Khutbah Iedul Adha 1440 H: Kebahagiaan Butuh Pengorbanan

Khutbah Iedul Adha 1440 H

Kebahagiaan Butuh Pengorbanan

DOWNLOAD PDF KLIK DI SINI!

 

إنَّ الْحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِالله مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ الله فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ

فَلاَ هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، صَلَّى الله عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْماً كَثِيْراً

يَاأَيُّهاَ الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِوَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ

يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
أَمَّا بَعْدُ؛

فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهَ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَّرَ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ

اللّهُ أَكْبَرْ اللّهُ أَكْبَرْ لاَ إِلَهَ إِلّاَ اللّه اللّهُ أَكْبَرْ اللَّهُ أَكْبَرْ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

 

Merayakan Iedul Adha kita mengenang kembali pengorbanan Nabi Ibrahim untuk mendapatkan kemuliaan di sisi Allah. Sebagai bukti iman dan ketundukan hamba kepada Rabbnya. Kita berusaha mewarisi jiwa pengorbanan beliau sebagaimana para shahabat Rasulullah rela mengorbankan harta, tenaga, dan nyawanya untuk Islam.

 

اللّهُ أَكْبَرْ اللّهُ أَكْبَرْ لاَ إِلَهَ إِلّاَ اللّه اللّهُ أَكْبَرْ اللَّهُ أَكْبَرْ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Jamaah Shalat Ied rahimakumullah

Dalam kitab ar-rahiq Al-Makhtum, Syaikh Shafiyur Rahman Mubarakfuri menceritakan banyak sekali kisah pengorbanan para shahabat Rasulullah pada masa awal dakwah Islam di Makkah. Salah satu yang beliau kisahkan adalah shahabiyah Sumayyah binti Khayyat, istri dari Yasir radhiyallahu ‘anhuma. Dia adalah hamba sahaya dari Abu Hudzaifah bin Mughirah.

Ketika mengetahui keislamannya, Musyrikin Quraisy tidak rela jika keluarga ini mengenyam manisnya Islam, hingga Bani Makhzum segera menangkap keluarga Yasir dan menyiksa mereka dengan bermacam-macam siksaan agar mereka keluar dari Islam, mereka memaksa dengan cara mengeluarkan mereka ke padang pasir saat terik matahari panas menyengat. Mereka membuang Sumayyah ke sebuah tempat dan menaburinya dengan pasir yang sangat panas, kemudian meletakkan sebongkah batu besar di atas dadanya. Akan tetapi, tiada terdengar rintihan atau pun ratapan, melainkan ucapan, “Ahad … Ahad ….

Saat Rasulullah ﷺ menyaksikan keluarga muslim tersebut yang tengah disiksa dengan kejam, maka beliau menengadahkan ke langit dan berseru,

صَبْرًا آلَ يَاسِرٍفَإِ نِّ مَوْعِدَكُمُ الْجَنَّةُ

Bersabarlah, wahai keluarga Yasir, karena sesungguhnya tempat kembali kalian adalah surga.” (HR al-Hakim)

Mendengar seruan Rasulullah ﷺ maka Sumayyah binti Khayyat bertambah tegar dan optimis. Dengan kewibawaan imannya, dia mengulang-ulang dengan berani, “Aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah dan aku bersaksi bahwa janjimu adalah benar.”

Baginya kematian adalah sesuatu yang remeh dalam rangka memperjuangkan akidahnya. Hatinya telah dipenuhi kebesaran Allah subhanahu wa ta’ala, maka dia menganggap kecil setiap siksaan yang dilakukan oleh para tagut yang zhalim; mereka tidak kuasa menggeser keimanan dan keyakinannya, sekalipun hanya satu langkah semut.

Hingga tatkala musuh-musuh Allah telah berputus asa mendengar ucapan yang senantiasa diulang-ulang oleh Sumayyah binti Khayyat maka Abu Jahal melampiaskan keberangannya kepada Sumayyah dengan menusukkan sangkur yang berada dalam genggamannya kepada Sumayyah binti Khayyat. Terbanglah nyawa beliau dari raganya, dan beliau adalah wanita pertama yang syahid dalam Islam. Beliau syahid setelah memberikan contoh baik dan mulia bagi kita dalam hal keberanian dan pengorbanan.

Beliau relakan nyawanya demi meraih puncak kemuliaan. Beliau jual nyawanya untuk mendapatkan ‘barang dagangan’ yang paling berharga dari Allah, yakni jannah.

 

اللّهُ أَكْبَرْ اللّهُ أَكْبَرْ لاَ إِلَهَ إِلّاَ اللّه اللّهُ أَكْبَرْ اللَّهُ أَكْبَرْ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Jamaah Shalat Ied rahimakumullah

Surga itu mahal. Surga itu istimewa luar biasa nilainya. Kebahagiaan tiada tara, kemewahan tiada banding, kemuliaan tiada tanding, dan kenikmatan yang tak ada akhirnya. Tak terselip sedikit pun derita atau kesusahan di dalamnya. Maka siapapun yang ingin mendapatkannya hendaknya sadar, bahwa ia hendak memiliki sesuatu istimewa tiada tara. Selayaknya ia mengorbankan apapun yang ia punya untuk mendapatkannya dan membayarnya dengan seberapapun harganya.

Rasulullah bersabda,

أَلَا إِنَّ سِلْعَةَ اللهِ غَالِيَةٌ أَلَا إِنَّ سِلْعَةَ اللهِ الْجَنَّةُ

Ketahuilah, sesungguhnya barang dagangan Allah itu mahal. Ketahuilah, sesungguhnya barang dagangan Allah itu adalah surga.” (HR. Al-Tirmidzi, beliau berkata hadits hasan. Dishahihkan Al-Albani)

Jika kita rela berpayah-payah sepanjang hari untuk bisa membeli rumah, memeras keringat demi mendapatkan kendaran roda empat dan mengorbankan waktu dan harta agar bisa menjadi seorang pejabat, lantas dengan apa kita hendak membeli Jannah? Dengan apa kita hendak mendapatkan rumah yang panjangnya 60 mil dengan batu bata terbuat dari emas dan perak di jannah. Dengan apa kita hendak memperoleh kendaraan yang terbuat dari Yaqut dan bisa terbang kemana pun kita suka?

Sangat mengherankan bila ada orang yang hendak membayar sesuatu yang luar biasa berharga hanya dengan sisa receh di sakunya. Mengherankan jika ada orang yang menyumbangkan sisa-sisa waktu dan tenaga lalu berharap menempati kedudukan mulia di surga. Alangkah percaya dirinya seseorang yang merasa cukup dengan ibadah-ibadah yang dilakukan dengan tergesa-gesa dan jauh dari sempurna, lalu mengharapkan ganjaran yang tiada tara.

 

اللّهُ أَكْبَرْ اللّهُ أَكْبَرْ لاَ إِلَهَ إِلّاَ اللّه اللّهُ أَكْبَرْ اللَّهُ أَكْبَرْ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Jamaah Shalat Ied rahimakumullah

Ada pelajaran menarik dari kisah seorang shalih. Suatu kali ia melakukan suatu perjalanan dan di tengah perjalanan ia mencari tempat untuk menunaikan hajatnya. Tampak seorang pemuda berjaga di tempat tersebut, lalu mengatakan, “jika kamu mau masuk ke tempat ini, maka kamu harus membayarnya.” Mendengar ucapan tetersebut orang shalih tadi terdiam dan menitikkan air mata. Pemuda itu pun heran dan berkata, “Jika kamu tak punya uang, carilah tempat lain.” Laki-laki itu berkata, “Aku menangis bukan karena tidak memiliki uang. Aku menangis karena merenungi, jika tempat sekotor ini saja harus membayar untuk memasukinya, apalagi surga yang begitu indahnya.”

Selayaknya kita merenungi, apa yang telah kita lakukan untuk mendapatkan jannah. Berapa durasi waktu yang kita sediakan kemudian kita bandingkan dengan waktu dan usaha yang kita habiskan ketika hendak memperoleh sebagian dari kenikmatan dunia. Kita mengetahu surga itu mahal, tapi seringkali kita menghargainya terlalu murah.

 

اللّهُ أَكْبَرْ اللّهُ أَكْبَرْ لاَ إِلَهَ إِلّاَ اللّه اللّهُ أَكْبَرْ اللَّهُ أَكْبَرْ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

 Jamaah Shalat Ied rahimakumullah

Allah telah menawarkan ‘barang dagangannya’ kepada hamba-Nya dengan harga yang telah ditetapkan. Sebagaimana firman-Nya,

 إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ

Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.” (QS. At-Taubah: 111)

Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah mengabarkan bahwa Dia memberi ganti dari jiwa dan harta benda para hamba-Nya yang beriman dengan surga, lantaran mereka telah rela mengorbankannya di jalan-Nya. Ini merupakan karunia, kemuliaan dan kemurahan-Nya.”

 

اللّهُ أَكْبَرْ اللّهُ أَكْبَرْ لاَ إِلَهَ إِلّاَ اللّه اللّهُ أَكْبَرْ اللَّهُ أَكْبَرْ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Jamaah Shalat Ied rahimakumullah

Basyir bin al-Khashashiyyah Radhiyallahu ‘Anhu sebagiamana diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam mustadraqnya menuturkan, “Aku pernah mendatangi Rasulullah untuk bersyahadat. Maka beliau mensyaratkan kepadaku:

تَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَتُصَلِّي الْخَمْسَ ، وَتَصُوْمُ رَمَضَانَ وَتُؤَدِّي الزَّكَاةَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ وَتُجَاهِدُ فِي سَبِيْلِ اللهِ

Engkau bersaksi  tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, engkau shalat lima waktu, berpuasa Ramadhan, mengeluarkan zakat, berhaji ke Baitullah, dan berjihad di jalan Allah.

