Kesempatan Berharga Bersama Orang Tua

Foto-foto pengungsi Rohingya yang sedang memikul orang tuanya menjadi viral di media sosial. Beberapa video juga tersebar menunjukkan bagaimana mereka terseok menggendong ibu mereka menyeberangi lumpur dan sungai.

Hal tersebut mengingatkan kita pada kisah ibnu Umar saat ia melihat seorang yang menggendong ibunya sambil thawaf mengelilingi Ka’bah. Orang tersebut bertanya kepada Ibnu Umar, “Wahai Ibnu Umar, menurut pendapatmu apakah aku sudah membalas kebaikan ibuku?” Ibnu Umar menjawab, “Belum, meskipun sekadar satu erangan ibumu ketika melahirkanmu. Akan tetapi engkau sudah berbuat baik. Allah akan memberikan balasan yang banyak kepadamu terhadap sedikit amal yang engkau lakukan.”

Semoga Allah memberi kemudahan kepada mereka lantaran bakti mereka kepada orang tua. Beruntunglah mereka yang masih diberikan nikmat kebersamaan dengan orang tua karena masih terbuka salah satu pintu dari pintu-pintu surga.

Keberadaan orang tua merupakan kesempatan berharga bagi anak untuk menimba pahala sebanyak-banyaknya.

 

وَرَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ أَدْرَكَ عِنْدَهُ أَبَوَاهُ الْكِبَرَ فَلَمْ يُدْخِلَاهُ الْجَنَّةَ قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ وَأَظُنُّهُ قَالَ أَوْ أَحَدُهُمَا

Rasulullah bersabda, “Celakalah seseorang yang kedua orang tuanya berusia lanjut namun kedua orangtuanya tidak dapat memasukkannya ke dalam Surga (karena kebaktiannya).” Dan berkata Abdurrahman, “aku mengira ia mengatakan atau salah satunya.”

Raghima anfu rajulin dalam hadits tersebut adalah seseorang akan mengalami berbagai kehinaan di dunia jika ia hidup bersama orang tuanya sementara ia tidak bisa menjadikan keduanya faktor yang membuatnya masuk surga. Taat kepada orang tua adalah cara termudah untuk masuk surga.

Baca Juga: Pahala Sempurna Bagi Orangtua yang Anak Kecilnya Meninggal

Salah seorang sahabat pernah datang kepada Nabi dan bertanya, “Amalan apakah yang paling dicintai oleh Allah.” Nabi menjawab, “Shalat pada waktunya.” Ia bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab, “Birul walidain.”

Rasulullah menggunakan istilah berbakti bukan taat, karena kata bakti mencakup semua jenis kebaikan, kasih sayang, memberi, menolong, dan membahagiakan mereka berdua.

Kesempatan hidup bersama orang tua tak datang dua kali. Maka para sahabat dan orang-orang shalih memanfaatkan waktu tersebut dengan baik.

Anas bin Nadzr al-Asyja’I pernah bercerita, suatu malam ibu dari sahabat Ibnu Mas’ud meminta air minum kepada anaknya. Setelah Ibnu Mas’ud datang membawa air minum, ternyata sang Ibu sudah ketiduran. Akhirnya Ibnu Mas’ud berdiri di dekat kepala ibunya sambil memegang wadah berisi air tersebut hingga pagi.”

Sufyan bin Uyainah mengatakan, “Ada seorang yang pulang dari bepergian, dia sampai di rumahnya bertepatan dengan ibunya berdiri mengerjakan shalat. Orang tersebut enggan duduk padahal ibunya berdiri. Mengetahui hal tersebut sang ibu lantas memanjangkan shalatnya, agar makin besar pahala yang didapatkan anaknya.

Haiwah binti Syuraih adalah seorang ulama besar. Suatu hari ketika beliau sedang mengajar, ibunya memanggil. “Hai Haiwah, berdirilah! Berilah makan ayam-ayam dengan gandum!” Mendengar panggilan ibunya, beliau lantas berdiri dan meninggalkan pengajiannya.

