Sunnah Pergantian Generasi Islam; yang Berjiwa Lemah Akan Digantikan

Detik berganti. Menit berganti. Hari berganti. Bulan berganti. Tahun berganti. Itulah sunatullah. Pergantian waktu itu tak melulu angka-angka, namun diikuti dengan perubahan generasi. Kaitan perubahan waktu dan generasi pun tak sekadar lahir, muda, dewasa, tua, kemudian mati dan digantikan oleh yang lebih muda dan mengalami daur yang sama. Tidak. Bila hanya itu, tumbuhan dan hewan mengalami hal yang sama. Perubahan generasi manusia dipengaruhi oleh pola pikir dan perkembangan teknologi yang menjadikan satu generasi dan generasi berikutnya jauh berbeda.

Generasi yang ada saat ini, sering disebut dengan generasi Z, berbeda dengan generasi sebelumnya. Generasi ini lahir dan dibesarkan di era serba digital dan teknologi canggih.  Tentunya hal ini berpengaruh terhadap perkembangan perilaku dan kepribadian mereka. Kiblat mereka adalah internet. Mereka mudah sekali mendapatkan akses informasi terkini.

Baca Juga: Pembunuhan Karakter

Sisi positif dari karakteristik generasi Z adalah mereka lebih kreatif dan fasih dengan teknologi digital. Bill Gates menyebut generasi ini dengan Generasi Informasi. Tentu saja tak hanya kelebihan yang mereka miliki, Rhenald kasali menyebut generasi ini dengan strawberry generation. “Dari bentuk dan warnanya, strawberry itu menawan. Namun, di balik keindahannya, ia ternyata begitu rapuh. Generasi ini mudah hancur dan sakit hati,” terangnya. 

Selain itu, banjir informasi yang terus melanda mengakibatkan banyak dari mereka menjadi korban. Mereka tenggelam bahkan terlempar oleh derasnya arus informasi. Mereka terombang-ambingkan tanpa tahu harus berpegangan pada apa dan harus berpijak dimana.

Sunnah pergantian ini berlaku juga pada generasi Islam. Bukan Islamnya, namun anggota dan personnya. Ketika umat tidak juga bangkit setelah dihantam berbagai ujian, Allah akan menghadirkan generasi baru yang akan menegakkan agama-Nya.  “Jika kamu berpaling,” firman Allah dalam surat Muhammad ayat 38, “niscaya Dia akan mengganti kamu dengan kaum yang lain; dan mereka tidak  akan seperti kamu ini.”

Baca Juga: Opini, Peran Akal dalam Menganalisa Syariat dan Berpendapat

Allah memang tidak menyebutkan nama-nama orang yang akan dikeluarkan dari arena, namun akan muncul talent-talent baru yang telah menunjukkan kapasitasnya setelah melalui berbagai ujian. Rasulullah bersabda, “Akan selalu ada sekelompok orang dari umatku yang senantiasa meraih kemenangan, sampai ketetapan dari Allah ‘azza wa jalla datang menghampiri mereka. Dan mereka pun tetap di atas kemenangannya.” Mereka generasi yang hidup jauh dari generasi terbaik (Shahabat, Tabiin, Tabiut Tabiin), namun mereka tegak di atas kebenaran, meskipun semakin banyak orang yang jatuh dalam kesesatan.

 

Oleh: Muhtadawan/Biah/Berita Islam

 


Ingin berlangganan Majalah Islami yang bermutu dan nyaman dibaca? Hubungi Keagenan Majalah ar-risalah terdekat di kota Anda, atau hubungi kami di nomer: 0852 2950 8085

An-Nammam, Si Biang Keladi Perpecahan

Ketika kita melihat perselisihan di antara saudara-saudara kita seiman, sebaiknya kita tidak langsung memilih untuk berpihak pada siapa atau menyalahkan salah satunya. Sebab, bisa jadi yang salah bukan dua-duanya tapi pihak ketiga yang menjadi dalang dari sengketa dan retaknya bangunan ukhuwah. Dialah si penyebar fitnah dan tukang adu domba alias an-Nammam.

Annammam, orang yang bermain di balik layar, menghasut, memprovokasi dan membuat propaganda untuk memecah belah persaudaraan. Bisa antara dua orang mukmin, antar kelompok, jamaah, organisasi atau lainnya. Ia mengincar keuntungan di balik perpecahan dan perseteruan. Memanfaatkan berbagai momen dan kesempatan untuk merusak tali persaudaraan. Memantik amarah, menyebarkan fitnah, menyingkap aib, memperluas kesalahpahaman hingga akhirnya terjadi konflik internal di tubuh umat Islam dan munculah kebencian. Lalu, ia pun tersenyum geli melihat kita saling baku hantam dengan saudara sendiri.

 

Kaki Tangan Setan

Kaki tangan setan yang sangat berbahaya karena besarnya kerusakan yang ditimbulkan akibat makar-makarnya. Jika kita tidak berhati-hati, terperangkap dalam jebakan lalu ikut terjun dalam kancah permusuhan, maka kita telah terjatuh pada fitnah. Lebih-lebih jika sudah sampai pada tindakan fisik. Jika kita melukai atau terluka karena membela akidah, membela keimanan pada Allah dan Muhammad Rasul-Nya, itu adalah perbuatan mulia. Tapi jika jika kita terluka atau melukai saudara kita sendiri, maka wallahua’lam, semoga Allah berkenan mengampuni.

