Hidayah itu Dicari Bukan Dinanti

Salah jika kita berpikir bahwa mendapat hidayah berarti Allah menurunkan malaikat yang akan menuntun seseorang sesat, lalu masuk Islam, bertaubat, menuntunnya melakukan amal kebaikan setiap saat sepanjang hidupnya tanpa ada usaha dari orang tersebut.

Hidayah adalah petunjuk yang secara halus menunjukkan dan mengantarkan kepada sesuatu yang dicari. Dan yang paling dicari manusia -semestinya- adalah keselamatan akhirat khususnya dan keselamatan di dunia. Untuk mendapatkannya, Allah telah memberi bekal bagi setiap manusia dengan berbagai arahan yang akan membawanya menuju keselamatan. Namun Allah juga memberinya pilihan. Sehingga ada yang mengikuti petunjuk lalu selamat dan ada yang tidak mengacuhkannya lalu celaka.

Jika kita cermati tahapan hidayah berikut ini, kita akan tahu bahwa setiap manusia pada dasarnya memiliki kesempatan yang sama untuk mendapat hidayah. Hanya saja tidak semua orang mau berjalan mengikuti cahaya hidayah, menapaki jalan yang lurus. Kebanyakan mereka justru memilih jalan sesat hingga akhirnya celaka di akhirat.

 

Tahapan Hidayah

Imam Ibnul Qayim dan Imam al Fairuz Abadi menjelaskan, Allah telah memberikan petunjuk secara halus kepada setiap manusia agar selamat hingga hari kiamat, bahkan sejak hari kelahirannya. Beliau menyebutkan;

Tahapan pertama adalah memberikan al-hidayah al-amah, hidayah yang bersifat umum yang diberikan kepada setiap manusia, bahkan setiap makhluknya. Yaitu petunjuk berupa insting, akal, kecerdasan dan pengetahuan dasar agar makhluknya bisa mencari dan mendapatkan berbagai hal yang memberinya maslahat. Hidayah inilah yang dimaksud dalam ayat,

“Musa berkata:”Rabb kami ialah (Rabb) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk”. (QS. Thaha: 50)

Dengan bekal ini, manusia bisa menyerap, memahami dan melaksanakan berbagai arahan dan bimbingan yang diberikan kepadanya.

Tahapan kedua adalah hidayatud dilalah wal bayan atau hidayatul Irsyad, yaitu petunjuk berupa arahan dan penjelasan yang akan mengantarkan manusia kepada keselamatan dunia-akhirat. Semua itu terangkum dalam risalah yang disampaikan melalui Nabi dan Rasul-Nya. Allah berfirman,

“Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami.” (QS. 21:73)

Risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah hidayatul bayan yang paripurna yang telah Allah berikan kepada manusia. Sifatnya hanya memberi penjelasan dan arahan agar manusia bisa meraih keselamatan. Mengikuti atau tidak, Allah memberikan pilihan kepada setiap manusia berupa ikhtiar. Sehingga ada diantara mereka yang mengetahui, kemudian mengikuti dan terus melazimi hingga menjadi mukmin yang taat, namun ada pula yang enggan bahkan menentang. Yang mengetahui, lalu mengikuti dan berusaha tetap berada diatas kebenaran akan selamat, sebaliknya yang mengetahui lalu berpaling akan binasa.

Baca Juga: Biografi Iblis, Si Pembangkang Hingga Akhir Zaman

Kemudian, fase ketiga adalah hidayatut taufiq, yaitu petunjuk yang khusus diberikan kepada orang-orang yang dikehendaki Allah. Hidayah yang menuntun hati seseorang untuk beriman dan beramal sesuai dengan tuntunan-Nya. Cahaya yang menerangi hati dari gelapnya kesesatan dan membimbingnya menuju jalan kebaikan. Hidayah yang mutlak hanya dimiliki dan diberikan oleh Allah inilah yang melunakkan hati seseorang hingga ia mau menjawab seruan dakwah. Dan hidayah ini pulalah yang menuntun mereka agar tetap berada di atas jalan yang lurus.  

Hidayah ini adalah buah dari hidayatul irsyad. Seseorang tidak mungkin akan mendapat hidayah ini jika belum mendapatkan hidayatul irsyad sebelumnya. Namun, tidak semua orang yang sudah mendapat hidayatul irsyad pasti mendapatkan hidayatut taufiq.  

