Hukum Badal Haji; Menggantikan Orang Untuk Pergi Haji

 

Assalamu’alaikum warahmatullah. Ustadz, apa hukum badal haji? yaitu seseorang yang menyediakan dirinya menghajikan orang lain dengan biaya dari yang dihajikan. Apakah yang dihajikan mendapat pahala haji dan kewajibannya gugur? Bolehkah satu orang menghajikan 10 orang dengan satu kali haji? Syukran atas jawabannya.

 

Waalaikumussalam warahmatullah,

الْحَمْدُ لِلهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَ هُدَاهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Kebanyakan fuqaha empat madzhab berpendapat, dibolehkan—bahkan ada yang mewajibkan—melaksanakan ibadah haji atas nama orang lain yang sudah meninggal dan ia belum berhaji, atau atas nama orang yang sakit dengan tanpa kemungkinan sembuh, padahal ia memiliki harta yang cukup. Rincian pendapat mereka sebagai berikut:

Para ulama madzhab Hanafi menyatakan, jika seseorang menderita sakit atau berudzur sehingga ia tidak mampu menunaikan haji padahal ia punya harta, ia harus menghajikan seseorang atas nama dirinya. Syaratnya, udzur itu ada sampai ia mati. Adapun orang yang menunda-nunda sehingga ia mati belum menunaikan haji, sah untuk dihajikan, bahkan ia wajib berwasiat untuk itu.

Menurut para ulama madzhab Malik, tidak dibolehkan sama sekali mewakilkan haji, kecuali orang yang sudah meninggal dunia, itupun jika ia berwasiat. Maka, sah—tetapi makruh—dan hanya boleh menghabiskan 1/3 hartanya. Orang yang lumpuh tidak boleh dihajikan karena ia memang tidak mampu menunaikannya.

Baca Juga: Tanda Haji Kita Diterima

Para ulama madzhab Syafi’i membolehkan haji atas nama orang yang masih hidup dalam dua keadaan:

  • Pertama, ketika seseorang berudzur secara fisik, namun secara finansial mampu. Yakni orang yang sakit, lumpuh, atau sebab lain. Bahkan, jika jelas-jelas didapatinya orang yang bisa diupahnya dengan upah yang wajar untuk menunaikan haji atas namanya, ia harus melakukannya.
  • Kedua, orang yang menjelang ajal dan ia belum menunaikan haji. Orang ini wajib berwasiat kepada ahli warisnya untuk menunaikan haji atas namanya dari harta warisannya, sebagaimana dibayarkan hutang-hutangnya. Jika tidak ada biaya, maka meskipun tidak berwasiat, boleh bagi ahli waris atau orang lain untuk menunaikan haji atas namanya.

Seperti halnya para ulama madzhab Syafi’i, para ulama madzhab Hambali membolehkan mewakilkan haji dalam dua keadaan:

  • Pertama, orang yang punya udzur: usia lanjut, lumpuh, sakit yang nyaris tanpa harapan sembuh, dan perempuan yang tidak mempunyai mahram. Jika mendapati seseorang yang dapat mewakilinya, maka ia harus mewakilkan pelaksanaan haji kepadanya dengan biaya darinya.
  • Kedua, seseorang yang meninggal dunia dan ia wajib menunaikan haji, namun ia belum menunaikannya; baik karena ia menunda-nunda maupun karena ada udzur. Maka, wajib dikeluarkan dari hartanya, meskipun ia tidak berwasiat.

 

Dalil dan Syarat Badal Haji

Dalil dibolehkannya mewakilkan haji di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, dan empat penyusun kitab Sunan dari Ibnu ‘Abbas dan yang lain bahwa ada seorang perempuan dari Khats’am bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ayahku baru mampu (secara finansial) untuk menunaikan haji setelah beliau tua renta. Beliau tidak dapat tegak duduk di atas onta.” Rasulullah saw menjawab, “Berhajilah atas namanya!”

Hadits ini dan hadits-hadits lain yang semakna menunjukkan bahwa mewakilkan haji atau badal haji dibolehkan.