 

Baca Juga: Munafik yang Pandai Bicara

 

Padahal sebagaimana kita tahu, betapa berharganya nyawa, bahkan setetes darah orang mukmin di sisi Allah. Betapa syariat menerapkan sistem keamanan yang sangat kuat untuk menjaga jiwa, kehormatan dan hartan seorang mukmin. Dengan qishash, had dan diyat. Tentu yang dimaksud adalah mukmin yang beriman pada Allah dan beriman kepada Muhammad sebagai rasul terakhir Allah.

Jika kita tertipu dengan muslihat si an-Nammam, lalu melanggar penjagaan Allah atas saudara kita, maka sungguh celaka diri kita.

Oleh karenanya, kewaspadaan dan kejelian kita dalam melihat persoalan harus kita tajamkan. Karena selain berbahaya annamam juga tidak mudah dilacak untuk ditemukan delik dan buktinya agar bisa diadili dan dibuktikan bahwa dialah sebenarnya biang keroknya. Karena biasanya, kita lebih disibukkan dengan  konflik yang tampak dan mencari alasan untuk berpihak.

 

Jangan Mudah Dipengaruhi

Dalam hal ini Allah sudah memberi peringatan agar kita tidak mudah di adu domba dan mengikuti hasutan masya’ bin namim, tukang sebar fitnah dan adu domba. Firman-Nya,

 

وَلاَتُطِعْ كُلَّ حَلاَّفٍ مَّهِينٍ , هَمَّازٍ مَّشَّآءٍ بِنَمِيمٍ

“Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah.” (QS. Al Qalam :11)

Dalam surat al Hujurat juga disebutkan agar kita berhati-hati dan melakukan cek dan ricek ketika mendengar berita dari orang fasik. Secara umum, kita diperingatkan agar tidak mudah terprovokasi dengan berbagai macam berita yang disampaikan oleh berbagai media. Utamanya berita-berita yang berpotensi menimbulkan konflik dan perpecahan dengan saudara kita sesama mukmin. Agar jangan sampai kita melakukan kezhaliman karena menindak atau berlaku tidak baik pada sesama mukmin yang sejatinya tidak bersalah. Kita melakukannya hanya karena salah paham dan kecerobohan.

 

Baca Juga: Beda Weton Sumber Perselisihan?

 

Naif sekali jika kita sampai tertipu oleh orang yang diberi gelar sebagai manusia terjelek pada hari Kiamat dan akan mendapat siksa kubur di alam Barzakh. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah,

” Akan kalian dapati, manusia paling buruk di Hari Kiamat adalah dzul wajhain (si muka dua) yang datang pada sekelompok orang dengan satu wajah dan kepada yang lain dengan wajah yang lain.”

Qatadah rahimahullah berkata, “Diberitakan pada kami bahwa siksa kubur itu dibagi menjadi tiga bagian, sepertiga karena ghibah, sepertiga karena namimah (fitnah dan adu domba) dan sepertiga karena kencing.”

 

Tabayun

Menyikapi konflik antar sesama mukmin yang beriman pada Allah dan Rasulullah Muhammad SAW, yang mesti kita lakukan adalah tabayun, klarifikasi, melakukan cross check dan menganalisa masalah dengan cermat. Mencari akar permasalahan dan bijaksana dalam memandang alasan dan pendapat semua pihak. Kita juga perlu menimbang dan mengamati, jangan-jangan hal itu adalah ulah orang lain yang bermain, memantik api permusuhan dan mencoba mengambil keuntungan. Sehingga kita tidak salah dalam bersikap dan menentukan tindakan.

Tabayun harus kita terapkan ketika mendengar isu-isu yang bisa memicu kebencian, kesalahpahaman dan ada muatan adu domba. Karena bisa jadi, kitalah yang menjadi target operasinya dan hendak dijadikan boneka tangan untuk memusuhi saudara seiman.

 

Baca Juga: Dusta, Jamur di Akhir Zaman

 

Sehingga ketika ada yang membawa kabar dan isu tak sedap pada Umar bin Khatab, beliau mengatakan, ” Kalau kau mau, kami akan mericek perkataanmu. Kalau kamu bohong, maka kamu adalah oknum yang ada dalam ayat , “Jika ada seorang fasiq yang datang membawa berita, maka tabayunlah (cek ulanglah).” (QS. al Hujurat: 6). Dan jika kamu jujur, maka kamu adalah orang yang seperti dalam ayat, “yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah.” (QS. Al Qalam: 11). Tapi jika kamu mau, kami bisa memaafkanmu?” lelaki itupun berkata, ” Kalau begitu maafkan aku wahai amirul Mukminin, aku tidak akan mengulanginya lagi selamanya.”

Kedustaan, ghibah, penghinaan dan isu-isu fitnah adalah senjata-senjata setan yang mampu membakar amarah hingga mengobarkan permusuhan antar umat Islam. Maka hendaknya kita lebih waspada. Wallahul musta’an.

 

Oleh: Redaksi/Biah

Qalbun Salim, Hati yang Selamat dari Syubhat dan Syahwat

Semua akan menemui Allah dengan bekal yang telah mereka usahakan di dunia. Meskipun pada akhirnya ada yang keliru membawa bekal. Apa yang dibawanya justru menjadi beban yang menyengsarakan dalam perjalanan dan berbuah penderitaan di akhir perjalanan.