Baca Juga: Ziarah Kubur, Mengingat Mati Melembutkan Hati

Kahmas bin al-Hasan at-Tamimi melihat seekor kalajengking berada dalam rumahnya, beliau lantas ingin membunuh atau menangkapnya. Ternyata beliau kalah cepat, kalajengking tersebut sudah masuk ke dalam liangnya. Beliau lantas memasukkan tangannya ke dalam liang untuk menangkap kalajengking tersebut. Beliaupun tersengat kalajengking.

Melihat tindakan seperti itu, ada orang yang berkomentar, “Apa yang kau maksudkan dengan tindakan seperti itu?” Beliau mengatakan, “Aku khawatir kalau kalajengking tersebut keluar dari liangnya lalu menyengat ibuku.”

 Muhammad bin Sirin mengatakan, di masa pemerintahan Ustman bin Affan, harga sebuah pohon kurma mencapai seribu dirham. Meskipun demikian, Usamah bin Zaid membeli sebatang pohon kurma lalu memotong dan mengambil jamarnya (bagian batang kurma yang berwarna putih yang berada di jantung pohon kurma).

Jamar tersebut lantas beliau suguhkan kepada ibunya. Melihat tindakan Usamah bin Zaid, banyak orang berkata kepadanya, “Mengapa engkau berbuat demikian? Padahal engkau mengetahui bahwa harga satu pohon kurma itu seribu dirham.” Beliau menjawab, “Karena ibuku meminta jamar pohon kurma dan tidaklah ibuku meminta sesuatu kepadaku yang bisa kuberikan, pasti kuberikan.” (Shifatush Shafwah)

Ibnu Aun mengatakan, “Suatu ketika ada seorang menemui Muhammad bin Sirin pada saat beliau sedang berada di dekat ibunya. Setelah keluar rumah, beliau bertanya kepada para sahabat Muhammad bin Sirin, ‘Ada apa dengan Muhammad? Apakah dia mengadukan suatu hal?’ Para sahabat Muhammad bin Sirin mengatakan, ‘Tidak. Akan tetapi memang demikianlah keadaannya jika berada di dekat ibunya’.” (Diambil dari Siyar A’lamin Nubala’, karya adz-Dzahabi)

Bersegeralah untuk berbakti kepada orang tua sebelum kesempatan itu berlalu dan penyesalan selalu hadir dibelakang. Jika ingin memperoleh cinta Allah, mintalah ridha orang tua. Kita bahagiakan orang tua. Buat mereka tertawa, bantulah mereka, bersabarlah terhadap perilaku mereka yang membuat kita tak senang.

Jika salah seorang dari mereka berumur lanjut dalam pemeliharaan kita, jangan tinggikan suara dihadapan mereka dan tetaplah berkata dengan perkataan yang mulia. Berdoalah untuk keduanya baik ketika mereka masih hidup atau setelah mereka meninggal.

Seorang tabiin pernah ditanya, “Berapa kalikah saya harus berdoa kepada ayah dan ibuku?” Ia menjawab, “Lima kali dalam sehari.” Orang itu bertanya, “mengapa?” Ia menjawab, “Bukankah engkau telah diperintahkan untuk shalat lima waktu dalam sehari?” orang itu menjawab, “Benar.” Tabiin itu berkata, “Bukankah Allah berfirman, ‘Bersyukurlah kepadaKu dan kepada kedua orang tuamu.’ (QS. Luqman: 14). Wallahu a’lam.