Meskipun diperbolehkan, para ulama menetapkan beberapa syarat yang harus dipenuhi. Syarat-syarat itu sebagai berikut:

  1. Niat—yang terbaik melafalkannya, misalnya, “Saya berhaji atas nama si Fulan.”
  2. Yang dibadali tidak mampu melaksanakan sendiri tetapi punya harta yang cukup untuk membiayai ONH. Jika yang dibadali sehat, haji badal tidak sah. Tentang ini para ulama sudah berijmak.
  3. Udzurnya berkelanjutan seperti lumpuh, ditawan musuh/dijatuhi hukuman seumur hidup, atau sakit tanpa harapan sembuh.
  4. Udzur sudah ada sebelum dihajibadalkan.
  5. Biaya haji dari harta yang dibadali. Kecuali, jika ahli waris dengan sukarela membiayai keberangkatan haji atas nama orang yang dibadali. Jika seseorang yang membadali pelaksanaan haji dengan sukarela membiayai sendiri keberangkatannya, maka tidak sah menurut para fuqaha madzhab Hanafi, tetapi sah menurut para fuqaha madzhab Syafi’i dan Hambali.
  6. Berihram dari miqatnya orang yang dibadali, bahkan menurut para fuqaha madzhab Hambali, harus berangkat dari negeri orang yang dibadali.
  7. Tidak boleh memungut biaya atas pelaksanaan badal haji.
  8. Orang yang membadali harus sudah baligh.
  9. Orang yang membadali harus sudah melaksanakan haji, menurut para fuqaha madzhab Syafi’i dan Hambali. Para fuqaha madzhab Hanafi dan Maliki tidak mensyaratkannya.
  10. Orang yang membadali tidak boleh merusak hajinya.
  11. Tidak boleh juga menyelisihi keinginan yang dibadali. Misalnya orang yang yang dibadali menginginkan haji qiran, lalu orang yang membadalinya melaksanakan haji tamattu’; ini tidak boleh.
  12. Orang yang membadali hanya melaksanakan satu haji, atas nama dirinya atau atas nama orang lain.
  13. Orang yang membadali hanya membadali satu orang.

Kesimpulan

Badal haji dibenarkan menurut Islam, yang dihajikan gugur kewajibannya dan—insya Allah—mendapatkan pahala dari Allah serta gugur kewajibannya. Mengenai apakah boleh satu orang menghajikan lebih dari satu orang, para fuqaha sepakat hal itu tidak boleh. Wallahu a’lam.

 

Dijawab Oleh: Ust. Imtihan asy-Syafi’ie/Konsultasi

Khutbah Jumat: Bila Hati Rindu Haji

KHUTBAH JUMAT

Bila Hati Rindu Haji

 

السلام عليكم ورحمة الله وبركته

إِنَّ الْحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِالله مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ الله فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، صَلَّى الله عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْماً كَثِيْراً

يَاأَيُّهاَ الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ

 يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا {} يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

أما بعد

فإن أحسن الحديث كلام الله و خير الهدي هدي محمد صلى الله عليه وسلم وشر الأمور محدثاتها وكل محدثةٍ بدعة وكل بدعةٍ ضلالة وكل ضلالةٍ في النار

Jamaah Jumat Rahmakumullah

Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah atas limpahan nikmat dan karunia-Nya. Saat ini, kita berkumpul di sini dalam keadaan baik dan sehat. Sementara di tempat lain, saudara-saudara tengah mengalami musibah bencana alam. Ada yang kehilangan keluarga, rumah dan semua isinya bahkan ada yang kehilangan seluruh miliknya. Semoga Allah merahmati kita dan mereka yang terkena musibah, serta memberi mereka kesabaran.

Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad, kepada para shahabat dan orang-orang yang mengikuti jalannya sampai hari kiamat.

Tidak ada nasihat yang lebih baik daripada nasihat yang mengingantkan kita untuk selalu bertakwa dan meningkatkan ketakwaan kepada Allah. Inti dari takwa adalah rasa takut dan waspada terhadap segala hal yang dapat menjerumuskan kita kepada perbuatan yang tidak diridhoi Allah. Seperti kehati-hatian kita saat berjalan di jalan setapak yang banyak lubang dan duri.

Jamaah Jumat Rahmakumullah

Meski tak ada air terjun seindah Niagara di tempat ini. Tak ada pula aneka taman bunga yang indah berseri. Ataupun Dunia Fantasi yang menyenangkan buah hati. Tapi semua pengunjung betah di tempat ini. Banyak hati rindu untuk mendatangi, dan banyak doa terlantun agar bisa mendatangi.

Itulah kota Makkah al-Mukarramah di mana Ka’bah berada di dalamnya. Tak ada tempat ibadah ataupun wisata manapun yang lebih banyak dikunjungi dari tempat ini. Dan tak ada lokasi yang lebih mengesankan dan lebih dirindukan berkali-kali melebihi tempat ini.

