Khutbah Jumat: Keagungan Kalimat Tauhid

KEAGUNGAN KALIMAT TAUHID

 Oleh: Majalah ar-risalah

 

الْحَمْدُ للهِ الكَرِيمِ المَنَّانِ، صَاحِبِ الفَضلِ وَالجُودِ وَالإِحْسَانِ، يَمُنُّ وَلا يُمَنُّ عَلَيْهِ، سُبْحَانَهُ لا مَلْجَأَ مِنْهُ إِلاَّ إِلَيْهِ، أَحْمَدُهُ بِمَا هُوَ لَهُ أَهلٌ مِنَ الْحَمْدِ وَأُثْنِي عَلَيْهِ، وَأُومِنُ بِهِ وَأَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضلِلْ فَلا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، حَثَّ عِبَادَهُ عَلَى الإِخْلاصِ فِي العَطَاءِ، وَنَهَاهُمْ عَنِ المَنِّ وَالرِّيَاءِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ، قَدَّرَ نِعَمَ اللهِ حَقَّ قَدْرِهَا، وَأَجْهَدَ نَفْسَهُ بِالقِيَامِ بِشُكْرِهَا، اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَيْهِ، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِينَ، وَرَضِيَ اللهُ عَنِ التَّابِعِينَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ.

أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا المُؤْمِنُونَ

أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ تَعاَلَى ، وَصِيَّةُ اللهِ لَكُمْ وَلِلأَوَّلِيْنَ. قَالَ تَعَالَى: ( وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُواْ اللَّهَ وَإِن تَكْفُرُواْ فَإِنَّ للَّهِ مَا فِى السَّمَاواتِ وَمَا فِى الأرْضِ وَكَانَ اللَّهُ غَنِيّاً حَمِيداً) (النساء:131)

 

Jamaah Jumat yang dimuliakan oleh Allah,

Tiada kata henti untuk bersyukur, karena banyaknya nikmat Allah tak terukur. Adalah keliru jika seseorang itu memandang nikmat sebatas pada makanan, minuman, tempat tinggal maupun kemewahan. Betapa seseorang akan sulit merasakan kebahagiaan jika tak mengenali nikmat selain pada kelezatan ragawi dan kenikmatan materi. Imam Hasan al-Bashri berkata, ”Barangsiapa yang tidak mengenali nikmat Allah selain pada makanan, minuman dan pakaian, maka sungguh dangkal ilmunya, dan amat berat penderitaannya.” Tentu saja ia menderita, karena ketika seseorang tidak mengenali nikmat, ia pun tidak mampu merasakan kelezatannya.

Maka jaminan kebahagiaan bukan dari sisi kekayaannya, begitu juga derajat kemuliaan seorang hamba di sisi Allah. Hanya saja, budaya materialistis telah mendorong manusia memandang kemuliaan melulu berdasarkan harta dan kelebihan secara fisik.

 

Jamaah shalat Jumat Rahimakumullah,

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

إِنَّ اللَّهَ سَيُخَلِّصُ رَجُلًا مِنْ أُمَّتِي عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيَنْشُرُ عَلَيْهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ سِجِلًّا كُلُّ سِجِلٍّ مِثْلُ مَدِّ الْبَصَرِ ثُمَّ يَقُولُ أَتُنْكِرُ مِنْ هَذَا شَيْئًا أَظَلَمَكَ كَتَبَتِي الْحَافِظُونَ فَيَقُولُ لَا يَا رَبِّ فَيَقُولُ أَفَلَكَ عُذْرٌ فَيَقُولُ لَا يَا رَبِّ فَيَقُولُ بَلَى إِنَّ لَكَ عِنْدَنَا حَسَنَةً فَإِنَّهُ لَا ظُلْمَ عَلَيْكَ الْيَوْمَ فَتَخْرُجُ بِطَاقَةٌ فِيهَا أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ فَيَقُولُ احْضُرْ وَزْنَكَ فَيَقُولُ يَا رَبِّ مَا هَذِهِ الْبِطَاقَةُ مَعَ هَذِهِ السِّجِلَّاتِ فَقَالَ إِنَّكَ لَا تُظْلَمُ قَالَ فَتُوضَعُ السِّجِلَّاتُ فِي كَفَّةٍ وَالْبِطَاقَةُ فِي كَفَّةٍ فَطَاشَتِ السِّجِلَّاتُ وَثَقُلَتِ الْبِطَاقَةُ فَلَا يَثْقُلُ مَعَ اسْمِ اللَّهِ شَيْءٌ

