Hijrah Adalah Tuntutan Taubat

Ketika Allah bukakan pintu insaf dan kesadaran, maka sungguh Allah telah karuniakan anugerah yang sangat berharga. Kewajiban manusia selanjutnya adalah merawat kesadaran dan menjadikannya sebagai titik tolak perubahan dari kegelapan kepada cahaya.

Cara paling mujarab untuk menjaga kesadaran sekaligus meneguhkan taubat adalah dengan hijrah. Yakni, berpindah dari satu keadaan yang buruk kepada keadaan lain yang lebih baik.

 

Hijrah adalah Tuntutan Taubat

Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Ada seorang laki-laki sebelum kalian (dari kalangan bani Israil) yang telah membunuh 99 jiwa. Kemudian dia bertanya tentang orang yang paling pandai di muka bumi. Ditunjukkanlah kepadanya seorang ahli ibadah. Dia pun mendatanginya dan bercerita  bahwa dia telah membunuh 99 jiwa, masihkah ada peluang untuk bertaubat? Ahli ibadah itu menjawab, “Tidak.” Kemudian lelaki tadi membunuhnya hingga genaplah menjadi 100 jiwa yang dibunuhnya. Dia bertanya lagi tentang orang yang paling alim di muka bumi ini. Lalu ditunjukkanlah ia kepada seorang yang alim. Dia bertanya kepadanya, bahwa dia telah membunuh 100 jiwa, masihkah ada peluang untuk bertaubat? Orang alim itu berkata, “Ya, Amasih. apa yang menjadi penghalang untuk bertaubat?  Pergilah ke daerah itu, di dalamnya ada banyak orang yang beribadah kepada Allah Ta’ala, maka beribadahlah kepada Allah Ta’ala bersama mereka. Dan jangan kembali ke daerahmu, karena ia tempat yang dipenuhi dengan keburukan. Lelaki itu kemudian meninggalkannya dan menuju ke daerah yang disarankan. Ketika di pertengahan jalan Malaikat Maut mencabut nyawanya. Malaikat pembawa rahmah dan malaikat pembawa adzab berselisih tentangnya. Malaikat rahmat berkata, “Dia telah datang dengan bertaubat kepada Allah Ta’ala.” Malaikat adzab barkata, “Dia belum pernah melakukan kebaikan sedikit pun.” Lalu datanglah seorang malaikat dalam wujud manusia sebagai penengah di antara keduanya. Dia berkata, “Ukurlah jarak antara kedua tempat tersebut, mana yang lebih dekat dengan tempat wafatnya, maka itu adalah bagiannya’. Keduanyapun melakukan itu, dan mendapati bahwa jaraknya lebih dekat kepada tempat yang dituju. Kemudian Malaikat Rahmat membawanya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Di antara pesan sangat penting dalam kisah ini adalah nasihat orang alim dalam hadits di atas kepada pembunuh 100 orang agar berhijrah ke tempat baru yang dihuni oleh orang-orang shalih sekaligus meninggalkan lingkungan lamanya dengan cara ini, taubat akan terjaga, dan lebih mudah menghindar dari godaan-godaan, terutama di saat taubat masih seumur jagung. Berapa banyak orang yang telah diberi hidayah kesadaran, insaf dan taubat, namun keimanannya laksana kuncup bunga yang layu sebelum berkembang. Atau seperti nyala lilin yang mati sebelum sempat menerangi dengan cahayanya.

Baca Juga: 
Tangisan yang Menyelamatkan

Taubat memang tidak bisa lepas dari hijrah. Karena itulah Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Hijrah itu tidak akan terputus hingga ditutupnya pintu taubat, dan taubat itu tidak pernah tertutup sampai terbitnya matahari dari barat” (HR. Abu Dawud).

Dalam hadits ini kata hijrah dikaitkan dengan taubat, karena taubat yang paripurna itu membutuhkan hijrah, maka hijrah tetap ada selagi peluang taubat itu masih terbuka.

Ibnul Qayyim al-Jauziyyah menjelaskan bahwa hijrah itu ada dua; pertama hijrah secara fisik dari suatu negeri ke negeri yang lain. Sedangkan yang kedua adalah hijrah dengan hati menuju Allah dan Rasul-Nya. Inilah hijrah hakiki dan merupakan akar pondasi semua amalan yang terkait dengan hijrah. Hijrah fisik hendaknya dilandasi dengan hijrahnya hati. Maka Muhajir adalah orang yang berhijrah dari kecintaannya kepada selain Allah menuju kecintaan kepada-Nya, dari ketergantungan kepada selain-Nya menuju kepada-Nya, dari berharap kepada selain-Nya menuju kepada-Nya.”

