Suami Saya Enggan Shalat, Bagaimana Hukum Pernikahan Kami?

PERTANYAAN:  

Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.

Maaf Ustadz, saya mohon pertimbangannya. Suami saya jika disuruh shalat wajib susah. Dia hanya menjawab, kalau kamu ikut campur urusanku mending bercerai saja. Saya bingung karena sudah punya dua orang putri. Putri yang kecil sangat dekat dengan ayahnya. Saya baca di ar-Risalah edisi pernikahan impian. Saya jadi merasa berkecil hati. Yang saya tanyakan, bagaimana hukum pernikahan kami? Waktu Ramadhan ia berpuasa dan shalat Jum’at, sedang yang lain tidak. Sekian jazakumullah khairan katsiran.

Wassalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.

Ummu Abdillah, di bumi Allah

 

JAWABAN:

Wa’alaikum salam wa rahmatullahi wa barakatuh.

Ukhti fillah yang sedang bingung, saya bisa memahami kegelisahan anda dengan kondisi suami yang seperti itu. Mestinya sebagai imam keluarga, dialah yang menyuruh isteri dan anak-anaknya untuk mendirikan shalat, bukan sebaliknya. Kondisi seperti ini jelas tidak nyaman. Semoga anda segera memperoleh jalan keluar yang terbaik, insyaallah.

Menurut saya, masalah suami anda adalah masalah yang serius. Shahabat Umar radhiyallahu ‘anhu pernah berkata bahwa barangsiapa yang meremehkan shalat, maka dalam urusan selainnya dia akan lebih meremehkan lagi. Penjelasannya, kalau tentang hak Allah saja seseorang berani meremehkan, apalagi hak selain-Nya?

Carilah waktu untuk berbicara dari hati ke hati agar dia mengerti apa yang anda maui. Ingatkan juga tentang tujuan pernikahan kalian, dan tanggung jawab yang akan dipikulnya di akhirat kelak, jika dia meremehkan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga. Katakan juga bahwa hal ini bukan urusannya saja, namun urusan seluruh anggota keluarga.

Ajaklah dia untuk hadir di majelis pengajian, agar pemahamannya tentang agama semakin bertambah baik. Temanilah dia dalam proses mencari nikmatnya ibadah, agar dia tidak menganggap shalat dan ibadah yang lain hanya merepotkan dan melelahkan. Jangan lupa untuk selalu berdoa agar Allah membukakan pintu hatinya untuk kebenaran. Yakinlah, doa adalah kekuatan utama ketika semua rumusan akal telah menemui jalan buntu.

Ukhti fillah, seandainya semua cara sudah ditempuh dan dia tetap kukuh untuk tidak mengerjakan shalat, bersiap-siaplah untuk mengajukan khulu’, yaitu pengajuan perceraian dari pihak isteri. Pedih memang. Namun ini adalah jalan terakhir, sebab tidak ada yang bisa diharapkan dari laki-laki seperti ini. Sebelum kesedihan anda akan bertambah-tambah.

Yakinlah Allah akan memberikan petunjuk terbaiknya jika anda melakukan semuanya karena Allah, bukan karena hawa nafsu saja. Karena itu, serahkan semuanya kepada-Nya saja. Wallahu a’lam,

Demikian, semoga bermanfaat!

 

Dijawab oleh: Ust. Tri Asmoro K

 

Baca Konsultasi Lainnya: 

Saya Rajin Ibadah, tapi Mengapa Jodoh tak Kunjung Datang?

Selalu Kena Marah Ibu Mertua, Bagaimana Solusinya?

Suami Punya Hutang, Apakah Istri Harus Melunasinya?

 

Milikilah Rasa Cemburu

Pagi itu, sepasang suami istri turun dari motornya dipelataran sebuah mall yang cukup besar. Sang istri meraih tangan suaminya dan mencium punggung tangan suaminya. Mesra sekali. Sang istri kemudian masuk ke dalam mall sementara sang suami pergi, mungkin pulang ke rumahnya. Saya lupakan kejadian itu, tapi sekilas kemudian saya berpikir, tidak kah sang suami tadi cemburu melepaskan sang istri bekerja bahkan mengantarnya dari rumah menuju tempat kerjanya sementara tampak riasan tebal dengan beraneka polesan make-up di wajah istrinya. Pakaiannya pun ‘sekadarnya’ dengan menampakkan aurat di sana-sini yang mestinya hanya dimiliki oleh suami. Sudah pudarkah rasa cemburu dari diri suami hingga rela melepaskan istri dalam kondisi seperti tadi.