“Sesungguhnya, Allah akan membebaskan seorang lelaki dari umatku di hadapan seluruh makhluk pada hari kiamat. Akan dibentangkan padanya 99 lembaran (catatan amal keburukan), tiap-tiap lembaran seukuran sejauh pandangan mata. Kemudian Allah bertanya, “Apakah engkau mengingkari sesuatu dari lembaran (catatan amal keburukan) ini? Apakah para (malaikat) penulis–Ku al-Hafizhun (yang mencatat) menzhalimimu?”

Maka, hamba tadi menjawab, “Tidak wahai Rabbku.” Allah bertanya lagi, “Apakah engkau memilik alasan?” Maka, hamba tadi menjawab, “Tidak wahai Rabb-ku.” Maka, Allah berfirman, “Benar, sesungguhnya di sisi Kami engkau memiliki satu kebaikan. Sesungguhnya pada hari ini engkau tidak akan dizhalimi.  Kemudian, dikeluarkan sebuah bithaqah (karcis) yang bertuliskan: Asyhadu alla ilaaha illa Allah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu warasuluhu (Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah adalah hambaNya dan Rasul-Nya. Allah berfirman, “Datangkanlah timbanganmu.”  Hamba tadi berkata, “Wahai Rabb-ku, apa (pengaruh) karcis ini terhadap lembaran-lembaran ini.” Maka, Allah berfirman, “Sesungguhnya engkau tidak akan dizhalimi.” Rasulullah bersabda, “Maka, lembaran-lembaran itu diletakkan di atas satu daun timbangan, dan satu karcis tersebut diletakkan di atas satu daun timbangan yang lain. Maka, ringanlah lembaran-lembaran itu, dan beratlah karcis tersebut. Maka, sesuatupun tidak berat ditimbang dengan nama Allah.” (HR. Tirmidzi)

Demikianlah, tidak ada sesuatu pun yang lebih berat bila ditimbang dengan kalimat Laa ilaaha illallah. Siapa yang bertemu Allah dan mengimaninya maka Allah akan menyelamatkannya dari Azab neraka meskipun sebelumnya dia diazab lantaran dosa yang dilakukan. Sebaliknya, siapa yang bertemu dengan Allah tanpa kalimat itu dan mengkufurinya, kelak dia akan menyesal tidak mendapatkan rahmat-Nya.

 

Jamaah Jumat Rahimakumullah,

Kalimat Laa ilaaha illallah adalah inti dakwah para Nabi. Allah berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.” (QS. Al-Anbiya: 25).

Tidaklah seorang Nabi dibenci dan dimusuhi melainkan karena mereka menyampaikan dan mengajak semua orang untuk mengagungkan kalimat tersebut. Kalimat Laailaaha illallah adalah kalimat pembuka jannah sebagaimana sabda Rasulullah,

“Barang siapa mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah dengan penuh keikhlasan, maka dia akan masuk surga.“ (HR. Ahmad).

Namun, tidak setiap yang mengucapkannya bisa mengambil manfaat dari kalimat tersebut. Iman Bukhari meriwayatkan bahwa seseorang pernah bertanya kepada Imam Wahab bin Munabbih, seorang Tabi’in dari Shan’a, “Bukankah Laa ilaaha illallah itu kunci surga?”  Wahab menjawab, “Benar, akan tetapi setiap kunci pasti bergerigi. Jika engkau membawa kunci yang bergerigi, maka pintu surga itu akan dibukakan untukmu.”