 

Oleh: Ust. Muhtadawan/Fadhilah

 


Segera miliki majalah islam keluarga, ar-risalah. Majalah pilihan keluarga muslim dalam meningkatkan kualitas hati dan ketakwaan. Hubungi agen terdekat atau sms/wa ke: 0852 2950 8085

Majalah Arrisalah Maret 2018 – Edisi 201

Majalah islam

Telah terbit majalah islam Arrisalah edisi 201 Maret 2018, “Sandang Taat Tanggalkan Maksiat”

dengan tema unggulan:

  1. Fikrah Dakwiyah : Dakwah: Mencari Kawan atau Mencari Lawan
  2. Ahla Hikayah : Isroiliyat Seputar Kisah Nabi Idris
  3. Himmah Aliyah  : Semangat Dalam Senyap

Daftar Isi Majalah Ar-Risalah

001 IFTITAH

002 Biah
Mengokohkan Iman Kepada Hari Akhir

003 RUANG PEMBACA

006 RISALAH
Mahar Tak Terbawa

007 DAFTAR ISI

008 MUTHALA’AH
09 Sandang Taat Tanggalkan Maksiat
12 Taubat Yang Gagal & Hijrah Yang Gagal

016 FATAWA
Shalat Di Sajadah Yang Ada Gambar Ka’bah

017 ASMAUL HUSNA
Meresapi Kebesaran Allah

019 AKHDATS NIHAYAH
Fitnah-Fitnah Dajjal

021 MAKALAH
Menjadi Muslim Problem Solver

024 ADAB NABAWIYAH
Dosa, Sesuatu Yang Membuat Hatimu Ragu

026 FIKRAH
Al-Mutrafun

029 FIKih NAZILAH
Hukum Membatalkan Transaksi

031 KHUTBAH JUM’AT
Makna Hakiki Dari Cinta Pada Bangsa Tanah Air

035 FIKRAH DAKWIYAH
Dakwah: Mencari Kawan Atau Mencari Lawan?

037 AHLA HIKAYAH
Isroiliyat Seputar Kisah Nabi idris039 HIMMAH ALIYAH
Semangat Dalam Senyap041 TIPS
Tips Menjaga Kualitas Ruhani

042 KALAM QALBI
Menjadi Perantara Kebaikan

046 HADHARAH
Runtuhnya Perdagangan Jawa

048 TAJRIBAH
Harga Sebuah Hidayah

050 AHWAL NISAIYAH
Mukminah Dan Ujian Iman

052 SHIFAT INSANIYAH
Manusia Dan Perilaku Tergesa-gesa

054 HIWAR UKHRAWI
Awal Kebahagiaan Bagi Orang Beriman

057 KITABAH
Bagaimana Mendapat Kawan Ala Nabi

058 FURSAH NAFISAH
Saat Menunggu Lelap

061 AKIDAH
Kalamullah Bukanlah Makhluk

063 DZATU IBRAH
Dua Ayat Penyebab Taubat

064 MUHASABAH
Antara Pamer Dan Pencitraan

majalah islam arrisalah edisi 201 maret 2018

Majalah Ar-Risalah

Saat Allah telah membukakan pintu kesadaran dan insaf dari khilaf maka langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah merawat kesadaran dan menjadikannya sebagai titik tolak perubahan dari kegelapan kepada cahaya. Keinsafan yang tidak diiringi dengan langkah nyata meninggalkan kemaksiatan rawan kembali terjerumus kedalam lubang yang sama. Bukankah kita sering mendengar orang-orang yang batal taubatnya dan gagal hijrahnya lantaran takut kehilangan teman dan mata pencaharian? Di sinilah perlunya hijrah.

Hijrah menuntut keberanian seseorang untuk meninggalkan kebiasaan buruk dan pemicunya. Yang paling mendesak adalah meninggalkan teman-temannya yang buruk, lalu mencari teman atau komunitas baru yang lebih diridhai oleh Allah. Karena teman adalah penentu. Tanpa dukungan teman yang baik, sulit bagi orang yang bertaubat untuk berubah dan istiqamah di jalan hijrah.

Baca selengkapanya di majalah ar-risalah edisi bulan ini.