Seperti yang sudah dipaparkan di atas bahwa tugas dan kewenangan Nabi, juga orang-orang yang menjadi pewaris para Nabi hanyalah menjelaskan dan menyampaikan. Mereka tidak akan mampu membuat atau memaksa seseorang mengikuti apa yang meraka dakwahkan, jika orang tersebut lebih memilih jalan kesesatan dan tidak diberi hidayatut taufiq oleh Allah. Allah berfirman,

“Sesungguhnya engkau takkan bisa memberikan hidayah (taufiq) kepada orang yang engkau cintai, akan tetapi Allah memberikan hidayah kepada siapa pun yang Dia kehendaki, dan Dia Maha Mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS. Al-Qashash: 56)

Yang terakhir adalah hidayah di akhirat. Petunjuk di akhirat yang menuntun manusia menuju Jannah. Rasulullah bersabda, “Demi jiwa Muhammad yang berada di tangan-Nya, salah seorang dari mereka lebih tahu arah menuju rumahnya di Jannah daripada arah menuju rumahnya di dunia.”

Keempat fase ini saling terkait secara berurutan. Tanpa adanya hidayah pertama, seseorang tidak akan bisa mendapatkan hidayah yang kedua berupa irsyad, arahan dan bimbingan dari Rasulullah. Sebab orang yang akalnya tidak sempurna (gila maupun idiot) tidak bisa menyerap dan menalar berbagai ilmu dan bimbingan dari siapapun. Kalaupun bisa, daya serapnya sangat minim, sehingga mereka justru dibebaskan dari semua taklif dan tanggungjawab. Sedang hidayah yang ketiga tidak mungkin bisa diraih sebelum seseorang mendapatkan hidayah yang pertama dan kedua. Taufiq dari Allah hanya akan turun kepada orang yang telah mendengar risalah dan kebenaran. Demikian pula hidayah yang keempat. Dan Allah maha mengetahui siapa yang benar-benar mencari dan berhak mendapatkan hidayah dari-Nya.

 

Hidayah Harus Dicari

Hidayah al-amah kita semua sudah memilikinya. Adapun hidayah di akhirat, bukan lain adalah buah dari hidayah yang kedua dan ketiga. Sehingga yang harus kita cari semasa hidup di dunia adalah hidayatul irsyad dan hidayatut taufiq. Ibnu Katsier menjelaskan hidayah kita pinta dalam surat al Fatihah adalah dua hidayah tersebut.

Hidayatul irsyad adalah ilmu syar’i yang shahih dimana dengan itulah kita bisa mengetahui kebenaran (ma’rifatul haq), sedang hidayatut taufiq adalah kelapangan hati untuk mengamalkan dan selalu berada diatas kebenaran. Dua hal ini tidak akan kita dapatkan jika Allah tidak menghendaki kita mendapatkannya. Sehingga yang harus kita lakukan adalah mencari dan memohon kepada Pemiliknya. Mencari berbagai hal yang bisa mendatangkan hidayah dan berusaha menghancurkan semua yang menghalangi kita dari hidayah.

Syaikh Abdurrahman bin Abdullah as-Sahim, dalam sebuah risalahnya menjelaskan, ada beberapa hal yang bisa mendatangkan hidayah;

Yang pertama adalah bertauhid dan menjauhi syirik. Allah berfirman,

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al An’am :82)

Kedua, menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi larangannya

“Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka).” Dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi Kami. Dan pasti Kami beri mereka hdiayah kepada jalan yang lurus. (QS. An Nisa’: 66-68)

Baca Juga: Syirik, Mengharap Syafaat Peroleh Laknat

Ketiga, inabah, bertaubat dan kembali kepada Allah

“Orang-orang kafir berkata:”Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) tanda (mu’jizat) dari Rabbnya” Katakanlah:”Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi hidayah orang-orang yang bertaubat kepada-Nya. (QS. Ar Ra’du: 27)

Keempat, I’tisham, berpegang teguh kepada kitabullah

“Bagaimana kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu? Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Ali Imran: 101)

Kelima, berdoa dan berusaha keras mencarinya

Dari Ibnu Mas’ud, Nabi selalu berdoa, “

اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu hidayah, ketakwaan, penjagaan diri dan kecukupan diri.” (HR. Muslim).

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al Ankabut:69)

Ketujuh, memperbanyak dzikir

“Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran (Rabb) Yang Maha Pemurah (al-Qur’an), Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.”

“Dan sesungguhnya syaitan-syaitan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk.” (QS. Az Zukhruf:36-37).

 

Penghalang Hidayah

Selain sebab-sebab yang bisa mendatangkan hidayah, ada juga beberapa hal yang akan menghalangi masuknya cahaya hidayah ke dalam hati, diantaranya;

Pertama, Minimnya pengetahuan dan penghargaan atas nikmat hidayah.

Ada sekian banyak manusia yang tergiur dengan dunia dan menjadikannya satu-satunya hal yang paling diharapkannya. Sukses di matanya adalah capaian harta dan kedudukan di mata manusia. Kesuksesan yang bersifat ukhrawi di nomorduakan, dan berpikir bahwa hal seperti itu bisa dicari lagi di lain kesempatan. Meski sudah mendapatkan lingkungan yang baik, kesempatan belajar agama yang benar, rejeki yang halal meski sedikit, ia tidak segan meninggalkannya demi meraih dunianya. Itu karena rendahnya penghargaan atas hidayah Allah berupa teman yang shalih dan ilmu dien yang telah diberikan padanya.  Firman Allah,

“Mereka hanya mengetahui yang tampak dari kehidupan dunia; sedang tentang (kehidupan) akhirat mereka lalai. (QS. Ar Rum: 7)

Kedua, Hasad dan kesombongan.