Semisal dengan itu, Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan, “Hijrah itu dua jenis; lahiriyah dan batiniyah. Hijrah batin adalah meninggalkan seruan nafsu dan kehendak jahat, sedangkan hijrah lahir adalah meninggalkan fitnah untuk menjaga agama.” Inilah hijrah yang disebutkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam,

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ ، وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ

“Seorang Muslim itu adalah ketika kaum muslimin selamat dari gangguan lidah dan tangannya. Sedangkan muhajir (orang yang berhijrah) itu adalah orang yang meninggalkan segala larangan Allah.” (HR. Bukhari)

 

Tinggalkan Kawan dan Kebiasaan Lama

Hijrah menuntut keberanian seseorang untuk meninggalkan kebiasaan buruk dan pemicunya. Dan yang paling mendesak adalah meninggalkan teman-teman buruknya, lalu mencari teman atau komunitas baru yang lebih diridhai oleh Allah. Karena teman adalah penentu. Seseorang itu tergantung temannya, maka sulit untuk istiqamah di jalan hidayah dengan tetap berada dalam komunitas maksiat. Tanpa dukungan teman yang baik, sulit bagi orang yang bertaubat untuk berubah dan istiqamah di jalan hijrah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

Seseorang akan mencocoki kebiasaan teman karibnya. Oleh karenanya, perhatikanlah siapa yang akan menjadi teman karib kalian”. (HR Abu Dawud dan Tirmidzi)

Nabi memberikan perumpamaan indah tentang pengaruh teman dekat. Beliau bersabda,

“Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang shalih dan orang yang jahat adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak diberi minyak misk oleh pemiliknya, engkau bisa membeli darinya atau minimal bisa menikmati aroma harumnya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau merasakan bau yang tidak sedap.” (HR. Bukhari)

Terkait dengan hadits ini, Imam an-Nawawi memberikan nasihat kepada orang-orang yang menapaki jalan taubat, ”Hendaklah orang yang bertaubat mengganti temannya dengan teman-teman yang baik, shalih, berilmu, ahli ibadah, wara’(mennjaga diri dari dosa dan pencetusnya) dan orang-orang yang meneladani mereka. Hendaklah ia mengambil manfaat ketika bersahabat dengan mereka.”

Jika sebelumnya terbiasa nongkrong di pinggir jalan tak jelas tujuannya, atau bahkan turut meramaikan hiburan-hiburan yang menyuguhkan menu dosa, hendaknya mengganti dengan majlis-majlis ilmu yang bermanfaat. Juga menyibukkan diri dengan ketaatan setelah  tadinya menghabiskan waktu untuk maksiat atau hal-hal yang tidak bermanfaat.

Baca Juga:
Kawan tapi Lawan

Hijrah juga menuntut seseorang berubah sikapnya berkaitan dengan maisyah (mata pencaharian) dan apa yang dikonsumsi sehari-hari. Karena mengkonsumsi yang haram hanya akan menghasil kan ‘out put’ berupa ucapan dan perilaku  yang haram pula.

Harus berani meninggalkan transaksi riba atau jual beli barang haram atau dengan cara yang haram. Karena hal ini menjadi biang penghalang taat sekaligus pemicu maksiat.

Jangan takut kesepian dengan meningggalkan teman lama, karena ia akan menemukan teman, sahabat dan saudara dalam ketaatan yang lebih menenteramkan dan membahagiakan. Tak perlu pula galau dan takut meninggalkan harta yang haram, karena Allah janjikan kelapangan rejeki bagi hamba-hamba-Nya yang hijrah untuk menyempurnakan taubat ataupun memenuhi tuntutan perintah Allah. Firman Allah Ta’ala,

“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rizki yang banyak.(QS. an-Nisa’: 100)

Allah tidak akan menelantarkan hamba-Nya yang telah berkurban demi mendapat keridhaan-Nya. Jika hamba itu meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah pasti akan gantikan untuknya dengan ganti yang lebih baik.