Belum punya majalahnya? Atau bingung cara membelinya? hubungi agen terdekat di kota Anda atau

hubungi kami di =

 085229508085

@Majalah.Arrisalah

 Majalah_Arrisalah

website: arrisalah.net

 

Alamat Redaksi:

Jl. DR. Muh. Hatta Kp. Maddegondo RT. 05

RW. 04 Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah.

Telp: (0271) 624421

Ancaman ‘Harga’ Legalnya Kemaksiatan

Teknologi informasi telah menjadikan hampir seluruh muka bumi ini flat, sama mudah dan sama lancar untuk mendapatkan aliran informasi ; menjadi sumber berita maupun menjadi konsumen pemberitaan. Hal itu membawa implikasi positif di satu sisi, tetapi juga tidak jarang menimbulkan efek negatif.

Positifnya, jika ada berita kebaikan yang mendapatkan porsi pemberitaan cukup, maka kabar kebaikan tersebut segera menyebar luas di tengah masyarakat, sebaliknya jika informasi kejelekan yang terus-menerus dilansir oleh media, maka keburukan itu juga merata-rata menjadi trending topic publik. Yang paling belakangan masyarakat kembali kena sock terbongkarnya prostitusi alias pelacuran di kalangan artis.

Ramai masalah tersebut dibicarakan dari berbagai aspek dan beragam tinjauan, oleh berbagai pihak yang berkepentingan; kalangan artis sendiri, aparat kepolisian, birokrasi pemerintahan, budayawan, juga para pemimpin agama.

Ada yang masih berusaha menjaga citra profesi seniman (artis) sebagai profesi yang bersih dan tidak dapat dikaitkan dengan prostitusi, ada juga yang terkesan menerima begitu saja pengkaitan tersebut.

Hanya saja, pihak-pihak terkait dalam temuan kasus tersebut memang menjadikan ‘fakta’ prostitusi itu tidak terbantahkan. Pihak artis yang tertangkap basah dalam transaksi, pengakuan ‘germowan’ yang menjadi perantara transaksi dan menerima pembayaran, yang mengaku 200-an personil artis berada dalam koordinasinya, besaran jumlah bayaran setiap ngamar, short time maupun long time, berapa persen fee yang diterima setiap terjadi transaksi, pihak aparat kepolisian yang memancing transaksi sehingga terjadi pembongkaran kasus, semua mengarah ke satu titik bahwa fakta itu tidak terbantah.

Dalam acara Indonesian Lawyer’s Club misalnya,..kesaksian oknum bertopeng yang mengaku berperan menyediakan teman perempuan bagi para pejabat dan pengusaha sebagai suatu bentuk ‘servis’ dalam rangka menggolkan suatu tender atau transaksi, tak ada pihak yang membantah.

Keuntungan Penganjur Sekulerisme dan Kerugian Masyarakat

Ada proses sosial-kemasyarakatan yang tanpa disadari berjalan menuju ke arah internalized (melembaga dan diterima oleh masyarakat) yakni prostitusi itu sendiri. Terbongkarnya kasus tersebut, pemberitaan massif media massa, menjadi trending topic dalam waktu yang relatif lama, diskusi-diskusi di berbagai kalangan yang juga terus mendapatkan liputan dari media, semua itu merupakan proses pangenalan dan sosialisasi.

Perdebatan soal itu, baik menolak maupun menerima, tanpa disadari merupakan bagian dari proses pelembagaan ‘nilai baru’ tersebut. Proses ini sebenarnya paling berbahaya dalam peneguhan dan penolakan terhadap suatu budaya baru, jika tidak disertai dengan penilaian dan cara pandang yang benar yang dapat dimengerti oleh masyarakat.

Seluruh pihak yang terkait dalam lingkaran itu, sejatinya terlibat aktif dalam mensosialisasikan penerimaan ‘tata nilai’ baru yang diperkenalkan, yakni bahwa ‘prostitusi di kalangan artis adalah suatu perkara yang biasa’.