Allah menyebutkan, bahwa bekal yang bermanfaat dan akan menyelamatkan manusia ketika bertemu dengan Allah adalah qalbun salim, hati yang selamat. Tanpanya, seluruh hal yang diusahakan manusia menjadi tidak berguna. Termasuk harta dan anak-anak.

 

 ,يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ, إِلاَّ مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ 

“(Yaitu) pada hari dimana harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS. Asy Syu’ara`;88-89)

 

Makna Qalbun Salim

Tak ada yang menyanggah, bahwa unsur paling penting dalam jasad manusia adalah hati. Posisi hati bagi anggota badan yang lain laksana raja bagi rakyatnya, panglima bagi tentaranya, atau mirip pemegang remote control bagi barang elektronik. Segala gerak-gerik dan ucapan dikendalikan oleh hati.

 

Baca Juga: Rusaknya Jasad Lebih Ringan Daripada Rusaknya Hati

 

Hati yang mampu mengenali Allah, hati pula yang memiliki iradah, kemauan untuk mentaati Allah, sedangkan anggota badan hanyalah sebagai pelengkap dan alat yang membantu keinginan hati. Jika hati baik, jasad akan mengikutinya, dan jika hati rusak, anggota badan lain akan mentaatinya pula. Jika hati selamat, semua akan selamat, jika hati binasa, yang lain turut sengsara.

Lalu, seperti apakah gambaran hati yang selamat, yang mewakili karakter hati yang paling baik itu?

Persepsi sebagian orang, orang yang memiliki hati yang baik itu tidak memiliki musuh, tidak memiliki pantangan, bisa berbaur dengan siapapun, toleran kepada apapun, berkawan dengan kelompok manapun.

Sebagian lagi menyelisihi syariat yang zhahir, lalu berdalih “yang penting hatinya baik”. Seperti pernyataan seorang artis sepulang umrah, ia kembali membuka auratnya, melepas kerudungnya dengan alasan yang penting hatinya berhijab. Ini adalah jawaban yang hanya layak diutarakan oleh orang yang hatinya terhijabi dari kebenaran. Karena bukti kebaikan hatinya adalah tunduk dengan syariat yang dibawa oleh Muhammad yang mengharuskan wanita untuk berhijab dari laki-laki yang bukan mahramnya.

 

Baca Juga: Agar Hati Tidak Terkunci Mati

 

Hati yang selamat, hati yang baik akan tercermin dalam seluruh aktivitas bathin dan lahir pemiliknya.

Hati yang selamat adalah hati yang selamat dari segala syahwat yang menyelisihi perintah Allah dan larangan-Nya. Hati yang selamat dari syubhat yang menyelisihi khabar-Nya.

 

Penyakit Syahwat dan Penyakit Syubhat

Semua kesesatan dan maksiat bersumber dari dua penyakit itu. Karena dorongan syahwat, orang yang telah memiliki ilmu tentang yang wajib menjadi enggan untuk melaksanakannya. Karena syahwat, maksiat dan dosa dilakukan dengan penuh kesadaran. Ia tahu, apa yang diperbuatnya adalah dosa, tapi ajakan syahwatnya mengalahkan ilmunya. Hingga ketika syahwat berkali-kali menang, ia menjadi raja bagi pemiliknya. Apa yang menjadi pilihannya adalah pilihan syahwatnya, dan apa yang dikerjakannya adalah order dari syahwatnya. Ia jadikan hawa nafsu sebagai tuhannya,

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya?” (QS. al-Jatsiyah: 23)

Malik bin Dinar RHM berkata, “Allah menciptakan malaikat dengan menyertakan akal tanpa syahwat. Allah juga mencipatkan binatang dengan menyertakan syahwat tanpa akal. Lalu Allah mencipatakan manusia dengan menyertakan akal dan syahwat. Maka barangsiapa yang akalnya mengalahkan syahwatnya, ia lebih mulia dari malaikat, dan barangsiapa yang hawa nafsunya selalu mengalahkan ilmunya, ia lebih hina dari binatang.”

Pemilik qalbun salim, hatinya selamat dari penyakit syahwat, jika mencintai, ia mencintai karena Allah. Jika ia membenci, membenci karena Allah, jika ia memberi, memberi karena Allah. Jika ia menolak, menolak karena Allah. Tak hanya sampai disitu, ia bersihkan diri dari ketundukan dan berhukum kepada syariat yang dibawa oleh Rasulullah SAW.

 

Baca Juga: Risau Hati Saat Catatan Amal Dibagi

 

Adapun penyakit syubhat adalah penyakit yang menimpa pemahaman. Hal itu bisa disebabkan karena keliru dalam memilih sumbernya. Atau dari sumber yang benar, namun salah cara mengambilnya. Hasil akhirnya adalah keyakinan sesat, pemikiran yang menyimpang dan amalan-amalan yang bernilai bid’ah. Penyakit ini sangat fatal, karena dari sinilah penyimpangan bermula, sementara pelakunya menganggapnya telah berbuat yang paling baik. Allah berfirman,

“Katakanlah, “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia (sesat) perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.“(QS. al-Kahfi: 103 –104).