Dua hal yang menghalangi Iblis menjalankan perintah Allah dan menjadikannya gembong dari segala kesesatan di dunia. Dua hal ini pulalah yang menghalangi kebanyakan umat terdahulu -hingga sekarang- untuk beriman. Mereka tahu yang benar, tapi keangkuhan membuat hati mereka semakin gelap dan sukar ditembus cahaya kebenaran.

Ketiga, Jabatan.

Seperti halnya Heraklius. Ia mengetahui kebenaran nubuwat Muhammad SAW, mengakui dan dengan jujur membenarkan risalah Islam. Tapi kedudukannya sebagai orang nomor satu di Romawi Timur menghalangi hatinya untuk bersyahadat, menggapai hidayah ilahi. Kasus semacam ini masih akan ada hingga hari ini.

Keempat, Syahwat dan harta.

Ketakutan akan hilangnya mata pencaharian dan berkurangnya kesempatan memuaskan syahwat akan dengan mudah memalingkan manusia dari cahaya hidayah.

Betapa banyak yang menunda taubatnya hanya karena tidak mau ‘tersiksa’ oleh godaan wanita dan minuman keras. Betapa banyak yang enggan meninggalkan penghasilan yang syubhat dan haram hanya gara-gara takut menjadi miskin dan kehilangan mewahnya kehidupan. Dan betapa banyak yang tak sudi mendekati orang-orang shalih karena khawatir tak bisa lagi menikmati pergaulan bebas. Dua penghalang ini menjadikan mata pecintanya serasa pedas saat menatap kemilau hidayah Allah. Dan merekapun terus-menerus tenggelam dalam kegelapan maksiat.

Kelima, Kebencian.

Seseorang yang membenci orang lain, si A misalnya, ketika si A mendapatkan hidayah berupa masuk Islam, taubat dari suatu maksiat, semangat belajar Islam atau yang lain, kebenciannya akan menghalanginya untuk mengikuti jejak orang yang ia benci itu. Kesombongan, gengsi dan kejengkelan tumbuh subur diatas lahan kebenciannya dan menghalangi sinar hidayah masuk menerangi hatinya.

 

Hidayah Membawa Hidayah

Satu hidayah akan membawa hidayah yang lain. Demikian pula jika manusia terjebak pada satu penghalang hidayah, ia akan semakin terjerat dan sulit melepaskan diri.

Ibnul Qayim di dalam kitab Tanwirul Hawalik mengatakan, “Hidayah akan membawa hidayah yang lain. Dan kesesatan akan mendatangkan kesesatan yang lain pula. Perbuatan baik akan mendatangkan hidayah, setiap kali amal bertambah, bertambah pulalah hidayah dari-Nya. Demikian pula kesesatan. Hal itu karena Allah menyukai amal kebajikan dan akan membalasnya dengan petunjuk dan kesuksesan dan membenci keburukan dan mengganjarnya dengan kesesatan dan kecelakaan.”

Beliau melanjutkan, “Sesungguhnya seorang hamba jika telah beriman kepada al-Qur`an dan mendapat petunjuk darinya secara global, mau menerima perintah dan membenarkan berita dari al-Qur`an, semua itu adalah awal mula dari hidayah-hidayah selanjutnya yang akan ia peroleh secara lebih detail. Karena hidayah itu tak memiliki titik akhir, seberapapun seorang hamba mampu mencapainya. Allah berfirman, “Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk. Dan amal-amal shalih yang kekal itu lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu dan lebih baik kesudahannya.” (QS. Maryam: 76). 

Wallahu a’lam.

 

Oleh: Ust. Taufik Anwar/Akidah Islam

 

 

Dua Pintu Kebaikan

 للَّهُمَّ اهْدِنِيْ وَسَدِّدْنِيْ

“Ya Allah, berilah petunjuk kepadaku dan luruskanlah diriku.”

