Ambisi Jadi Pejabat? Jangan! Kamu Tak Akan Kuat

Abu Dzar al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu termasuk as-saabiquunal awwalun, sahabat yang awal-awal masuk Islam. Jasa dan kiprah dakwahnya tak diragukan lagi, terutama dalam mengislamkan penduduk Ghifar dan Aslam. Kedekatannya dengan Nabi ﷺ juga tak ada yang sangsi. Suatu ketika, muncul niatan beliau untuk menjadi pejabat atau mempin kaum dan berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah Anda menjadikanku sebagai pejabat/pemimpin?” Mendengar pengajuan itu, Rasulullah ﷺ bersabda, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau seorang yang lemah sedangkan jabatan itu adalah amanah (yang berat), dan sesungguhnya ia menjadi sebab kehinaan dan penyesalan pada hari Kiamat kecuali yang menjalankannya dengan baik dan melaksanakan tanggungjawabnya.” (HR. Muslim)

Dalam bahasa kekinian nasihat Nabi tersebut seperti orang yang mengatakan, “Jangan! Kamu tidak akan kuat.” Biarlah orang lain yang memikul amanah yang berat itu. Ini bisa jadi karena Nabi ﷺ tahu, bahwa potensi Abu Dzar bukan di bidang itu, atau di balik sisi unggul Abu Dzar, beliau khawatir justru pintu kekuasaan itu justru menjadi ‘kuburan’ bagi Abu Dzar radhiyallahu anhu. Ketika seseorang mengajukan dirinya sebagai seorang pemimpin, maka ini menunjukkan sisi kelemahan dirinya.

Baca Juga: Apa Enaknya Jadi Pejabat?

Ketika seseorang mengajukan dirinya sebagai seorang pemimpin, maka ini menunjukkan sisi kelemahan dirinya.

Karena biasanya orang yang mengajukan diri sebagai pemimpin, perhatiannya lebih dominan pada sisi keuntungan duniawi, atau melihat besarnya kewenangan yang dimiliki. Padahal di balik itu, ada amanah dan tanggung jawab besar yang jika tidak ditunaikan dengan baik niscaya bencana akan meluas dan ia juga terancam dengan balasan yang berat di akhirat.

Tabiat Dasar Manusia

Potensi menyukai kedudukan, jabatan dan kekuasaan memang menjadi tabiat yang dimiliki umumnya manusia. Karena padanya berbagai kenikmatan dunia secara komplit bisa diraihnya. Imam ath-Thabari menjelaskan tentang firman Allah Ta’ala,

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali ‘Imran: 14)

Beliau menafsirkan, “Telah dibuat indah untuk manusia sifat tertariknya mereka terhadap wanita dan anak keturunan serta segala hal yang disebutkan. Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan hal ini hanyalah untuk menjelaskan sifat buruk orang-orang Yahudi. Mereka lebih mengutamakan dunia dan ambisi terhadap kekuasaan dibandingkan harus mengikuti Nabi Muhammad ﷺ, padahal mereka telah mengetahui kebenarannya.”

Yakni bahwa manusia itu punya tabiat suka kekuasaan yang terkumpul padanya beragam kenikmatan, maka ketika mereka berambisi terhadap kesenangan tersebut dan berpaling dari kebenaran, maka mereka menyerupai karakter Yahudi yang berpaling dari kebenaran karena kekuasaan.

Orang-orang yang memperturutkan ambisi jabatan, mereka mengejar kekuasaan untuk melampiaskan seluruh keinginan. Yaitu berkuasa di muka bumi, agar seluruh hati mengarah dan memperhatikan mereka, dan dengannya berbagai keinginan bisa terwujudkan. Sehingga ambisi untuk meraih kekuasaan akan melahirkan kerusakan-kerusakan yang tak mampu dihitung secara valid kecuali oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Akan muncul dosa, hasad, perbuatan-perbuatan yang melampaui batas, dengki, kezaliman, fitnah, fanatik pribadi, tanpa memedulikan lagi hak Allah Subhanahu wa ta’ala. Orang yang terhina di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala akan dimuliakan sementara orang yang dimuliakan Allah Subhanahu wa ta’ala pasti dihina. Kekuasaan duniawi tidak mungkin sempurna kecuali dengan cara-cara kotor seperti itu. Kekuasaan duniawi tidak akan tercapai kecuali dengan menempuh tipu daya dan siasat yang kotor. Demikian di antara yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim al-Jauziyah dalam Kitab ar-Ruh.