Dia melanjutkan, “Aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, ada dua yang aku tidak mampu; pertama zakat, karena aku tidak memiliki sesuatu kecuali sepuluh dzaud (sepuluh ekor unta) yang merupakan titipan dan kendaraan bagi keluargaku. Kedua jihad, karena orang-orang yakin bahwa yang lari ketika perang maka akan mendapat kemurkaan dari Allah, sedangkan aku takut jika ikut perang lalu aku takut mati dan ingin (menyelamatkan) diriku.”

Kemudian Rasulullah menggenggam tangannya lalu menggerak-gerakkannya sembari bersabda,

لَا صَدَقَةَ وَلَا جِهَادَ فَبِمَ تَدْخُلُ الْجَنَّةَ ؟

Tidak shadaqah dan tidak jihad? Dengan apa engkau masuk surga?

“Lalu aku berkata kepada Rasulullah,” kata Basyir, “Aku berbaiat kepadamu, maka baiatlah aku atas semua itu.”

Pertanyaan Rasulullah, “dengan apa engkau hendak masuk surga” menjadi tamparan keras bagi siapa saja yang ingin mendapatkan surga dengan harga yang murah. Seakan jannah bisa dimiliki hanya dengan sedikit pengorbanan. Atau hanya dengan mendermakan sisa-sia miliknya yang tidak lagi berharga. Sedangkan sesuatu yang berharga miliknya justru dia belanjakan untuk memenuhi keinginan nafsunya. Mereka merasa cukup menggunakan modal yang kecil untuk mendapatkan jannah…” Dengan modal apa engkau hendak masuk jannah?”

 

اللّهُ أَكْبَرْ اللّهُ أَكْبَرْ لاَ إِلَهَ إِلّاَ اللّه اللّهُ أَكْبَرْ اللَّهُ أَكْبَرْ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Jamaah Shalat Ied rahimakumullah

Kemuliaan seseorang, juga kenikmatan yang akan diraih seseorang tergantung pada pengorbanan yang ia curahkan. Namun, banyak orang yang belum memahami makna pengorbanan tersebut.

Secara bahasa, at-tadhhiyah atau pengorbanan adalah ketika seseorang mendermakan dirinya, ilmunya, dan hartanya tanpa imbalan. Adapun pengorbanan yang dituntut secara syar’i adalah mendermakan jiwa, waktu maupun harta demi tujuan paling mulia, untuk target yang paling diharapkan di mana pengharapan itu tertuju kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Pengorbanan bisa dilakukan dengan harta. Yakni ketika dia mendermakan hartanya di jalan Allah tanpa mengharap apapun selain Allah. Baik mendermakan sebagai bentuk ibadah seperti udhhiyah (menyembelih hewan qurban), berhaji, berzakat, dan semisalnya, maupun terkait dengan sedekah kepada sesama dengan mengharap imbalan kepada Allah. Begitupun mendermakan harta untuk kepentingan jihad fi sabililah. Bahkan, ketika seseorang rela keluar dari pekerjaan yang haram karena mengharap ridha Allah, maka dia telah berkorban dengan hartanya.

SUDAH PUNYA MAJALAH AR-RISALAH EDISI TERBARU? KLIK DI SINI UNTUK MENDAPATKAN

Pengorbanan juga bisa dilakukan dengan mencurahkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk menuntut ilmu syar’i, mengamalkan dan mendakwahkannya. Dan sesuatu yang paling berharga untuk dikorbankan adalah nyawa yang dipersembahkan di jalan Allah.

Generasi pilihan di kalangan para sahabat memahami konsekuensi untuk meraih jannah. Bahwa ia harus ditebus dengan sesuatu yang paling berharga miliknya. Seperti Mush’ab bin Umair setelah keislamannya, ia rela diboikot keluarganya demi keimanannya. Yang semula dimanja dengan kemewahan, pakaian indah nan wangi harus memakai pakaian yang kasar. Dia habiskan masa mudanya untuk berdakwah ke Madinah dengan dakwah yang begitu berkah, hingga pada akhirnya dia gugur sebagai syahid, beliau korbankan nyawanya untuk Allah.

Setidaknya kisah hidup beliau menjadi cermin bahwa kita belum apa-apa, belum seberapa pula pengorbanan kita untuk Pencipta. Sekaligus menjadi pengingat bahwa pengorbanan kita mestinya fokus demi penghambaan kita kepada Allah Ta’ala. Bukan demi pujian atau kenikmatan dunia yang sementara. Agar terwujud ikrar yang kita ucapkan, “Inna shalaati wa nusuki wamahyaaya wa mamati lilahi Rabbil ‘alamin”, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku adalah bagi Rabb semesta alam.

Baarakallahu lii walakum fil quraanil kariim wa nafa’ani wa iyyaaku bimaa fiihi minal aayaati wa dzikril hakiim, innahu huwal ghafuurur raahiim.

Marilah kita akhiri khutbah Ied ini dengan berdoa kepada Allah:

الَّلهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَعَلَىخُلَفَائِهِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَمَنْ سَارَ عَلَى نَهْجِهِمْ وَطَرِيْقَتِهِمْ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ

اللهم اغفِرْ لِلْمُسْلِمينَ وَالمْسُلْماتِ والمؤمنينَ والمؤمناتِ وَأَلِّفْ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَاَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِهِمْ

اللهمَّ انْصُرْ جُيُوسَ المُسْلِمِيْنَ وَعَسَاكِرَ المُوَحِّدِيْنَ وَدَمِّرْ أَعْدَاءَكَ أَعْدَاءَ الدِّينِ وَأَعْلِ كَلِمَتَكَ إلي يَوْمِ الدِّينِ اللهُمَّ انْصُرْ دُعَاتَنَا وَعُلَمَائنَاَ المَظْلوُمِيْنَ تَحْتَ وَطْأَةِ الظالِمِين وَفِتْنَةِ الفَاسِقِينَ وَحِقْدِ الحَاقِدِيْنَ وَبُغْضِ الحَاسِدِين وَخِيَانَةِ المُنَافِقِيْنَ

اللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا تَحُولُ بِهِ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ ، وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ، وَمِنَ الْيَقِينِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مُصِيبَاتِ الدُّنْيَا ، وَمَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا ، وَأَبْصَارِنَا ، وَقُوَّتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا ، وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا ، وَاجْعَلْ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ ظَلَمَنَا ، وَانْصُرْنَا عَلَى مَنْ عَادَانَا ، وَلا تَجْعَلْ مُصِيبَتَنَا فِي دِينِنَا ، وَلا تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا ، وَلا مَبْلَغَ عِلْمِنَا ، وَلا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لا يَرْحَمُنَا

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ وَصَلِّ اللَّهُمَّ عَلي خَيْرِ خَلْقِكَ وَأَفْضَلِ نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ وَعَلي آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا

وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ العَالمَين

 

DOWNLOAD PDF KLIK DI SINI!

Hukum Badal Haji; Menggantikan Orang Untuk Pergi Haji

 

Assalamu’alaikum warahmatullah. Ustadz, apa hukum badal haji? yaitu seseorang yang menyediakan dirinya menghajikan orang lain dengan biaya dari yang dihajikan. Apakah yang dihajikan mendapat pahala haji dan kewajibannya gugur? Bolehkah satu orang menghajikan 10 orang dengan satu kali haji? Syukran atas jawabannya.

 

Waalaikumussalam warahmatullah,

الْحَمْدُ لِلهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَ هُدَاهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Kebanyakan fuqaha empat madzhab berpendapat, dibolehkan—bahkan ada yang mewajibkan—melaksanakan ibadah haji atas nama orang lain yang sudah meninggal dan ia belum berhaji, atau atas nama orang yang sakit dengan tanpa kemungkinan sembuh, padahal ia memiliki harta yang cukup. Rincian pendapat mereka sebagai berikut:

Para ulama madzhab Hanafi menyatakan, jika seseorang menderita sakit atau berudzur sehingga ia tidak mampu menunaikan haji padahal ia punya harta, ia harus menghajikan seseorang atas nama dirinya. Syaratnya, udzur itu ada sampai ia mati. Adapun orang yang menunda-nunda sehingga ia mati belum menunaikan haji, sah untuk dihajikan, bahkan ia wajib berwasiat untuk itu.

Menurut para ulama madzhab Malik, tidak dibolehkan sama sekali mewakilkan haji, kecuali orang yang sudah meninggal dunia, itupun jika ia berwasiat. Maka, sah—tetapi makruh—dan hanya boleh menghabiskan 1/3 hartanya. Orang yang lumpuh tidak boleh dihajikan karena ia memang tidak mampu menunaikannya.

Baca Juga: Tanda Haji Kita Diterima

Para ulama madzhab Syafi’i membolehkan haji atas nama orang yang masih hidup dalam dua keadaan:

  • Pertama, ketika seseorang berudzur secara fisik, namun secara finansial mampu. Yakni orang yang sakit, lumpuh, atau sebab lain. Bahkan, jika jelas-jelas didapatinya orang yang bisa diupahnya dengan upah yang wajar untuk menunaikan haji atas namanya, ia harus melakukannya.
  • Kedua, orang yang menjelang ajal dan ia belum menunaikan haji. Orang ini wajib berwasiat kepada ahli warisnya untuk menunaikan haji atas namanya dari harta warisannya, sebagaimana dibayarkan hutang-hutangnya. Jika tidak ada biaya, maka meskipun tidak berwasiat, boleh bagi ahli waris atau orang lain untuk menunaikan haji atas namanya.