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam mengajarkan kepada para sahabatnya doa doa, ada yang kalimatnya pendek namun maknanya sudah mencakup kebaikan dunia dan akhirat, salah satunya adalah doa yang diajarkan kepada sepupu sekaligus menantunya, Sahabat Ali bin Abi Thalib Radhiallahu’anhu, beliau bersabda :

“قُلِ اللهُمَّ اهْدِنِي وَسَدِّدْنِي، وَاذْكُرْ، بِالْهُدَى هِدَايَتَكَ الطَّرِيقَ، وَالسَّدَادِ، سَدَادَ السَّهْمِ”

“katakanlah, “Ya Allah karuniakan kepadaku hidayah dan tepatkanlah aku pada kebenaran,” beliau berkata, “permisalan petunjuk adalah yang menunjukimu jalan dan permisalan tepat pada kebenaran seperti tepatnya anak panah mengenai sasaran.” (HR. Muslim)

Dalam doa ini Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam memberikan permisalan untuk memudahkan pemahaman, sehingga doa yang diucapkan benar benar dimengerti maknanya secara jelas. Begitupulalah sebaiknya doa doa yang kita panjatkan, kita tahu arti dan maknanya, sehingga bisa khusyu’ hatinya tenang anggota badannya serta bisa pasrah dan berdoa dengan kerendahan hati. Bahkan bila kita tahu dan paham makna doa yang kita ucapkan, kita bisa merasakan kelezatan munajat kepada Rabb semesta alam.

Yang diminta hanya dua, akan tetapi keduanya meliputi kebaikan dunia dan akhirat, bahkan menjadi pintu bagi kebahagian dan kesuksesan seorang hamba.

Ketika ia meminta hidayah dan sadad ini menunjukkan hakikat dirinya sebagai seorang hamba yang sangat miskin dan butuh kepada Rabbnya. Ia sangat yakin, bahwa tidak ada yang bisa memberikan hidayah dan sadad melainkan hanya Allah saja.

Hidayah

Dalam Hadits qudsi, Allah tabaaraka wata’ala berfirman :

يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلَّا مَنْ هَدَيْتُهُ، فَاسْتَهْدُونِي أَهْدِكُمْ

“wahai hambaKu, kalian semua tersesat kecuali yang Aku beri petunjuk, maka mintalah kepadaKu petunjuk maka akan Aku tunjuki kalian.” (HR. Muslim)

Kesempurnaan pengajaran Nabi terlihat dalam hadits ini, ketika memahamkan makna doa dengan suatu yang dilihat dan dirasa. Hidayah yang diminta dimisalkan dengan seseorang yang sedang dalam safar, bila ia tidak mengetahui jalan menuju tempat tujuan, maka ia sangat butuh kepada penunjuk jalan. Bila telah mendapatkan penunjuk jalan maka ia akan dengan sangat mudah dan cepat sampai pada tujuan.

Begitulah seorang hamba dalam kehidupan di dunia ini, bila ia butuh penunjuk jalan untuk menuju tempat yang dituju di dunia ini, maka ia sangat butuh kepada petunjuk yang menuntunnya di dunia ini berjalan menuju Allah hingga sampai menuju surgaNya.

Baca juga : Masuk Dan Keluar Dengan Benar

Penunjuk jalan kadang ada yang benar benar tau kemudian ia menunjuki ke jalan yang benar, kadang ada yang tidak tahu atau tahu tapi ia ingin menyesatkan seseorang. Yang pertama ulama Rabbaniyin dan yang kedua adalah syaitan dan bala tentaranya dari golongan jin dan manusia.

Kita sangat butuh kepada ulama yang menasehati kita dan memberikan hidayah yang berupa keterangan dan penjelasan di zaman yang penuh dengan fitnah ini, kemudian kita berharap dan berdoa agar Allah memberikan kepada kita hidayah taufiq, yaitu bisa beramal sesuai dengan ilmu, keterangan dan penjelasan dari ulama.

Ketika kita memohon hidayah Allah maka mengandung permohonan supaya dihindarkan dari para penyeru kesesatan, yang menghalangi hamba hamba Allah menuju jalan yang lurus.

Sadad

Adapun permintaan sadad (tepatkanlah aku pada kebenaran), maka Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam memperumpamakan dengan seorang pemanah yang menyiapakan busur dan anak panahnya fokus membidik targetnya, tidak akan digoyangkan ke kanan dan ke kiri, akan tetapi konsentrasi, tenang penuh perhitungan dengan situasi sekitar sebagai upaya untuk tepat mengenai sasaran.

Begitu pula seorang hamba yang sendang berjalan menuju keridhaan Allah, ia akan bersiap siap, senantiasa berusaha untuk lurus tidak condong ke kanan dan ke kiri, melakukan ketaatan kepada Allah tepat sesuai dengan kehendakNya sebagaimana telah dicontohkan NabiNya yang mulia, tidak menambahi dan tidak pula mengurangi, tidak malas malasan dan tidak pula berlebih lebihan.

Dari sini kita mengetahui bahwa amalan amalan hamba tidak seluruhnya diterima, yang diterima hanyalah yang tepat sesuai dengan syari’at, dan sesuai dengan sunnah Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam.

Salah satu contoh sadad dalam alqur’an adalah sebagimana firman Allah :

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang lurus dan benar. Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa mentaati Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS Al Ahzab: 70-71)

Balasan yang sangat membahagiakan seorang hamba, dengan qoulan sadida (bertutur dengan benar dan lurus) maka akan diperbaiki oleh Allah amalan amalan yang tidak sempurna dan diampuni dosa dosa kita.

