Khutbah Iedul Adha 1441 H: Memaknai Takbir

Khutbah Iedul Adha 1441H:
Memaknai Takbir

إِنَّ الْحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بالله مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ الله فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إله إلا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

يَاأَيُّهاَ الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا الله حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ

يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ الله كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا الله وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا . يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، فِي الْعَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

أمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ الله وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه و سلم وَشَرَّ الْأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ، وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ.

اللَّهُ أَكْبَرُ ، اللَّهُ أَكْبَرُ ، لا إله إلا الله ، اللَّهُ أَكْبَرُ ، اللَّهُ أَكْبَرُ ولله الحمد…  اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا لا إله إلا الله ، اللَّهُ أَكْبَرُ ، اللَّهُ أَكْبَرُ ولله الحمد وَلَا نَعْبُدُ إلَّا اللَّهَ مُخْلِصِينَ له الدَّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ

 

Jamaah shalat Ied Rahimakumullah

Pada pagi yang berbahagia ini, marilah kita tingkatan rasa syukur kita kepada Allah atas segala nikmat-Nya yang dilimpahkan kepada kita, nikmat sehat dan kesempatan sehingga kita bisa hadir di sini melaksanakan sholat Idul Adha berjama’ah, mudah-mudahan langkah kita diberkahi oleh Allah Amien. Tidak lupa, kita bersyukur juga kepada Allah atas nikmat yang paling besar dalam hidup kita, yaitu nikmat Iman dan Islam. Nikmat hidayah, hidup di atas jalan kebenaran yang tidak mungkin digantikan dengan apapun dari kehidupan dunia ini. Allah berfirman,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“ Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu. “ (Qs. al-Maidah: 3)

Jamaah shalat ied Rahimakumullah

Hari ini kalimat takbir menggema diseluruh penjuru dunia. Gema takbir menyadarkan kita akan kebesaran Allah dan betapa kerdil dan lemahnya kita sebagai manusia.

Kalimat takbir, Allahu Akbar, Allah Mahabesar, merupakan kalimat yang luar biasa dan diberkahi. Allah adalah Dzat yang Mahatinggi, Dia Mahabesar dan tidak ada yang lebih besar dari-Nya. Dia adalah Raja yang segala sesuatu tunduk kepada-Nya.

Takbir merupakan proklamasi atas kemahabesaran Allah dan ketundukan diri dari kesombongan dan keangkuhan.

Allah Mahabesar dari segala sesuatu secara Dzat, kemampuan, dan ketetapannya. Makna yang agung tersebut menghadirkan kepercayaan diri bagi seorang muslim. Ia akan selalu berprasangka baik kepada Allah. Rintangan tak akan menghentikan langkahnya. Ancaman tak akan membuatnya takut. Apa yang terlewat tak membuatnya merasar. Allahu Akbar, Allah yang Mahabesar, Mahakuasa, dan Mahapenyayang tidak akan membiar khasyahnya, harapannya, dan cintanya kepada sang pencipta. Ia pun takut bermaksiat dan selalu berusaha untuk taat dan tunduk pada syariat.

Jamaah shalat ied Rahimakumullah

Keyakinan atas kemahabesaran Allah mematrikan tsiqah dan ketenangan.

ذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّـهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِن دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّـهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ

“Kuasa Allah yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Rabb) yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah itulah yang batil dan sesungguhnya Allah Dialah yang Mahatinggi dan Mahabesar.” (QS. Al-hajj: 62).

Dialah Allah yang Mahatinggi dan Mahabesar. Tiada yang dizalimi dengan hukumnya. Dia memuliakan orang yang dikehendakinya dan merendahkan orang yang dikehendaki. Semua makhluk kecil dihadapan keagungan-Nya.

Iman dan keyakinan kepada kebesaran dan keagungan Allah menjadikan lisan senantiasa berdzikir, bersyukur, dan memuji-Nya. Menggerakkan anggota badan untuk mengagungkan, mencintai, dan tunduk kepadanya dengan ibadah.

Allahu akbar, Allahu akbar, la ilaha illallah Allahu akbar

Allahu akbar, adalah pekik perjuangan. Para pahlawan memekikkannya di medan-medan pertempuran. Dengannya mereka merasakan kekuatan, kemuliaan, kebanggaan, dan keikhlasan.

Khalid bin walid memimpin perang Yarmuk dengan pekik takbir. Shalahuddin al-Ayyubi menaklukkan al-Quds dengan pekik takbir. Muhammad al-Fatih membebaskan konstantinopel dengan pekik takbir. Diponegoro memimpin perang jawa dengan pekik takbir. Bung Tomo memimpin perang 10 November di Surabaya dengan pekik takbir.