Memang tak mudah meninggalkan kebiasaan yang telah mengakar dan juga kawan lama yang sudah akrab dan dekat. Akan tetapi, itu lebih mudah bagi orang yang bertaubat dalam menjaga imannya daripada ia tetap bersama dengan kebiasaan dan kawan lama.

Menghentikan kebiasaan buruk, artinya menghapus salah satu bagian dari pola hidup kita. Jika kita memotong begitu saja kebiasaan tersebut, ada kekosongan yang terjadi dalam keseharian kita. Maka harus ada pengganti yang lebih baik, karena nafsu itu ketika tidak disibukkan dengan ketaatan, maka ia akan menyibukkan dengan kemaksiatan.

Memperbaiki kualitas shalat juga mempercepat proses transisi dari maksiat kepada taat dan dari kebiasaan buruk kepada kebiasaan baik. Karena shalat bisa mencegah perbuatan keji dan munkar. Semoga Allah karuniakan kita istiqamah dan keteguhan di atas ketaatan, aamiin. 

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Telaah

 

Kultum Ramadhan: Mengenyam Lezatnya Shalat Malam

Shalat malam, inilah tradisi syar’I para shalihin sepanjang zaman. Tidak disebut julukan shalih, melainkan ia menjaga kebiasaan shalat malam, Tak mereka tinggalkan amal mulia ini. Amal yang dengannya derajat seseorang ditinggikan, doa-doanya dikabulkan, dosa-dosa diampunkan, terlepas pula ikatan ikatan setan, penyakit fisik tersingkirkan, ketenangan hati didapatkan dan jalan menuju jannah dimudahkan.

Dan pada beberapa ayat Allah juga menyebutkan bahwa salah satu karakter penghuni jannah adalah orang yang mengdiupkan waktu malamnya untuk shalat  ketika mereka masih di dunia.

 

تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ﴿١٦ فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَّا أُخْفِيَ لَهُم مِّن قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ 

“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan apa apa rezeki yang Kami berikan. Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan.” (As-Sajdah 16-17)

Yang dimaksud dengan apa yang mereka lakukan di sini adalah shalat maliam; sebagaimana yang disebutkan oleh ibnu Katsir rahimahullah. Ibnul Qayyim rahimahullah juga memberikan catatan menarik tentang ayat ini, “Cobalah renungkan bagaimana Allah membalas shalat malam yang mereka lakukan secara sembunyi dengan balasan yang Dia rahasiakan sebelumnya, yakni yang tidak diketahui oleh semua jiwa. Juga bagaimana Allah membalas rasa gelisah, takut dan gundah gulana mereka di atas tempat tidur saat bangun untuk melakukan shalat malam diganti dengan kesenangan jiwa di dalam Surga.”

Baca Juga: Panen Pahala Di Bulan Mulia

Kebiasaan ini membuahkan kenikmatan dan kelezatan yang tidak dirasakan oleh orang-orang yang tidak melaziminya. lbnu al-Munkadir rahimahullah berkata, “Di dunia ini tidak tersisa lagi kelezatan selain pada tiga hal; shalat malam, bertemu dengan saudara seiman dan shalat berjamaah.” Hal yang hampir sama diungkapkan oleh Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu dan yang lain.

Shalat malam senantiasa istimewa. Namun di bulan Ramadhan ia makin luar biasa. Tak ada yang berkurang sedikit pun dari keutamaan yang didapat di luar Ramadhan. Yang ada justru bonus-bonus istimewa dan pahala spesial yang Allah sediakan bagi orang yang antusias manghidupkan shalat malam di bulan Ramadhan.

 

ومن قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه

“Barang siapa meiakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mengharap pahala Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR Bukhari dan Muslim).

Maksud qiyam Ramadhan, secara khusus, menurut Imam Nawawi adalah shalat tarawih. Hadits ini memberitahukan bahwa shalat tarawih itu bisa mendatangkan maghfirah dan bisa menggugurkan semua dosa; tetapi dengan syarat karena bermotifkan iman; membenarkan pahala-pahala yang dijaniikan oleh Allah dan mencari pahala tersebut dari Allah. Bukan karena riya’ atau sekadar mengikuti kebiasaan orang.