Doa ini adalah kebutuhan bagi setiap muslim, tidak bisa seorang muslim meninggalkan permintaan dua hal ini kepada Allah, hidayah yang lawannya adalah dhalal (sesat) dan sadad (lurus dan tepat) yang lawannya adalah inhiraf (menyimpang).

bila telah diselamatkan Allah di dunia ini dari kesesatan dan penyimpangan, maka kita bisa mendapat hidayah al haq, lurus dalam mendirikannya serta mendapat hidayah untuk bisa sampai ke surgaNya.

اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالسَّدَادَ

“Ya Allah, aku memohon petunjuk dan kelurusan kepadaMu.”

Hidayah Lambat Karena Adat

Allah tidak pernah terlambat memberikan hidayah. Allah Mahatahu, kapan waktu yang paling tepat untuk menurunkannya. Sebagaimana Allah juga Mahatahu, siapa yang layak didahulukan atau diakhirkan hidayahnya, atau bahkan yang tidak layak memperolah secercahpun hidayah dari-Nya.

Jikalau ada yang diperlambat datangnya hidayah, bukan karena Dia kikir atau pelit, sungguh Dia Maha Penyayang lagi Maha Pemurah. Keterlambatan, atau bahkan terhalangya seseorang dari hidayah itu disebabkan oleh ulah dan sikap manusia dalam menerima dan menyambutnya. Atau dominasi hawa nafsu yang menguasai diri, sehingga menampik datangnya hidayah. Baik hidayah Islam secara global, ataupun hidayah tafshil (yang rinci), berupa menjalankan berbagai perintah, dan menjauhi segala hal yang dilarang oleh Allah.

Adat, Hambatan Paling Berat

Saat cahaya Islam pertama kali menyapa kaum Arab Quraisy, tak serta merta disambut dengan gegap gempita. Bahkan lebih banyak penentang katimbang pendukungnya. Alasan paling populer dari para penentang adalah, karena Islam tak sejalan dengan adat dan agama nenek moyang mereka.

Taklid kepada leluhur lebih mereka utamakan dari ajakan Allah dan Rasul-Nya, meskipun hati kecil mereka meyakininya. Tak ada penghalang yang lebih berat bagi Abu Abu Thalib, paman Nabi SAW, selain beban untuk berpegang kepada agama leluhurnya. Adalah Abu Jahal yang memprovokasi Abu Thalib di ujung hayatnya. Dia membujuk, “Apakah engkau hendak meninggalkan agama Abdul Muthallib?” Hingga akhirnya Abu Thalib mati dalam keadaan musyrik. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi, sebelum meninggal, dia mengulang-ulang sya’irnya,

Aku tahu bahwa agama Muhammad terbaik bagi manusia

Kalau saja bukan karena agama nenak moyang yang dicela

Niscaya engkau dapatkan aku menerima dengan sukarela

Sikap ini mewakili sekian banyak orang yang menampik hidayah, juga enggan untuk tunduk terhadap titah Allah dan Rasul-Nya. Karakter para penentang ini dikisahkan dalam firman-Nya,

“Apabila dikatakan kepada mereka:”Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul”. Mereka menjawab:”Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. (QS. Al Maidah:104)

Ketika mereka diajak menjalankan agama Allah dan syariatnya, menjalankan kewajiban dan apa yang diharamkannya, mereka menjawab, ”cukup bagi kami mengikuti cara dan jalan yang telah ditempuh oleh bapak dan kakek kami.” Demikian dijelaskan tafsirnya oleh Ibnu Katsier rahimahullah.

Seakan al-Qur’an masih hangat turun ke bumi. Betapa alasan ini sangat populer kita dapati. Tatkala didatangkan dalil dari al-Qur’an maupun as-Sunnah, baik tentang larangan yang tak boleh dijamah, atau perintah yang mesti dilakukan, seringkali kandas ketika dalil itu tak sejalan dengan kebiasaan yang telah berjalan. ”Jangan merubah adat…!  Ini sudah tradisi para leluhur…! Biasanya memang begini…!” dan ungkapan lain yang mengindikasikan ketidakrelaan mereka jika adat diganti dengan syariat. Ungkapan seperti ini tak jarang muncul dari lisan orang yang telah menyatakan dirinya Islam, yang telah mengikrarkan bahwa ia rela Allah sebagai Rabbnya, Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, dan Islam sebagai agamanya. Tapi begitu syariat tidak sejalan dengan adat, adat lebih mereka utamakan.

Sejenak kita akan tahu bahwa, masih banyak warisan adat leluhur yang ternyata bertentangan dengan syariat, bahkan jika dirunut, tak hanya warisan nenek moyang masyarakat Indonesia, tapi warisan penyembah berhala di era jahiliyah Arab.