Dan kelak, jamaah Rahimakumullah. Di akhir zaman, takbir menjadi senjata pamungkas untuk mengalahkan musuh.

Rasulullah bersabda, “Kiamat tidak akan terjadi hingga Konstantinopel diserbu oleh 70 ribu orang dari bani Ishak. Begitu mereka mendatangi kota tersebut, mereka hanya singgah tanpa menyerang dengan senjata maupun menembakkan sebatang panah. Mereka mengucapkan Lailahaillallah wallahu akbar tiba-tiba takluklah bagian kota yang berada di laut. Kemudian mereka mengatakan lagi Lailahaillallah wallahu akbar takluklah bagian kota yang berada di darat. Lalu mereka mengucapkan kembali Lailahaillallah wallahu akbar dan terbukalah bagi mereka gerbang kota bagi mereka. Mereka pun masuk dan mendapatkan banyak ghanimah.

Allahu akbar adalah kalimat hebat dalam sejarah. Kalimat yang menjadikan segala sesuatu tampak kecil. Tidak ada musuh yang besar. Tidak ada kekuasaan yang besar. Tidak ada tirani yang besar. Semuanya kecil dihadapan Allah.

Allahu akbar, Allahu akbar, la ilaha illallah Allahu akbar

Allahu akbar adalah kalimat yang agung dan menjaga. Jika setan mendengarnya ia menjadi kecil, hina, dan lemah. Keagungan Allah menekan pengaruh setan. Rasulullah menyebutkan dalam hadits bahwa Saat adzan berkumandang yang diawali dengan kalimat takbir maka setan pun lari terkentut-kentut. Maka saat setan berkeliaran bertakbirlah maka ia akan lari tunggang langgang.

Takbir adalah dzikir yang mulia dan ibadah yang besar. Allah memerintahkan hamba-Nya untuk bertakbir dan mencintai takbir. “Dan Rabbmu agungkanlah.” (QS. al-Mudatsir: 3). Allah juga berfirman, “Dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya.” (QS. Al-Isra: 111)

Allahu akbar, Allahu akbar, la ilaha illallah Allahu akbar

Dengan takbir, mengagungkan Asma’-Nya, kesedihan larut, bencana / kesusahan hilang, kekhawatiran terangkat, kesulitan tersingkap. Dengan takbir, kehidupannya akan lapang dan penyakitnya disembuhkan. Umar berkata, “ucapan seorang hamba, Allahu akbar lebih baik daripada dunia dan seisinya.” (tafsir Qurtubi)

Maha benar Allah yang berfirman,

وَقُلِ الْحَمْدُ لِلَّـهِ الَّذِي لَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُن لَّهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَلَمْ يَكُن لَّهُ وَلِيٌّ مِّنَ الذُّلِّ ۖوَكَبِّرْهُ تَكْبِيرًا

“Dan katakanlah, ‘Segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan dia bukan pula hina yang memerlukan penolong dan Agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya.” (QS. Al-Isra: 111)

Wabah yang melanda bangsa kita juga merupakan bukti keagungan Allah yang maha besar dan betapa lemah dan kecilnya manusia. Mahluk kecil berupa virus mampu memporak porandakan tatanan masyarakat. Maka tak layak kita sombong dan hanya Allah sajalah yang layak untuk sombong karena Allah maha Besar. Allahu akbar.

Semoga takbir yang keluar dari lisan kita adalah takbir yang muncul dari dalam hati. Takbir yang tak sekedar gema tanpa makna, namun takbir pengagungan yang melahirkan kesadaran atas lemahnya diri dan keagungan Allah al-Kabir

اللهم لك الحمد كما ينبغي لجلال وجهك وعظيم سلطانك

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، فِي الْعَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

اللهم اغفر للمسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات الأحياء منهم والاموات إنك سميع قريب مجيب الدعاء يا قاضي الحاجات

رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَإِسْرَافَنَا فِي أَمْرِنَا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ  

سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ  وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ  وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

 

Download Booklet Sakunya dengan Klik Ini:
Khutbah Iedul Adha 1441H

 

Hukum Jual Kulit Qurban & Memberi Upah Bagi Tukang Sembelih

Sebentar lagi kaum muslimin kedatangan hajat berupa penyembelihan hewan qurban di hari iedul adha. Banyak kaum muslimin yang belum memahami sepenuhnya tentang fikih qurban. Olehnya tidak sedikit yang menyamakan qurban dengan ibadah menyembelih seperti biasa. Padahal tentu beda. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan; di antaranya tentang menjual daging dan kulit hewan qurban dan memberi upah panitia qurban dengan daging. Bagaimana hukumnya? kita simak berikut ini,