Seperti halnya para ulama madzhab Syafi’i, para ulama madzhab Hambali membolehkan mewakilkan haji dalam dua keadaan:

  • Pertama, orang yang punya udzur: usia lanjut, lumpuh, sakit yang nyaris tanpa harapan sembuh, dan perempuan yang tidak mempunyai mahram. Jika mendapati seseorang yang dapat mewakilinya, maka ia harus mewakilkan pelaksanaan haji kepadanya dengan biaya darinya.
  • Kedua, seseorang yang meninggal dunia dan ia wajib menunaikan haji, namun ia belum menunaikannya; baik karena ia menunda-nunda maupun karena ada udzur. Maka, wajib dikeluarkan dari hartanya, meskipun ia tidak berwasiat.

 

Dalil dan Syarat Badal Haji

Dalil dibolehkannya mewakilkan haji di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, dan empat penyusun kitab Sunan dari Ibnu ‘Abbas dan yang lain bahwa ada seorang perempuan dari Khats’am bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ayahku baru mampu (secara finansial) untuk menunaikan haji setelah beliau tua renta. Beliau tidak dapat tegak duduk di atas onta.” Rasulullah saw menjawab, “Berhajilah atas namanya!”

Hadits ini dan hadits-hadits lain yang semakna menunjukkan bahwa mewakilkan haji atau badal haji dibolehkan.

Meskipun diperbolehkan, para ulama menetapkan beberapa syarat yang harus dipenuhi. Syarat-syarat itu sebagai berikut:

  1. Niat—yang terbaik melafalkannya, misalnya, “Saya berhaji atas nama si Fulan.”
  2. Yang dibadali tidak mampu melaksanakan sendiri tetapi punya harta yang cukup untuk membiayai ONH. Jika yang dibadali sehat, haji badal tidak sah. Tentang ini para ulama sudah berijmak.
  3. Udzurnya berkelanjutan seperti lumpuh, ditawan musuh/dijatuhi hukuman seumur hidup, atau sakit tanpa harapan sembuh.
  4. Udzur sudah ada sebelum dihajibadalkan.
  5. Biaya haji dari harta yang dibadali. Kecuali, jika ahli waris dengan sukarela membiayai keberangkatan haji atas nama orang yang dibadali. Jika seseorang yang membadali pelaksanaan haji dengan sukarela membiayai sendiri keberangkatannya, maka tidak sah menurut para fuqaha madzhab Hanafi, tetapi sah menurut para fuqaha madzhab Syafi’i dan Hambali.
  6. Berihram dari miqatnya orang yang dibadali, bahkan menurut para fuqaha madzhab Hambali, harus berangkat dari negeri orang yang dibadali.
  7. Tidak boleh memungut biaya atas pelaksanaan badal haji.
  8. Orang yang membadali harus sudah baligh.
  9. Orang yang membadali harus sudah melaksanakan haji, menurut para fuqaha madzhab Syafi’i dan Hambali. Para fuqaha madzhab Hanafi dan Maliki tidak mensyaratkannya.
  10. Orang yang membadali tidak boleh merusak hajinya.
  11. Tidak boleh juga menyelisihi keinginan yang dibadali. Misalnya orang yang yang dibadali menginginkan haji qiran, lalu orang yang membadalinya melaksanakan haji tamattu’; ini tidak boleh.
  12. Orang yang membadali hanya melaksanakan satu haji, atas nama dirinya atau atas nama orang lain.
  13. Orang yang membadali hanya membadali satu orang.

Kesimpulan

Badal haji dibenarkan menurut Islam, yang dihajikan gugur kewajibannya dan—insya Allah—mendapatkan pahala dari Allah serta gugur kewajibannya. Mengenai apakah boleh satu orang menghajikan lebih dari satu orang, para fuqaha sepakat hal itu tidak boleh. Wallahu a’lam.

 

Dijawab Oleh: Ust. Imtihan asy-Syafi’ie/Konsultasi

Khutbah Jumat: Bila Hati Rindu Haji

KHUTBAH JUMAT

Bila Hati Rindu Haji

 

السلام عليكم ورحمة الله وبركته

إِنَّ الْحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِالله مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ الله فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، صَلَّى الله عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْماً كَثِيْراً

يَاأَيُّهاَ الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ

 يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا {} يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

أما بعد

فإن أحسن الحديث كلام الله و خير الهدي هدي محمد صلى الله عليه وسلم وشر الأمور محدثاتها وكل محدثةٍ بدعة وكل بدعةٍ ضلالة وكل ضلالةٍ في النار

Jamaah Jumat Rahmakumullah

Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah atas limpahan nikmat dan karunia-Nya. Saat ini, kita berkumpul di sini dalam keadaan baik dan sehat. Sementara di tempat lain, saudara-saudara tengah mengalami musibah bencana alam. Ada yang kehilangan keluarga, rumah dan semua isinya bahkan ada yang kehilangan seluruh miliknya. Semoga Allah merahmati kita dan mereka yang terkena musibah, serta memberi mereka kesabaran.

Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad, kepada para shahabat dan orang-orang yang mengikuti jalannya sampai hari kiamat.

Tidak ada nasihat yang lebih baik daripada nasihat yang mengingantkan kita untuk selalu bertakwa dan meningkatkan ketakwaan kepada Allah. Inti dari takwa adalah rasa takut dan waspada terhadap segala hal yang dapat menjerumuskan kita kepada perbuatan yang tidak diridhoi Allah. Seperti kehati-hatian kita saat berjalan di jalan setapak yang banyak lubang dan duri.

Jamaah Jumat Rahmakumullah

Meski tak ada air terjun seindah Niagara di tempat ini. Tak ada pula aneka taman bunga yang indah berseri. Ataupun Dunia Fantasi yang menyenangkan buah hati. Tapi semua pengunjung betah di tempat ini. Banyak hati rindu untuk mendatangi, dan banyak doa terlantun agar bisa mendatangi.

Itulah kota Makkah al-Mukarramah di mana Ka’bah berada di dalamnya. Tak ada tempat ibadah ataupun wisata manapun yang lebih banyak dikunjungi dari tempat ini. Dan tak ada lokasi yang lebih mengesankan dan lebih dirindukan berkali-kali melebihi tempat ini.

Jamaah Jumat Rahmakumullah

Bagaimana seorang muslim tidak merindukannya. Di situlah tempat di mana Islam bermula, tempat di mana Rasulullah dilahirkan, dan di situlah banyak peristiwa-peristiwa besar dan mengesankan terjadi dalam sejarah. Membaca dan mengingat sejarahnya saja, membuat hati kita haru, lantas bagaimana kiranya tatkala kita bisa menginjakkan kaki di sana.

Namun, kerinduan seorang muslim bukan semata-mata karena faktor nostalgia kesejarahan. Lebih dari itu, karena banyak sisi fadhilah dan keutamaan yang bisa didapatkan.

Ibnu Qayyim Al Jauziyah menyebutkan dalam Zaadul Ma’ad, “Allah Ta’ala telah memilih beberapa tempat dan negeri, yang terbaik serta termulia adalah tanah Haram. Karena Allah Ta’ala telah memilih bagi nabinya –shallallahu ‘alaihi wa sallam– dan menjadikannya sebagai tempat manasik dan sebagai tempat menunaikan kewajiban. Orang dari dekat maupun jauh dari segala penjuru akan mendatangi tanah yang mulia itu.”

Itulah tempat yang diberkahi sebagaimana firman Allah Ta’ala,

إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِّلْعَالَمِينَ ﴿٩٦﴾

 “Sesungguhnya pertama kali rumah ibadah yang diletakan untuk manusia adalah yang ada di Makkah yang di berkati dan sebagai petunjuk ( kiblat ) bagi seluruh manusia” (QS.  Ali Imron: 96)

Begitu mulianya tempat itu, hingga shalat yang dikerjakan di dalamnya lebih utama dari seratus ribu shalat di tempat yang lainnya. Rasulullah ﷺ bersabda,

صَلاَةٌ فِى مَسْجِدِى أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ وَصَلاَةٌ فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ

Shalat di masjidku (Masjid Nabawi) lebih utama daripada 1000 shalat di masjid lainnya selain Masjidil Haram. Shalat di Masjidil Haram lebih utama daripada 100.000 shalat di masjid lainnya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah, al-Albani mengatakan, “shahih”)

Wajar, jika kita melihat manusia berduyun-duyun memakmurkan Masjidil Haram setiap waktunya. Bahkan hingga kini, terbilang sulit untuk mencari tempat sujud di dalamnya, terutama di bulan Ramadhan dan musim haji. Bukan karena sempitnya tempat, tapi karena saking banyaknya manusia yang ingin mendapatkan tempat sujud di dalamnya. Butuh kesungguhan dan datang lebih awal  untuk mendapatkan tempat sujud dengan nyaman.

Jamaah Jumat Rahmakumullah

Ke tempat yang mulia itu pula Allah mengundang seluruh manusia untuk haji dan beribadah kepada-Nya, bahkan undangan ini berlaku sejak Nabi Ibrahim alaihissalam diperintahkan untuk menyeru manusia, sebagaimana firman-Nya,

وَأَذِّن فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ ﴿٢٧﴾

“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS Al-Hajj: 27)

Sungguh merupakan karunia besar, jika kita termasuk salah satu yang diberi kekuatan dan kemampuan untuk mendatangi undangan mulia ini.

Haji adalah ritual ibadah tingkat tinggi. Di mana semua potensi dilibatkan dalam prosesi ini. Harta yang tak sedikit harus dicurahkan, segenap tenaga harus dikerahkan, ketegaran mental dan hati mutlak diperlukan. Namun itu semua tak menciutkan nyali orang-orang yang telah merindukannya. Karena hasil yang bisa diraih lebih hebat lagi dari usaha yang dikerahkan.

