Perdagangan Jawa Pada Zaman Kekuasaan Portugis

Ekspansi Portugis ke Asia pada abad 16 didorong oleh beberapa faktor, seperti agama dan niaga, rasa haus akan petualangan serta ambisi kaum bangsawan yang belum tersalurkan sejak berakhirnya perang Salib. Setelah berhasil melewati Tanjung Harapan, Portugis mendapati pemandangan ramainya perdagangan di Samudra Hindia. Kapal orang Moor berlalu lalang di jalur ini. Orang Portugis dan orang Moor adalah saingan dagang. Selain itu, keduanya merupakan musuh bebuyutan yang berusaha saling menghancurkan. (B.J.O. Schrieke, Kajian Historis Sosiologis Masyarakat Indonesia, Jilid 1, hlm. 51 dan 56)   

 

Catatan Portugis Tentang Perdagangan Jawa

Pada 1511 Portugis berhasil menguasai Malaka, bandar terbesar di Nusantara saat itu. Setahun berikutnya, Portugis  tiba di Maluku. Selanjutnya, Portugis berusaha mengontrol jalur perdagangan Malaka-Maluku.

Berita dari orang Portugis pertama menceritakan bahwa orang Jawa sekitar tahun 1500 mendominasi perdagangan di perairan Nusantara, termasuk Malaka di sebelah barat dan Maluku di sebelah timur. Undang-undang Maritim Malaka disusun pada waktu itu oleh sekelompok pemilik kapal Malaka yang sebagian besar berasal dari Jawa. Kapalnya yang berbasis di Malaka dengan teratur berlayar ke Cina.

Tome Pires, orang Portugis yang mencatat perjalanannya dalam Summa Oriental, melaporkan bahwa mereka wajib berlabuh di lepas pantai karena orang Cina benar-benar khawatir jika “salah seorang anak buah jung ini menghancurkan dua puluh jung Cina”. Namun Pires juga mengemukakan bahwa perdagangan di Jawa jauh lebih besar satu abad sebelumnya –“karena mereka menyatakan bahwa pelayarannya sampai ke Aden dan bahwa perdagangan utamanya berada di Benua Keling (India Selatan), Bengala dan Pasai, ia pun menguasai seluruh perdagangan pada waktu itu”. Pada setiap “musim” di tahun 1406, 1408, 1410, 1414, 1418, dan 1432, armada Cina yang terdiri dari seratus atau lebih menghabiskan waktu yang panjang untuk perbaikannya di bandar-bandar Jawa Timur. (Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid 2, hlm. 48-49)

Baca Juga: Pengaruh Islam Pada Zaman Perdagangan Jawa

Pires juga melaporkan bahwa informasi tentang jalur ke Maluku diperoleh di Malaka dari orang Islam setempat. Sementara itu, peta pelayaran ke Maluku didapat dari orang Jawa. Dalam surat Alfonso de Albuquerque kepada Raja Manuel 1 April 1512, ia mencatat, “Sehelai peta besar dari jurumudi Jawa, berisi peta Tanjung Harapan, Portugal, dan Daratan Brasilia, Laut Merah, dan Laut Persia, Kepulauan Cengkih, pelayaran orang Cina dan Ryukyu, dengan jalur mata angin dan jalur langsung mereka yang diikuti oleh kapal-kapal, kawasan pedalaman, dan bagaimana kerajaan-kerajaan itu saling berbatasan. Paduka, bagi saya tampaknya ini adalah hal yang paling bagus yang pernah saya lihat … Peta ini bertulisan Jawa, tetapi bersama saya ada orang Jawa yang dapat membaca dan menulis.” (Asia Tenggara dalam Kurun Niaga, hlm. 55)          

 