Hati yang selamat akan mengambil dari sumber yang bersih, al Qur`an dan as Sunnah, serta ijma’ para ulama. Lalu mengambil dengan cara yang benar pula. Mereka memahami ayat dan hadits sebagaimana yang dipahami oleh Nabi SAW dan para sahabatnya. Seperti yang diingatkan oleh sahabat Abdullah bin Mas’ud, “Sesungguhnya kalian nanti akan mendapatkan suatu kaum, mereka mengklaim sedang mengajak kalian kepada al Qur`an, padahal sesungguhnya mereka telah membuangnya di belakang punggung mereka, maka hindarilah tindakan melampaui batas, berlebih-lebihan, dan perbuatan bid’ah, hendaknya kalian berpegang kepada ilmu dan hendaklah kalian berpegang kepada pemahaman para salaf.” Wallahu a’lam.

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah

Khutbah Jumat: Tak Takut Celaan, Tak Haus Pujian

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ

,أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.

قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ.

قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ

اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا.

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا.

أَمَّا بَعْدُ؛ فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهَ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَّرَ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ

ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ. اَللَّهُمَّ صَلِّ

وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Kita bersyukur kepada Allah ta’ala atas segala limpahan nikmat dan karunianya. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi agung Muhammad n, keluarga juga siapapun yang mengikuti sunahnya hingga akhir zaman.

Tak lupa, kami sampaikan wasiyat takwa kepada hadirin semuanya, marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah ta’ala. Kita tingkatkan kepatuhan kita, ketaatan kita dan keihklasan kita.

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Setiap perbuatan yang dilakukan manusia, mengandung konsekuensi dipuji atau dicela. Dipuji oleh satu pihak, dicela oleh pihak yang lain. Tak ada satupun tindakan yang dipuji oleh semua manusia, meskipun itu tindakan yang sangat-sangat baik. Tak satupun pula tindakan yang dibenci oleh semua manusia di dunia, meskipun itu tindakan yang jelas-jelas jahat dan buruk.

Karena itu, mengharapkan ridho dan dukungan semua manusia hanyalah khayalan semata. Ini mustahil untuk terjadi, betapapun kita menginginkan. Anehnya, masih ada orang yang ingin menarik simpati semua kalangan. Ingin ‘bersahabat’ dengan malaikat, tapi berkawan dengan setan. Sesekali berbuat taat untuk menyenangkan teman-temannya yang taat, sesekali menyengaja berbuat dosa untuk meraih simpati para durjana.

Kalaupun cara ini ditempuh, pun tidak bisa menyenangkan kedua belah pihak. Maka, orang yang beramal dan berbuat untuk dipuji semua orang, atau meningalkan sesuatu karena ingin menghindar dari celaan semua orang, dipastikan bakal menjadi orang bingung. Langkahnya terus dibayangi kebimbangan, ingin berbuat begini, takut dicela pihak yang ini, ingin begitu takut dicaci pihak yang itu.

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Orang yang berakal, senantiasa menjadikan kebenaran sebagai acuan setiap tindakan. Bukan karena landasan pujian atau celaan. Karena apapun pilihan yang diambil, tetap tidak mampu memuaskan semua orang. Pada kebenaran ada potensi celaan, pada keburukan ada pula peluang cercaan. Hanya saja, bersabar menghadapi celaan karena menjalankan ketaatan bernilai pahala besar, sedangkan dicela karena maksiat adalah kehinaan di dunia, kesengsaraan di akhirat.

Janganlah kita takjub, kenapa pada kebenaran juga menuai celaan. Karena memang kebenaran memiliki musuh, pada ketaatan ada pula penghalang. Bahkan, bisa jadi musuh kebenaran itu lebih banyak daripada musuh kesesatan. Karena kebanyakan manusia justru cenderung kepada kesesatan. Sebagaimana firman Allah,

 

,وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي اْلأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. al-An’am: 116)

Ayat ini sekaligus menjadi rambu-rambu bagi kita, agar tidak menjadikan suara kebanyakan sebagai barometer kebenaran. Kebenaran adalah apa yang dikatakan benar oleh Allah dan Rasul-Nya, meski sedikit pendukungnya. Allah berfirman,

 

الْحَقَُ مِن رَّبِّكَ فَلاَ تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ

“Kebenaran itu adalah dari Rabbmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu Termasuk orang-orang yang ragu.” (QS. al-Baqarah: 147)

Menyimak dua ayat di atas, tergambar oleh kita, bahwa kebenaran tak selalu berada dipihak mayoritas. Malah seringnya, kebenaran hanya diikuti oleh sedikit orang saja, wajar jika mereka menuai celaan dari para penentangnya.

Karena itulah, tatkala menyebutkan cirikhas orang yang mencintai dan dicintai Allah, Al-Qur’an menyebutkan salah satu karakternya, “Dan tidak takut celaan orang yang suka mencela.” (QS. al-Maidah: 54)

Ibnu Katsier menyebutkan, “Yakni tidak ada yang menghalangi mereka untuk menjalankan ketaatan kepada Allah dan memerangi musuh-musuh-Nya, untuk menegakkan hukum-Nya, menyeru yang ma’ruf, mencegah yang mungkar. Para pencegah tidak akan menghentikan mereka, para penghalang tidak akan menyurutkan langkahnya, dan para pencela tidak mengendorkan mereka untuk itu.”

