Nasib Sial Karena Terkena Karma, Begini Islam Menjelaskan

Kepopuleran istilah karma tidak terlepas dari peran sastra dan kesalah pahaman awam terhadap konsep karma yang ingin mencari kedamaian hidup dan tertarik dengan aura misteri dan mistik.
Dalam bahasa sanskerta, karma berarti perbuatan. Dalam arti umum, meliputi semua kehendak (baik dan buruk, lahir dan batin, pikiran, kata-kata atau tindakan). Karma dikenal juga dengan hukum sebab-akibat. Mereka yang percaya karma yakin bahwa di masa yang akan datang orang akan memperoleh konsekuesi dari apa yang telah diperbuat di masa lalu. Masa lalu adalah kehidupan sebelum kehidupan sekarang, dan masa depan adalah kehidupan setelah kehidupan kembali. Karma meliputi apa yang telah lampau dan keadaan saat ini yang akan memengaruhi hal yang akan datang.

 

Baca Juga: Apakah Dewa itu Malaikat?

 

Sepintas, ajaran ini mirip dengan Islam, yang mengenal istilah ‘al-jaza’ min jinsil amal’, bahwa hasil itu sepadan dengan dengan usaha yang dilakukan. Karena dianggap mirip, ada yang kemudian menisbatkan keburukan yang dialaminya sebagai karma atas apa yang telah dilakukannya. Begitupun, ketika melihat bencana yang dialami oleh orang lain, itu dianggap karma yang harus diterima, sebagai akibat dari hasil perbuatan jahatnya yang telah lalu.

Padahal, ada perbedaan menyolok antara karma dengan kaidah dalam Islam tersebut. Karma adalah bagian dari kepercayaan Hindu-Budha. Karma tidak terpisahkan dengan ajaran reinkarnasi, yang menyatakan bahwa setelah seseorang meninggal akan kembali ke bumi dalam tubuh yang berbeda. Jadi, mereka meyakini hidup berulang kali di dunia, meskipun dengan wujud yang berbeda. Tentang nasib, tergantung karma yang diperbuatnya di kehidupan sebelumnya. Orang yang lahir cacat misalnya, itu karena karma atas tindakan buruknya di kehidupan sebelumnya. Maka tidak heran, ada seorang warga Thailand menikah dengan ular, karena meyakini bahwa ular itu adalah titisan orang yang menjadi istrinya di kehidupan sebelumnya. Mengapa jadi ular? Itu juga karena karma. Yang seperti ini jelas tidak dikenal di dalam Islam.

 

Baca Juga: Membalik Bantal Bisa Menghilangkan Mimpi Buruk?

 

Di dalam Islam, orang yang telah mati, bukan menjelma menjadi makhluk baru, tapi berada dalam Barzakh, hingga hari dibangkitkan. Allah berfirman,

“(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: “Wahai Rabbku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan.” (QS. al-Mukminun; 99-100)

Tentang musibah, memang kadang bisa diartikan balasan, tapi kadang pula berarti pembersih dosa, dan terkadang berarti ujian. Seperti yang dialami oleh para Nabi, mereka adalah kaum yang paling berat ujiannya.

Orang yang terlanjur berbuat dosapun tidak menutup kemungkinan untuk bertaubat, sehingga efek dosa bisa tercegah, baik di dunia maupun di akhirat. Wallahu a’lam.

 

Oleh: Ust. Abu Umar A/Khurafat

Karma Membunuh Binatang

Kezhaliman, maupun tindakan jahat memang akan mengundang datangnya balasan yang setimpal. Hanya saja, parameter zhalim dan jahat didasarkan pada syariat. Bukan sekedar mengikuti naluri, apalagi keyakinan adat dan khurafat. Beberapa orang yang mempercayai karma lantas takut membunuh apapun, termasuk hewan-hewan yang diperbolehkan untuk dibunuh. Dengan keyakinan, bahwa nanti dia akan diperlakukan sama seperti yang ia lakukan terhadap binatang.

Syariat tidak menilai bahwa segala bentuk pembunuhan itu berarti kezhaliman yang karenanya ia akan mendapatkan balasan buruk. Ada makhluk-makhluk yang boleh dibunuh, bahkan sebagiannya diperintahkan untuk dibunuh sesuai syarat dan ketentuan syariat.

Binatang yang halal untuk dimakan, otomatis boleh untuk dibunuh, tetapi dengan cara yang telah ditetapkan, yakni menyembelih dengan cara yang baik. Hendaknya menajamkan pisaunya, dan memulai dengan membaca basmalah. Maka, tak ada alasan takut untuk menyembelih ayam, kambing, sapi atau onta untuk keperluan dimakan, apalagi hewan-hewan yang disembelih untuk tujuan ibadah seperti udhhiyah maupun aqiiqah.