Berpindah ke Bandar Baru

Orang Portugis berambisi untuk menjadi bangsa besar dan ingin mencari keuntungan dari perdagangan. Mereka bernafsu menjadi kaya mendadak dengan menjarah bangsa-bangsa lain. Sebagaimana diceritakan sebelumnya, pada mulanya mereka meminta bantuan orang Muslim Jawa untuk menunjukkan jalur pelayaran ke Maluku. Namun setelah berhasil tiba di Maluku, Portugis justru berbalik memerangi para pedagang Muslim Jawa dan Muslim lainnya. Saudagar-saudagar Arab dan Persia melukiskan bangsa Portugis sebagai bajak laut liar. Pada awalnya, orang-orang Portugis hanya ingin mengadakan perjanjian dagang. Kemudian dengan kerakusan, mereka menghancurkan dan memperbudak sultan-sultan yang telah mempercayai mereka ataupun memberi tempat bagi mereka di kerajaannya. (William Marsden, Sejarah Sumatra, hlm. 375 dan 376)

Baca Juga: Datangnya Si Perusak Kedamaian, Portugis

Dengan pendudukan Malaka, monopoli perdagangan dan penjarahan terhadap kapal-kapal dagang milik kaum Muslim, Portugis telah menghancurkan perdagangan Nusantara, bahkan perdagangan Asia. Selama berabad-abad, perdagangan di lautan Nusantara, dari Selat Malaka hingga kepulauan Maluku, berjalan dengan damai dan melibatkan banyak bangsa. Keadaan ini tiba-tiba berubah setelah Portugis datang. Timbullah kekacauan sistem perdagangan secara damai berubah menjadi sistem perampokan. Portugis tidak memiliki komoditi yang bisa dibarterkan di Malaka. (Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, Jilid I, hlm. 159)

Maka dari itu, setelah Malaka diduduki Portugis, para pedagang selain mereka berusaha menghindari jalur Selat Malaka. Mereka juga memindahkan aktivitas perdagangan mereka ke bandar-bandar lain, seperti Aceh, Banten, Tuban dan Makasar. Namun demikian, Portugis tetap menjadi ancaman di lautan dari Selat Malaka hingga kepualaun Maluku. Oleh karena itulah, terutama pedagang-pedagang Jawa menganggap orang-orang Portugis sebagai musuh. Akibatnya, tidak ada satu tempat pun di Pulau Jawa yang sempat diduduki oleh orang-orang Portugis, kecuali di Jawa Timur yang hingga akhir abad 16 masih terdapat sebuah kerajaan Hindu Jawa yang kecil. (Th. Muller Kruger, Sedjarah Geredja di Indonesia, hlm. 19) Upaya pendudukan terhadap bandar di Jawa, seperti Sunda Kalapa, segera membangkitkan perlawanan dari Muslim Jawa.   

 

Goyahnya Monopoli Portugis

Sejak tiba di Maluku pada 1512, Portugis berusaha mengontrol dan memonopoli perdagangan di kepulauan ini. Usaha untuk mendapatkan hak eksekutif atas rempah-rempah menjadi faktor pendorong bagi ekspansi mereka terhadap daerah-daerah penghasil cengkih. Mereka juga giat menyebarkan agama Katolik di kalangan pribumi. Akibatnya, meletuslah perlawanan rakyat Maluku dengan dibantu para pedagang Muslim Jawa. Akhirnya, monopoli rempah-rempah oleh Portugis pun goyah. Pada sekitar 1565, Portugis harus menyerahkan perdagangan di Maluku ke tangan orang Jawa. Dengan penyerahan itu, kawasan dagang orang Jawa semakin meluas, bahkan luasnya melampaui yang sudah-sudah.

Portugis terpaksa melepaskan impiannya dalam kebijakan monopoli di Maluku. Mereka tidak pernah benar-benar berkuasa atas Banda. Hitu yang merupakan perkampungan Muslim Jawa di Ambon terbukti terlalu kuat bagi Portugis. Pada 1572 Portugis meninggalkan benteng mereka di Ternate. (Kajian Historis Sosiologis Masyarakat Indonesia, Jilid 1, hlm. 63-64) Wallahu a‘lam.