Bergabung di jalan kebenaran berarti bersabar untuk menghadapi celaan dari para penentang kebenaran. Dan ini adalah mudah bagi yang dimudahkan oleh Allah. Ketika seseorang menyadari konsekuensi ini, maka selagi dia di atas kebenaran, lalu menuai kritikan dan celaan, justru semakin menguatkan apa yang dia lakukan. Celaan yang ditimpakan orang kepada kita sebenarnya tidak akan memadharatkan kita, bahkan madharatnya akan kembali kepada si pencela. Kecuali jika kita menganggapnya besar, memikirnya dalam-dalam, atau melekatkannya dalam ingatan, ketika itu, umpan akan menemukan korbannya. Karena itu, jangan hiraukan celaan selagi Anda berada di atas kebenaran, sesuai dengan tuntutan kondisi, tempat dan zaman menurut syariat.

Janganlah kita seperti orang-orang munafik, mereka bingung lantaran tidak siap berhadapan dengan celaan orang-orang kafir atau dan cercaan orang-orang sesat. Karena itu, mereka datang kepada orang mukmin dengan membawa bendera keimanannya, lalu datang kepada orang-orang fajir dengan bendera kefajirannya.

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Bagi orang yang menjadikan Allah sebagai tujuan ketika beramal kebaikan, maka pujian atau celaan tak memengaruhi kebaikan yang ia lakukan. Tidak lantas loyo karena dicela, tidak pula terbuai karena disanjung orang. Dia senantiasa bersemangat dalam menjalankan ibadah yang terkait langsung kepada Allah. Baik dalam kesendiriannya, maupun di tengah keramaian. Karena dia sadar, Allah melihatnya saat dia sendirian, Allah juga memantaunya saat ia di keramaian. Meski tak ada seorangpun melihat, ibadahnya tak berkurang dibanding ketika banyak orang. Minimal kadarnya sama, atau bahkan sebagian ulama menjadikan amal sirriyah (rahasia)nya lebih bagus dibanding amal jahriyahnya. Imam al-Mawardi dalam Kitabnya Adabud Dunya wad –Dien, ketika menafsirkan firman Allah,

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan…” (QS. an-Nahl: 90)

Beliau berkata, “Makna berbuat adil adalah ketika amalnya untuk Allah sama bagusnya antara saat sendiri dan saat di tengah keramaian. Makna ihsan (berbuat kebajikan) adalah ketika amalnya di saat sendiri lebih bagus dari amalnya di tengah keramaian. Sedangkan makna keji dan mungkar adalah ketika amalnya yang terang-terangan lebih bagus dari amalnya saat sendirian.”

Meskipun makna ayat lebih luas dari itu, tapi setidaknya ini menunjukkan perhatian ulama akan pentingnya memperbaiki amal saat sendirian. Karena hal ini bisa lebih melatih keikhlasan. Untuk itulah, dalam banyak hal, terutama ibadah yang sifatnya tathawwu’, para ulama memilih untuk merahasiakan amalnya lebih banyak dari yang ditampakkan. Seperti untuk shalat sunnah, bersedekah, berdzikir, membaca al-Qur’an dan lain-lain. Diantara hikmah dianjurkannya memperbanyak shalat sunnah dirumah adalah untuk menjaga keikhlasan karena lebih minim dari pandangan orang.

Secara otomatis, jika amalnya saat sendirian bagus, amalnya yang terlihat orang juga baik. Maka jika suatu kali sebagian orang mengapresiasi bagusnya amal yang dia lakukan, ini diluar tujuan yang diidamkannya. Sebagai langkah hati-hati, ada baiknya dia tidak menegaskan atau mengukuhkannya, meskipun dia tidak harus mengingkari amal yang telah dilakukannya. Seperti Muhammad bin Samak rahimahullah. Ketika utusan Khalifah Harun ar-Rasyid berkata, “Sesungguhnya amirul mukminin telah mengutusku kepada Anda, Beliau tlah mendengar perihal kebaikan Anda, banyaknya dzikir kepada Allah Azza wa Jalla dan banyaknya do’a Anda bagi umat.”

Maka Ibnu Samak berkata, “Adapun berita yang telah sampai kepada amirul mukminin tentang kebaikan kami, semata-mata itu karena Allah menutupi aib kami. Kalau saja Allah menampakkan dosa-dosa kami kepada manusia, niscaya tak seorangpun menaruh simpati kepada kami, tak satupun lisan yang akan memuji kami.. “

 

Jamaah Jumat rahimakumullah

Sebagaimana ibadah yang terkait langsung dengan Allah, seperti itu pula perbuatan baik yang terkait dengan manusia. Orang yang ikhlas tidak terpengaruh oleh banyak sedikitnya orang yang melihat atau mendengar. Tidak mengharapkan balas budi, dan bahkan tidak terpengaruh oleh sikap orang yang telah dibantunya.