Ketika cemburu sirna, keruntuhan akhlak akan menimpa. Ketika suami tak lagi memiliki cemburu terhadap istrinya maka tak ada alasan baginya untuk menjaga istrinya dengan baik. Menjaganya dalam istana yang mulia agar tidak terjamah tatapan mata dan sentuhan tangan yang tak memiliki hak atasnya. Rasa cemburulah yang dapat mendorong suami untuk menjaga istrinya agar tidak melakukan hal-hal yang dilarang Allah.

Cemburu Itu Perlu

Dalam Islam suami dituntut untuk memiliki rasa cemburu kepada istrinya, sehingga ia tidak menghadapkan istrinya kepada perkara yang mengikis rasa malu dan mengeluarkannya dari kemuliaan.

Saad bin ‘Ubadah radhiallahu ‘anhu pernah berkata dalam mengungkapkan kecemburuan terhadap istrinya, “Seandainya aku melihat seorang laki-laki bersama istriku niscaya aku akan memukul laki-laki itu dengan pedang (yang dimaksud bagian yang tajam, red.)…”

Nabi kemudian bersabda,“Apakah kalian merasa heran dengan cemburunya Sa’d? Sungguh aku lebih cemburu daripada Sa’d, dan Allah lebih cemburu dariku.” (Sahih, HR. Bukhari dan Muslim).

Asma’ bintu Abi Bakr ash-Shiddiq bertutur tentang dirinya dan kecemburuan suaminya,

“Az-Zubair menikahiku dalam keadaan ia tidak memiliki harta dan tidak memiliki budak. Ia tidak memiliki apa-apa kecuali hanya seekor unta dan seekor kuda. Akulah yang memberi makan dan minum kudanya. Aku yang menimbakan air untuknya dan mengadon tepung untuk membuat kue. Karena aku tidak pandai membuat kue maka tetangga-tetanggaku dari kalangan Anshar-lah yang membuatkannya. Mereka adalah wanita-wanita yang jujur. Aku yang memikul biji-bijian di atas kepalaku dari tanah milik az-Zubair yang diserahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bagiannya. Jarak tempat tinggalku dengan tanah tersebut 2/3 farsakh.

Baca Juga: Doa Untuk Keshalihan Keluarga

Suatu hari aku datang dari tanah az-Zubair dengan memikul biji-bijian di atas kepalaku, maka aku bertemu dengan Rasulullah beserta sekelompok orang dari kalangan Anshar. Beliau memanggilku, kemudian menderumkan untanya agar aku naik ke atasnya.
Namun aku malu untuk berjalan bersama para lelaki dan aku teringat dengan az-Zubair dan kecemburuannya, sementara dia adalah orang yang sangat pencemburu
.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui bahwa aku malu maka beliau pun berlalu. Aku kembali berjalan hingga menemui az-Zubair. Lalu kuceritakan kepadanya, ‘Tadi aku berjumpa dengan Rasulullah dalam keadaan aku sedang memikul biji-bijian di atas kepalaku, ketika itu beliau disertai oleh beberapa orang sahabatnya. Beliau menderumkan untanya agar aku dapat menaikinya, namun aku malu dan aku tahu kecemburuanmu’.” (Sahih, HR. Bukhari dan Muslim).

Demikianlah cemburunya orang-orang mulia. Cemburu bukan berarti posesif dan selalu berprasangka buruk kepada istri. Sehingga ia harus selalu mengunci pintu saat pergi dan meninggalkan istrinya di dalam rumah. Sebab istri shalihah tahu batas hak dan kewajibannya sehingga dia akan menjaga harga dirinya dan suaminya.

Bahkan Allah Pun Cemburu

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam ad-Da’ wa Dawa menuturkan bahwa bara dan panasnya cemburu akan menyaring kejelekan dan sifat tercela, sebagaimana emas dan perak dibersihkan dari kotoran yang mencampurinya. Orang-orang mulia dan tinggi harga dirinya pasti memiliki cemburu yang besar terhadap dirinya dan orang-orang yang dekat dengannya, juga terhadap orang lain secara umum. Karena itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling memiliki rasa cemburu terhadap umatnya. Dan cemburunya Allah ‘azza wa jalla lebih dibanding beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ أَحَدَ أَغْيَرَ مِنَ اللهِ، وَلِذَلِكَ حَرَّمَ الْفَوَاحِشَ ما ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ

“Tidak ada satu pun yang lebih cemburu daripada Allah. Karena cemburu-Nya inilah Dia mengharamkan perbuatan keji baik yang tampak maupun yang tersembunyi.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 5220 dan Muslim no. 2760)

Hilangnya Cemburu

Dari paparan Ibnu Qayim diatas, kita bisa mengetahui bahwa barangsiapa mengabaikan sifat cemburu maka ia hidup dengan hati yang rusak dan melenceng dari fitrahnya. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada ad-dayyuts pada hari kiamat, dan tidak akan memasukkannya ke dalam surga.”