Apakah gerigi-gerigi itu? Gerigi itu adalah syarat-syarat Lailaha illallah. Demikian pula keterangan Hasan Al Bashri rahimahullah, ketika ia ditanya, “Orang-orang mengatakan bahwa barangsiapa yang mengucapkan Laa ilaaha illallah pasti akan masuk surga.” Hasan al-Bashri berkata:

من قال « لا إله إلا الله » فأدَّى حقها وفرضها دخل الجنة

“Barangsiapa yang mengucapkan Laa ilaaha illallah, lalu menunaikan hak dan kewajibannya (konsekuensinya), pasti akan masuk surga“.

Rasulullah juga bersabda,

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الجَنَّةَ

“Sesiapa yang akhir ucapannya adalah kalimat Lailaha illallah maka Allah akan memasukkannya ke dalam jannah.” (HR. Abu Dawud).

Oleh karena itu Rasulullah mengajarkan kepada umatnya untuk menalqinkan kalimat tersebut pada orang yang hendak meninggal.

لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ

“Talqinkanlah (tuntunkanlah) orang yang akan meninggal di antara kalian dengan kalimat, ’laa ilaha illallah’.” (HR. Muslim)

 

Jamaah jumat Rahimakumullah,

Itu pulalah yang diinginkan Rasulullah dari paman beliau, Abu Thalib. Paman yang telah berjuang membela dan melindungi Rasulullah ketika kaum kafir menginginkan kecelakaan pada beliau. Beliau ingin pamannya mengucapkan kalimat tersebut di akhir hayatnya. Maka pada saat pamannya berada pada detik-detik akhir hidupnya, beliau berdiri di sisi dipan sambil berkata, “Wahai pamanku, ucapkan Laa ilaaha illallah, kalimat yang dengannya aku akan berhujjah (membelamu) di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla.”  (HR. Al-Bukhari)

Namun sayang, pamannya enggan mengucapkan kalimat tersebut. Karena bujukan dan hasutan dari kedua saudaranya Abu Jahal dan Abu lahab, yang turut serta mendampinginya di akhir hayatnya.

 

Jamaah Jumat Rahimakumullah,

Belum setelah wafatnya Rasulullah, Umar Ibnu Khatab pernah mendapati sahabat Thalhah bin Ubaidillah sedang duduk berteduh dan bersedih. Lantas umar bertanya kepada Thalhah, “Wahai Thalhah, apa yang membuatmu bersedih? apakah istrimu?”

Jawabnya, “Bukan, tapi yang membuatku sedih adalah aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda sebelum beliau meninggal, ‘Sungguh aku tahu, ada satu kalimat, tidaklah seorang hamba mengucapkannya disaat kematiannya melainkan kalimat itu akan menjadi cahaya diwajahnya sehingga warnanya cerah dan Allah mudahkan urusannya. Dan sungguh jasad dan ruhnya akan mendapat kenyamanan dan rahmat di saat kematian’.

Thalhah melanjutkan ucapannya, “Aku ingin menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Salam, namun beliau jatuh sakit. Dan aku tidak sempat menanyakannya hingga beliau wafat. Dan ini yang membuatku sedih.”

Umar pun mengatakan, “Aku tahu kalimat itu wahai Thalhah, yaitu kalimat yang beliau ingin agar pamannya Abu Thalib mengucapkannya (yaitu kalimat laa ilaaha illallah).”

 

Jammah Jumat rahimakumullah,

Begitu berharganya kalimat Laa ilaaha illah, sehingga para Nabi dan orang-orang shalih mewasiatkan hal ini kepada anak-anaknya. Dalam sebuah hadits Rasulullah menceritakan Nabi Nuh alaihissalam di masa akhir hidupnya. Ia berpesan kepada anaknya,

“Wahai anakku, aku perintahkan kepadamu melazimi kalimat laa ilaaha illallah …kalaulah kiranya tujuh lapisan langit dan bumi diletakkan dalam satu timbangan. Kemudian kalimat laa ilaaha illallah diletakkan pada timbangan yang satu. Sungguh kalimat laa ilaaha illallah itu lebih berat. Kalaulah kiranya dunia langit seisinya itu terbentuk menjadi sebuah rantai yang kokoh, sungguh kalimat laa ilaaha illallah dapat memotongnya“.