Betapa tidak, ibadah haji mampu membersihkan dosa-dosa yang kita ‘produksi’ setiap waktunya. Hingga kesempurnaan haji bisa menjadi sebab terhapusnya dosa secara sempurna. Nabi ﷺ bersabda,

مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

“Barangsiapa berhaji ke Ka’bah lalu tidak berkata-kata jorok dan tidak berbuat kefasikan maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Dengan besarnya pengorbanan orang yang berhaji tersebut, maka tidak ada reward atau balasan yang bisa menutup dan mencukupinya selain jannah. Terlalu remeh jika balasan haji hanya sebatas gelar Haji, sebatas bertambahnya relasi atau lancarnya rejeki, Bahkan kenikmatan dunia dan seisinya masih terlalu remeh dan belum cukup untuk mengganjar orang yang berhaji. Dan hanya jannah yang sepadan dan layak diberikan sebagai balasan bagi orang yang berhaji. Rasulullah ﷺ bersabda,

وَالحَجُّ المَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الجَنَّةُ

“Dan haji yang mabrur, tidak ada balasan (yang layak) selain jannah.” (HR Bukhari)

Jadi, hadits ini tidak mengingkari kemungkinan adanya faedah dan keberkahan duniawi yang diperoleh bagi orang yang berhaji. Akan tetapi,  sebagai penekanan bahwa hanya jannah yang bisa mencukupi keutamaan orang yang berhaji.

Jamaah Jumat Rahmakumullah

Meskipun semua orang merindukannya, belum tentu semua mampu menunaikannya. Karenanya, kewajiban haji berlaku hanya bagi orang yang mampu menempuh perjalanannya. Allah berfirman,

وَلِلَّـهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran: 97)

Biasanya, tatkala seseorang membaca ayat ini otomatis tergambar bahwa hanya orang kaya yang bisa berhaji. Sehingga, orang-orang yang belum dikarunia kecukupan harta menjadi ciut nyalinya. Dan tak sedikit diantara kaum muslimin yang belum ada gambaran di benaknya untuk berhaji lantaran melihat minimnya ekonomi.

Ia lupa, bahwa ternyata tak sedikit orang yang miskin namun Allah takdirkan bisa menginjakkan kakinya di Tanah Suci. Sangat menarik dialog seorang tabi’in, Ibrahim bin Ad-ham rahimahullah dengan seseorang yang hendak berhaji.  Suatu kali seseorang yang mengendarai onta melewati Ibrahim bin Adham sedang berjalan kaki, lalu menyapa, “Hendak kemana Anda pergi wahai Ibrahim?” Beliau menjawab, “Saya hendak pergi berhaji.” Orang itu heran dan berkata, “Mana kendaraanmu? Bukankah jalan menuju Mekah itu jauh?” Beliau menjawab, “Saya memiliki banyak kendaraan yang Anda tidak melihatnya.” Makin penasaranlah orang itu lalu bertanya, “Kendaraan apa itu?” Beliau menjawab, “Jika terjadi musibah, kendaraanku adalah sabar, jika mendapatkan nikmat, kendaraanku adalah syukur, dan jika takdir turun, kendaraanku adalah ridha”

Beliau tidak bermaksud mengesampingkan kendaraan pengangkut fisik maupun perbekalan materi. Namun dengan kesiapan hati dan kekuatan mentalnya, seseorang akan mampu mencapai Tanah Suci atau setidaknya memperoleh pahala haji.

Jamaah Jumat Rahmakumullah

Yang mesti dilakukan oleh setiap orang yang merindukan haji adalah mengawalinya dengan niat. Dengan niat yang tulus dan ikhlas, ia tak akan luput dari pahala haji. Bisa jadi dengan niat dan tekadnya yang tulus Allah berkenan memberi kemudahan jalan yang tak disangka-sangka. Dan kisah tentang ini bertebaran dari zaman ke zaman.

Atau jika ternyata Allah tidak mentakdirkan ia sampai ke Baitullah, ia tetap mendapatkan pahala haji karena niatnya. Rasulullah ﷺ bersabda,

“Perumpamaan umat ini seperti perumpamaan empat golongan; ada orang yang dikaruniai Allah keluasan harta dan ilmu, maka dia mengelola hartanya dengan ilmunya dan ia tunaikan sesuai haknya. Ada orang (kedua) yang tidak dikaruniai kecukupan harta, lalu dia berkata, “Seandainya saya memiliki harta seperti dia, niscaya aku akan berbuat seperti yang ia perbuat.’ Lalu Rasululah bersabda, “Maka keduanya mendapatkan pahala yang sama….” (HR Ibnu Majah)

Maka tatkala seseorang belum diberi karunia harta, lalu ia melihat ada orang kaya yang menggunakan hartanya untuk berhaji dan ia bercita-cita seperti itu, niscaya ia mendapatkan pahala yang sama dengan orang yang berhaji.

Tersebut dalam hadits Bukhari, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً

“Maka barangsiapa yang bertekad melakukan suatu kebaikan dan dia belum mengerjakannya, maka Allah mencatat baginya satu kebaikan yang sempurna di sisi-Nya.” (HR. Bukhari)

Sebagai bukti akan tekad dan niatnya, ia tidak akan tinggal diam. Ia akan berusaha semampunya untuk bisa menjalankannya. Jika seseorang terhalang haji karena kuota yang terbatas, atau antrian terlalu panjang, atau sebab lain sementara dia mampu menempuh perjalanan umroh di bulan lain, hendaknya ia melakukannya.

Diriwayatkan dalam Shahihain, dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma, Rasulullah bersabda kepada seorang wanita Anshar, “Apa yang menghalangimu untuk ikut berhaji bersama kami?” Ia menjawab, “Kami tidak memiliki kendaraan kecuali dua ekor onta yang dipakai untuk mengairi tanaman. Bapak dan anaknya berangkat haji dengan satu ekor unta dan meninggalkan satu ekor lagi untuk kami yang digunakan untuk mengairi tanaman.” Nabi bersabda,

فَإِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فَاعْتَمِرِي ، فَإِنَّ عُمْرَةً فِيهِ تَعْدِلُ حَجّ

Maka apabila datang Ramadhan, berumrahlah. Karena sesungguhnya umrah di dalamnya menyamai ibadah haji.” Dalam riwayat lain, “Seperti haji bersamaku.

Ibnu Rajab dalam Lathaif al-Ma’arif berkata, “Dan ketahuilah, orang yang tak mampu dari satu amal kebaikan dan bersedih serta berangan-angan bisa mengerjakannya maka ia mendapat pahala bersama dengan orang yang mengerjakannya…” Lalu beliau menyebutkan riwayat tersebut sebagai satu contohnya.

Semoga Allah memudahkan kita untuk ziarah ke Baitullah yang mulia, aamiin.

أقُولُ قَوْلي هَذَا وَأسْتغْفِرُ اللهَ العَظِيمَ لي وَلَكُمْ، فَاسْتغْفِرُوهُ يَغْفِرْ لَكُمْ  إِنهُ هُوَ الغَفُورُ الرَّحِيمُ، وَادْعُوهُ يَسْتجِبْ لَكُمْ إِنهُ هُوَ البَرُّ الكَرِيْمُ

 

KHUTBAH KEDUA

 

الْحَمْدُ للهِ وَلِيِّ الإِحْسَانِ، لا يَحُدُّهُ الزَّمَانُ وَالمَكَانُ، وَنَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ الوَلِيُّ الحَمِيدُ، وَأشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّـنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ صَاحِبُ الخُلُقِ العَظِيمِ، أَدَّبَهُ رَبُّهُ فَأَحْسَنَ تَأْدِيبَهُ، وَأَكْرَمَهُ فَجَعَلَهُ خَلِيلَهُ وَحَبِيبَهُ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ الأَبْرَارِ، وَعَلَى تَابِعِيهِمْ مِنْ عِبَادِ اللهِ الأَخْيَارِ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ

 : فَيَا عِبَادَ اللهِ

إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

اللَّهُمَّ صَلِّ وسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ وسَلّمْتَ عَلَى سَيِّدِنا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنا إِبْرَاهِيْمَ، وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنا إِبْرَاهِيْمَ، فِي العَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدُّعَاءِ

اللَّهُمَّ اجْعَلْ جَمْعَنَا هَذَا جَمْعًا مَرْحُوْمًا، وَاجْعَلْ تَفَرُّقَنَا مِنْ بَعْدِهِ تَفَرُّقًا مَعْصُوْمًا، وَلا تَدَعْ فِيْنَا وَلا مَعَنَا شَقِيًّا وَلا مَحْرُوْمًا

اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَوَحِّدِ صُفُوْفَهُمْ، وَأَجْمِعْ كَلِمَتَهُمْ عَلَى الحَقِّ، وَاكْسِرْ شَوْكَةَ الظَّالِمِينَ، وَاكْتُبِ السَّلاَمَ وَالأَمْنَ لِعِبادِكَ أَجْمَعِينَ

رَبَّنَا لا تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا، وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً، إِنَّكَ أَنْتَ الوَهَّابُ

رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الخَاسِرِيْنَ

رَبَّنَا آتِنَا في الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

: عِبَادَ اللهِ

إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي القُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ

وَ أَقِمِ الصَّلاَةَ إِنَّ الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَ الْمُنْكَرِ وَ لَذِكْرَ اللهِ أَكْبَرُ وَ اللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ

 

Dapatkan versi PDF di Sini: Khutbah Jumat PDF (Bisa langsung diprint)

 

 

Lelah dalam Memaknai Syahrun Mubaarak ‘Ramadhan’

Ataakum syahrun mubaarak, telah Adatang kepada kalian bulan yang diberkahi, demikian ucapan selamat dari Nabi shallallahu alaihi wasallam ketika datang bulan Ramadhan.