Penganjur sekularisme yang menangguk keuntungan terbesar dari ‘dakwah’ praktis bil-haal melalui celah-celah kejadian sosial-kemasyarakatan tersebut. Seperti itulah (kira-kira)gambaran masyarakat ‘majemuk’ yang dapat menerima ‘nilai-nilai baru’ yang sudah disterilkan dari peran agama. Sebab agama langit manapun sebenarnya pasti menolak prostitusi jika masih tersisa komitment kepada ajaran agamanya. Hanya agama yang telah tersekulerkan yang dapat menerima ‘tata nilai asing’ tersebut.

Siapa yang dirugikan? Secara substantif dan berjangka panjang sebenarnya masyarakat sendiri yang dirugikan dan akan membayar harga kerugian itu pada suatu saat nanti.

Sebab, perbuatan maksiat itu jika dilakukan secara diam-diam, pelakunya melakukan dengan mengendap-endap takut ketahuan dan jika dia ketahuan merasa malu, berbeda efeknya dibandingkan jika perbuatan maksiat tersebut dilakukan secara terbuka, terang-terangan dan pelakunya tidak merasa malu, apalagi jika masyarakat telah menganggap sebagai suatu hal yang biasa dan dapat diterima.

 

Baca Juga: Cara Menpis Godaan Bermaksiat

 

Perbuatan maksiat, pelanggaran norma agama dan kesusilaan yang dilakukan secara terbuka dan terang-terangan, masyarakat menerima sebagai budaya, bahkan pelakunya merasa bangga dengan perbuatannya, berimplikasi mengundang kemurkaan Allah, dan mengundang hukuman bencana secara langsung di dunia.

Judi, peredaran minuman keras atau prostitusi yang dilakukan secara terang-terangan, ada regulasi yang mengatur, ada lokasi tertentu yang diijinkan, ada pajak (cukai) yang diambil, berimplikasi adanya

Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang secara resmi, sah dan diakui yang berasal dari barang yang haram. Percampuran pendapatan daerah atau negara dari sumber-sumber halal dan haram tersebut, berakibat hilangnya alasan para aparat birokrasi pemerintahan yang digaji dari pendapatan yang sudah bercampur antara yang halal dengan yang ‘terang-terangan’ haram.

Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah rahimahulLah menjelaskan “Sesungguhnya perbuatan makshiat itu jika dilakukan secara sembunyi-sembunyi tidak akan mendatangkan bahaya kecuali bagi pelakunya saja, tetapi apabila dilaksanakan secara terang-terangan bahayanya akan menimpa kepada pelakunya dan masyarakat luas. Jika manusia melihat perbuatan munkar dan tidak mengingkarinya (menolak dan mencegahnya) dikhawatirkan Allah akan mendatangkan bencana secara umum (menimpa pelakunya dan masyarakat luas yang tidak mencegahnya)”. [Al-Jawab al-Kafie liman Sa-ala ‘an ad-Dawa’ asy-Syafie, fashl ‘Uqubat ad-Dzunub Syar’iyyah wa Qadariyyah]

Argumentasi bahwa dengan adanya tempat khusus penjualan yang berijin dan dikenakannya pajak/cukai akan dapat membatasi dan mengontrol agar tidak tersebar secara bebas di tengah masyarakat. Alasan tersebut (mungkin) ‘benar’ dalam logika sekulerisme, tetapi bagi masyarakat yang mutlak beragama, dan mayoritas mutlak muslim, logika tersebut akan di tingkat pelaksanaan menciptakan racun yang masuk ke dalam perut para birokrat dan keluarganya yang dibiayai dari gaji yang bersumber dari pendapatan daerah yang mixing tersebut.