Ada pula hewan yang diperintahkan untuk dibunuh meski dilarang  untuk dikonsumsi. Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam,

”Lima jenis hewan yang harus dibunuh, baik di tanah haram maupun di tempat lain, yaitu  ular, kalajengking, tikus, anjing buas dan burung rajawali” (H.R. Abu Dawud) dalam riwayat lain disebutkan juga burung gagak.

Hanya saja, tentang membunuh ular di dalam rumah ada pembahasan yang lebih khusus. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam bersabda, “Sesungguhnya kota Madinah ini dihuni oleh jin-jin yang telah masuk Islam. Jika kalian melihat ular (di dalam rumah), maka usirlah selama tiga hari. Jika masih terlihat setelah itu, maka bunuhlah karena ia adalah setan’,” (HR Muslim)

Dalam riwayat lain disebutkan,

إِنَّ لِهَذِهِ الْبُيُوتِ عَوَامِرَ فَإِذَا رَأَيْتُمْ شَيْئًا مِنْهَا فَحَرِّجُوا عَلَيْهَا ثَلاَثًا فَإِنْ ذَهَبَ وَإِلاَّ فَاقْتُلُوهُ فَإِنَّهُ كَافِرٌ

 

“Sesungguhnya rumah-rumah ini dihuni oleh ’awaamir (jin-jin berwujud ular yang biasa menghuni rumah), jika kalian melihatnya, maka usirlah atas nama Allah selama tiga hari. Jika tidak pergi juga, maka bunuhlah karena ia adalah (jin) kafir,” (HR Muslim)

Sebagain ulama berpendapat bahwa perlakuan ini khusus untuk penduduk di sekitar Madinah, ada juga yang berpendapat bahwa itu berlaku umum. Karena ibrah (landasan) yang dijadikan parameter adalah umumnya lafazh, bukan khususnya sebab.

Lepas dari perbedaan pendapat tersebut, sebagai langkah hati-hati, jika terlihat ular di dalam rumah, hendaknya diusir atau dibuang dengan menyebut asma Allah. Jika setelah tiga hari tampak lagi, hendaknya dibunuh. Disebutkan pula dalam Syarah Muslim, bahwa sebagian ulama berpendapat, jika ular itu tidak pergi setelah ada peringatan tersebut, maka itu bukanlah jin yang biasa tinggal di rumah-rumah, bukan pula jin yang masuk Islam, maka tidak mengapa jika kalian membunuhnya. Wallahu a’lam. (Abu Umar Abdillah)

Benarkah Karma Itu Ada

Dalam kitab Majma’uz Zawaid, Imam al Haitsami menyebutkan sebuah kisah tentang wafatnya al Husain bin Ali. Disebutkan ada seorang lelaki bernama Zur’ah yang ikut andil dalam pembunuhan Husain bin Ali dengan panahnya. Saat al Husain mendekati ajal, Beliau meminta air. Akan tetapi para penjahat itu, termasuk Zur’ah tak mengijinkan seorangpun memberinya minum. Singkat cerita, al Husain wafat. Dan manakala Zur’ah mendekati ajalnya, dia dihukum dengan deraan rasa haus yang tak kunjung terpuaskan meski telah minum hingga kembung. Akhirnya dia pun tewas karena kehausan. (Disebutkan juga dalam Nihayatuzh Zhalimin:3/88)

Membaca kisah di atas, kita jadi teringat satu hal; hukum karma. Kejahatan seseorang akan membuahkan keburukan serupa atas dirinya. Namun, benarkah hukum karma itu ada? Dan apakah Islam juga mengakui hukum karma? Mari kita cermati persoalan ini.

Karma menurut bahasa Sanksekerta artinya berbuat. Secara istilah, karma dipahami sebagai hukum sebab akibat atau  “samsara”. Konsep ini diakui dalam filsafat Hindu, Sikh dan Budhisme. Hasil atau buah dari perbuatan disebut karma-phala. Ini bukan hanya berlaku untuk hal buruk, yang baik juga demikian. Hanya saja konotasi makna karma atas perbuatan buruk lebih masyhur.

Dalam filsafat Jawa, konsep karma juga diyakini keberadaaanya sebagai hukum sebab akibat. Pepatah Jawa mengatakan “ngunduh wohing pakarti” (seseorang akan memetik buah dari perbuatannya).  Yaitu bahwa perbuatan seseorang akan secara aktif berperan membentuk dan memengaruhi masa yang akan datang. Sesuatu yang positif akan membuahkan hasil positif dan yang negatif akan mendatangkan hal negatif. Banyak peribahasa mengibaratkan hal ini, misalnya: Siapa menanam akan mengetam, siapa menebar angin akan menuai badai atau menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri. Orang Eropa menyebutnya dengan hukum kausalitas.

 

Bagaimana dengan Islam?