Ini memang perkara yang sudah dimaklumi dan disepakati. Sekaligus paling mewakili tentang sifat Ramadhan. Juga lebih tepat daripada menyifati ramadhan sebagai bulan suci, karena masih butuh dalil tentang penyifatan ini. Berbeda dengan syahrun mubaarak yang telah jelas nash dan dalilnya.

Tapi, mari kita selami lebih jauh lagi akan makna keberkahan yang berhubungan dengan Ramadhan. Di antara makna keberkahan adalah an nama’ wa ziyadah, bertumbuh dan bertambah. Keberkahan itu ketika mengenai yang sedikit maka akan berlipat menjadi banyak. Dan jika mengenai yang banyak akan tampak manfaatnya. Indikator yang paling nyata akan keberkahan sesuatu adalah istl’maluhaa alaa tha’atillah, ketika digunakan untuk ketaatan kepada Allah.

Ramadhan kita akan berkah ketika semakin banyak kita gunakan untuk ketaatan. Jelas pula kita pahami bahwa keberkahan bulan Ramadhan menjadikan pahala amal shalih menjadi berlipat ganda.

Namun tak hanya keberkahan yang berupa pahala semata. Bahkan setiap usaha, karya kebaikan dan amal shalih itu akan dilipatkan hasilnya di bulan Ramadhan.

Omset sedekah di bulan Ramadhan biasanya selalu meningkat drastis, pun begitu tak pernah ada laporan atau berita tentang bertambahnya angka kemiskinan disebabkan banyaknya orang yang bersedekah. Meskipun kita dapati bahwa orang yang bersedekah di bulan Ramadhan termasuk juga kalangan ekonomi menengah ke bawah. Ini di antara yang bisa dilihat dan dirasakan keberkahan sedekah di bulan ramadhan.

Ikhtiar untuk mencari ilmu, di bulan Ramadhan juga akan dilipatkan hasilnya dari pemahaman dan atau hafalannya. Sedikit usaha membuahkan hasil yang berlipat di hari biasa.

Baca Juga: Kultum Ramadhan, Indahnya Nostalgia Penghuni Surga

Keberkahan Ramadhan juga bermakna bagi orang yang berupaya menghafal aI-Qur’an, kemudahan juga akan lebih dirasakan jauh dibandingkan hari biasa. Pengalaman ini juga banyak disaksikan dan dialami oleh para penghafal al-Qur’an. Begitulah makna keberkahan Ramadhan bagi para penghafal aI-Qur’an.

Bagi para da’i di jalan Allah, ajakan dan seruan mereka lebih banyak didengar dan diterima oleh masyarakat, dibanding waktu-waktu yang lain. Nyatanya, event-event pengajian lebih banyak dihadiri meski secara intensitas juga lebih sering dari bulan selainnya.

Intinya, Ramadhan menjanjikan hasil yang berlipat ganda dan istimewa bagi siapapun yang mengisinya dengan kebaikan. Maka selayaknya kita tak canggung dan tanggung untuk merencanakan program-program di bulan Ramadhan. Baik yang berhubungan dengan target diri sendiri, keluarga maupun masyarakat secara umum. Mari lihat kembali, sedahsyat apa program kita di bulan Ramadhan tahun ini.

Apakah program yang terencaa sudah terealisasi? Sementara Ramadhan hanya tersisa beberapa hari lagi.

Semoga Allah menerima ibadah puasa kita tahun ini.

 

Muhasabah/Ust. Abu Umar Abdillah

Khutbah Iedul Adha: Taat Saat Ringan dan Berat

TAAT SAAT RINGAN DAN BERAT

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Majalah ar-risalah

 

إِنَّ الْحَمْدَ للهِ نَحْمَدُهُ وَنسْتعِينُهُ وَنسْتغْفِرُهُ وَنعُوذ باللهِ مِنْ شُرُورِ أَنفُسِنَا وَمِنْ سَيّئاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ ولا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون
يَاأَيُّهَاالنَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
أما بعد

فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَديثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّ اْلأُمُورِ مُحْدَثاَتِهَا وَكُلَّ مُحْدَثــَةٍ بدْعَةٌ وَكُلَّ بدْعَةٍ ضَلاَلةٌ وَكُلَّ ضَلاَلةٍ فيِ النَّارِ
الله أكبر الله أكبر لا إله إلا الله الله أكبر الله أكبر ولله الحمد

Jamaah shalat Idul Adha rahimakumullah

Hari ini kita merayakan hari raya Idul Adha. Kita kenang dan kita hayati bersama kisah sebuah keluarga di dalam mencapai dan mencari ridha Allah subhanahu wataala. Keluarga yang senantiasa taat kepada Allah, baik di saat ringan maupun berat.

Allah telah mengisahkan kepada kita, ketika Ibrahim alaihissalam berbahagia dengan kelahiran puteranya yang bertahun lamanya dinanti. Muhammad Ali As-shabuni di dalam tafsir beliau mengatakan bahwa Allah mengaruniakan putra pertama kepada Ibrahim ketika beliau berusia 120 tahun. Kurang lebih 75 sampai 80 tahun setelah usia pernikahan beliau. Allah perintahkan beliau membawa istrinya, Hajar dan juga puteranya yang bernama Ismail ke Bakkah atau Mekah, tempat yang sangat sepi, tandus tak ada pepohonan maupun cadangan air.

Saat beliau hendak meninggalkan keduanya, Hajar alaihassalam bertanya, “Mengapa Kau tinggalkan kami di sini?” Ibrahim tak mampu menjawab apa-apa. Lalu Hajar bertanya, “Apakah ini perintah Allah?” Beliau menjawab, “Iya.” Hajar pun berkata, “Kalau begitu, pastilah Allah tidak akan menelantarkan kami!”

Hajar alaihassalam tidak menyangka bahwa nantinya Mekah menjadi begitu makmur dan tak pernah sepi sedikitpun dari orang-orang yang mengunjunginya. Mata air zam-zam yang Allah anugerahkan untuk beliau berkahnya hingga sekarang dirasakan jutaan manusia setiap harinya.Yang beliau tahu ketika itu adalah beliau harus taat terhadap perintah Allah, dan kesudahan yang baik diberikan kepada hamba-Nya yang bertakwa.

Pun demikian ketika Ismail, putra yang kelahirannya ditunggu selama bertahun-tahun itu sudah dapat pergi bersama dengannya, pada saat anaknya betul-betul menjadi penyejuk matanya, beliau bermimpi diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih putra yang dicintainya, sedangkan mimpi para Nabi adalah wahyu.

Kita dapat merasakan betapa berat ujian Nabi Ibrahim alaihissalam ketika itu, namun bagi beliau perintah Allah adalah segalanya, sehingga beliau berkata kepada putranya,

بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَىٰ

“Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!”

Kita saksikan betapa taatnya ia kepada Allah sehingga dengan mantap ia berkata,

يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّـهُ مِنَ الصَّابِرِينَ

“Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”

 

Jamaah shalat Idul Adha rahimakumullah

Di dalam tafsir Ibnu Katsir dikisahkan sebuah riwayat dari Abu Hurairah yang menceritakan tentang keluarga Nabi Ibarahim alaihissalam. Ketika Nabi Ibrahim bermimpi menyembelih putranya, setan berkata, “Jika kau tidak bisa menggoda mereka kali ini maka aku tidak akan menggodanya selama-lamanya.”

Ketika Ibrahim alaihissalam keluar bersama putra beliau, setan mendatangi istri beliau dan berkata, “Kemana Ibrahim pergi berasama anakmu?”

Beliau menjawab, “Untuk suatu keperluan.”

Setan menyangkal, “Dia pergi bukan untuk satu keperluan, tetapi dia pergi untuk menyembelih anakmu.”

Beliau berkata, “Mengapa dia hendak menyembelih anakku?”

Setan menjawab, “Ibrahim mengaku bahwa Rabbnya telah memerintahkan ia untuk itu.”

Beliau menjawab, “Alangkah baiknya jika dia melaksanakan perintah Rabbnya.”

Kemudian setan pergi dan menyusul putra Ibrahin lalu berkata, “Nak, hendak diajak kemana kamu oleh ayahmu?”

Beliau menjawab, “Untuk suatu keperluan.”

Setan berkata, “Dia mengajakmu bukan untuk satu keperluan, tetapi untuk menyembelihmu.”

Beliau bertanya, “Dengan alasan apa ayah hendak menyembelihku.”

Setan menjawab, “Dia mengaku bahwa Rabbnya memerintahkan hal itu.”

Maka beliau berkata, “Demi Allah jika Allah memerintahkan itu maka sudah seharusnya ayah mengerjakannya. Maka setan pun pergi meninggalkannya dengan putus asa.”

 

Jamaah shalat Idul Adha rahimakumullah

Saat Ibrahim alaihissalam diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih puteranya, beliau tidak tahu sebelumnya bahwa nantinya Ismail akan digantikan dengan seekor domba. Yang beliau tahu bahwa beliau harus menjalankan perintah Rabbnya. Lalu Allah memberikan kejutan yang membahagiakan kepadanya, sebagai balasan atas kesetiaan beliau terhadap perintah Rabbnya. Maka kesudahan yang baik adalah bagi orang yang bertakwa.

Sebagaimana juga Nabi Musa alaihissalam tidak tahu sebelumnya, bahwa nantinya laut akan terbelah setelah tongkat beliau dipukulkan ke lautan. Yang beliau tahu bahwa itu adalah perintah Allah dan pasti Allah memberikan jalan keluar.