Siapakah ad-Dayyuts? Dayuts adalah seorang suami yang tidak memiliki sifat cemburu dan membiarkan isterinya berbuat maksiat. Dan sebaliknya, suami yang terlalu berlebihan rasa cemburunya akan hidup sengsara dan tersiksa, bahkan jarang seorang istri yang mampu hidup lama dengannya, karena selalu merasa diawasi dan merasa tertekan.

Baca Juga: Istri Shalihah Pendukung Dakwah

Cemburu yang tepat akan membawa dampak positif, terpeliharanya harga diri, kehormatan dan tercapainya kehidupan yang berbahagia. Tanpa rasa cemburu akan membawa malapetaka bagi kehidupan rumah tangga.

Peradaban barat yang dapat dengan mudah kita saksikan di televisi banyak dipahami oleh masyarakat sebagai ukuran kemajuan dan keterbukaan. Masyarakatpun mengadopsi budaya tersebut sedikit demi sedikit. Tak jarang seorang suami justru bangga saat kecantikan istrinya bisa dinikmati orang banyak. Alangkah kacaunya rumahtangga saat cemburu tak lagi ada. Wallahu a’lam. (Redaksi/Keluarga/Nikah)

 

Tema Terkait: Pasutri, Keluarga, Fikih Nikah 

Nikah di Bulan ‘Sura’ Bakal Celaka?

Pada bulan Muharram atau yang akrab ditelinga masyarakat Indonesia terutama Jawa dengan sebutan Sura kali ini, banyak sekali mitos-mitos yang masih menjadi keyakinan dan masih mereka pegang erat-erat. Sehingga banyak dari mereka yang takut untuk melakukan kegiatan semisal; bepergian ke tempat jauh, mengadakan pesta pernikahan, membangun rumah dan semisalnya.

Tidak ada alasan ilmiyah mengapa sedemikian diyakini dan dipegang erat-erat mitos-mitos tersebut kecuali karena doktrin turun-temurun dari nenek-moyang dan para pendahulu mereka. Ada yang menyangkakan bahwa Sura adalah bulannya Nyi Roro Kidul, jadi kalau ada yang nekat mengganggu urusannya, ia akan marah dan mengganggu siapa yang mengusiknya. Adapula yang menyangka bila Sura adalah bulannya para raja Jawa terdahulu sehingga tidak sopan melakukan ritual di bulan ini.

Baca Juga: Melangkahi Kakak Menikah

Salah satu ritual yang dihindari di masyarakat pada bulan ini adalah mengadakan pesta pernikahan. Pernikahan adalah prosesi sakral yang istimewa dan bernilai ibadah. Namun ada saja yang terlalu ekstrim menyakralkan hal tersebut. Imbasnya ketika menentukan pasangan nikah dan hari pernikahan didasarkan pada primbon keyakinan yang diakui masyarakat, seperti; bila menikah di bulan Sura akan mendatangkan musibah dan pasangan suami-istri tak akan bertahan lama, bila dia tinggal di sebelah timur, maka menurut primbon dia tidak baik menikah dengan yang tinggal diarah barat atau semisalnya. Yang semua keyakinan tersebut tidak pernah diajarkan oleh Islam.

Muharram (Sura) adalah salah satu bulan mulia dalam Islam. Allah memuliakan amalan dan melipat gandakan pahala sebuah amalan seringkalinya karena ikatan waktu dan tempat pelaksanaan. Misalnya; ibadah di bulan Ramadhan pahalanya berlipat ganda, karena waktu bulan tersebut adalah bulan yang mulia. Misal lainnya, orang yang berdoa di Masjidil Haram dan shalat disana tentunya pahala dan kemuliaannya berbeda dari masjid pada umumnya, karena tempatnya bernilai mulia. Begitu juga melakukan kebaikan di bulan Muharram tentunya akan bernilai keutamaan yang lebih daripada bulan-bulan lainnya, karena kemuliaan waktu yang ada padanya. Maka, tidak elok rasanya bila bulan mulia ini justru dijadikan bulan yang menakutkan sebagaimana keyakinan masyarakat pada umumnya.

Berhubungan dengan hukum nikah di bulan Muharram, tidak ada dalil yang melarangnya dan tidak ada satupun ulama yang melarangnya berdasarkan qiyas maupun ijma’. Oleh karenanya kembali kepada hukum asal semua perbuatan, yaitu boleh selama tidak ada dalil yang mengharamkan perbuatan tersebut. Sebagaimana kaidahnya berbunyi:

أن الأصل في العادات والأفعال الإباحة ، ما لم يرد دليل التحريم

“Hukum asal dari kebiasaan dan perbuatan adalah mubah (boleh), selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.”