Kesesatan yang Dilestarikan

Atas nama melanggengkan nilai-nilai luhur tradisi nenek moyang, budaya sesaji masih tetap lestari. Dari yang hanya sekedar mempersembahkan menu ’wajib’ berupa hewan sembelihan, maupun yang berupai kemenyan, buah-buahan dan ’tetek bengek’ lain sebagai menu tambahan. Semua itu ditujukan kepada sesuatu yang diagungkan, apakah jin penunggu, arwah leluhur atau dewa yang diyakini keberadaannya.

Tradisi ini mengiringi momen-momen penting dalam kehidupan manusia, seperti peringatan kelahiran, kematian, upacara pernikahan, peresmian gedung atau jembatan, peringatan hari besar, juga untuk tujuan insidental seperti mencegah terjadinya marabahaya. Tak ketinggalan pula masyarakat kita yang mengaku dirinya muslim. Mereka turut membudayakannya dengan sedikit modivikasi dan dikemas dengan simbol-simbol Islam.

Sulit untuk mendapatkan jawaban yang memuaskan, sejak kapan tradisi sesaji bermula di negeri ini. Paling-paling kita harus puas dengan jawaban, ”itu sudah menjadi adat nenek moyang sejak dahulu.”

Jika ditelisik, sesaji tak hanya menjadi tradisi Hindu atau penganut animisme maupun dinamisme di Indonesia saja. Tapi juga merupakan adat jahiliyah Arab, yang kemudian disapu bersih dengan hadirnya Islam. Ini terlihat dari banyaknya ayat dan hadits yang melarang sembelihan untuk selain Allah, juga ancaman bagi yang melakukannya.

Dahulu, orang biasa Arab biasa menyembelih hewan di sisi kuburan, lalu Islam melarangnya. Sebagaimana hadits Nabi SAW,

لاَ عَقْرَ فِي الإِسْلاَمِ قَالَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ: كَانُوا يَعْقِرُونَ عِنْدَ الْقَبْرِ بَقَرَةً أَوْ شَاةً

“Tidak boleh ada ‘aqr (menyembelih di kuburan) dalam Islam.” (HR. Abu Dawud)

Abdurrazzaq yang meriwayatkan hadits tersebut berkata; dahulu mereka menyembelih sapi atau kambing di kuburan.

Dengan alasan mengikuti adat, tradisi itupun masih dilestarikan dengan istilah bedah bumi (‘meminta ijin’ untuk menggali liang kuburan), atau sebagai penghormatan kepada orang yang telah mati.

Padahal secara tegas Nabi SAW bersabda,

وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّه

“Dan Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah.” (HR. Muslim)

Jimat untuk kesaktian dan penangkal bahaya, juga menjadi warisan orang musyrik terdahulu. Suatu kali, sahabat Hudzaifah bin Yaman menengok orang sakit. Beliau melihat di lengan si sakit ada gelang (untuk jimat). Maka beliau langsung melepasnya sembari membaca firman Allah,

“Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah ( dengan sembahan-sembahan lain ).”(QS. Yusuf:106)

Bukankah praktik ini sering kita jumpai dalam bentuk rajah di pintu rumah, di warung, kendaraan, atau jimat lain berupa gelang, kalung atau cincin yang dianggap memiliki khasiat bisa mendatangkan manfaat dan mencegah madharat. Inilah keyakinan syirik warisan jahiliyah, di mana Islam datang untuk membersihkan dan menghilangkannya.

Belum lagi berbagai keyakinan khurafat yang masih subur dan diwariskan turun temurun.

Meninggalkan Adat Demi Syariat

Ajaran tauhid mengharuskan penganutnya bersih dari syirik, meski itu berupa adat yang mendarah daging dan mengakar kuat. Wajar, jika dakwah Nabi SAW oleh orang Arab diidentikkan dengan dakwah untuk meninggalkan adat nenek moyang.

Heraklius, Kaisar Romawi yang beragama Nasrani pernah bertanya kepada Abu Sufyan saat masih musyrik, ”Apa yang Muhammad (SAW) serukan atas kalian?” Abu Sufyan menjawab,

يَقُولُ اعْبُدُوا اللَّهَ وَحْدَهُ ، وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ، وَاتْرُكُوا مَا يَقُولُ آبَاؤُكُمْ ، وَيَأْمُرُنَا بِالصَّلاَةِ وَالصِّدْقِ وَالْعَفَافِ وَالصِّلَة

“Dia (Muhammad SAW) mengatakan, “Hendaklah kalian hanya beribadah kepada Allah saja, tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu, dan hendaknya kalian meninggalkan pendapat nenek moyang kalian, dia juga menyuruh kami shalat, berlaku jujur, menjaga kehormatan dan menjalin persaudaraan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Menyelisihi kebiasaann nenek moyang bukanlah cela. Melanggar adat tak juga membuat kita kualat. Bahkan orang yang kualat dan mendapat ganjaran berupa siksa yang berat adalah mereka yang mempelopori adat yang sesat, juga para pengikutnya di dunia.