 

Oleh: Ust. M. Isa Anshari/Sejarah Islam Indonesia

Kedatangan Portugis di Bumi Nusantara

Portugis bersusah payah mencari jalan pelayaran ke Asia. Di bawah pimpinan Vasco da Gama, mereka berhasil tiba di India pada 1498. Pelayaran pertama ke India ini harus dibayar mahal. Hanya 54 dari 170 kelasi dan dua dari empat kapal yang kembali ke negeri mereka dengan selamat pada 1499. Meski demikian, pelayaran da Gama berhasil membangun rute laut dari Eropa ke India yang memungkinkan perdagangan dengan Timur Jauh tanpa menggunakan rute Jalur Sutera antara Timur Tengah dan Asia Tengah yang sering tidak aman.

Untuk kedua kalinya, Vasco da Gama kembali ke India pada 1502. Kali ini ia datang dengan armada yang terdiri dari 20 kapal perang. Ia memaksa orang India agar menerima cara dagang Portugis. Kota Calicut ditembaki karena melawan Portugis. Selain menguasai kota-kota di pantai India, Portugis juga berusaha meluaskan pengaruhnya ke wilayah lain. Terlebih akhirnya Portugis mengetahui bahwa India bukanlah tempat rempah-rempah berasal. Barang dagangan ini berasal dari negeri yang masih jauh berada di sebelah timur India. Pada 1509, mereka pun untuk pertama kali datang ke Nusantara.

 

Motif Kedatangan Portugis

Pada pelayaran kedua dan selanjutnya, semakin terlihat jelas motif kedatangan Portugis ke Asia umumnya dan Nusantara khususnya. Setidaknya ada tiga motif yang melatarbelakangi pelayaran mereka.

Pertama: motif ekonomi (gold/emas), yaitu merebut perdagangan Asia. Rempah-rempah merupakan komoditas terpenting di pasar Eropa. Barang itu harus didatangkan dari Asia dengan jarak tempuh yang sangat panjang sehingga harganya pun menjadi mahal. Pada waktu itu, rempah-rempah dikuasai oleh para pedagang Muslim dari Turki. Portugis ingin menemukan jalan ke Asia dan mengambil rempah-rempah langsung dari pusatnya.

 

Baca Juga: Kedatangan Si Perusak Kedamaian; Portugis

 

Kedua: motif politik (glory/kejayaan), yaitu menghancurkan kekuasaan negeri-negeri Islam. Kalau berhasil memperoleh jalan langsung ke Asia, mereka dapat mengalihkan lalu lintas perdagangan melalui jalan itu. Hal ini akan merugikan bangsa-bangsa yang sampai saat itu menguasai rantai perdagangan Asia-Eropa. Salah satu dari bangsa itu ialah bangsa Turki yang justru pada zaman itu sedang melancarkan serangan yang dahsyat terhadap negara-negara Eropa. Serangan mereka mungkin dapat dilumpuhkan kalau pendapatan yang diperoleh negara Turki dari perdagangan dapat dihancurkan.

Ketiga: motif agama (gospel), yaitu menyebarkan agama Kristen. Orang-orang Portugis ingin mengepung lawan yang beragama Islam dan menyiarkan agama Kristen di seberang lautan. (M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, hlm.32)

 

Api Perang Salib

Semangat perang salib sangat kuat mendorong ekspansi mereka. Portugis memandang semua penganut Islam adalah bangsa Moor dan musuh yang harus diperangi. Oleh karena itulah ketika Alfonso d’Albuquerque berhasil menduduki Malaka pada 1511, ia berpidato, “Tugas besar yang harus kita abdikan kepada Tuhan kita adalah mengusir orang Moor dari negeri ini dan memadamkan api Sekte Muhammad sehingga ia tidak muncul lagi sesudah ini… Saya yakin, jika kita berhasil merebut jalur perdagangan Malaka ini dari tangan mereka, Kairo dan Mekkah akan hancur total dan Venesia tidak akan menerima rempah-rempah kecuali para pedagangnya pergi dan membelinya di Portugis.” (F. C. Danvers, The Portuguese in India, I/226)