Ali Menikahi Fathimah di Awal Bulan Muharram

Bila ada sebagian orang yang masih mempercayai mitos, ada baiknya kita mencontoh Sahabat mulia Ali bin Abi Thalib.

Ali radhiyallahu ‘anhu menikahi ibunda Fathimah pada tahun ketiga setelah peristiwa hijrah. Adapun ia menikahinya pada awal-awal hari di bulan pertama tahun Hijriyah, yang bermakna bulan tersebut adalah bulan Muharram. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Katsir dalam kitab ‘Al-Bidayah wan Nihayah: 3/419.

Baca Juga: Antara Adat Sura dan Keutamaan Asyura

Ali radhiyallahu ‘anhu dan sayidah Fathimah menjadi pasangan yang romantis dan bahagia hingga ajal menjemput mereka berdua, dan mereka tidak terkena sedikitpun musibah karena menikah pada bulan Sura.

Jadi tidak ada hubungan antara menikah di bulan Muharram (Sura) dengan mitos yang mengatakan bahwa akan mendatangkan musibah, bala dan kerusakan. Semua hal tersebut adalah keyakinan bathil yang harus kita jauhi. Wallahu a’lam. (Nurdin/Terkini/Syubhat)

 

Tema Terkait: Terkini, Syubhat, Pernikahan

Wali Nikah Sekaligus Calon Suami

Pertanyaan: 

“Saya ingin menikahi anak perempuan paman saya dari jalur bapak, sedangkan saya adalah walinya karena perwaliannya diwakilkan kepada saya, kami tidak mempunyai kerabat dari ashabah (jalur laki-laki) juga tidak ada saudara laki-laki, dan tidak ada yang menggantikan saya untuk menjadi walinya, apakah saya harus mengatakan kepadanya: “Saya menikahkan anda dengan saya” dengan disaksikan oleh para saksi, dan dia menjawab: “Saya terima”, atau saya harus mewakilkan kepada bapak penghulu? Atau apa yang harus saya lakukan?”

 

Jawaban: 

Alhamdulillah

Jika wali seorang wanita adalah anak laki-lakinya paman dari jalur bapak dan dia ingin menikahinya, maka hal tersebut tidak masalah jika dia mau menerimanya.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: “Seorang wali dari wanita yang dia boleh menikahinya adalah anak laki-laki dari paman jalur bapaknya, tuannya, hakim atau penguasa dengan syarat jika wanita tersebut mau menikah dengannya, maka silahkan saja”. (Al Mughni: 7/360)

 

Opsi Pertama

Dalam kondisi seperti itu maka dia boleh menikahkan dirinya sendiri dan wanita tersebut karena dia sebagai walinya dengan mengatakan: “Saya telah menikah dengan anda” atau “saya menikahkan diri sendiri dengan fulanah” atau dengan ungkapan lain yang serupa. Dan tidak membutuhkan jawaban: “Saya terima”; karena seorang wanita tidak berhak terlibat langsung dalam akad nikah tidak untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain, namun walinya yang mengakadkan.

 

Opsi Kedua

Wali tersebut juga boleh mewakilkan perwaliannya kepada seseorang, baik wakil tersebut sebagai penghulu atau tidak. Maka wakil tersebut mengatakan: “Saya nikahkan anda dengan fulanah”, sedangkan dia (wali aslinya) menjawab: “Ya, saya terima”. Maka dengan ini akad nikah dianggap sah. Kedua opsi tersebut pernah dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum.

Imam Bukhori rahimahullah berkata:

“Bab Jika seorang wali menjadi mempelai laki-lakinya, Mughirah bin Syu’bah telah menikahi seorang wanita, yang dia sendiri adalah orang yang paling berhak atas wanita tersebut (sebagai walinya). Maka dia menyuruh seseorang untuk menikahkan dengannya.”

Abdurrahman bin Auf berkata kepada Ummu Hakim binti Qaridz: “Apakah anda menyerahkan urusan anda kepada saya?, dia berkata: “Ya”. Dia menjawab: “Berarti saya telah menikahi anda”.

‘Atha’ berkata: “Agar disaksikan bahwa saya telah menikahi anda atau agar salah seorang dari kerabat anda diminta (untuk menikahkan).”

(Al Baani menshahihkan riwayat Mughirah bin Syu’bah dan Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘ahuma dalam Irwa’ul Gholil: 1854-1855)

Namun perlu diketahui bahwa dua opsi akad tersebut harus disaksikan.

Wallahu a’lam. (Redaksi/Islamqa/Nikah

 

Baca Juga:

 

Tema Terkait: Pernikahan, Fatwa, Fikih