Haram hukumnya memberikan daging sembelihan kepada tukang sembelihan sebagai upah baginya, sebagaimana pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i dan ahlu ra’yu, sebagaimana sabda Rasulullah:

أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لَا أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا . قَالَ : نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا

Dari Ali Bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku diperintahkan oleh Rasulullah ﷺ supaya mengurus untanya, serta kulit dan kelasanya (punuk), dan kiranya aku tidak akan memberikan sedikitpun dari binatang udhiyah tersebut kepada tukang sembelih, Ali menambahkan: Kami memberikan upah dari uang pribadi. (HR. Bukhari & Muslim)

Berkaitan dengan menjual daging dan kulit hewan kurban, maka tersebut dalam hadits berikut ini,

Dari Sa’id, sesungguhnya Qatadah bin Nu’man memberitahu kepadanya, bahwa Nabi berdiri lalu bersabda, “Aku pernah memerintahkan kalian agar tidak makan daging udhiyah sesudah tiga hari untuk memberi kelonggaran kepada kamu, tetapi sekarang aku halalkan bagi kalian, karena itu makanlah daripadanya sesukamu. Dan janganlah kamu jual daging hadya dan daging udhiyah, makanlah, sedekahkanlah dan pergunakanlah kulitnya tetapi jangan kamu jual dia, sekalipun sebagian dari dagingnya itu kamu berikan, maka makanlah sesukamu”. (HR. Ahmad )

Al-Qurthubi berkata, “Hadits ini menunjukkan, bahwa kulit binatang udhiyah atau hadya dan punuknya tidak boleh dijual, karena kata julud (kulit) dan Ajillah (punuk) itu ma’thuf (dihubungkan) dengan lahm (daging) jadi hukumnya sama. Para ulama’ sepakat, daging udhhiyah itu tidak boleh dijual. Maka begitu pula kulitnya dan punuknya.

Adapun bila diberikan kepada tukang sembelih karena kefakirannya, atau sebagai hadiah maka tidak mengapa, karena dia juga berhak untuk mengambilnya sebagaimana orang lain. Bahkan, dia lebih pantas untuk menerimanya, karena dia telah mengurusnya dan telah mengorbankan dirinya untuk hal itu. Wallahu a’lam

Oleh: Redaksi/Fikih

Udhiyah Untuk Luar Daerah

 

Bolehkah saya menyerahkan binatang udhiyah (hewan qurban) saya kepada seorang kawan yang tinggal jauh dari kota saya tinggal untuk disembelih di kampungnya, lantaran kesadaran masyarakat kampungnya untuk menjalankan syariat udhiyah masih rendah. Pernah pada suatu hari raya Iedul Adha, hanya ada satu orang yang menjalankan syariat udhiyah, bahkan pernah tidak ada yang menjalankannya sama sekali. (Abu Fatih—Sukoharjo, Jawa Tengah)