Sebenarnya konsep sebab akibat merupakan sunah kauniyah Allah yang memang bisa diindera dan diambil sebagai “ilmu kehidupan” oleh manusia. Karenanya, tidak mengherankan jika hal tersebut diakui oleh berbagai agama dan ajaran. Semua orang tentu mengerti bahwa perbuatan jahat seperti mencuri, menyakiti atau membunuh pasti akan menyebabkan munculnya keburukan; dibenci orang, balas disakiti atau bahkan dibunuh. Demikian pula sebaliknya, yang berbuat baik akan menuai buah kebaikannya. Hanya saja, pada masing-masing agama pasti ada perbedaan dalam beberapa sisinya karena perbedaan keyakinan.

Di dalam Islam, konsep jaza’ (balasan atas perbuatan) merupakan bagian penting dalam ajarannya.  Pepatah mengatakan “kama tadinu tudanu”, bagaimana kamu memperlakukan, seperti itulah kamu akan diperlakukan. Ini bukan hadits, tapi menurut sebuah riwayat pepatah ini adalah nasihat bijak Abu Darda’, yang diriwayatkan secara mauquf oleh Abu Qilabah. Lengkapnya;

البِرُّ لاَ يَبْلَى وَالذَّنْبُ لاَ يُنْسَى وَالدَّيَّانُ لاَ يَمُوتُ، اعْمَلْ مَا شِئْتَ كَمَا تَدِيْنُ تُدَانُ

 

“Kebajikan itu tak akan pernah usang, dosa tak akan pernah dilupakan, sedangkan Allah Maha Pembalas tak akan mati. Lakukanlah apa yang engkau suka. Karena sebagaimana engkau memperlakukan, seperti itulah kau akan diperlakukan.” (Jaami’ul Ahadits, Jalaluddin As Suyuthi, 11/169, Asy Syamilah.)

Hanya saja, tentunya Islam tidak mengenal istilah karma. Di dalam Islam kita meyakini bahwa Allah Ta’ala membalas perbuatan baik dan mengganjar perbuatan buruk. Balasan itu bisa di dunia, bisa pula di akhirat atau bahkan dunia dan akhirat. Dan setiap balasan yang Allah berikan pasti akan setimpal dengan kadar perbuatan yang menyebabkannya, sesuai kebijaksanaan-Nya. Perbuatan baik akan mendatangkan kebaikan, sedang perbuatan buruk akan mendatangkan keburukan pula. Dan Allah sedikitpun tidak pernah zhalim atas hamba-Nya. Sebagian salaf mengatakan;

فَإِنَّ جَزَاءَ السَّيِّئَةِ اَلسَّيِّئَةُ بَعْدَهَا كَمَا أَنَّ ثَوَابَ الْحَسَنَةِ اَلْحَسَنَةُ بَعْدَهَا

 

“Sesungguhnya balasan keburukan adalah muculnya keburukan setelahnya sebagaimana balasan kebaikan adalah diperolehnya kebaikan sesudahnya.”(disebutkan dalam Tafsir Ibnu Katsir, II/498).

Yang membedakan Islam dengan ajaran lain adalah keyakinan mengenai siapa yang menjalankan hukum ini. Seoang muslim meyakini, Allahlah yang punya hak mutlak untuk membalas dan menghukum perbuatan manusia. Sifatnya sangat rahasia dan sesuai kehendak-Nya. Dan karenanyalah balasan atas suatu perbuatan manusia tidak semuanya bisa diterka. Bahwa kalau berbuat begini, besok pasti akan diperlakukan persis seperti dulu dia berbuat. Ada banyak aspek yang –atas izin-Nya- turut memengaruhi. Hal itu menjadi sesuatu yang rumit, kompleks dan tidak terduga. Bisa jadi seseorang memang dibalas persis seperti perbuatannya, atau seperti yang sudah diancamkan dalam nash.  Tapi bisa jadi pula dalam bentuk lain, atau tidak menutup kemungkinan tidak ada balasan sama sekali karena kasih sayang Allah atasnya. Semua in berjalan atas kekuasaan Allah.

Sebagian kekuasaan itu diwujudkan dalam aturan syariat yang harus dijalankan manusia. Misalnya, hukuman bagi pembunuh yang disengaja adalah hukuman mati, tentunya setelah melalui keputusan hakim yang berwenang. Dan sebagian besar lain merupakan hukuman yang sifatnya ghaib. Artinya hanya Allah sajalah yang tahu, apa, kapan dan bagaimana hukuman itu akan diberlakukan.

Hal lain yang membedakan adalah cara untuk menghindarkan diri dari efek negatif perbuatan buruk yang dilakukan, tentunya juga harus mengacu pada tuntunan-Nya. Yakni dengan taubat nashuha, memohon keridhoan dari yang dizhalimi dan mengembalikan haknya. Setelah itu berusaha memperbaiki diri dengan ketatan kepada-Nya dan menjauhi perbuatan zhalim yang lain. Sedang agama lain mungkin menyaratkan penebusan, sesaji, ritual tertentu yang semuanya tidak akan menyelesaikan masalah karena tidak berada di bawah bimbingan-Nya. Wallahua’lam, semoga dosa-dosa kita diampuni dan dihindarkan dari dampak buruknya. Amin. (T. Anwar)