Nabi Nuh telah diberikan umur yang panjang oleh Allah. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa umur beliau mencapai 950 tahun. Sepanjang usianya ia habiskan untuk mendakwahkan kalimat Lailaha illallah. Beliau menyaksikan bagaimana Allah menolong dan menyelamatkan orang-orang yang berpegang dengan kalimat tauhid dan ia menyaksikan kebinasaan penduduk bumi yang hanyut tenggelam lantar kekufuran mereka terhadap kalimat laa ilaaha illallah. Begitu agungnya kalimat ini, sehingga tak ada nilainya seberapapun dunia yang kita miliki bila di dalam hati kita tidak ada keimanan dan tidak ada pengagungan kepada kalimat tauhid ini.

Kalimat ini pulalah yang dipesankan oleh Nabi Yaqub kepada putra-putrinya. Allah mengisahkan tentang Nabi Ya’kub,

أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

“Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya” (QS. Al-Baqarah: 133).

Nabi Ya’kub tidak mengkhawatirkan kehidupan dunia anak-anaknya. Ia tidak khawatir dengan apa yang mereka makan kelak, yang mereka pakai kelak, di mana kelak mereka akan tinggal. Yang ia khwatirkan adalah apa yang akan mereka sembah, yang akan mereka taati, yang akan mereka ibadahi sepeninggal beliau. Itu yang beliau khawatirkan.

 

Jamaah rahimakumullah,

Semoga Allah memudahkan kita dalam melaksanakan konsekuensi dari kalimat tauhid sehingga kita dimudahkan dalam mengucapkan kalimat Laa ilaaha illah di penutup usia kita. Kemudian Allah memasukkan kita ke dalam Jannah bersama para ahli tauhid.

 

Oleh: Ust. Taufik Anwar/Khutbah Jumat

 

Diyatsah, Matinya Kecemburuan dan Lumpuhnya Kepekaan Terhadap Islam

Manusia memiliki fitrah, yaitu tabiat dasar yang cenderung pada kebaikan. Merasa malu, hidup bersosial, suka kebersihan, ingin memiliki keturunan, adalah beberapa contohnya. Islam datang membimbing manusia agar tetap berada pada fitrah sucinya dan membawanya menuju kebaikan yang sempurna.

Salah satu fitrah manusia adalah memiliki rasa cemburu. Dalam bahasa Arab disebut ghirah. Ghirah adalah ketidaksukaan hati pada orang yang dipandang merebut hak dan sesuatu yang dimiliki. Istilah ini identik pada hubungan lelaki dan wanita, yaitu saat mana salah satu dari keduanya merasa bahwa ada pihak ketiga yang berusaha menggoda atau bahkan merebut pasangannya. Ghirah sangatlah manusiawi. Oleh karenanya, dalam Islam rasa cemburu tidak dikekang, hanya dibatasi agar tidak berlebihan.

Rasa ini justru dijaga dan dipelihara karena merupakan pilar penjaga hubungan bahkan penanda cinta yang paling transparan. Baca saja hadits-hadits yang mengisahkan kecemburuan istri-istri Nabi dan respon bijak nan lemah lembut Beliau kepada para isterinya yang tengah cemburu. Aisyah bahkan pernah memukul gelas yang dibawa oleh seorang budak wanita karena cemburu sampai pecah berkeping. Luar biasanya, respon Nabi tak lebih dari memunguti pecahan sembari menenangkan sang budak wanita dengan berkata, “Ibunda kalian sedang cemburu.” Itu saja. Tidak ada hardikan atas kecemburuan Aisyah.

Baca Juga: Ghirah, Cemburu Karena Allah

Bahkan tidak hanya manusia saja yang cemburu, ternyata dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Allah pun cemburu. Cemburunya Allah adalah ketika hamba yang beriman: orang-orang yang menyatakan diri cinta kepada-Nya, dan Allah pun cinta pada mereka, melakukan kemaksiatan. Allah cemburu karena maksiat adalah kosongnya hati dari Allah dan terisi oleh nafsu dan bisikan setan hingga lebih menuruti keduanya daripada syariat-Nya.