 

Baca Juga: Jaringan Islamisasi Jawa-Maluku

 

Api perang salib cukup kuat dalam diri Albuquerque sehingga mendorongnya menangkap dan menjarah semua kapal muslim yang bisa ditemukannya antara Goa dan Malaka. Ia memerangi orang Muslim sambil melayani kepentingan perniagaan Portugis. Demikianlah, sekali lagi terjadi perang salib antara orang Muslim dan orang Kristen. Sebelumnya, perang itu berkali-kali bergolak di Laut Tengah. Akan tetapi, kini perang itu berlangsung di Nusantara yang jauh. Dengan pukulan pertama, armada Portugis berhasil menjatuhkan Malaka, tetapi tiga kerajaan lain bangkit untuk tetap mengibarkan bendera Nabi Muhammad di Kepulauan Nusantara. Kerajaan tersebut adalah kesultanan Aceh, Demak, dan Ternate. (Bernard H. M. Vlekke, Nusantara, hlm. 98)

 

Kristenisasi

Setelah berhasil menaklukkan Malaka, pada 1512 kapal-kapal Portugis mulai berlayar di Laut Jawa dan akhirnya sampai ke Maluku. Di kawasan inilah terletak kepulauan rempah-rempah. Pada mulanya Portugis hanya membeli rempah-rempah di kepulauan tersebut. Mereka juga meminta izin untuk mendirikan benteng sebagai tempat tinggal dan tempat penampungan rempah-rempah. Para sultan di Maluku memberikan izin kepada mereka karena mengharapkan laba besar dari hubungan dagang itu. Benteng Portugis pun berdiri di Hitu pada 1515 dan di Ternate pada 1523.

Akan tetapi, lama kelamaan Portugis berusaha memonopoli perdagangan rempah-rempah. Para pedagang Muslim tidak boleh lagi turut dalam perniagaan itu. Portugis juga mengedarkan dan menjual minuman keras di kalangan penduduk Muslim. Malah orang Portugis sendiri yang minum sampai mabuk serta membuat kekacauan dalam pasar cengkeh di Hitu. Lebih dari itu, Portugis juga menyebarkan agama Kristen Katholik Roma.

 

Baca Juga: Awal Islamisasi Maluku

 

Penyebaran Kristen Katholik di Maluku dimulai sekitar 1523, yaitu ketika Antonio de Brito datang untuk mendirikan benteng di Ternate. Pada waktu itu, beberapa biarawan Fransiscan ikut serta dalam kapal Portugis. Para misionaris Portugis itu menyebarkan agama Kristen Katholik dengan cara paksaan dan tidak mengenal toleransi beragama. Para misionaris Portugis tidak menghiraukan agama Islam yang telah dianut oleh penduduk di Maluku. Hal ini membangkitkan perlawanan dari kaum Muslim di Maluku.

Penyebaran Kristen Katholik oleh para misionaris Portugis di wilayah-wilayah Islam terkadang dilaksanakan pada hari Jumat tepat waktu shalat. Pada waktu itu semua orang laki-laki berada di masjid, sedangkan wanita dan anak-anak berada di rumah. Mereka yang dapat meloloskan diri dari kepungan Portugis terpaksa lari meninggalkan keluarganya. Peristiwa semacam ini pernah terjadi di wilayah-wilayah Islam di pulau Ambon, seperti Negeri Lama (Pasolama), Suli, Wai dan lain-lain. (Maryam RL Lestaluhu, Sejarah Perlawanan Masyarakat Islam Terhadap Imperialisme di Daerah Maluku, hlm. 39-41)

 

Oleh: M. Isa Anshari/Sejarah Islam Indonesia