Dari titik berangkat ini, maka yang seharusnya paling depan melawan proses penerimaan PAD dari sektor maksiat adalah para wakil rakyat yang menghadangnya jangan sampai regulasi yang melegalkan kemakshiatan tersebut lolos, diikuti aparat birokrasi pemerintahan pusat maupun daerah jangan sekali-kali mengeluarkan peraturan pemerintah, atau permen, atau perda yang mengatur secara teknis sehingga perbuatan makshiat itu menjadi sah dan terlindungi.

Selanjutnya seluruh alat-alat negara harus berusaha mencegah agar setidaknya diri dan keluarganya terlindungi dari mengkonsumsi makanan dari sumber-sumber yang haram yang akan mencelakakannya dunia-akherat.

Adapun rakyat kebanyakan, dalam persoalan ini seharusnya diwakili oleh para ulama’ karena hukum kausalitas (sebab akibat) yang bersifat transenden ini tidak banyak dipahami oleh masyarakat luas, apalagi mereka sehari-hari telah diracuni dengan logika sekulerisme yang secara konsisten mengikis keyakinan transenden tersebut.

Secara keseluruhan, yang seharusnya menjadi obor, suluh yang menerangi seluruh elemen masyarakat agar tidak melakukan harakiri sosial-kemasyarakatan seperti di atas adalah para ‘ulama, ‘Alim Rabbaniy . Peran mereka sungguh ditunggu, jika tidak, tragedi kota Pompeei yang dibenamkan dalam timbunan abu gunung Visuvius tidak ada jaminan tidak terulang. Wal’iyaadzu bilLah.

Keberkahan Hujan

اللَّهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا

“Allahumma shoyyiban naafi’an.” Ya Allah jadikallah hujan ini mendatangkan kemanfaatan.”

Hujan menjadi suatu pemandangan yang biasa di indonesia, apalagi di musim hujan, hampir setiap hari kita bisa menyaksikannya. Karena terlalu sering, kita dilupakan untuk mentadaburinya. Apa yang Allah inginkan dengan menciptakan hujan dan menurunkannya di pekarangan kita, sehingga kita bisa menyaksikannya?

Ternyata Allah hendak mengingatkan kita akan kehidupan setelah kematian, Allah Berfirman :
Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, Maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu berbagai macam buah-buahan. seperti Itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, Mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran. (QS. Al A’raf : 57)

 

Baca Juga: Amanah yang Mendatangkan Berkah

 

Bila hujan bisa mengingatkan kita akan akhirat, maka kebaikan selanjutnya yang diharapkan adalah segera beramal untuk mempersiapkan bekal menempuh perjalanan panjang setelah kematian. dan tempat beramal adalah di dunia, karena di akhirat sudah tidak ada lagi kesempatan beramal yang ada hanya perhitungan dan balasan amal.

Bentuk amal shaleh yang bisa kita jadikan bekal di akhirat adalah berdoa kepadaNya, bahkan amalan doa tidaklah terkategori kecuali masuk dalam jenis ibadah seagaimana sabdanya “ad du’au huwal ibadah,” doa itu adalah ibadah. makanya kalau doa ini diarahkan kepada selain Allah, ia tidak termasuk ibadah bahkan termasuk kesyirikan.

Termasuk doa yang terikat dengan keadaan adalah doa di saat hujan. bahkan pada keadaan hujan, doa itu menjadi mustajab. Rasulullah shallallhu’alaihi wasallam bersabda :

اُطْلُبُوْا إجَابَةَ الدُعَاءِ عِنْدَ التِقَاءِ الجُيُوْشِ , وَإقَامَةِ الصَلاةِ وَنُزُوْلِ المَطَرِ

“Carilah ijabah doa ketika (hendak) bertemunya para pasukan, saat (akan) didirikan shalat dan saat turunnya hujan.” (Hadits diriwayatkan Imam syafi’i dalam al Umm dan dinyatakan hasan oleh Al Albany rahimahullah)

Apa saja kebutuhan kita, doakan saja kepada Allah Ta’ala di saat hujan. Dan sebelum mendoakan dengan doa umum yang berkaitan dengan pribadi kita, dahulukan doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh ibu kita, ummahatul mukminin ‘Aisyah Radhiallahu’anha :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَأَى الْمَطَرَ قَالَ : (اللَّهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا).