Nabi Nuh alaihissalam juga tidak tahu bahwa akan terjadi banjir bandang, saat beliau membuat kapal di musim kemarau hingga ditertawakan kaumnya. Beliau hanya menjalankan perintah, lalu Allah memberikan kesudahan yang baik bagi beliau dan orang-orang yang mengimaninya.

 

Jamaah shalat Idul Adha rahimakumullah

Jalan itu pula yang diikuti oleh para sahabat Nabi yang merupakan generasi terbaik umat ini. Mereka berjalan dengan menggunakan instrumen keimanan. Semangat keimanan melahirkan ruh-ruh ketaatan. Semboyannya adalah sami’na wa atha’na, kami mendengar dan kami taat. Tanpa ada keraguan apalagi kecurigaan terhadap syariat. Karena semua itu datang dari Yang Mahatahu dan Mahabijaksana.

Sepenggal kisah di malam Perang Ahzab bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita. Saat itu udara sangat dingin menusuk tulang, kelaparan mendera, dan musuh mengancam kaum muslimin. Ketika itu Nabi shallallahu alaihi wasallam memberikan tawaran kepada para sahabat,

“Adakah seseorang yang mau berangkat untuk melihat apa yang dilakukan musuh lalu melaporkan kepada kita?” Nabi mempersyaratkan ia kembali dan Allah akan memasukkannya ke dalam jannah. Namun tak satupun berdiri karena memang beratnya kondisi mereka ketika itu. Nabi shallallahu alaihi wasallam mengulangi tawarannya dan menjanjikan bagi yang bersedia menjalankan tugas itu maka akan menjadi teman dekatnya di jannah. Pun tidak ada yang berdiri menyambut tawaran. Ketika tak ada satupun yang berdiri, maka Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

يَاحُذَيْفَةُ، فَاذْهَبْ فَادْخُلْ فِي الْقَوْمِ فَانْظُرْ مَايَفْعَلُونَ وَلاَتُحْدِثَنَّ شَيْئًاحَتَّى تَأْتِيَنَا

‘Hai Hudzaifah, pergilah menyusup ke tengah-tengah mereka dan lihat apa yang mereka lakukan. Jangan kau bertindak apapun sampai engkau menemuiku.” (HR Ahmad)

Hudzaifah menyadari bahwa ini bukan lagi tawaran, melainkan perintah yang tidak ada alasan untuk membantah. Maka beliau pun berangkat meski dalam kondisi berat. Karena tidak ada jawaban lain bagi seorang mukmin ketika mendapat perintah dari Allah dan Rasul-Nya melainkan ucapan, “sami’na wa atha’na”, kami mendengar dan kami taat.

 

Jamaah shalat Idul Adha rahimakumullah

Tatkala larangan khamr diberlakukan dengan turunnya ayat tentang haramnya khamr maka serentak mereka mengatakan, “intahaina ya Rabb, Kami berhenti wahai Rabb!” Tak ada pilihan lain lagi selain itu.

Tatkala turun syariat hijab, para shahabiyah tidak meminta waktu untuk membuat mode hijab yang membuat mereka semakin cantik, tapi mereka langsung menyambar kain apapun yang ada didekat mereka.

Begitupun tatkala syariat jihad ditegakkan atas para shahabat, meski mengandung resiko harta dan nyawa, mereka berangkat menunaikan perintah Allah,

“Berangkatlah baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS. at-Taubah: 41)

Ayat ini menampik alasan-alasan orang yang malas dan was-was, dan para sahabat mampu menepis semua itu, mereka mendengar dan taat. Begitulah jawaban dan reaksi orang yang beriman pada saat menerima titah dari Rabbnya.

Ini berbeda dengan ahli kitab yang tatkala mendapat perintah dari Allah mereka berkata sami’na wa ashaina, kami mendengar dan kami durhaka. Allah Ta’ala berfirman,

“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkat bukit (Thursina) di atasmu (seraya Kami berfirman): “Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan dengarkanlah!” Mereka menjawab: “Kami mendengar tetapi tidak mentaati.” (QS. al-Baqarah: 93)

Berbeda pula dengan respon orang-orang munafik yang mengatakan “sami’na” kami mendengar, wahum laa yasma’un, padahal mereka tidak sudi mendengarkan. Allah Ta’ala berfirman,

“Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang (munafik) vang berkata “Kami mendengarkan, padahal mereka tidak mendengarkan.” (QS. al-Anfal: 21)

Itulah tiga tipe manusia yang Allah sebutkan di dalam al-Qur’an tatkala merespon perintah dan larangan dari Allah, hendaknya kita mawas diri, di kelompok mana kita berada. Mengikuti para Nabi dan para sahabat, ataukah ahli kitab dan munafiqin yang mewarisi tradisi Iblis dalam keengganannya untuk taat.

 

Jamaah shalat Idul Adha rahimakumullah

Marilah kita mantapkan di dalam hati sanubari kita bahwa kecintaan kita kepada keluarga, istri dan anak-anak kita, kepada harta benda yang kita kumpulkan diletakkan dibawah kecintaan kita kepada Allah subhanahu wataala.

Nabi Ibrahim mencintai istri dan anak-anak beliau, namun jelas kecintaan Nabi Ibrahim kepada Allah jauh lebih tinggi dibandingkan kecintaan kepada mereka. Kecintaannya kepada Allah menyebabkan ia siap berpisah dengan apapun ketika itu merupakan perintah dari Allah subhanahu wataala.

Marilah kita bermuhasabah, introspeksi diri. Jangan sampai hanya karena mencari harta yang tak seberapa ibadah kita menjadi tak sempurna. Hanya karena istri dan anak-anak tercinta kita lakukan hal-hal yang membuat Allah murka. Semuanya kita cinta tapi cinta kita kepada Allah lebih dari segalanya.

Semoga Allah jauhkan kita dari kesombongan dan pembangkangan dan menjadikan kita hamba yang senantiasa taat baik di saat ringan maupun berat.

Marilah kita akhiri khutbah Ied pada hari ini dengan berdoa kepada Allah:

الَّلهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَعَلَى خُلَفَائِهِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَمَنْ سَارَ عَلَى نَهْجِهِمْ وَطَرِيْقَتِهِمْ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ

 اللهم اغفِرْ لِلْمُسْلِمينَ وَالمسْلِمَاتِ والمؤمنينَ والمؤمناتِ وَأَلِّفْ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَاَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِهِمْ

اللهمَّ انْصُرْ جُيُوسَ المُسْلِمِيْنَ وَعَسَاكِرَ المُوَحِّدِيْنَ وَدَمِّرْ أَعْدَاءَكَ أَعْدَاءَ الدِّينِ وَأَعْلِ كَلِمَتَكَ إلي يَوْمِ الدِّينِ اللهُمَّ انْصُرْ دُعَاتَنَا وَعُلَمَائنَاَ المَظْلوُمِيْنَ تَحْتَ وَطْأَةِ الظالِمِين وَفِتْنَةِ الفَاسِقِينَ وَحِقْدِ الحَاقِدِيْنَ وَبُغْضِ الحَاسِدِين وَخِيَانَةِ المُنَافِقِيْنَ

اللَّهُمَّ ارزُقنا حُبَّكَ، وحُبَّ مَنْ يَنْفَعُنا حُبُّهُ عندَك، اللَّهُمَّ مَا رَزَقْتَنا مِمَّا أُحِبُّ فَاجْعَلْهُ قُوَّةً لَناَ فِيمَا تُحِبُّ، اللَّهُمَ مَا زَوَيْتَ عَنِّا مِمَّا نحِبُّ فَاجْعَلْهُ فَرَاغاً لنا فِيمَا تُحِبُّ

اللَّهُمَّ إِنِّا نعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ

اللهُمَّ اكْفِنَا بِحَلالِكَ عَنْ حَرَامِكَ، وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ

وَصَلِّ عَلي خَيْرِ خَلْقِكَ وَأَفْضَلِ نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ وَعَلي آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا

وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ العَالمَين

 

DOWNLOAD VERSI PDF NYA DI SINI: Khutbah Iedul Adha 1439 H

 

 

Tradisi Tak Suci di Tanah Suci

Hal paling mengharukan yang disaksikan dan dirasakan saat keberangkatan haji menuju tanah suci adalah ucapan talbiyah, “labbakaillahumma labbaik, labbaika laa syariika laka labbaik…” , Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah,aku penuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu. Senandung itu begitu menggetarkan hati orang yang rindu untuk berhaji. Ucapan yang merupakan ikrar tauhid yang mestinya tak diingkari, dan pernyataan untuk berlepas diri dari kesyirikan yang merupakan dosa tak tertandingi. Alangkah sayang jika dalam perjalanan sampai ke tanah suci, kemudian ikrar suci itu menjadi tercemari.

Sebagai tempat yang suci, tanah Haramain (Madinah dan Mekah) yang juga bertebaran di dalamnya keutamaan, juga kaya akan tilas sejarah yang membekas di hati kaum muslimin, tidak luput dari sikap pengagungan yang berlebihan. Ada yang terbilang ringan, kesalahan persepsi hingga yang masuk dalam kategori fatal dalam timbangan akidah Islam.

Waqaf Mushaf al-Qur’an di Masjid Nabawi

Bagi orang-orang yang berhaji maupun mu’tamirin yang memulai miqatnya dari Dzul Hulaifa (Bir Ali), yang datang melalui Madinah, biasanya akan tinggal beberapa hari di Madinah. Ada pemandangan harian yang bisa disaksikan, di jalan masuk pelataran Masjid Nabawi banyak orang menawarkan mushhaf al-Qur’an dengan kalimat, “waqaf…waqaf…!”