الْحَمْدُ لِلهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالاَهُ

Pada asalnya yang paling utama bagi seseorang yang hendak menjalankan syariat udhiyah adalah ia menyembelihnya sendiri. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dari Anas bin Malik r.a bahwa Nabi saw menjalankan syariat udhiyah dengan dua ekor kambing yang gemuk dan menyembelihnya dengan tangan beliau sendiri.
DR. Wahbah az-Zuhayli menyatakan, disunnahkan bagi orang yang hendak menjalankan syariat udhiyah untuk menyembelih sendiri binatang udhiyahnya bila ia mampu. Sebab hal itu adalah qurbah (ibadah, pendekatan diri kepada Allah). Mengerjakan qurbah secara langsung lebih utama daripada mewakilkannya kepada orang lain. Namun jika seseorang tidak ahli menyembelih, lebih baik baginya untuk mewakilkannya kepada seseorang yang ahli. Dalam hal ini, disunnahkan baginya untuk menyaksikannya. Yang demikian itu karena Nabi saw pernah bersabda, “Wahai Fathimah, berdiri dan lihatlah binatang udhiyahmu yang sedang disembelih!”
Selanjutnya DR. Wahbah menjelaskan, para ahli fiqh madzhab Hanafi memakruhkan pemindahan pelaksanaan penyembelihan binatang udhiyah ke luar daerah orang yang melaksanakannya, kecuali kepada kerabatnya atau kepada orang-orang yang lebih membutuhkan daging binatang udhiyah daripada orang-orang di daerahnya. Menurut para ahli fiqh madzhab Maliki, tidak boleh memindahkan pelaksanaan penyembelihan binatang udhiyah melebihi jarak bolehnya seseorang mengqashar shalat (sekitar 80 km), kecuali daerah yang lebih jauh itu lebih membutuhkan. Para ahli fiqh madzhab Syafi’i dan Hambali berpendapat, boleh dipindah ke jarak kurang dari jarak bolehnya mengqashar shalat—seperti halnya zakat, namun tetap sah jika pemindahan lebih jauh dari itu dilakukan.
Para ahli fiqh kontemporer seperti DR. Nashir al-‘Umar, Syaikh Ibnu Jibrin, dan yang lain menyatakan bolehnya memindahkan pelaksanaan penyembelihan binatang udhhiyah ke luar daerah jika masyarakat daerah tersebut lebih membutuhkan. Hal itu sesuai dengan maqashidusy syari’ah: meratakan kemaslahatan untuk seluruh umat. Satu catatan lagi mereka tambahkan, orang yang memindahkannya—baik mengirimkan uang untuk dibelikan binatang udhhiyah maupun mengirimkan binatang udhhiyahnya, harus memastikan binatang udhhiyahnya disembelih pada hari yang benar.
Kiranya keterangan para ulama di atas sudah menjawab pertanyaan Antum. Wallahu al-Muwaffiq.

Hadyu bukan Udhiyah
Ustadz, insya Allah tahun ini saya dan istri akan menunaikan ibadah haji. Apakah di saat saya melaksanakan ibadah haji saya juga masih terkena kewajiban menyembelih binatang udhiyah? Jika masih, di mana saya harus melaksanakannya, di Mekah atau di kampung halaman saya? (Djoko Soesilo—Bontang, Kalimantan Timur)

الْحَمْدُ لِلهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَ هُدَاهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Menurut para ahli fiqh madzhab Maliki, orang yang melaksanakan ibadah haji tidak perlu lagi menyembelih binatang udhiyah. Yang disyariatkan baginya adalah menyembelih binatang hadyu. Itulah yang dilakukan oleh Rasulullah pada saat beliau melaksanakan haji wada’. Demikianlah pula yang dipraktikkan oleh para shahabat seperti Umar bin Khaththab, Aisyah, dan Ali bin Abu Thalib; dan generasi sesudah mereka seperti Mujahid, Ibrahim an-Nakha’i, Nafi’ bin Jubair, Alqomah, Abul Ahwash, Abdurrahman bin Yazid, dan asy-Sya’bi. Asy-Sya’bi berkata, “Saya melaksanakan haji tiga kali dan dalam pada itu saya tidak mengalirkan darah (baca: menyembelih binatang udhhiyah).”
Para ahli fiqh madzhab Hanafi sependapat dengan para ahli fiqh madzhab Maliki dalam hal ketidakdisyariatkannya orang yang melaksanakan ibadah haji untuk menyembelih binatang udhiyah. Hanya, alasan mereka adalah karena orang yang melaksanakan ibadah haji sedang dalam kondisi bersafar, sedangkan salah satu syarat disyariatkannya menyembelih binatang udhiyah adalah seseorang dalam keadaan muqim (tidak bersafar).
Para ahli fiqh yang berpendapat demikian juga menyatakan bahwa syariat udhiyah terkait dengan shalat Idul Adha, sedangkan orang yang melaksanakan ibadah haji tidak disyariatkan untuk melaksanakan shalat Idul Adha.
Adapun para ahli fiqh madzhab Syafi’i dan Ibnu Hazm berpendapat, disunnahkan bagi orang yang melaksanakan ibadah haji untuk juga menyembelih binatang udhhiyah. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam an-Nawawi dalam kitab al-Majmu’. Alasan mereka, pada waktu haji wada’ Rasulullah memang tidak menyembelih binatang udhiyah atas nama diri beliau, tetapi beliau menyembelih atas nama istri-istri beliau. Hadits tentang beliau menyembelih atas nama istri-istri beliau ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim.
Dus, para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Maka, jika Bapak meninggalkan keluarga Bapak di kampung, baik kiranya jika Bapak meninggalkan untuk mereka sejumlah uang untuk dibelikan binatang udhhiyah dan disembelih atas nama mereka Dengan demikian, Bapak menyembelih hadyu di Mekah dan keluarga bapak menyembelih udhiyah di kampung halaman. Wallahu a’lam.