Dia tidak menyesal atas bantuan yang telah dia berikan, meski si penerima tidak membalasnya dengan ucapan terima kasih. Bahkan meskipun maksud baiknya justru mendapat tanggapan yang tidak menyenangkan. Keadaannya seperti orangyang dikisahkan oleh Allah,

“Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, Kami tidak menghendaki Balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (QS. al-Insan: 9)

Selain lebih bisa menjaga keikhlasan, sikap ini juga lebih menenangkan jiwa. Sungguh kita akan kecewa, jika setiap berbuat baik kepada orang lain kita menunggu ucapan terimakasih atau ‘kembalian’ yang lebih besar. Karena kebanyakan manusia memang tidak mau berterima kasih,

“dan (kebanyakan) manusia itu selalu tidak berterima kasih…” (QS. al-Isra’: 67)

Berbuat dan bertindak sesuai petunjuk Allah, dan mengharapkan pahala Allah adalah pangkal kebahagiaan dan ketenangan di dunia dan akhirat. Maka, tidak sepantasnya kita takut dicela selagi berbuat karena Allah dan dia atas jalan yang telah digariskan-Nya. Tidak pula kita haus pujian, karena jika kita berada di atas ketaatan, semata-mata itu adalah  karena karunia-Nya, Allahlah yang layak untuk dipuji. Wallahu a’lam bishawab.

Demikianlah khutbah yang dapat kami sampaikan semoga dapat diambil manfaatnya. Kurang dan salahnya kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.

 

وَالْعَصْرِ . إِنَّ الإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ . إِلاَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

 

Khutbah Kedua

 

اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْن، وَالعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ، وَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِيْنَ، وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَلِيُّ الصَّالِحِيْنَ، وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا

عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ إِمَامُ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ، وَأَفْضَلُ خَلْقِ اللهِ أَجْمَعِيْنَ، صَلَوَاتُ اللهِ وَسَلاَمُهُ عَلَيْهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى

إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ

اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ باَطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ.

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Khutbah Jumat

 

Materi Khutbah Lainnya: 

Sabar dan Syukur; Dua Tali Pengikat Nikmat

Takwa, Pondasi Paling Paripurna

Mendulang Manfaat Kala Sakit dan Sehat

 

 

Saya Rajin Beribadah, Tapi Mengapa Jodoh Tak Kunjung Datang?

 

Pertanyaan: 

Saya seorang gadis yang rajin mendirikan shalat, tapi saya tidak kunjung mendapatkan jodoh. Apakah tidak kunjung mendapatkan jodoh ada kaitannya dengan qadha dan qadar Allah, atau karena saya seorang yang berdosa hingga Allah murka kepada saya?

 

jawaban:

Ukhti yang baik, Al-Qur’an, Sunnah yang shahih dan ijama’ generasi ulama salaf telah menunjukkan akan kewajiban beriman dengan takdir baik dan buruk, hal tersebut sudah menjadi bagian dari rukun iman yang enam dan tidak dianggap sempurna keimanan seorang hamba kecuali rukun keenam tersebut, Allah –Ta’ala- berfirman:

”Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. (QS. Al Hadid: 22)

 

Baca Juga: Orangtua Belum Mengizinkan Menikah

 

Majunya atau mundurnya waktu pernikahan, mudah dan sulitnya semua itu adalah takdir Allah. Semua musibah yang telah ditakdirkan oleh Allah –Ta’ala- kepada seorang hamba, akan menjadi baik bagi seorang mukmin jika dia bersabar dengan musibah itu dan mengambil pelajaran, sebagaimana sabda Nabi,

“Urusan orang mukmin itu menakjubkan, sungguh semua urusannya adalah baik, dan hal itu tidak dimiliki kecuali oleh seorang mukmin, jika dia sedang berbahagia dia bersyukur, maka hal itu lebih baik baginya, dan jika dia tertimpa musibah dia bersabar, maka hal itu lebih baik baginya”. (HR. Muslim: 2999)

Musibah yang terjadi bisa jadi sebagai akibat dari maksiat yang telah dilakukan, namun hal tersebut tidak menjadi sebuah keharusan, bisa jadi untuk meninggikan derajat seorang mukmin, dan menambah kebaikannya jika dia bersabar dan ridho atau ada banyak lagi hikmah yang agung dibalik musibah tersebut.

 

Baca Juga: Bila Wanita Melamar Pria

 

Selama anda menolak para peminang anda karena Allah dan disebabkan karena mereka tidak istiqamah dalam agama, maka Allah –Ta’ala- akan menggantikan dengan yang lebih baik insyaallah. Allah berfirman:

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar, dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya”. (QS. ath Thalaq: 2-3)

Maka dekatkanlah diri kepada Allahdengan berdo’a dan beribadah, dan jangan mengeluh karena rahmat Allah begitu dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.

 

Oleh: Redaksi/ Konsultasi

 

Transaksi Ribawi Yang Sering Dianggap Bukan Riba

Riba itu haram, semua sepakat. Riba itu buruk dan dosa besar yang ancamannya adalah dimusuhi Allah, sudah banyak yang tahu. Lantas mengapa masih banyak yang melakukan transaksi ribawi?

Faktor paling mendasar adalah perbedaan pemahaman mengenai bentuk-bentuk transaksi ribawi. Ada bentuk-bentuk riba yang dianggap oleh sebagian orang bukan sebagai riba. Jika begini, jangankan berhenti dari riba, menyadari bahwa yang dilakukan riba saja tidak.