Di dalam hadits Bukhari, Nabi juga bersabda, ”Aku mengetahui, siapakah orang pertama yang merubah ajaran (tauhid) Ibrahim alaihis salam.” Para sahabat bertanya, ”Siapakah dia wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, ”Dia adalah Amru bin Luhay, saudara Bani Ka’ab. Aku melihatnya dia menyeret usus-ususnya di neraka, hingga penduduk neraka yang lain terganggu oleh bau busuknya.” (HR. Bukhari)

Begitulah ganjaran bagi orang yang membawa berhala ke negeri Arab, yang tadinya telah dibersihkan oleh kapak dan dakwah tauhid Ibrahim alaihis salam. Apakah kita tetap akan membanggakan para leluhur meski memiliki kemiripan dengan Amru bin Luhay?

Teladanilah sikap yang diambil oleh seorang tabi’in, Syuraih al-Qadhi ketika beliau ditanya, ”Dari kaum manakah Anda?” Beliau menjawab, ”Dari kaum yang Allah telah karuniakan Islam atasnya. Sedangkan orangtuaku dari Kindah.” Beliau lebih suka menisbahkan dirinya kepada Islam, katimbang membanggakan sukunya.

Karena beliau tahu, suku atau keturunan siapa tak akan membuatnya mulia atau hina, tidak pula menolongnya kelak di akhirat. Nenek moyang tak mampu menyediakan surga baginya, bahkan, jika mereka sesat, mereka sendiri dalam keadaan hina. Simaklah kabar Nabi SAW tentang mereka,

لَيَدَعَنَّ رِجَالٌ فَخْرَهُمْ بِأَقْوَامٍ إِنَّمَا هُمْ فَحْمٌ مِنْ فَحْمِ جَهَنَّمَ أَوْ لَيَكُونُنَّ أَهْوَنَ عَلَى اللَّهِ مِنْ الْجِعْلاَنِ الَّتِي تَدْفَعُ بِأَنْفِهَا النَّتِنَ

Maka, hendaklah orang-orang meninggalkan kebanggaan mereka terhadap kaumnya; sebab mereka hanya (akan) menjadi arang jahannam, atau di sisi Allah mereka akan menjadi lebih hina dari ji’lan (kumbang kotoran) yang mendorong kotoran dengan hidungnya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Memang, tak semua adat itu sesat, sehingga wajib kita mengukurnya dengan barometer syariat. Jika memang bertentangan, jangan ragu meningalkannya, demi merealisasikan ajaran Islam yang hanif. (Abu Umar Abdillah)

Hidayah, Takwa dan Iffah

Pada zaman dahulu, ada dua orang bersaudara menempuh jalan hidup yang berbeda. Sebut saja yang pertama sebagai ahlu ibadah, sedangkan yang lainnya ahlu maksiat. Keduanya tinggal di satu rumah tapi beda lantai. Ahlu ibadah tinggal di lantai atas. Ahlu maksiat di bawahnya. Suatu hari, setan datang membisikkan rayuannya kepada ahlu ibadah. “Sesekali tengoklah saudaramu, cobalah ikut bermaksiat sekali saja. Toh, kamu sudah beribadah puluhan tahun dan besok kamu masih sempat bertobat.” Siapa sangka pada waktu yang sama hidayah datang kepada si ahli maksiat. Ia merasa bosan hidup bergelimang dosa. Ia ingin bertobat dan belajar agama agar menjadi seperti saudaranya yang shalih. Keduanya berniat menemui saudaranya, tapi niat keduanya berbeda. Saat menuruni tangga Kaki ahli ibadah terpeleset dan menimpa saudaranya yang sedang naik tangga. Keduanya terjatuh sempoyongan dan membentur lantai. Akhirnya keduanya meninggal.

Kisah di atas menggambarkan upaya setan menggoda orang shalih. Ia menjebaknya dengan senjata coba-coba dan taswif (menunda). Langkah-langkahnya sebenarnya mudah ditebak, membuat dosa terlihat indah dan nikmat. Si korban tidak harus melanggar dosa terbesar. Tapi, diawali dengan syubhat atau pelanggaran dosa-dosa kecil. Akhirnya korban jadi ketagihan dan tak ragu melanggar dosa besar. Jika muncul keinginan untuk bertobat, setan akan mengatakan bahwa umurnya masih panjang dan masih ada hari esok untuk bertobat. Si korban pun semakin tenggelam dalam lumpur dosa. Tidak ada orang yang selamat dari gangguan setan. Setiap manusia rawan terjatuh dalam jebakannya jika tidak memiliki perlindungan. Terutama saat iman sedang rapuh. Naudzu billah min dzalik.