Baca Juga: Khutbah Jumat: Pejabat, Orang yang Paling Butuh Nasehat

Sering luput dari bayangan orang yang berambisi terhadap jabatan, bagaimana kelak di akhirat seluruh rakyat yang hingga mencapai jutaan akan menuntutnya pada Hari Kiamat jika hak di dunia ada yang tak mereka dapatkan. Setiap tuntutan mengurangi pahalanya, dan jika pahalanya telah habis maka dosa rakyat yang dizhalimi akan ditimpakan kepadanya, wal iyadzu billah.

Alangkah mengerikan ancaman dari Nabi ﷺ bersabda, “Tiada seorang hamba yang diberi amanah untuk memimpin rakyat oleh Allah lalu ia tidak memeliharanya dengan baik, melainkan hamba itu tidak akan mencium baunya jannah.” (HR Bukari dan Muslim)

Lantas apakah berarti seorang muslim yang memiliki potensi memimpin tidak boleh memimpin? Tentu saja boleh. Intinya adalah jangan berambisi menjadi pemimpin, dan agar kita tidak menjadikan pemimpin orang yang haus akan kekuasaan. Karena ambisinya lebih besar dari rasa takutnya kepada Allah. Bahwa jika kemudian umat memerikan kepercayaan dan dia memiliki kemampuan, tidak mengapa ia memgambilnya dengan memohon pertolongan kepada Allah. Ini sebagaimana nasihat Nabi ﷺ kepada Abdurrahman bin Samurah radhiyallahu anhu,

يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ، لَا تَسْأَلِ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا

“Wahai Abdurrahman, janganlah kamu mengemis jabatan. Karena jika engkau diserahi jabatan karena ambisi meminta, engkau akan dibiarkan mengurusi sendiri. Tetapi jika engkau diberinya tanpa mencarinya, maka engkau akan ditolong Allah dalam mengurusinya.” (HR Bukhari dan Muslim)

 

Oleh: Abu Umar Abdillah/Terkini

 

Etika Islam Dalam Menerima Sebuah Berita

Beberapa hari ini, timeline kabar berita di media massa dan sosial media dipenuhi dengan berita tentang kabar bohong (hoax) yang dibuat oleh seorang aktivis dan pegiat kemanusiaan. Banyak orang percaya dengan apa yang telah ia sampaikan. Mulai dari orang biasa, politikus,  sampai beberapa pendakwah yang mempercayainya. Tapi, banyak juga yang menyangsikan dan tidak percaya dengan apa yang sudah ia tuturkan.

Dalam menyikapi sebuah kabar atau berita, Islam punya etika yang harus dijaga dan diamalkan. Mari kita simak sedikit tulisan ini.

 Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Al-Harits menghadap Rasulullah ﷺ. Ia berikrar menyatakan diri masuk Islam. Rasulullah ﷺ pun mewajibkannya mengeluarkan zakat, ia sanggupi kewajiban itu dan berkata, “ Ya Rasulullah, aku akan pulang ke kaumku untuk mengajak mereka masuk Islam dan menunaikan zakat. Orang-orang yang mengikuti ajakanku akan aku kumpulkan zakatnya. Apabila telah tiba waktunya, kirimlah utusan untuk mengambil zakat yang telah aku kumpulkan.”

Ketika waktu yang ditetapkan telah tiba, tak seorang utusan pun menemuinya. Al-Harits mengira Rasulullah ﷺ marah kepadanya. Ia pun telah memanggil para hartawan kaumnya dan berkata, “Sungguh, Rasulullah ﷺ telah menetapkan waktu untuk mengutus seseorang untuk mengambil zakat yang telah ada padaku, dan beliau tidak pernah menyalahi janjinya. Akan tetapi saya tidak tahu mengapa beliau menangguhkan utusannya itu. Mungkinkah beliau marah? Mari kita berangkat menghadap Rasulullah ﷺ.”

Pada saat yang sama, Rasulullah ﷺ, sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan, mengutus Al- Walid bin Uqbah untuk mengambil dan menerima zakat yang ada pada Al- Harits. Ketika Al-Walid berangkat, di perjalanan hatinya merasa gentar, lalu ia pun pulang sebelum sampai di tujuan. Ia membuat laporan bahwa Al-Harits tidak mau menyerahkan zakat kepadanya, bahkan mengancam akan membunuhnya.

