termasuk mengamalkan bid’ah dalam agama dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: “Bahwa lembaga pendidikan tertentu ingin memulai siaran radio hariannya dengan membaca beberapa ayat dari al Qur’an.”

Beliau menjawab:

“Sebaiknya tidak menjadikan hal itu menjadi sunnah yang terus menerus, maksud saya: memulai dengan membaca al Qur’an pada awal pembukaan radio tersebut; karena membuka dengan membaca al Qur’an adalah ibadah, sedangkan ibadah membutuhkan tuntunan dari syari’at.

Saya tidak mengetahui bahwa syari’at mensyari’atkan kepada ummat untuk memulai tulisan dan perkataannya dengan al Qur’an yang mulia, namun jika seseorang memulai ceramahnya dengan membaca beberapa ayat yang sesuai dengan temanya sebagai kalimat pembuka, hingga ada gambaran bahwa pembicara tersebut akan menyampaikan arti dari ayat yang telah dibacanya tersebut, maka hal itu baik tidak masalah.

Contohnya jika tema ceramahnya tentang puasa, lalu ada salah seorang yang membacakan ayat-ayat puasa sebelum memulai ceramahnya, atau tema ceramahnya tentang haji misalnya, sebelum dimulai ada seseorang yang membaca ayat-ayat haji, maka hal ini tidak masalah; karena ada kesesuaian, hingga seakan menjadi kalimat pembuka dari ceramah tersebut.

Adapun menjadikannya sunnah yang terus menerus dilakukan sebelum memulai ceramah, atau setiap kali akan berbicara selalu membaca al Qur’an terlebih dahulu, maka hal ini bukan termasuk sunnah.”

Hukum Mengucapkan, “Saudaraku ….

Pertanyaan :
Apa hukum mengucapkan kepada orang kafir dengan ucapan ‘saudaraku’, juga ucapan ‘kawanku’ atau ‘temanku’ serta apa hukum tersenyum kepada mereka untuk meraih simpatinya?

jawab :

Ucapan saudaraku kepada orang kafir hukumnya haram, tidak boleh diucapkan kecuali kepada seseorang yang memang saudaranya berdasarkan garis keturunan atau karena susuan. Demikian ini, karena jika tidak ada tali persaudaraan secara garis keturunan atau susuan maka tidak ada lagi tali persaudaraan kecuali persaudaraan karena agama. seorang kafir bukan saudara bagi seorang mukmin dalam agamanya.

Allah pun mengingkari ucapan Nabi Nuh dalam hal ini, sebagaimana firmanNya :

“dan Nuh berseru kepada Rabnya sambil berkata: “Ya Rabku, Sesungguhnya anakku Termasuk keluargaku, dan Sesungguhnya janji Engkau Itulah yang benar. dan Engkau adalah hakim yang seadil-adilnya. Allah berfirman: “Hai Nuh, Sesungguhnya Dia bukanlah Termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan).”

BACA JUGA : Shalat Tanpa Wudu Karena Lupa

Adapun ucapan ‘kawanku’ atau ‘temanku’ atau yang serupa ini, jika yang dimaksud hanya sebagai sapaan kaena tidak mengetahui namanya, maka ini tidak apa-apa, tapi jika yang dimaksud adalah karena kecintaan dan merasa dekat dengan mereka, maka Allah telah berfirman :

“kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, Sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.”

Maka setiap ungkapan halus yang bermaksud kecintaan tidak boleh dilontarkan oleh seorang mukmin kepada orang kafir, Demikian juga tersenyum kepada mereka untuk meraih simpati di kalangan mereka.

Fatawa al ‘aqidah, syaikh Ibnu Utsaimin. dinukil dari fatwa-fatwa terkini, Darul Haq, hal 378-379 .

Menghimpit Orang Kafir Ke Pinggir Jalan

Pertanyaan :

Disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari sahabat Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “jika kalian menjumpai salah seorang mereka di suatu jalan, himpitlah ia ke pinggir.” bukankah hal ini akan membuat mereka enggan untuk masuk Islam?

jawab :

Harus kita ketahui, bahwa sebaik-baik pendakwah dan pembimbing ke jalan Allah adalah Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam. jika kita mengetahui itu, maka pemahaman apapun yang kita pahami dari ucapan Rasulullah yang ternyata bertentangan dengan hikmah, harus kita akui bahwa pemahaman kita itu patut dikoreksi, dan hendaknya kita ketahui, bahwa pemahaman kita tersebut keliru.

Arti dari hadits tersebut, adalah janganlah kalian berlapang-lapang untuk mereka saat berjumpa sehingga mereka mendapat lahan lebih luas dan kalian lebih sempit, tetapi teruslah berjalan pada arah kalian dan biarkanlah kesempitan terjadi pada mereka. hal ini bukan berarti bila melihat orang kafir langsung memepetkannya ke dinding hingga menyentuhnya, karena Nabi tidak pernah melakukan hal ini terhadap kaum yahudi di Madinah, begitu pula para sahabat juga tidak pernah melakukannya setelah pembebasan berbagai wilayah.

hadits ini tidak berarti membuat mereka lari dari Islam (enggan memeluk Islam), tapi justru ini menunjukkan kemualian seorang muslim, dan bahwa seorang muslim tidak menghinakan dirinya kepada orang lain kecuali pada Rabnya.

Majmu’ah Fatawa wa Rasail, Syaikh Ibnu Utsaimin, dinukil dari fatwa-fatwa terkini, Darul Haq, hal 406-407.