Maka antusias para salaf untuk menghidupkan malam makin menjadi. Bukan sekadar orang perorang, tetapi semangat yang dimiliki secara serentak oleh masyarakat zaman itu. Saib bin Yazid berkata,

“Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu pernah menyuruh Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dari agar memimpin shalat tarawih pada bulan Ramadhan dengan 11 raka’at. Maka sang qari’ membaca dengan ratusan ayat, hingga kami bersandar pada tongkat karena sangat lamanya berdiri. Maka kami tidak pulang dari tarawih, melainkan hampir menjelang fajar.” (Fathul Bari, lbnu Hajar al-Asqalani)

Nafi’ bin Abdullah bin Umar juga menyebutkan, “Saya mendengar lbnu Abi Mulaikah berkata, ‘Saya mengimami masyarakat pada malam Ramadhan dengan membaca dalam satu rekaat surat Fathir (45 ayat) atau yang setara dengannya. Pun begitu belum pernah sampai kepadaku satu pun yang mengeluhkan keberatannya.” (Riwayat lbnu Abi Syaibah).

Sedangkan Abu al-Asyhab bercerita, “Abu Raja’ mengkhatamkan bersama kami (makmum) pada shalat tarawih setiap sepuluh hari sekali.”

Baca Juga: Puasa, Obesitas dan Tanda Kiamat

Ini menunjukkan antusias para salaf daIam menjaIankan shalat tarawih di bulan Ramadhan. Hanya saja. mereka tetap menjaga kondisi para makmum. Ketika tak ada keluhan dari para makmum. mereka memanjangkan shalatnya. Maknanya, jika kita diminta menjadi Imam, tidak sepantasnya kita memanjangkan shaIat sementara makmum banyak yang mengeluhkannya.

Dianjurkan untuk tetap menyertai Imam hingga selesainya shaIat, karena barang siapa melaksanakan shalat Tarawih berjamaah bersama Imam hingga selesai, maka akan dicatat baginya pahala seperti orang yang melakukan qiyamul lail semalam penuh. Rasulullah bersabda,

Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengumpulkan keluarga dan para sahabatnya. Lalu beliau bersabda:

 

إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً

 “Sesungguhnya barangsiapa yang shalat (Tarawih) bersama imam sampai ia selesai, maka dituIis untuknya pahala qiyamul IaiI satu malam penuh.” (HR. An-Nasai no. 1605, At-Tirmidzi, aI-Albani mengatakan shahih)

Hadits ini menjadi koreksi atas kebiasaan di antara kita yang bersemangat untuk menghidupkan malam, lalu memilih pulang sebelum Imam menyelesaikan shalat witir. Meksipun maksudnya baik, yakni ingin menambah shalat lagi sebelum witir. Tapi apakah tambahan shalat yang dilakukan ini benar-benar semalam suntuk? Atau hanya beberapa menit saja? Padahal dengan meninggalkan Imam sebelum selesai, maka ia tidak tercatat sebagai orang yang menjalankan shalat semalam suntuk. wallahu a’lam.

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Kultum Ramadhan/Materi Kultum

Muslihat Sempurna Nuaim bin Masud Pada Sekutu Ahzab

Terbunuhnya Amr bin Abdi wad tak lantas membuat pasukan ahzab menyerah. Mereka tetap melakukan pengepungan Madinah, bahkan sebuah strategi telah disiapkan untuk mengalahkan Rasulullah dan pasukannya. Pasukan ahzab berencana membujuk bani Quraizhah (salah satu kabilah Yahudi Madinah) untuk melanggar perjanjian dengan Rasulullah.

Strategi tersebut segera dijalankan dengan mengirimkan Huyyai bin Akhthab untuk menemui pimpinan bani Quraizhah dan membujuk supaya bergabung dengan pasukan ahzab. Bani Quraizhah pun setuju untuk menghianati perjanjian damai dengan Rasulullah dan bergabung dengan pasukan ahzab.

Kabar penghianatan tersebut pun sampai kepada Rasulullah. Beliau lalu menugaskan Zubair bin Awwam untuk memastikan kebenaran kabar tersebut. Tak berapa lama Zubair kembali dan membenarkan kabar penghianatan bani Quraizhah.