Kemudian Rasulullah ﷺ mengirim utusan berikutnya kepada Al-Harits. Di tengah perjalanan, utusan itu berpapasan dengan Al-Harits dan sahabat- sahabat nya yang tengah menuju Madinah. Setelah berhadap-hadapan, Al-Harits  bertanya, “Kepada siapa engkau diutus?” Utusan itu menjawab, “Kami di utus untuk menemuimu.” Dia bertanya, “Untuk apa?” Mereka menjawab, “Sesungguhnya Rasulullah ﷺ telah mengutus Al-Walid bin Uqbah. Namun, ia mengatakan bahwa engkau tidak mau menyerahkan zakat, bahkan bermaksud membunuhnya.” Al-Harits menjawab, “Demi Allah yang telah mengutus Muhammad dengan sebenar-benarnya, aku tidak pernah melihatnya. Bahkan belum ada utusan datang menemuiku.”

Ketika mereka sampai dihadapan Rasulullah, bertanyalah beliau, “Mengapa engkau menahan zakat dan ingin membunuh utusanku?” Al-Harits menjawab, “Demi Allah yang telah mengutus engkau sebenar-benarnya, aku tidak berbuat demikian.” Atas kejadian itu turunlah ayat agar kaum mukminin agar tidak hanya menerima keterangan dari sebelah pihak.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat: 6)

Syaikh  Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi menjelaskan bahwa Ayat  tersebut menunjukkan dua hal:

  • Pertama, berita yang dibawa orang fasik harus diteliti kebenarannya terlebih dahulu.
  • Kedua, para pakar Ilmu Ushul Fikih membuat kaidah bahwa sebuah berita dapat diterima bila dibawa oleh orang yang adil.

As-Shakhawi berkata, “Ibnu Abdi Bar memandang bahwa penilaian negatif  terhadap ahlul ilmi tidaklah diterima kecuali dengan argumen yang jelas. Apabila penilaian negatif tersebut disertai dengan unsur permusuhan maka penilaian itu tidak diterima.” (Fathghul Mughits III: 328)

Lalu siapakah orang fasik yang dimaksud ayat di atas? Syaikh Muhammad Shalih bin Fauzan Al-Fauzan mendefinisikan ‘Fasik’ dengan ‘al-khuruj an thaatillah’. Yaitu keluar dari ketaatan kepada Allah. Suatu titik di mana terjadi kegersangan iman pada diri seorang muslim. Ibnu Katsir di dalam tafsirnya menyebut fasik sebagai ‘al-maashi’ atau orang yang melakukan kemaksiatan. Sedangkan As-Sa’di mengartikan, “Seseorang yang pernah melakukan dosa besar dan seringkali melakukan dosa kecil.”

Sudah jelaslah siapa orang fasik itu. Saat titik iman kita berada di titik lemah keimanannya, kita bisa dicap sebagai orang fasik. Karena kita hanyalah orang biasa yang tak lepas dari dosa. Kewaspadan terhadap suatu kebenaran berita pun harus kita tumbuhkan sejak kini, karena tidak menutup kemungkinan, orang-orang yang membawakan berita tengah berada dalam kegersangan iman.

 

Meneliti Setiap Berita

Saat mendengar suatu kabar, baik dari mulut ke mulut ataupun dari media massa dan sosial media banyak orang yang cenderung percaya dan menelannya mentah-mentah tanpa filter sama sekali. Seakan segera meng ‘amini’ apa yang diberitakan. Kadang, tanpa peduli apakah berita itu benar ataukah salah. Padahal Allah telah mengajarkan etika yang harus kita lakukan tatkala suatu berita sampai kepada kita.

“Hai orang-orang yang beriman jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaanya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan itu”. (QS. Al Hujurat: 6)

Mari kita memeriksa dengan teliti, inilah etika yang dianjurkan Allah kepada kita. Memilah milih dan mengecek kembali kebenaran suatu berita. Dalam ilmu jurnalistik hal ini disebut dengan ‘kroscek’. Menggali kebenaran kabar yang masih menjadi buah bibir dan kesimpangsiuran di tengah masyarakat luas. Digali dari sumber-sumber dan data-data yang bisa dijadikan landasan dan bisa dipertanggungjawabkan salah-benarnya suatu berita.