Riba secara umum digolongkan menjadi riba duyun dan riba buyu’. Riba duyun (hutang) adalah riba dalam transaksi hutang dan riba buyu’ (jual beli) adalah riba dalam transaksi jual beli. Adapun riba buyu’ dibagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah. Riba fadhl adalah riba yang disebabkan adanya penambahan kuantitas sedangkan riba nasi’ah adalah riba yang disebabkan adanya penambahan tempo, dalam transaksi amwal ribawiyah.

Teori tentang riba cukup panjang jika dijelaskan. Pembahasan akan lebih efektif jika langsung to the point pada praktek-praktek riba yang banyak dilakukan namun dianggap bukan riba.

 

Bunga Bank

Hampir semua lembaga fatwa telah memfatwakan bahwa bunga bank haram. Misalnya, Lembaga Riset Islam Al-Azhar di Kairo memfatwakan haramnya bunag bank sejak tahun 1965, Lembaga Fiqh Islam OKI di Jeddah sejak tahun 1985, Lembaga Fiqh Islam Rabithah ‘Alam Islami di Makkah sejak tahun 1406 H, Muktamar Bank Islam Kedua di Kuwait tahun 1983.

MUI (Majelis Ulama Indonesia) juga telah memafatwakan haramnya bunga bank sejak 2003. Sementara Majelis Tarjih Muhammadiyah pada Munas ke-27 di Malang juga menetapkan haramnya bunga bank. Adapun NU dalam Keputusan Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Lampung, 1992 masih merincikan hukum bunga bank dan tidak menyatakan haram secara mutlak. Untuk bunga bank pada kepentingan konsumtif hukumnya haram sementara bunga produktif tidak haram.

Jadi, menurut hampir semua fatwa, bunga bank adalah haram. Abaikan saja pendapat-pendapat kaum lberal yang menyatakan bahwa bunga bank halal karena tidak ada unsur eksploitasi. Riba haram bukan karena eksploitasi, berlipat ganda, atau mencekik. Itu bukan illat atau alasan pengharaman riba. Asalkan sudah terpenuhi syarat akad ribawi, maka riba tetaplah riba meski sedikit dan kedua pihak saling ridho.

Adapun bagi warga NU atau anda yang ingin melandaskan pendapatnya pada hasil Munas NU tersebut, silakan pelajari rincian dalam keputusan tersebut. Pasalnya, hasil Munas NU tahun 1992 tersebut memiliki rincian antara bunga bank yang haram dan yang tidak. Rincian ini tidak boleh diabaikan lalu mengambil kesimpulan bahwa bunga bank boleh secara mutlak.

 

Simpan Pinjam Koperasi

Koperasi biasanya menerapkan bunga yang lebih ringan dari bank. Hasil koperasi memang bukan hanya dari simpan pinjam, namun bagaimanapun, sistem simpan pinjam koperasi juga menerapkan bunga. Meskipun kecil dan merupakan pemberdayaan ekonomi rakyat, namun tetap saja bunga yang ditetapkan pada simpan pinjam adalah riba.

Pada Credit Union (UC) bunganya biasanya malah jauh lebih besar. Misalnya pada perkumpulan RT yang mengumpulkan dana dari semua anggota lalu digunakan untuk transaksi simpan pinjam khusus antar anggota. Pinjaman sebesar 1.000.000 rupiah selama 10 bulan akan dikenai 10 % dari cicilan = 10 % x 100.000 = 10.000. Ada juga yang langsung memotong uang pinjaman. Misalnya seorang anggota pinjam 1 juta, maka dia hanya menerima 900 ribu tapi harus mengembalikan 1 juta. 

Meskipun dinamai dengan biaya administrasi, 10% tersebut adalah bunga dari pinjaman. Jika yang dimaksud biaya operasional untuk administrasi, pinjaman 1 juta dengan 1,5 juta semestinya tidak berbeda. Kenyataannya, biayanya jadi beda karena menggunakan prosentase dari pinjaman.

Ada yang beralasan, bunga semacam ini bukan riba karena pada akhirnya, laba pinjaman akan dibagi ke semua anggota.

Perlu diketahui bahwa riba duyun adalah segala bentuk kelebihan dalam pinjaman. Rasulullah bersabda,

 

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ الرِّبَا

“Setiap hutang yang menarik kemanfa’atan adalah perbuatan riba.”

Kepada siapapun keuntungan diberikan, jika ada kelebihan dalam pengembalian pinjaman, statusnya adalah riba. Sama saja apakah dibagi ke sesama anggota atau bukan. Alasan bahwa bunga itu hanya untuk menyejahterakan anggota, tidak bisa diterima. Bagaimanapun, anggota yang kaya tetap akan mendapat keuntungan karena tabungannya bisa selalu bertambah, sementara dia akan sangat jarang melakukan peminjaman. Sebaliknya, orang yang miskin akan lebih sering melakukan peminjaman tapi tabungan konstan.

 

Kredit Emas

Yaitu membeli emas dengan pembayaran berangsur. Menurut jumhur ulama, emas, apapun bentuknya adalah amwal ribawiyah (barang ribawi) yang ketika hendak dijualbelikan harus dilakukan dengan cara kontan. Jika ditukar dengan sesama jenis, gelang emas dengan kalung emas misalnya, beratnya haruslah sama.