Baca Juga: Dia Ingin Memilki Nyawa Sebanyak Jumlah Rambutnya

Mengetahui hal tersebut, Rasulullah langsung mengambil dua keputusan penting. Pertama Beliau mengutus Maslamah bin Aslam bersama dengan 500 prajurit untuk menjaga wanita dan anak-anak muslim yang diungsikan di perkampungan bani Haritsah di bagian selatan Madinah. Ketika itu semua pasukan muslim berada di sebelah utara Madinah, sedangkan perkampungan bani Quraizhah berada di sebelah selatan. Sehingga dengan penghianatan tersebut, bani Quraizhah bisa dengan mudah menghabisi wanita dan anak-anak muslim.

Kedua, Rasulullah mengutus Saad bin Muadz, Saad bin Ubadah, Abdullah bin Rawahah, dan Ibnu Jubair mendatangi bani Quraizhah. Keempatnya diutus untuk mengadakan pembicaraan dengan bani Quraizhah. Alangkah terkejut keempatnya ketika bani Quraizhah menolak pembicaraan dan merobek kertas perjanjian seraya mencela Rasulullah.

“Adhl dan Qarah.” Kata keempatnya kepada Rasulullah ketika menemui Rasulullah kembali. Maksudnya adalah bani Quraizhah melakukan penghianatan sebagaimana yang dilakukan Adhl dan Qarah ketika tragedy Raji’.

Mendengar kabar penghianatan bani Quraizhah membuat orang-orang munafik berbalik ke belakang dan keluar dari pasukan muslim. Mereka beralasan bahwa rumah mereka akan menjadi sasaran pasukan ahzab karena berada di selatan Madinah.

Di tengah situasi yang semakin genting tersebut, Nuaim bin Masud datang menghadap Rasulullah. Nuaim berasal dari suku ghatafan, suku yang ikut bergabung dengan pasukan ahzab.

Kemudian ia melanjutkan kata-katanya, “Wahai Rasulullah, sungguh aku telah benar-benar masuk Islam. Dan kaumku tidak mengetahui bahwa aku telah masuk Islam. Perintahkanlah kepadaku perintah apa saja yang dapat aku laksanakan!”

Rasulullah menjawab, “Engkau hanya seorang dari pihak kami, kembalilah kepada kaummu! Dan jika kamu sanggup, takut-takutilah mereka bahwa sesungguhnya mereka lemah dan kami kuat. Sesungguhnya perang itu adalah tipu daya.”

Baca Juga: Duel Menegangkan Antara Dua Ahli Pedang

“Saya siap, wahai  Rasulullah. Insya Allah engkau akan segera melihat sesuatu yang menggembirakan,” janji Nu’aim.

Setelah itu, Nu’aim segera berangkat menuju ke kubu Bani Quraidzah, yang telah menjadi sahabat baiknya sampai saat ini. Ia berhasil meyakinkan mereka untuk tidak dalam pertempuran melawan Rasulullah SAW.

“Jangan kalian bantu mereka (Quraiys) memerangi Muhammad sebelum kalian minta jaminan kepada kedua sekutu kalian itu, yakni pemuka-pemuka atau bangsawan-bangsawan terpandang dari mereka sebagai jaminan atas peperangan ini. Sampai kalian memenangkan peperangan ini dan menguasai negeri ini, atau kalian mati bersama-sama dengan mereka,” saran Nu’aim. Bani Quraizhah pun menerima saran itu.

Setelah itu, Nu’aim segera beranjak menuju kubu Quraisy dan Ghathafan di luar Kota Madinah. Ia segera menemui pimpinan Quraisy, Abu Sufyan bin Harb, yang saat itu dikelilingi para pembesar Quraiys. Ia berhasil merayu mereka agar tidak melanjutkan serangan bersama. Nu’aim mengatakan bahwa Bani Quraizhah menyesal memutusan perjanjian dengan Muhammad SAW, dan malah mereka akan membantu Rasulullah menghadapi pasukan Ahzab.

Mendengar penjelasan Nu’aim, Abu Sufyan berkata, “Kau adalah sekutu kami yang baik. Semoga kamu mendapat balasan yang baik pula.”

Hal yang sama dilakukan juga oleh Nu’aim kepada Kaumnya, yakni Bani Ghathafan. Dan setelah yakin bahwa Pasukan Ahzab tidak akan melancarkan serangan apa pun kepada kaum Muslimin. Diam-diam Nu’aim pergi ke Madinah dan bergabung dengan pasukan Rasulullah.

 

Oleh: Redaksi/Tarikh Sahabat