Sekali jatuh kedalam maksiat, harus segera berhenti. Jika tidak dampak yang lain akan menyusul silih berganti. Dampak pertama yang sering tak disadari ialah hilangnya kenikmatan beribadah. Misalnya, penikmat musik tidak akan bisa menikmati lezatnya membaca al-quran atau sulit berkonsentrasi untuk makna ayat-ayat Allah. Membaya Al-Quran rasanya berat berat dan lama. Oleh karenanya, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengatakan, “Mencintai Al-Quran dan menggandrungi lagu tidak akan pernah bisa bersatu di hati hamba.”

Rasulullah SAW mengajarkan kita berdoa untuk melindungi diri dari hal-hal tersebut di atas:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, terhindar dari perbuatan yang tidak baik, dan kecukupan.” (HR. Muslim)

Tameng pertama yang kita minta kepada Allah berupa hidayah. Hidayah adalah petunjuk berupa ilmu atau pengetahuan yang membuat manusia sadar akibat berdosa dan melanggar ketentuan-Nya. Sebenarnya, akal manusia sudah mampu mengenali akibat buruk maksiat. Allah sering menghukum para pendosa saat masih hidup di dunia. Semuanya bisa disaksikan oleh panca indera. Sayangnya, pesan untuk segera berhenti dari maksiat belum tentu tertangkap oleh manusia dengan baik.

Ibnul Jauzi mengatakan, saudara tiri nabi Yusuf AS menjadi terhina saat mereka memohon kepada Yusuf. “Mohon bersedekahlah kepada kami!”. Tentu saja itu adalah akibat ulah mereka meskipun diikuti dengan tobat. Sebab, seseorang yang memiliki baju robek kemudian menjahitnya tidak sama dengan orang yang memiliki baju baru.

Pada doa di atas, hidayah didahulukan dari pada takwa. Karena takwa tak dapat diraih tanpa adanya kesadaran dan bimbingan dari Allah. Selain itu, amal shalih dikerjakan berdasarkan ilmu dan bukan persepsi. Tidak berlebihan jika hidayah disebut sebagai pintu beramal shalih. Allah berfirman yang artinya:

“Dan orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan balasan ketaqwaannya.” (Qs. Muhammad: 17)

Proteksi berikutnya adalah takwa. Takwa ialah upaya melakukan amal shalih dan menghindari/meninggalkan larangan-Nya. Dengan takwa, manusia akan lebih berhati-hati. Sebelum berbicara atau melakukan sesuatu, ia mempertimbangkan manfaat dan mudharatnya. Takwa terkait erat dengan hidayah. Karena untuk bertakwa manusia membutuhkan hidayah dari Allah. Manusia sangat membutuhkan hidayah lebih banyak dari upaya setan membisikkan rayuannya.

Takwa menjadi bukti ketulusan tobat. Menurut ibnu Qayyim Al Jauziyah tobat belum sempurna hanya dengan menyesal lalu meninggalkan dosa tersebut. Pelaku dosa harus dapat membuat perubahan pada dirinya. Ia harus membebani dirinya dan merasakan penatnya beribadah sebagaimana dulu ia menghabiskan waktu menikmati maksiat. Selain itu ia harus memperbanyak ibadah nafilah. Kecintaan Allah kepadanya akan ia raih seiring  dengan peningkatan ibadah nafilah. Setelah karakternya berubah menjadi muttaqi, orang yang bertakwa, seluruh anggota tubuhnya mendapat bimbingan Allah SWT.

Rasulullah SAW bersabda:

وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ

“Jika hamba-Ku terus menerus mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan sunnah, maka Aku mencintai dia, jika Aku sudah mencintainya, maka Akulah pendengarannya yang ia jadikan untuk mendengar, dan pandangannya yang ia jadikan untuk memandang, dan tangannya yang ia jadikan untuk memukul, dan kakinya yang dijadikannya untuk berjalan, jikalau ia meminta-Ku, pasti Kuberi, dan jika meminta perlindungan kepada-Ku, pasti Ku-lindungi.” (HR. Bukhari)

Perlindungan ketiga adalah iffah atau kemampuan meredam dan mengendalikan hawa nafsu. Semua manusia memiliki bibit sifat tamak. Bila dibiarkan dapat membuat manusia haus terhadap dunia, selalu ingin memperbanyak harta terbiasa mengeluh, dan selalu meminta. Obat untuk meredam nafsu adalah iffah dan qonaah.

…مَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ

“Barangsiapa berusaha ‘iffah (menghindar dari yang tidak terpuji) niscaya Allah I menjadikannya ‘iffah, dan barangsiapa yang merasa cukup niscaya Allah I memberikan kecukupan kepadanya.” (HR. Bukhari)

Wallau a’lam.