Jadi, cemburu atau ghirah memang baik asal proporsional. Sebaliknya, hilangnya rasa cemburu adalah petaka. Dalam bahasa Arab musnahnya rasa cemburu disebut diyatsah. Pelakunya disebut Dayuts. Dayuts adalah orang yang tak lagi cemburu pada pasangan atau pada apapun yang dilakukan orang pada pasangannya. Dan diyatsah adalah tanda paling kentara dari musnahnya rasa cinta. Hilangnya rasa cinta bukan ditandai dengan benci, tapi dengan tidak lagi peduli. Berapa banyak orang membenci namun masih menyisakan ruang untuk cinta di hati. Namun, jika sudah tak peduli, hati telah tertutup dan telinga ta mau lagi mendegar apapun yang terjadi. Inilah klimaks dari kosongnya cinta.

Rasulullah ﷺ bersabda,

ثَلَاثَةٌ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ، وَالْمَرْأَةُ الْمُتَرَجِّلَةُ، وَالدَّيُّوثُ

Dari Salim bin Abdullah (bin Umar), dari bapaknya, dia (Abdullah) berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda, “Tiga orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak sudi melihat mereka pada hari kiamat: anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya, wanita yang menyerupai laki-laki, dan dayuts.” (HR. Ahmad)

Lihatlah, balasan bagi dayuts adalah Allah tidak peduli padanya bahkan memadang pun tak sudi. Persis sama dan setimpal dengan ketidakpeduliannya pada orang atau sesuatu yang seharusnya dia pedulikan. Lantas bagaimanakah orang yang sudah tidak lagi dipedulikan oleh Allah? Wal iyadzu billah. Semoga kita dijauhkan dari tiga dosa dalam hadits ini.

 

Diyatsah yang Mengerikan

Pada tataran praktik,diyatsah memang mengerikan. Rasa cemburu yang harusnya ada pada seseorang yang memang seharusnya dicemburui, musnah sama sekali dari hati. Suami tak lagi cemburu melihat istrinya bersama orang lain, atau sebaliknya. Apa yang tersisa dari cinta dan hubungan jika seperti ini? Kasus paling parah, dikisahkan dalam sebuah berita bahwa ada isteri yang rela bahkan membiarkan suaminya berzina dengan pelacur asal tidak nikah lagi atau menceraikan dirinya. Naudzubillah min dzalik.

Seorang ayah tak cemburu saat anaknya digoda atau bahkan dipermainkan laki-laki yang entah bakal jadi suaminya atau tidak. Atau seorang saudara tak ambil pusing manakala saudari atau bahkan ibunya sendiri, diganggu dan diseret ke dalam maksiat oleh orang tak bertanggung jawab. Subhanallah, akan seperti apa sebuah hubungan tanpa kecemburuan? akan seperti apa keluarga jika penanggungjawabnya sudah tak lagi peduli?

 

Skala Lebih Luas

Diyasath akan lebih mengerikan jika diseret pada skala yang lebih luas dari hubungan suami isteri dan keluarga, menuju hubungan antar mukmin kepada mukmin lain dan hubungan mukmin dengan agamanya.

Cemburunya seorang mukmin kepada saudaranya adalah rasa tidak rela saat saudaranya dihina, dizhalimi apalagi ditindas. Kecemburan ini muncul dari rasa cinta kepada sesama mukmin. Cinta melahirkan cemburu, cemburu menggerakkan jiwa dan raga untuk melakukan pembelaan. Bagaimana jika rasa ini mati?

Saat rasa cemburu mati dan diyatsah menggantikan posisinya di hati, kepedulian akan sirna. Seperti apapun derita yang menimpa saudara mukmin, hati tidak lagi peka. Diyatsah seperti kaca pembatas hati yang telah buram dan tebal hingga menghalangi suara. Sebenarnya masih bisa terlihat, namun karena tidak jelas, apa yang tampak tak mengundang perhatian. Sebenarnya masih terdengar, namun jeritan hanya terdengar seperti teriakan kecil hingga hati pun tak terpanggil.

Saat rasa cemburu mati dan diyatsah menggantikan posisinya di hati, kepedulian akan sirna. Seperti apapun derita yang menimpa saudara mukmin, hati tidak lagi peka.