Ada sugesti yang melatari iklan ini. Banyak jamaah haji yang membeli mushhaf yang mirip dengan cetakan mushhaf yang terdapat di rak-rak masjid Nabawi. Bukan untuk dibaca sendiri, namun untuk diwakafkan di Masjid Nabawi. Tampaknya ini wajar  dan secara asal memang tidak masalah, karena wakaf adalah bentuk amal shalih. Namun ternyata ini bukan sembarang wakaf. Ada keyakinan bahwa cara ini dipercaya bisa menjadi sarana orang yang berhaji kelak bisa kembali lagi ke masjid Nabawi. Sampai batasan ini barangkali masih ada dasar yang bisa dijadikan argumen. Bahwa amal shalih bisa menjadi wasilah terkabulnya doa, sebagaimana kisah tiga orang yang terjebak dalam goa dalam hadits yang shahih. Di mana doa mereka untuk bisa keluar dari goa dikabulkan Allah setelah menyebutkan jenis amal yang menjadi unggulannya.

Baca Juga: Makanan Haram, Merusak Tabiat dan Jasad

Persoalannya, ketika hal itu menjadi rumus paten yang diyakini; yakni ada amal khusus, di tempat yang khusus, lalu bisa menghasilkan khasiat yang khusus pula. Amal khusus itu adalah wakaf mushhaf al-Qur’an, tempat khusus itu adalah masjid Nabawi, dan hasil khusus itu adalah bisa kembali ke masjid Nabawi. Jika salah satu variabel tidak ada, hasilnya dipercaya juga akan meleset. Kalau sudah sampai tingkatan ini, tentu membutuhkan dalil yang khusus.

Dari sekian banyak fadhilah dan keutamaan terkait masjid Nabawi, sedangkal pengetahuan Penulis, tak ada riwayat shahih yang secara khusus menyebutkan tentang jenis amal ini. Di antara yang tersebut dalilnya adalah keutamaan ‘raudhah’, tempat antara rumah Nabi dan mimbar beliau. Ada juga keutamaan shalat di masjid Nabawi sebagaimana hadits Nabi,

صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ، إِلَّا المَسْجِدَ الحَرَام

“Sholat di masjidku ini (Nabawi) lebih utama seribu kali daripada shalat di tempat lain kecuali Masjidil Haram.” (HR Bukhari)

Memberi Makan Merpati di Tanah Suci

Memasuki kota Mekah, di jalan-jalan kota, maupun sekitar pelataran Masjdil Haram tampak banyak burung-burung Merpati yang bergerombol. Ada pula para penjual yang menawarkan biji-bijian dengan harga satu riyal sebungkus plastik kecil untuk memberi makan merpati.

Ternyata, ada pula keyakinan khusus tentang ini. Bahkan sebagian orang yang berhaji telah dibekali biji-bijian dari rumah oleh keluarganya atau kerabatnya untuk tujuan yang sama. Ada yang meyakini bahwa burung-burung itu adalah keturunan merpati  yang menjaga goa Tsur saat Nabi shallallahu alaihi wasallam dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu hijrah. Padahal tak ada bukti pasti yang menunjukkan hal ini. Bahkan riwayat tentang adanya burung merpati di depan goa pun banyak dikritisi keshahihannya oleh para ulama.

Baca Juga: Kejatuhan Cicak, Sinyak Ketiban Sial?

Keyakinan lainnya, burung merpati itu akan mendoakan orang yang memberi makan kepadanya. Anehnya, hanya merpati di Mekah yang diberi kepercayaan begitu tinggi dalam hal ini. Memang terdapat dalil, bahwa hewan-hewan ada yang mendoakan manusia, secara khusus Nabi menyebutkan bagi para penuntut ilmu. Tapi ini tidak dikhususkan bagi hewan merpati di Mekah. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ حَتَّى النَّمْلَةَ فِي جُحْرِهَا، وَحَتَّى الْحُوتَ فِي الْبَحْرِ لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْر

“Sesungguhnya Allah, malaikat-Nya hingga semut di lobangnya juga ikan-ikan di laut bershalawat atas orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.” (HR Thabrani)

Maksud shalawat semut dan ikan adalah mendoakan kebaikan, wallahu a’lam.

Oleh-oleh Jimat dari Tanah Suci

Yang paling fatal di antara yang dilakukan sebagian orang yang berhaji adalah membawa barang-barang khusus yang diyakini memiliki tuah atau berkah dan berkhasiat mendatangkan suatu kemaslahatan ataupun kemudharatan.

Ada yang sengaja mengambil (mencuri?) tanah di kuburan Baqi meski dilarang keras oleh petugas. Tujuannya tak lain karena memiliki keyakinan bahwa tanah itu memiliki berkah, bisa mendatangkan rezeki atau kemaslahatan lain, maupun bisa mencegah suatu jenis keburukan. Padahal Allah dan Rasul-Nya tidak menetapkan atau mengabarkan adanya khasiat ini. Akal sehat juga tidak membenarkan tindakan ini. Juga orang yang membawa pulang kerikil yang dipakai untuk melempar jumrah.

Tampak pula, orang berjejal untuk menyentuh dinding Ka’bah, lalu mengusap-usapkan peci, surban atau pakaiannya ke dinding Ka’bah, kemudian barang tersebut disakralkan setibanya di tanah air mereka. Sebagian juga percaya bahwa barang yang diusapkan ke dinding Ka’bah itu telah mengandung berkah khusus dan bisa dijadikan jimat, wal ‘iyaadzu billah.

Yang disyariatkan adalah mencium Hajar Aswad atau menyentuhnya, dan menyentuh rukun Yamani, bukan semua dinding Ka’bah. Dari faedahnya juga telah disebutkan Nabi secara khusus,

إِنَّ مَسْحَهُمَا كَفَّارَةٌ لِلْخَطَايَا

“Sesungguhnya mengusap keduanya (Hajar Aswad dan Rukun Yamani) dapat menghapuskan dosa-dosa.” (HR Tirmidzi)

Wallahu Ta’ala A’lam. 

 

OleH: Ust. Abu Umar Abdillah/Syubhat/Majalah ar-risalah

 

Tanda Haji Kita Diterima

Haji, adalah panggilan Allah bagi hamba-Nya yang beriman lagi mampu, setidaknya sekali seumur hidup. Tentu bagi yang diberi rejeki berkesempatan haji, ini merupakan momen yang super istimewa dalam hidupnya. Bagaimana tidak, ia datangi undangan Allah di tempat dan waktu yang disepakati. Selama prosesi itu hati, lisan dan anggota badan senantiasa fokus dan menikmati ‘hidangan’ sebagai tamu Allah. Hidangan yang pastinya menyehatkan hati dan memperbaiki perilaku bagi yang menikmati. Yang diharapkan, saat ia kembali ke tanah air menjadi pribadi yang sehat jiwanya, lebih matang kepribadian baiknya dan lebih rajin ibadahnya. Dan dalam waktu yang bersamaan, ia makin jauh dari dosa dan kemaksiatan.

Baca Juga: Memakai Obat Penunda Haid Saat Haji dan Umrah 

Imam Hasan al-Bashri menjelaskan indikasi keberhasilan haji seseorang, “Haji mabrur adalah pulang dalam keadaan zuhud terhadap dunia dan mencintai akhirat.” Beliau juga mengatakan, “Tandanya adalah meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan sebelum haji.” Senada dengan beliau, Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan, “Dikatakan bahwa tanda diterimanya haji adalah meninggalkan maksiat yang dahulu dilakukan, mengganti teman-teman yang buruk menjadi teman-teman yang baik, dan mengganti kegiatan-kegiatan yang melalaikan menjadi majlis dzikir dan kesadaran.”

Tapi bagi yang tidak berhaji tahun ini, jangan sampai lupa bahwa hakikatnya ia juga mendapat undangan dari Allah, bahkan lima kali dalam sehari. Agar ia datang di tempat dan waktu yang telah ditetapkan. Bagaimana kita mimpi mendatangi undangan Allah ke tempat yang jauh, biaya yang besar, antri yang lama sementara kita abaikan panggilan ke tempat yang dekat, murah dan mudah.

Dituntut pula kita fokus dan khusyuk saat menjadi tamu Allah di lima waktu. Pun juga diharapkan sepulang dari ‘bertamu’ kita kepada Allah akan tampak bekas yang dibawa. Dan bekas yang paling tampak dari shalat adalah hendaknya ia meninggalkan dosa dan maksiat. Sebagaimana firman Allah,

“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (QS. al-Ankabut: 45)

Maka jika kita dapati diri begitu mudah terjerumus ke dalam maksiat, kurang peka terhadap dosa dan berkali-kali melanggar syariat-Nya, kita periksa kembali shalat kita, karena pasti ada yang tidak beres padanya.

Baca Juga: Haji dan Jihad Syariat Sampai Hari Kiamat

Sebagaimana pengharapan utama setelah mendatangi undangan Allah yang seumur hidup sekali, dan yang lima kali sehari adalah terhapusnya dosa dan maksiat, maka itu pula yang kita harapkan saat kita dipanggil untuk terakhir kali. Yakni ketika Allah memanggil kita di sisi-Nya, takkan kembali lagi ke dunia, semoga dalam keadaan baik dan bersih dari noda dan dosa. Agar masuk dalam bilangan orang yang difirmankan Allah, “(Yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka): “Salamun ‘alaikum (keselamatan sejahtera bagimu)”, masuklah ke dalam syurga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. An Nahl: 32)

Aamiin. 