Jamaah Jumat Rahmakumullah

Bagaimana seorang muslim tidak merindukannya. Di situlah tempat di mana Islam bermula, tempat di mana Rasulullah dilahirkan, dan di situlah banyak peristiwa-peristiwa besar dan mengesankan terjadi dalam sejarah. Membaca dan mengingat sejarahnya saja, membuat hati kita haru, lantas bagaimana kiranya tatkala kita bisa menginjakkan kaki di sana.

Namun, kerinduan seorang muslim bukan semata-mata karena faktor nostalgia kesejarahan. Lebih dari itu, karena banyak sisi fadhilah dan keutamaan yang bisa didapatkan.

Ibnu Qayyim Al Jauziyah menyebutkan dalam Zaadul Ma’ad, “Allah Ta’ala telah memilih beberapa tempat dan negeri, yang terbaik serta termulia adalah tanah Haram. Karena Allah Ta’ala telah memilih bagi nabinya –shallallahu ‘alaihi wa sallam– dan menjadikannya sebagai tempat manasik dan sebagai tempat menunaikan kewajiban. Orang dari dekat maupun jauh dari segala penjuru akan mendatangi tanah yang mulia itu.”

Itulah tempat yang diberkahi sebagaimana firman Allah Ta’ala,

إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِّلْعَالَمِينَ ﴿٩٦﴾

 “Sesungguhnya pertama kali rumah ibadah yang diletakan untuk manusia adalah yang ada di Makkah yang di berkati dan sebagai petunjuk ( kiblat ) bagi seluruh manusia” (QS.  Ali Imron: 96)

Begitu mulianya tempat itu, hingga shalat yang dikerjakan di dalamnya lebih utama dari seratus ribu shalat di tempat yang lainnya. Rasulullah ﷺ bersabda,

صَلاَةٌ فِى مَسْجِدِى أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ وَصَلاَةٌ فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ

Shalat di masjidku (Masjid Nabawi) lebih utama daripada 1000 shalat di masjid lainnya selain Masjidil Haram. Shalat di Masjidil Haram lebih utama daripada 100.000 shalat di masjid lainnya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah, al-Albani mengatakan, “shahih”)

Wajar, jika kita melihat manusia berduyun-duyun memakmurkan Masjidil Haram setiap waktunya. Bahkan hingga kini, terbilang sulit untuk mencari tempat sujud di dalamnya, terutama di bulan Ramadhan dan musim haji. Bukan karena sempitnya tempat, tapi karena saking banyaknya manusia yang ingin mendapatkan tempat sujud di dalamnya. Butuh kesungguhan dan datang lebih awal  untuk mendapatkan tempat sujud dengan nyaman.

Jamaah Jumat Rahmakumullah

Ke tempat yang mulia itu pula Allah mengundang seluruh manusia untuk haji dan beribadah kepada-Nya, bahkan undangan ini berlaku sejak Nabi Ibrahim alaihissalam diperintahkan untuk menyeru manusia, sebagaimana firman-Nya,

وَأَذِّن فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ ﴿٢٧﴾

“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS Al-Hajj: 27)

Sungguh merupakan karunia besar, jika kita termasuk salah satu yang diberi kekuatan dan kemampuan untuk mendatangi undangan mulia ini.

Haji adalah ritual ibadah tingkat tinggi. Di mana semua potensi dilibatkan dalam prosesi ini. Harta yang tak sedikit harus dicurahkan, segenap tenaga harus dikerahkan, ketegaran mental dan hati mutlak diperlukan. Namun itu semua tak menciutkan nyali orang-orang yang telah merindukannya. Karena hasil yang bisa diraih lebih hebat lagi dari usaha yang dikerahkan.

Betapa tidak, ibadah haji mampu membersihkan dosa-dosa yang kita ‘produksi’ setiap waktunya. Hingga kesempurnaan haji bisa menjadi sebab terhapusnya dosa secara sempurna. Nabi ﷺ bersabda,

مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

“Barangsiapa berhaji ke Ka’bah lalu tidak berkata-kata jorok dan tidak berbuat kefasikan maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Dengan besarnya pengorbanan orang yang berhaji tersebut, maka tidak ada reward atau balasan yang bisa menutup dan mencukupinya selain jannah. Terlalu remeh jika balasan haji hanya sebatas gelar Haji, sebatas bertambahnya relasi atau lancarnya rejeki, Bahkan kenikmatan dunia dan seisinya masih terlalu remeh dan belum cukup untuk mengganjar orang yang berhaji. Dan hanya jannah yang sepadan dan layak diberikan sebagai balasan bagi orang yang berhaji. Rasulullah ﷺ bersabda,