Seperti apapun bombardir media menginformasikan bagaimana penderitaan saudara seiman di Palestina, Suriah, atau Rohingya, semuanya hanya disikapi dengan dingin. Dinding diyatsah dalam hati telah diblok stiker berbunyi, “Itu urusan bangsa dan negara lain, bukan urusan bangsa dan negaraku.” Atau slogan yang sepertinya indah nan bijaksana, namun sebenarnya menunjukkan matinya rasa cinta dan ukhuwah, yang berbunyi, “Kita harus netral dalam menyikapi apapun yang terjadi di negara lain.” Jika netral berarti diam, maka netral adalah bebal. Inti cinta dan ukhuwah bukanlah sekadar kata yang diucapkan atau senyum yang disunggingkan melainkan pembelaan dan keberpihakan.

Baca Juga: Taubat yang Batal dan Hijrah yang Gagal

Kasus pelecehan terhadap Islam, Syiar islam, kalimat tauhid, syariat dan al-Quran akan memunculkan banyak wajah-wajah dayuts. Oknum-oknum yang dianggap tokoh Islam namun ghirahnya kepada al-Quran malah layak dipertanyakan. “Allah Maha Kuat, tidak butuh dibela”, katanya. Kalimat yang benar tapi ditujukan pada konteks yang salah. Allah memang Maha Kuat, Allah juga tidak pernah butuh pada pembelaan siapapun. Namun, pembelaan umat Islam pada Allah dan syariat-nya bukan karena kasihan dan menganggap lemah tapi karena cinta dan kecemburuan. Kalimat itu justru menjadi penghinaan Bagi Dzat Yang Maha Kuasa.

 

Nahi Mungkar adalah Ekspresi Kasih Sayang

Nahi mungkar atau gerakan pemberantasan kemaksiatan juga lahir dari rahim cinta kepada Islam dan kecemburuan kepada sesama muslim. Seorang muslim tidak rela saudaranya dibelenggu setan dan dijerumuskan ke dalam kemaksiatan. Oleh karenanya, muslim lain pun berusaha memberantas semua sarana yang digunakan setan untuk menjebak seorang muslim. Sayangnya, kepekaan ini tidak dimiliki oleh dayuts. Dia justru menganggap nahi mungkar sebagai arogansi dan intoleransi, meski nahi mungkar sudah dilakukan dengan hati-hati. Wajar, hati dayuts memang tak pernah terusik oleh maksiat. Dalam pikirannya, biarlah manusia memilih apa yang diinginkan asal tidak terjadi konfrontasi.

Demikian juga yang terjadi saat peristiwa pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid di Jawa Barat beberapa waktu lalu. Kaum muslimin berbondong-bondong mengecam dan tidak mentolelir perbuatan tersebut karena telah merendahkan simbol islam dan kaum muslimin. Namun, sangat disayangkan ternyata banyak juga umat islam yang kecemburuannya sudah tumpul dan sudah tersemai benih dayuts dalam jiwanya, hingga ia mencari pembenaran dan pembelaan atas kasus tersebut. Wal iyadzubillah.

Bahkan saat merebaknya fenomena LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) yang jelas-jelas bertentangan dengan syariat, fitrah manusia bahkan norma masyarakat pun, para dayuts tetap bebal hatinya untuk bisa tergerak. Propaganda yang justru mampu merasuk dalam hati dan pikirnya adalah propaganda setan yang menyatakan bahwa LGBT adalah hak asasi setiap manusia yang tidak perlu diributkan. Dan dengan itu, dirinya merasa paling bijaksana. Adapun orang-orang yang dengan keras menentang, dicitrakan sebagai barbar yang intoleran, tidak memiliki kedewasaan berpikir dan kebijakan kultural, padahal semua itu adalah indikasi bahwa iman di hatinya telah mati. Penentangan orang-orang beriman adalah wujud hidupnya hati dan kasih sayang mereka serta ketidakrelaan mereka jika saudara-saudara mereka menjadi karib setan dan dimurkai Allah. Lantas siapakah di antara keduanya yang lebih pengasih, lebih toleran dan lebih bijaksana? Wal iyadzu billah wallahul musta’an. 

 

Oleh: Ust. Taufik Anwar/Telaah