Etika ini sangat penting untuk dipegang. Terutama saat isu dan berita bohong semakin cepat menyebar dan tak terbendung. Tidak sedikit pula kabar tidak benar yang menghiasi pemberitaan media kita. Ironisnya, kebanyakan pemberitaan itu menyudutkan kemuliaan Islam. Satu contoh; masih segar dalam ingatan kita, ketika stasiun TV swasta dan beberapa kanal media daring beberapa waktu lalu menyebut ROHIS sebagai lahan rekrutmen teroris. Fitnah ini melahirkan stigma terhadap ekstrakurikuler ROHIS sebagai sarang melahirkan bibit teroris. Sejak tayangan itu, tidak sedikit orang tua siswa yang melarang anaknya mengikuti kegiatan ROHIS. Padahal, ROHIS yang selama ini berjalan hanyalah kegiatan ekstrakurikuler sekolah yang bertujuan membentengi siswa dari pengaruh negatif pergaulan remaja. Sama seperti kegiatan ekskul yang lain. Dan beberapa pemberitaan negatif lainnya.

Baca Juga: Di Balik Media

Derasnya pemberitaan yang tidak obektif tersebut membuat massa bertanya-tanya. Jangan-jangan hal itu terjadi by design atau direncanakan oleh pihak-pihak tertentu. Memang benar komentar Hittler, tokoh Nazi, yang pernah mengatakan, “satu kesalahan yang ditayangkan berulang-ulang akan menjadi sebuah kebenaran dan akan dibenarkan.” Ya, begitulah sifat arus informasi. Suatu hal yang kita anggap tabu pada walnya akan menjadi suatu hal yang lumrah dan dianggap biasa jika hal itu disajikan berulang kali.

[bs-quote quote=”Derasnya pemberitaan yang tidak obektif membuat massa bertanya-tanya. Jangan-jangan hal itu terjadi by design atau direncanakan oleh pihak-pihak tertentu. Memang benar komentar Hittler, tokoh Nazi, yang pernah mengatakan, “satu kesalahan yang ditayangkan berulang-ulang akan menjadi sebuah kebenaran dan akan dibenarkan.” Ya, begitulah sifat arus informasi. Suatu hal yang kita anggap tabu pada walnya akan menjadi suatu hal yang lumrah dan dianggap biasa jika hal itu disajikan berulang kali.” style=”default” align=”center” color=”#2f7cbf”][/bs-quote]

Konsekuensi lain, pembuat berita bohong, bila pelakunya orang islam, akan membuat stigma buruk pada kaum muslimin. Seolah-olah masyarakat serempak akan berkata, “orang islam kok bohong”

Mengkroscek suatu berita adalah etika seorang muslim. Meskipun kita belum pernah mengenyam pendidikan komunikasi ataupun mengikuti seminar jurnalistik, menilik kembali berita yang sampai kepada kita, harus kita usahakan. Agar kita tidak larut dalam arus informasi yang tanpa ada filter benar bohongnya saat ini. Dan agar kita tidak asal latah menyebarkan berita, yang imbasnya kita juga yang akan mendapat stigma buruk di hadapan manusia dan dosa dihadapan sang Pencipta.

 

Belajar dari Periwayatan Hadits Bukhari

Lepaskan dulu fakta memilukan di atas, mari meluncur ke zaman Imam Bukhari sejenak, mengambil hikmah dari apa yang pernah beliau terapkan.

Ada sebanyak 7.275 hadits terdapat di Shahih Bukhari, beliau memilihnya dari 600.000 hadits. Semua ini karena beliau sangat teliti dalam menerima periwayatan hadits. Beliau memberikan syarat khusus dalam periwayatan seorang rawi hadits, yaitu seorang perawi harus  melihat dan sekaligus mendengar secara bersamaan. Ini adalah satu syarat disamping syarat tsiqah (terpercaya), ‘adalah (adil), dhabth (kuat hafalan), Itqan (profesional), ‘ilm (tahu benar), wara’ (jauh diri dari maksiat, dosa, dan syubhat).