وَالحَجُّ المَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الجَنَّةُ

“Dan haji yang mabrur, tidak ada balasan (yang layak) selain jannah.” (HR Bukhari)

Jadi, hadits ini tidak mengingkari kemungkinan adanya faedah dan keberkahan duniawi yang diperoleh bagi orang yang berhaji. Akan tetapi,  sebagai penekanan bahwa hanya jannah yang bisa mencukupi keutamaan orang yang berhaji.

Jamaah Jumat Rahmakumullah

Meskipun semua orang merindukannya, belum tentu semua mampu menunaikannya. Karenanya, kewajiban haji berlaku hanya bagi orang yang mampu menempuh perjalanannya. Allah berfirman,

وَلِلَّـهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran: 97)

Biasanya, tatkala seseorang membaca ayat ini otomatis tergambar bahwa hanya orang kaya yang bisa berhaji. Sehingga, orang-orang yang belum dikarunia kecukupan harta menjadi ciut nyalinya. Dan tak sedikit diantara kaum muslimin yang belum ada gambaran di benaknya untuk berhaji lantaran melihat minimnya ekonomi.

Ia lupa, bahwa ternyata tak sedikit orang yang miskin namun Allah takdirkan bisa menginjakkan kakinya di Tanah Suci. Sangat menarik dialog seorang tabi’in, Ibrahim bin Ad-ham rahimahullah dengan seseorang yang hendak berhaji.  Suatu kali seseorang yang mengendarai onta melewati Ibrahim bin Adham sedang berjalan kaki, lalu menyapa, “Hendak kemana Anda pergi wahai Ibrahim?” Beliau menjawab, “Saya hendak pergi berhaji.” Orang itu heran dan berkata, “Mana kendaraanmu? Bukankah jalan menuju Mekah itu jauh?” Beliau menjawab, “Saya memiliki banyak kendaraan yang Anda tidak melihatnya.” Makin penasaranlah orang itu lalu bertanya, “Kendaraan apa itu?” Beliau menjawab, “Jika terjadi musibah, kendaraanku adalah sabar, jika mendapatkan nikmat, kendaraanku adalah syukur, dan jika takdir turun, kendaraanku adalah ridha”

Beliau tidak bermaksud mengesampingkan kendaraan pengangkut fisik maupun perbekalan materi. Namun dengan kesiapan hati dan kekuatan mentalnya, seseorang akan mampu mencapai Tanah Suci atau setidaknya memperoleh pahala haji.

Jamaah Jumat Rahmakumullah

Yang mesti dilakukan oleh setiap orang yang merindukan haji adalah mengawalinya dengan niat. Dengan niat yang tulus dan ikhlas, ia tak akan luput dari pahala haji. Bisa jadi dengan niat dan tekadnya yang tulus Allah berkenan memberi kemudahan jalan yang tak disangka-sangka. Dan kisah tentang ini bertebaran dari zaman ke zaman.

Atau jika ternyata Allah tidak mentakdirkan ia sampai ke Baitullah, ia tetap mendapatkan pahala haji karena niatnya. Rasulullah ﷺ bersabda,

“Perumpamaan umat ini seperti perumpamaan empat golongan; ada orang yang dikaruniai Allah keluasan harta dan ilmu, maka dia mengelola hartanya dengan ilmunya dan ia tunaikan sesuai haknya. Ada orang (kedua) yang tidak dikaruniai kecukupan harta, lalu dia berkata, “Seandainya saya memiliki harta seperti dia, niscaya aku akan berbuat seperti yang ia perbuat.’ Lalu Rasululah bersabda, “Maka keduanya mendapatkan pahala yang sama….” (HR Ibnu Majah)

Maka tatkala seseorang belum diberi karunia harta, lalu ia melihat ada orang kaya yang menggunakan hartanya untuk berhaji dan ia bercita-cita seperti itu, niscaya ia mendapatkan pahala yang sama dengan orang yang berhaji.