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam jika melihat hujan beliau berdoa, “Allahumma shoyyiban naafi’an.” Ya Allah jadikallah hujan ini mendatangkan kemanfaatan.” (HR. Bukhari)

Rahmat Nabi kepada umatnya, memohonkan kemanfaatan dari hujan yang diturunkan. Karena Ketika hujan turun ada dua kemungkinan, ia mendatangkan kemanfaatan atau mendatangkan kemadharatan. Dikisahkan dalam al qur’an tentang kaum ‘Aad yang mereka meyangka awan yang datang akan menurunkan kebaikan atau hujan, namun Allah berkehendak lain disebabkan kekafiran mereka dan penentangannya kepada utusanNya :

“Maka tatkala mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka, berkatalah mereka: “Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami”. (Bukan!) bahkan Itulah azab yang kamu minta supaya datang dengan segera (yaitu) angin yang mengandung azab yang pedih. Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Rabnnya, Maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi Balasan kepada kaum yang berdosa. (QS. Al Ahqaaf: 24-25)

Makna kemanfaatan hujan adalah dengan suburnya bumi dan dapat menumbuhkan sesuatu yang bermanfaat. Dan termasuk madharot bahkan disebut sebagai musim kemarau adalah Allah menurunkan hujan tapi ia tidak mendatangkan manfaat dengan tidak menumbuhkan apapun. Dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, bahwa Rasululah shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

لَيْسَتْ السَّنَةُ بِأَنْ لَا تُمْطَرُوا وَلَكِنْ السَّنَةُ أَنْ تُمْطَرُوا وَتُمْطَرُوا وَلَا تُنْبِتُ الْأَرْضُ شَيْئًا

“Kemarau itu bukannya kalian tida dihujani, tapi kemarau adalah kalian dihujani dan dihujani tapi bumi tidak menumbuhkan apa pun.” (HR. Muslim)

Tidak hanya lisan saja yang berdoa ketika ada hujan, ada sunnah fi’liyah yang dilakukan Nabi ketika hujan

وعن أَنَسٌ قَالَ أَصَابَنَا وَنَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَطَرٌ قَالَ: فَحَسَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَوْبَهُ حَتَّى أَصَابَهُ مِنْ الْمَطَرِ فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لِمَ صَنَعْتَ هَذَا؟ قَالَ: (لِأَنَّهُ حَدِيثُ عَهْدٍ بِرَبِّهِ تَعَالَى)

Dari Anas ia berkata; Kami diguyur hujan ketika bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lantas beliau membuka pakaiannya sehingga terkena hujan, lalu kami pun bertanya, “Wahai Rasulullah, kenapa Anda melakukan hal itu?” beliau menjawab: “Karena hujan ini merupakan rahmat yang diberikan oleh Allah ta’ala.”

Agar lebih berpahala lagi, perlu kita hadirkan perasaan cemas dan takut ketika melihat awan hitam dan mendung yang sangat pekat. Begitulah perasaan yang dihadirkan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, ‘Aisyah Radhiallahu’anha menceritakan ;

Apabila langit gelap berawan, maka beliau akan kelihatan pucat, keluar masuk rumah, ke depan dan ke belakang. Dan jika hujan turun, beliau pun merasa lega, dan hal itu dapat diketahui dari raut wajahnya. Aisyah berkata; Saya menanyakan hal itu pada beliau, maka beliau berkata: “Wahai Aisyah, kalau cuaca seperti ini, saya khawatir jangan-jangan akan terjadi seperti apa yang diungkapkan oleh kaum ‘Aad, ‘Maka tatkala mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka, berkatalah mereka: ‘Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami.” (HR. Muslim)