Imam al-Bukhari tidak sekalipun meletakkan suatu hadist dalam kitabnya, kecuali beliau pasti mandi atau bersuci sebelum itu, kemudian shalat dua rakaat. Beliau mulai menulis kitabnya dari Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Beliau tidak tergesa-gesa merilis kitab kumpulan hadit tersebut sebelum menyelesaikannya. Beliau berulang kali mengoreksi dan meneliti ulang. Bahkan beliau menyusunnya sampai tiga kali hingga terbit dalam bentuk yang sekarang ini kita kenal.

Seandainya pewarta dan jurnalis hari ini seperti Imam Bukhari yang begitu teliti kala itu, kita tidak akan lagi resah dan ragu mendengar pemberitaan dan informasi di berbagai media hari ini. Wallahu A’lam.

Ditulis Oleh: M. Nasrul, di rubrik makalah, majalah ar-risalah edisi: 139 (dengan sedikit penyesuaian)

 

Antara Pamer dan Pencitraan

Rajin beramal saat dilihat orang, tapi malas saat dalam kesendirian adalah satu di antara sekian gejala riya’ (pamer). Suatu aib yang masing-masing kita pernah dah mungkin sering terjerembab ke dalamnya. Di samping aib, dosa riya’ ini bisa merembet kepada dosa lain. Seperti yang dikatakan oleh ulama tabi’in kenamaan, Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Aku mendapati ada orang-orang yang awalnya suka riya’ (pamer) dengan apa yang dikerjakannya. Lambat laun mereka akhirnya memamerkan apa yang sebenarnya bukan merupakan amal atau hasil karyanya.

Ini adalah pengamatan yang jeli dan jelas, bagaimana penyakit riya’ menjalar dan berproses hingga membuahkan dosa baru yakni kedustaan demi mendapat pujian orang. Atau yang lazim disebut dengan pencitraan dengan konotasi negatif.

Baca Juga:
Menjadi Muslim Serba Bisa

Awalnya seseorang berlaku riya’ baik dalam hal ibadah ataupun umumnya amal shalih dan ketaatan. Dia ingin orang lain melihat dirinya sebagai sosok ahli ibadah, dermawan atau gigih dalam membantu sesama. Setidaknya, tatkala ia sedang melakukan aktifitas itu, ia berharap ada orang lain atau bahkan banyak orang bisa menyaksikannya. Sebenarnya, pada batasan ini sudah berbahaya, karena ibadah atau amal tidak diterima ketika dimaksudkan riya’. Dan ini masuk dalam kategori syirik meskipun ashghar (kecil). Riya’ memang tercela, tapi sebatas membahayakan pelakunya saja.

Berawal dari riya’ saat beramal ini, seseorang cenderung ingin menaikkan rating pujian orang terhadapnya. Karena yang penting baginya adalah pujian orang, tak peduli dengan cara yang ia lakukan. Ketika kemampuan dan kemauannya terbatas untuk meraup banyaknya pujian, maka ia akan mengklaim suatu hasil, program, proyek atau keberhasilan suatu dakwah ataupun pembangunan yang dilakukan oleh orang lain sebagai usaha keras dia.

Baca Juga:
Pandai-pandailah Merasa Berdosa

Atau dengan cara menampakkan ibadah tertentu di momen tertentu agar orang lain menilai bahwa aktivitas itu sudah melekat dengan dirinya, sudah menjadi kebiasaan hariannya. Padahal aktifitas itu bukan kebiasaan aslinya. Inilah pencitraan yang mengandung kedustaan yang berbaur dengan riya’. Bahayanya tidak hanya mengenai pelakunya, tapi mengecoh banyak orang hingga mereka mengikuti ambisi pelaku berikutnya, nas’alullahal ‘aafiyah.

Ini berkebaikan dengan orang shalih, yang ketika ia dipuji atau dipandang orang di atas apa yang dilakukannya maka akan beristighfar, mohon ampunan atas keteledoran sekaligus memohon kepada Allah agar diberi kemampuan melakukan amal lebih baik lagi. Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad meriwayatkan, “Dulu ada seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang apabila dia dipuji mengucapkan, “Ya Allah, jangan Engkau menghukumku disebabkan pujian yang dia ucapkan, ampunilah aku, atas kekuranganku yang tidak mereka ketahui. Dan jadikan aku lebih baik dari penilaian mereka terhadapku.” (HR Bukhari dalam Adabul Mufrad)

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Muhasabah