Tersebut dalam hadits Bukhari, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً

“Maka barangsiapa yang bertekad melakukan suatu kebaikan dan dia belum mengerjakannya, maka Allah mencatat baginya satu kebaikan yang sempurna di sisi-Nya.” (HR. Bukhari)

Sebagai bukti akan tekad dan niatnya, ia tidak akan tinggal diam. Ia akan berusaha semampunya untuk bisa menjalankannya. Jika seseorang terhalang haji karena kuota yang terbatas, atau antrian terlalu panjang, atau sebab lain sementara dia mampu menempuh perjalanan umroh di bulan lain, hendaknya ia melakukannya.

Diriwayatkan dalam Shahihain, dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma, Rasulullah bersabda kepada seorang wanita Anshar, “Apa yang menghalangimu untuk ikut berhaji bersama kami?” Ia menjawab, “Kami tidak memiliki kendaraan kecuali dua ekor onta yang dipakai untuk mengairi tanaman. Bapak dan anaknya berangkat haji dengan satu ekor unta dan meninggalkan satu ekor lagi untuk kami yang digunakan untuk mengairi tanaman.” Nabi bersabda,

فَإِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فَاعْتَمِرِي ، فَإِنَّ عُمْرَةً فِيهِ تَعْدِلُ حَجّ

Maka apabila datang Ramadhan, berumrahlah. Karena sesungguhnya umrah di dalamnya menyamai ibadah haji.” Dalam riwayat lain, “Seperti haji bersamaku.

Ibnu Rajab dalam Lathaif al-Ma’arif berkata, “Dan ketahuilah, orang yang tak mampu dari satu amal kebaikan dan bersedih serta berangan-angan bisa mengerjakannya maka ia mendapat pahala bersama dengan orang yang mengerjakannya…” Lalu beliau menyebutkan riwayat tersebut sebagai satu contohnya.

Semoga Allah memudahkan kita untuk ziarah ke Baitullah yang mulia, aamiin.

أقُولُ قَوْلي هَذَا وَأسْتغْفِرُ اللهَ العَظِيمَ لي وَلَكُمْ، فَاسْتغْفِرُوهُ يَغْفِرْ لَكُمْ  إِنهُ هُوَ الغَفُورُ الرَّحِيمُ، وَادْعُوهُ يَسْتجِبْ لَكُمْ إِنهُ هُوَ البَرُّ الكَرِيْمُ

 

KHUTBAH KEDUA

 

الْحَمْدُ للهِ وَلِيِّ الإِحْسَانِ، لا يَحُدُّهُ الزَّمَانُ وَالمَكَانُ، وَنَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ الوَلِيُّ الحَمِيدُ، وَأشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّـنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ صَاحِبُ الخُلُقِ العَظِيمِ، أَدَّبَهُ رَبُّهُ فَأَحْسَنَ تَأْدِيبَهُ، وَأَكْرَمَهُ فَجَعَلَهُ خَلِيلَهُ وَحَبِيبَهُ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ الأَبْرَارِ، وَعَلَى تَابِعِيهِمْ مِنْ عِبَادِ اللهِ الأَخْيَارِ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ

 : فَيَا عِبَادَ اللهِ

إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

اللَّهُمَّ صَلِّ وسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ وسَلّمْتَ عَلَى سَيِّدِنا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنا إِبْرَاهِيْمَ، وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنا إِبْرَاهِيْمَ، فِي العَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدُّعَاءِ

اللَّهُمَّ اجْعَلْ جَمْعَنَا هَذَا جَمْعًا مَرْحُوْمًا، وَاجْعَلْ تَفَرُّقَنَا مِنْ بَعْدِهِ تَفَرُّقًا مَعْصُوْمًا، وَلا تَدَعْ فِيْنَا وَلا مَعَنَا شَقِيًّا وَلا مَحْرُوْمًا

اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَوَحِّدِ صُفُوْفَهُمْ، وَأَجْمِعْ كَلِمَتَهُمْ عَلَى الحَقِّ، وَاكْسِرْ شَوْكَةَ الظَّالِمِينَ، وَاكْتُبِ السَّلاَمَ وَالأَمْنَ لِعِبادِكَ أَجْمَعِينَ

رَبَّنَا لا تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا، وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً، إِنَّكَ أَنْتَ الوَهَّابُ

رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الخَاسِرِيْنَ

رَبَّنَا آتِنَا في الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

: عِبَادَ اللهِ

إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي القُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ

وَ أَقِمِ الصَّلاَةَ إِنَّ الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَ الْمُنْكَرِ وَ لَذِكْرَ اللهِ أَكْبَرُ وَ اللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ

 

Dapatkan versi PDF di Sini: Khutbah Jumat PDF (Bisa langsung diprint)