Oleh: Abu Umar Abdillah 

 

Tema Lainnya: Haji, Shalat, Ibadah

 

‘Wukuf’ di Negeri Sendiri

Memasuki bulan haji, semua hati terketuk pasti. Yang belum berhaji makin kuat mimpinya, yang pernah haji ingin sekali mengulang lagi. Satu diantara momen penting haji, bahkan inti dari haji adalah wukuf di Arafah, sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam hadits yang shahih dari An-Nasa’I, Tirmidzi dan yang lain, “al-hajju ‘arafah”, (inti) haji adalah (wuquf di) Arafah.

Baca Juga: Pandai-pandailah Merasa Berdosa

Makna wukuf adalah berhenti, atau berdiam diri. Dalam prosesi haji, wukuf adalah hadir dan berada di lokasi mana saja di batasan wilayah Arafah, walaupun dalam keadaan tidur, sadar, berkendaraan, duduk, berbaring atau berjalan, termasuk pula dalam keadaan suci atau tidak suci (seperti haidh, nifas atau junub). (Fiqih Sunnah, 1: 494). Aktivitas ini dilakukan  pada hari Arafah (9 Dzulhijjah) sejak matahari tergelincir (zawal). Tentu saja aktivitas yang dianjurkan adalah memperbanyak ibadah dan taqarrub kepada Allah. Dan selama wukuf seseorang tidak boleh keluar dari area Arafah yang hari ini telah diberi tanda batas yang bertuliskan ‘bidayatu ‘arafah’ (permulaan Arafah) jika terlihat dari luar, dan ‘nihayatu ‘arafah’ (batas akhir arafah) jika dibaca dari dalam area Arafah.

Hari itu dan di tepat itu Allah mengabulkan doa orang-orang yang berdoa, dan Allah membebaskan banyak orang dari neraka. Singkatnya, banyak sekali fadhilah wukuf di hari Arafah yang tentu sangat diharapkan oleh setiap muslim untuk mendapat peluang emas itu.

Namun bagi yang tidak berangkat berhaji karena suatu hal, ada nasihat berharga dari Imam ibnu Rajab al Hambali, “man lam yastathi’il wuquf bi’arafah falyaqif nafsahu ‘inda huduudillahilladzi ‘arafah’, barangsiapa yang tak mampu wukuf di Arafah, maka hendaknya ia wukuf (berdiam) di batasan-batasan yang Allah tetapkan yang telah ia ketahui.”

Baca Juga: Memakai Obat Penunda Haid Saat Umrah & Haji

Inilah wukuf yang dituntut sepanjang tahun, tak hanya di bulan-bulan yang khusus. Yakni dengan cara mencari tahu dan memahami batasan halal dan haram, sehingga dia membatasi perkara-perkara yang halal untuk diambil dan dilakukan. Ia juga memahami perintah dan larangan, lalu menjalankan perintah dan menjauhi larangan.

Maka barangsiapa yang konsisten dengan itu semua, doanya akan makbul setiap saat. Karena mencukupkan diri dengan yang halal adalah faktor dominan diijabahinya doa seseorang. Dan selagi seseorang berada dalam ‘wukuf’ seperti ini, maka aktifitasnya tidak kosong dari nilai taqarrub dan ibadah. Karena yang dimaksud ibadah adalah segala aktifitas yang dicintai oleh Allah, diridhai oleh-Nya, baik perkataan maupun perbuatan, yang lahir maupun yang batin sebagaimana dijelaskan oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dan yang lain. Maka pantaslah orang yang mengisi hari-harinya dengan ibadah untuk dibebaskan dari neraka, wallahul muwaffiq. (Abu Umar Abdillah/Muhasabah/Wukuf)

 

Tema Terkait: Haji, Syariat, Muhasabah

 

Poster Manasik Umroh

Umroh merupakan ibadah yang tidak setiap muslim bisa menunaikannya. Selain karena terkendala biaya dan jauhnya safar, adapula yang memang belum mengerti betapa agung pahalanya. Untuk itu Rasulullah bersabda,

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَابِعُوا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوبَ كَمَا يَنْفِي الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ وَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلَيْسَ لِلْحَجِّ الْمَبْرُورِ ثَوَابٌ دُونَ الْجَنَّةِ

Dari Abdullah, ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ikutkanlah antara haji dan umrah, keduanya dapat menghilangkan kefakiran dan dosa sebagaimana peniup api menghilangkan kotoran besi, emas, serta perak. Dan tidak ada pahala bagi haji selain Surga.” (HR. Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad)

Adapun bagi wanita, Haji dan Umroh adalah jihadnya bagi mereka, sebagaimana Nabi bersabda,

“……Bagi kaum wanita mempunyai kewajiban berjihad tanpa berperang, yaitu haji dan umrah.” (HR. Ibnu Majah)

Sungguh bahagia bagi siapa yang memiliki kecukupan harta lalu bisa pergi bersafar menunaikan ibadah Umroh. Selain pahala dan keutamaan yang tersebut diatas, masih banyak lagi keutamaan yang belum kami tuliskan.

 

Bagi yang hendak bepergian dan belum mengerti runtutan ibadah umroh apa saja, di bawah ini kami berikan gambaran dalam poster supaya membantu jamaah sekalian untuk melaksanakan ibadah yang mulia ini.

 

arrisalahnet poster manasik umroh
                            previw poster

Ukuran a3 Silahkan disebarkan dan cetak untuk kebaikan kaum muslimin. Download disini:

[download id=”6774″]

 

 

Memakai Obat Penunda Haid saat Umrah dan Haji

Pertanyaan :

Bagaimana hukum tentang pemakaian obat penunda haidh pada saat akan melaksanakan umrah dan haji?

‘Amatullah di semarang

 

Jawaban :

Alhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa man tabi’a hudah, wa ba’du

Memang ada perbedaan, antara laki laki dan wanita, misalnya dalam haidh (kebiasaan keluarnya darah wanita yang sudah menjadi ketatapan Allah). Maka jangan ikuti kaum liberal yang seolah olah membela hak wanita dan menuntut kesetaraan dengan pria, padahal itu semua adalah kesesatan yang nyata, lihat saja keinginan mereka menjadikan wanita sebagai imam shalat bagi makmum laki laki dan wanita, minta kebebasan wanita untuk keluar rumah dan mengambil peran laki laki dalam dunia pekerjaan, dan masih banyak contoh kesesatan yang semisalnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Meskipun ada perbedaan tapi laki laki dan perempuan memiliki persamaan sebagai hamba Allah, sama sama berkewajiban untuk menunaikan kewajiban yang diperintahkan Allah.

Allah maha Adil, Karena diciptakan dengan kodrat yang berbeda, maka dalam praktek ibadah pun ada perbedaan, bila haidh maka wanita tidak wajib shalat, bahkan haram hukumnya shalat ketika haidh dan tidak diperintahkan untuk menggati shalat yang ditinggal saat haidh. Beda lagi dengan ibadah puasa dibulan Ramadhan, meski tidak berpuasa karena haidh, bila telah suci dari haidhnya diperintahkan untuk mengqadha (menggati) puasa.

Ulama membolehkan wanita mengkonsumsi obat penunda haidh baik untuk ibadah puasa wajib ataupun haji dan umrah, namun ada syaratnya, obat yang ditelan harus jelas kehalalannya; tidak membahayakan bagi tubuh, perasaannya serta rahimnya (sehingga bisa mengganggu kekhusyu’an ibadahnya); dan jika sudah menikah mendapat izin dari suaminya.

Namun ada juga ulama (diantaranya Syaikh Ibnu Utsaimin) yang menyarankan muslimah untuk tidak mengkonsumsi obat penunda haidh, karena setiap kondisi muslimah berbeda satu dengan yang lainnya. Menunda darah haidh yang seharunya keluar bisa menimbulkan efek yang berbeda bagi setiap muslimah, dan semua amalan dalam ibadah haji tetap bisa dilakukan oleh muslimah meski ia mendapati haidh kecuali ibadah thawaf.

(Ust. Taufik al-Hakim, Lc)

Hukum Wanita Menghajikan Laki-laki

Apakah boleh bagi seorang wanita menghajikan bapaknya?

 

Alhamdulillah

Ibnu Qudamah dalam “al Mughni” 5/27 berkata:

“Seorang laki-laki boleh mewakili sorang laki-laki ataupun wanita dalam ibadah haji, begitu juga sebaliknya menurut pendapat kebanyakan para ulama, tidak ada yang menyelisihi pendapat ini kecuali Hasan bin Shaleh, bahwa ia menjadikan makruh jika seorang wanita menghajikan laki-laki. Ibnul Mundzir berkata: ini adalah kelalaian terhadap teks hadits; karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyuruh seorang wanita menghajikan bapaknya”.

Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: Apakah boleh bagi seorang wanita menghajikan bapaknya, meskipun ia memiliki saudara laki-laki yang sudah baligh?

Beliau menjawab:

“Seorang wanita boleh menghajikan bapaknya, meskipun ia memiliki saudara laki-laki yang sudah baligh, perwakilan haji itu boleh dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan.”

Dari Abdulah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata: “Suatu ketika seorang wanita dari Khots’am mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya : “Wahai Rasulullah, kewajiban haji dari Allah belum dilaksanakan oleh bapakku sampai sekarang, sedang ia sudah sangat tua tidak mampu lagi menaiki kendaraan, apakah saya boleh menghajikannya?, beliau menjawab: “Ya”. Dan peristiwa itu terjadi pada haji wada.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ini adalah hajinya seorang wanita untuk laki-laki, tapi dengan syarat harus berangkat dengan mahram, baik dalam perjalan haji untuk dirinya atau orang lain maupun perjalanan yang lainnya”. (Fatawa Ibnu Utsaimin21/247), diringkas dari islamqa.