Dalam persoalan ini memang ada ikhtilaf. Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qoyim menyatakan, jika emas dalam bentuk perhiasan, hukumnya tidak lagi menjadi amwal ribawiyah, hanya komoditas biasa yang boleh dikreditkan atau ditukar dengan sesuatu yang beratnya berbeda. Lain halnya jika bentuknya uang.

Namun jumhur ulama menyatakan bahwa emas apapun bentuknya adalah amwal ribawi. Di dalam hadits tentang amwal ribawi, Rasulullah menyebut “dzahab” (emas) dan “Fidhdhoh”(perak), ini unsur bukan mata uang (dinar dan dirham).

Jadi, mengacu pada pendapat jumhur ulama, emas tidak boleh dikreditkan. Pembelian emas dengan cara kredit termasuk riba. Bahkan Dewan Fatwa Saudi Arabia pada fatwa no. 3211 menyatakan bahwa emas tidak boleh dijualbelikan secara online, dimana pembeli membayar dengan transfer, lalu barang baru sampai ke tangannya 3 hari kemudian. Alasannya, pembelian emas benar-benar harus kontan tangan di atas tangan. Uang dan barang diseahkan dalam tempo bersamaan.

 

Akad Pembiayaan yang Mengandung Ribawiyah

Akad ini disebut juga al murabahah lil amir bisy syira’.  Yaitu seseorang mengatakan kepada pemilik dana (perorangan maupun lembaga) untuk membelikan suatu barang secara cash, lalu dia akan membeli barang tersebut secara kredit. Pada dasarnya, akad semacam ini dibolehkan. Namun realitanya, ketidak hati-hatian dalam mempraktikan akad ini menjadikan akad yang seharusnya jual beli menjadi hutang berbunga.

Bentuk praktik pertama: Pembeli datang ke lembaga keuangan (LK), menyatakan ingin beli mobil kijang seharga 100 juta. Lalu pihak LK menyetujui dan menyatakan langsung menjual mobil tersebut secara kredit dengan harga 110 juta selama 1 tahun kepada pembeli. Setelah itu, pihak bank menyerahkan uang sebesar 100 juta kepada pembeli untuk membeli mobil kijang dimaksud.

Ini jelas bukan akad murabahah tapi peminjaman uang dengan bunga. Dalam hal ini tidak ada transaksi pembelian sama sekali, yang ada, pembeli mendapat uang 100 juta, dan harus mengembalikan 110 juta selama 1 tahun. Ini jelas akad riba. Bisa jadi pula pembeli tidak membelanjakan uang tersebut untuk membeli barang dimaksud.

Kedua: sama dengan di atas, tapi pihak lemabaga keuangan langsung menelpon dealer dan mentransfer uang seharga mobil ke dealer. Pembeli diminta ke dealer mengambil barang tersebut. Akad ini juga cacat karena pihak lembaga keuangan belum memiliki mobil tersebut secara penuh. Tidak tahu kondisinya dan resiko masih ada di tangan dealer. Akad ini mirip akad dropship barang di internet.

Masih ada beberapa masalah penting terkait akad pembiayaan ini yang harus diwaspadai. Menyepelekannya hanya akan menjerumuskan kita pada akad riba.

 

Diskon GoPay dan Sejenisnya

GoPay adalah dompet virtual pada layanan Gojek (ojek online). Pengguna layanan melakukan top up atau deposit uang dan akan mendapatkan saldo GoPay yang kemudian dapat digunakan untuk membayar berbagai layanan pada aplikasi Gojek. Keuntungan membayar layanan dengan GoPay adalah pengguna akan mendapatkan potongan harga. Go Ride (jasa ojek) misalnya, jika dibayar dengan cash Rp 18.000 tapi dengan GoPay menjadi Rp 16.000.

Depositn uang yang dibayarkan pengguna pada GoPay adalah pinjaman. Alasannya, dalam FAQ (Frequntly Asking Question) pada pembayaran GoPay dijelaskan bahwa, uang yang dibayar pengguna kepada GoPay dapat dimanfaatkan oleh GoPay untuk semua keperluan. Ini merupakan poin dalam akad hutang, dimana yang orang yang berhutang boleh memanfaatkan uang hutang untuk keperluannya. Adapun uang titipan tidak boleh digunakan oleh rang yang dititipi. Kedua, GoPay akan mengembalikan uang tersebut dalam bentuk layanan dan bisa pula ditransfer ke sesama pengguna atau ditarik kembali dalam bentuk cash via transfer bank. Ini juga merupakan poin dari akad pinjaman.

Padahal seperti dijelaskan di atas, pinjaman tidak boleh menarik suatu manfaat tambahan baik berupa nominal atau jasa. Jadi, jika anda adalah pengguna layanan Gojek dengan GoPaynya, atau Grab dengan GrabPaynya, lakukanlah pembayaran jasa secara cash. Memang sedikit lebih mahal tapi jelas bebas dari riba.

Demikianlah. Persoalan bentuk riba ini memang masuk ranah fikih. Akan ada banyak ikhtilaf dan diskusi lebih dalam. Namun begitu, sikap hati-hati sangatlah bermanfaat bagi kita mengingat ancaman riba yang luar biasa mengerikan. Hendaknya kita tidak bosan mempelajari dan mewaspadai akad-akad yang kita lakukan agar terhindar dari riba. Wallahulmusta’an.

 

Oleh: Ust. Taufikanwar, Lc

 

Baca Juga: