Agar Bertetangga Nikmat Dirasa

“Alhamdulillah, keluarga si fulanah akhirnya pindah ke kampung sebelah.” Ujar seorang ibu kepada tetangganya. Sang ibu tersebut mengungkapkan rasa gembiranya karena kepindahan keluarga fulanah yang selama ini menjadi tetanganya. Lumrah saja ia gembira, karena memang keluarga Fulanah termasuk keluarga yang kurang disenangi,  tidak pernah mau kerja bakti, ngomel ketika dimintai iuran sosial dan seabrek akhlaq buruk lainnya melekat pada keluarga si fulanah tersebut. Sehingga para tetangga merasa sesak dengan keberadaan mereka bahkan berharap mereka pergi dengan segera.

Barangkali kisah serupa acap kita jumpai di sekeliling kita. Ketidakberesan dalam berinteraksi dengan tetangga berbuah ketidaknyamanan.

 

Masuk Jannah Karena Tetangga

Tetangga adalah orang yang terdekat dengan kita setelah keluarga. Dari merekalah kita mendapatkan bantuan pertama kali ketika keluarga kita tertimpa musibah atau kita butuh pertolongan. Maka selayaknya kita labuhkan segala kebaikan kepada mereka agar kita mendapatkan jannah-Nya.

Nabi ﷺ pernah ditanya, “Wahai Rasulullah, si Fulanah itu biasa shalat malam, shaum di siang hari, melakukan kebaikan dan bersedekah, tapi dia suka mengganggu tetangga dengan lisannya.” Rasulullah ﷺ pun bersabda, “Dia tidak punya kebaikan. Dia termasuk penduduk neraka.” Para sahabat bertanya lagi, “Sementara si Fulanah (wanita yang lain) hanya menjalankan shalat wajib, bersedekah hanya dengan sepotong keju, tapi tak pernah mengganggu siapa pun.” Rasulullah menyatakan, “Dia termasuk penduduk jannah.” (HR. Al Bukhari)

Bahkan beliau mengancam keras orang yang mengganggu tetangganya. Beliau bersabda;

“Demi Allah tidak beriman! Demi Allah tidak beriman! Demi Allah tidak beriman!” Beliau pun ditanya, “Siapa, wahai Rasulullah?” Jawab beliau, “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.” (HR. Al-Bukhari)

 

Apakah Kita Tergolong Orang Baik?

Seseorang mendatangi Rasulullah ﷺ bertanya, “Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku suatu amalan jika aku mengerjakannya maka aku dapat masuk jannah. Beliau menjawab, ”Jadilah Engkau seorang muhsin (orang yang baik perangainya).” Orang itu bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana aku tahu bahwa aku seorang muhsin?” Beliau menjawab, “Bertanyalah kepada tetanggamu, jika mereka mengatakan bahwa kamu itu orang muhsin, berarti memang kamu orang baik. Namun jika mereka mengatakan bahwa kamu itu seorang orang yang musi’ (buruk perangainya) berarti memang kamu orang yang buruk’. (HR. Al Hakim).

Dari sini jelaslah bagi kita bahwa untuk mengevaluasi diri apakah kita termasuk orang yang baik atau orang yang buruk, cukuplah kita melihat komentar tetangga tentang kita. Merekalah yang paling dekat dengan kita sehingga mereka lebih mengetahui akhlak kita yang sebenarnya. Mungkin ketika di luar kita akan tunjukkan kelakuan baik sehingga manusia bisa kita kelabuhi. Namun lain halnya dengan tetangga, mereka tidak bisa kita tipu. Mereka tahu benar akhlaq kita yang sebenarnya.

Betapa pentingnya berbuat baik kepada tetangga, sampai-sampai Jibril  menekankan dalam wasiatnya kepada Nabi ﷺ.

مَا زَالَ جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِيْ بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ

“Jibril selalu berwasiat kepadaku tentang tetangga sampai-sampai aku menyangka bahwa tetangga akan dijadikan sebagai ahli waris.” (HR. Al-Bukhari)

 

Menumbuhkan Rasa Cinta Antar Tetangga

Tentunya semua berharap, para tetangga menyukai keberadaan kita. Tidak merasa sesak hati dan risih dengan kehadiran keluarga kita sehingga selalu mengharapkan kepindahan kita. Ada beberapa langkah agar benih cinta tumbuh meninggi antar kita dengan tetangga, diantaranya dengan saling bertegur sapa dan mengucapkan salam.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Maukah kalian aku tunjukkan pada sesuatu yang jika kalian melakukannya maka kalian akan saling mencintai: sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Ahmad)

Rasulullah SAW juga menganjurkan kita untuk selalu berbagi bila punya kelebihan rezeki. Karena saling memberikan hadiah akan melahirkan kecintaan di antara sesama, sebagaimana sabda beliau:

 تَهَادَوْا تَحَابُّوا

‘’Salinglah memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai.”(HR. Malik)

Hadiah atau pemberian tidak harus sesuatu yang bernilai mahal. Sekedar membagi lauk  dan sayuran yang kita masak bisa menumbuhkan rasa kasih sayang antar tetangga. Dalam memberikan hadiah kita utamakan tetangga yang paling dekat pintunya dengan kita. Karena merekalah yang pertama kali melihat apa yang keluar dan masuk dari rumah kita, sehingga kemungkinan mereka memiliki harapan dan keinginan,  Dan merekalah yang paling cepat menyahut jika dipanggil ketika kita memerlukan, terutama ketika musibah menimpa kita.

Imam Adz Dzahabi dalam kitabnya Al Kabaair menyebutkan sebuah riwayat bahwa pada hari kiamat nanti seorang tetangga yang miskin akan mengikuti tetangga yang kaya sambil mengadu, “Wahai Rabbku, tanyakan kepadanya mengapa ia menghalangiku dari kebaikannya dan menutup untukku uluran tangannya?”

Semoga kita bisa menjadi tetangga yang baik dan dikaruniai tetangga yang baik pula. Karena itulah satu diantara kebahagiaan di muka bumi ini.

Rasulullah ﷺ pernah bersabda:

أَرْبَعٌ مِنَ السَّعَادَةِ: الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، وَالْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ، وَالْجَارُ الصَّالِحُ وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيءُ

“Empat hal yang termasuk kebahagiaan seseorang: istri yang shalihah, tempat tinggal yang luas, tetangga yang baik, dan kendaraan yang nyaman.” (HR. Ibnu Hibban)

Wallahul Musta’an

Oleh: Ust. Abu Hanan/Fadhilah Amal

Muslimah Itu Berperan Bukan Baperan

Islam sebagai pandangan hidup, telah menyediakan solusi untuk berbagai permasalahan yang ada pada manusia untuk seluruh zaman dan pada semua tempat. Dengan kata lain, jika islam diterapkan secara sempurna, maka pastinya kaum muslimin meningkat taraf berpikirnya dan akan mampu memecahkan segala permasalahan hidupnya.

Islam diturunkan untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, dengan sesamanya serta dirinya sendiri. Sebagai makhluk ciptaan Allah Subhanahu Wa Ta’aala, dalam beberapa hal pria dan wanita memiliki hak dan kewajiban yang sama. Misalnya, mereka sama-sama wajib memenuhi ibadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’aala, sama-sama wajib untuk mencintai Allah dan Rasul- Nya lebih daripada yang lain, serta sama- sama wajib melakukan amar ma’ruf na mungkar.

Mereka sama-sama berhak mendapatkan surga, sama-sama berhak untuk didengarkan pendapatnya dan yang lainnya. Selain memberikan hak dan kewajiban yang sama, Allah juga memberikan keistimewaan kepada masing-masing pria dan wanita dalam rangka mengabdi kepada-Nya dalam kehidupa dunia.

Allah menciptakan keistimewaan bukanlah untuk menjadi alasan yang untuk saling meremehkan satu sama lain, tetapi saling melengkapi dan menyadari bahwa mereka tak bisa hidup secara normal tanpa kehadiran yang lainnya.

Di antara peran muslimah dalam menyongsong kebangkitan islam adalah menjadi panutan bagi masyarakat dan teladan bagi umat. Dalam hidupnya, seorang wanita juga wajib berdakwah menyerukan islam di komunitas dimana ia berada, dakwah dalam artian ini adalah mengajak orang agar cenderung kepada islam. Tetapi yang perlu digaris bawahi disini ialah pengkhususan dakwah wanita.

Seorang wanita mempunyai keistimewaan penyampaian ‘hati ke hati’, seorang wanita harus menjalankan peran pengemban dakwahnya lebih kepada masalah-masalah yang disitu melibatkan kaumnya. Ia mestilah lebih paham dalam hal-hal kewanitaan, walaupun tidak mengabaikan hal-hal yang lain. Selain itu seorang wanita mestilah menjadi contoh di lingkungan tempat ia berada, tidak eksklusif, berusaha memahami masyarakat tempat ia tinggal berbaur dan melebur dengannya, tanpa mengorbankan hal prinsipal yang ia anut.

Peran perempuan yang tidak kalah penting adalah menjadi sahabat bagi suaminya. Banyak sekali hadits yang mengabarkan tentang pentingnya peran wanita dalam rumah tangga, khususnya perannya sebagai seorang istri. Hal ini berarti bahwa wanita yang telah dan akan menjadi istri sangatlah besar pengaruhnya pada aktivitas sang suami.

“Wanita adalah tiang negara” tampaknya bukanlah sesuatu yang berlebihan, bahkan bisa dikatakan
“wanita adalah tiang peradaban”. Banyak sekali hadits yang mengabarkan keistimewaan wanita. Hal itu bisa dilihat pada fungsi seorang ibu dalam mendidik anak-anaknya.

Anak adalah cerminan orangtua, seorang anak yang besar biasanya lahir dari keluarga yang baik. Ibu memegang peranan yang sangat penting dalam pengajaran ini. Oleh Allah Subhanahu Wa Ta’aala seorang ibu telah ditempatkan pada kemuliaan yang sangat tinggi menyangkut masalah pendidikan anak. Itulah mengapa tolak ukur seorang anak ditentukan dari ibunya. Pendidikan yang baik sejak dini akan melahirkan generasi yang taat pada Allah.

Namun, tidak berarti peran utama perempuan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga (ummum wa rabbah al-bayt) menjadikan dirinya tidak punya kiprah di tengah masyarakat. Tugas ini terdapat dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’aala surah at-Taubah ayat 71. Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’aala menggariskan bahwa perempuan memiliki kewajiban yang sama dengan laki-laki dalam melakukan amar makruf nahi munkar di tengah masyarakat. Mereka tolong-menolong (ta’awun) dalam menegakkan aktivitas yang menjadi pilar kehidupan bermasyarakat tersebut, termasuk keluarga di dalamnya. Allah Subhanahu Wa Ta’aala pun telah memerintahkan laki-laki dan perempuan untuk berdakwah, dan mengurus ummat.

Mendidik diri menjadi muslimah sejati adalah sebuah kewajiban. Menempa diri untuk lebih baik juga
harus dilakukan. Sehingga kompetensi yang dimiliki cukup memadai ketika terjun di medan dakwah.
Belajar tegar selayaknya muslimah pejuang, sahabiyah di zaman Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wasallam. Nama mereka hingga kini tetap terngiang karena ada jejak kebaikan yang
ditinggalkan. Hari-hari mereka tidak sepi dari aktivitas, bergegas untuk menyambut seruan Allah Subhanahu Wa Ta’aala, melewatkan waktu untuk berjuang di jalan Allah melalui apa saja.

Sebagai seorang muslimah yang mampu berperan, maka seorang perempuan harus mampu mengesampingkan masalah pribadi dengan keumatan, berdaya guna, serta masalah yang hadir tidak membuat dirinya mangkir dari amanah dan menyelisih ukhuwah. Sebab setiap yang dirasakan tak lain sebagai wujud cinta Allah padanya.

Berbeda dengan muslimah yang baperan. Mudah menyerah ketika datang masalah, hatinya penuh amarah ketika ada yang tidak seperti yang diharapkan, ukurannya bukan Allah tapi pada hawa nafsunya. Padahal lika-liku dakwah akan berjumpa dengan ujian dan kesulitan. Jika demikian, tentu ia harus bisa mendewasakan diri. Berupaya sekuat tenaga untuk menangguhkan pribadinya agar tidak mudah terjatuh bila ada yang memberati langkahnya.

Muslimah berperan bukan baperan harus menyadari bahwa dirinya adalah pengemban dakwah, teladan bagi masyarakat. Karena itu, ia harus mampu menjadi ibu teladan, istri teladan, anak teladan yang berbakti kepada orangtua, tetangga yang baik, serta kerabat yang rajin bersilaturahmi.

Oleh: Redaksi/Wanita

Sayang Anak, Antara Tabiat dan Ujian

Anak adalah anugerah sekaligus amanah yang Allah hibahkan kepada orangtua. Keberadaan anak sangat dinanti-nantikan oleh orangtua sebagai penyempurna kebahagiaan dalam keluarga. Sudah lumrah ketika orangtua itu mencintai dan menyanyangi anaknya. Buah hati termasuk di antara deretan perhiasan dunia sebagaimana firman Allah Ta’ala,

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّـهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَآبِ ﴿١٤

“Dijadikan indah pada pandangan (manusia) kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (surga). (QS. Ali-Imran: 14)

Sebagai perhiasan dunia, keberadaan anak juga sekaligus menjadi ujian bagi orangtuanya. Kecintaan orangtua kepada anaknya pun akan dinilai kadar, sebab maupun bagaimana cara orangtua menyanyangi anaknya.

Dengan cinta yang benar, maka anak bisa menjadi penyejuk pandangan mata orangtua, sebagaimana cita-cita seorang muslim yang tersirat dalam doa,

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا ﴿٧٤

“Wahai Tuhan kami, anugerahkan kepada kami pasangan kami dan anak keturunan kami sebagai penenang hati.” (QS. al-Furqon: 74)

Imam Hasan al-bashri ketika ditanya makna penyejuk pandangan mata dalam ayat ini beliau berkata, “Yakni ketika Allah memperlihatkan kepada hamba-Nya yang muslim di mana istri, saudara dan anaknya dalam keadaan taat kepada Allah.

Demi Allah, tidak ada sesuatu yang lebih menyejukkan pandangan mata seorang muslim melebihi ketika ia melihat anaknya, cucunya, saudaranya atau istrinya mentaati Allah Azza wa Jalla.”

Anak bisa menjadi ‘mesin produksi’ pahala bagi orangtuanya. Yakni ketika orangtua mendidik anaknya dengan keshalihan, maka orangtua yang mendidiknya mendapatkan pahala setiap amal shalih yang dikerjakan anaknya. Sebagimana ia juga mendapat keberuntungan doa yang dipanjatkan anak yang shalih untuk orangtuanya.

Bahkan karenanya, orangtua diangkat derajatnya di jannah kelak, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,

إنَّ الرَّجُلَ لَتُرْفَعُ دَرَجَتُهُ فِي اْلجَنَّةِ, فَيَقُوْلُ: أنَّي لِي هَذَا؟ فَيُقَالُ: بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ

Sesungguhnya seseorang akan diangkat derajatnya di surga, maka ia berkata,”Dari manakah balasan ini?” Dikatakan,” Dari sebab istighfar anakmu kepadamu”. (HR. Ibnu majah dan Ahmad)

Begitu pula orangtua akan dikumpulkan di surga bersama para kekasih dan anaknya, di tempat paling tinggi levelnya di antara mereka. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُم مِّنْ عَمَلِهِم مِّن شَيْءٍ ۚ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ ﴿٢١

“Dan orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka.” (QS Ath Thur:21).

Mereka akan disatukan di level yang sama, sedangkan Allah berjanji tak akan mengurangi sedikitpun keutamaan mereka, maka mereka ditempatkan di level tertinggi yang diraih dalam anggota keluarga, sebagaiman pendapat dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma.

Begitulah ketika orang tua mencintai anaknya dengan tulus dan benar, ia menjadi anugerah dan pahala bagi orangtua. Akan tetapi, ia juga bisa menjadi sumber petaka dan musuh bagi orang tua. Cara mencintai yang salah, bisa memposisikan anak sebagai musuh yang akan mencelakakan orangtuanya.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ ۚ وَإِن تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّـهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ ﴿١٤

“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istri kalian dan anak-anak kalian adalah musuh bagi kalian, maka berhati-hatilah terhadap mereka.” (QS. ath-Thagabun 14).

Menjadi musuh yang dimaksud bukan berarti bermusuhan atau saling berhadadapan untuk saling mencelakakan secara fisik. Bisa jadi keduanya sejalan dalam kebiasaan dan kesenangan. Tetapi
maksudnya ketika anak membujuk, mengajak atau meminta kepada orangtuanya untuk memberikan fasilitas kemaksiatan, maka dalam kondisi seperti ini, anak adalah layaknya musuh yang mencelakakan orangtuanya. Bukankah banyak di antara orangtua gemar memperturutkan setiap keinginan anak dengan alasan sayang, padahal apa yang diminta itu sesuatu yang merusak agamanya.

Allah Ta’ala juga mengingatkan agar anak-anak tidak melalaikan kita dari mengingat-Nya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَن ذِكْرِ اللَّـهِ ۚ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَأُولَـٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ ﴿٩

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta-harta kalian dan anak-anak kalian melalaikan kalian dari mengingat Allah.” (QS. al-Munafiqun: 9)

Walhasil, anak adalah aset bagi orangtua. Lantas orangtua memiliki obsesi yang berbeda bagi anak-anaknya. Ada yang menginginkan anaknya kelak menjadi orang kaya, ini yang menjadi prioritasnya.
Padahal, belum tentu ketika kelak anaknya menjadi orang kaya orangtua masih hidup. Atau taruhlah ketika orangtua masih hidup saat anaknya menjadi orang kaya, tanpa didikan takwa maka anak takkan berbakti kepadanya.

Begitupun dengan orang yang berambisi anaknya menjadi pejabat. Belum tentu orangtua masih hidup saat anaknya menjadi pejabat. Atau kalaupun masih hidup, belum tentu anaknya berbakti dan memuliakan orangtua.

Maka rasa cinta kepada anak seharusnya mengarahkan buah hati tersebut kepada keshalihan, sebagaimana doa Nabi Ibrahim, “Rabbi habli minash shaalihin, Wahai Rabbi, anugerahkanlah kepadaku seorang putera yang shalih.”

Keshalihan anak secara otomatis mengundang pertolongan Allah kepadanya. Sebagaimana janji Allah Ta’ala, “wahuwa yatawallash shaalihin, dan Dia Allah menolong orang-orang yang shalih.” (QS. al-A‘raf: 196)

Wallahu a’lam.

 

Oleh: Redaksi/Keluarga

Tetap Takwa, Saat Jodoh Tak Kunjung Tiba

Semua orang tentu mendambakan bisa menikah dan hidup bahagia bersama pasangannya. Terutama wanita. Mereka mulai berharap dan bermimpi tentang seorang suami semenjak masa remaja. Keinginan untuk segera menyempurnakan separuh agamanya cukup kuat pada wanita. Wanita ingin memiliki pasangan yang membuat hidupnya luar biasa dalam melalui hari hari dan kehadiran anak-anak yang menjadikan rumahnya serasa surga. Sungguh, wanita mana yang tidak menginginkan gambaran keluarga yang sempurna dalam hidupnya.

Setiap wanita menginginkan hal tersebut. Dan dengan keinginan ini, muncul tekanan bagi banyak wanita Muslim untuk menikah pada usia muda. Ya, bagi pria mungkin tak begitu menjadi soal, namun bagi wanita hal ini sering membuatnya tertekan.

Sebagian wanita bahkan menjadi rendah diri karena tak kunjung mendapatkan belahan jiwa. Ketika jodoh tak kunjung datang dan sebagian masyarat mulai menganggapnya sebagai perawan tua, pikiran buruk pun berkecamuk. Bagaimana bila umur saya sudah 25 dan belum menikah? Apa yang dikatakan kerabat saya? Mengapa Allah menguji saya dengan ujian ini? Apakah saya tidak cantik? Mungkin saya harus melepaskan jilbab saya… (Naudzubillah min dzalik)

Mereka mulai mengalami depresi saat melihat teman-temannya menikah. Banyak yang bahkan merasa seperti masa muda mereka terbuang jika tidak segera menikah saat masih muda.

Jika pikiran-pikiran itu sempat terlintas di benak Anda, waspadalah! Setan sedang ingin merusak hidup Anda karena ia tak senang pada jiwa-jiwa yang berbakti kepada Allah.

Bersabarlah, karena Allah berfirman, Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.” (QS. At-Taubah: 51).

Bagaimana membuang pikiran negatif dan kesedihan?

 

1. Dedikasikan masa muda Anda untuk beribadah kepada Allah jika jodoh tak kunjung datang

Banyak alasan kenapa jodoh tak kunjung datang, namun bukan berarti masa muda Anda sia-sia. Dedikasikanlah hari-harimu dengan mendekatkan diri kepada Allah.

Dengan cara ini Anda tidak akan merasa sedih atau menyesal. Tidak ada yang hilang jika Allah bersamamu setiap hari. Rasulullah menuturkan bahwa ada tujuh orang yang diberi naungan oleh Allah pada hari dimana tidak ada naungan selain naungan-Nya salah satunya adalah pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada Allah

 

2.Melakukan aktivitas yang yang mulia

Isilah masa mudamu dengan aktivitas yang produktif. Misalnya terlibat aktif dalam dakwah muslimah atau mengajar TPA.

 

3.Jangan memperhatikan apa yang orang lain katakan

Tekanan keluarga yang terus menanyakan kapan nikah memang membuat hidup Anda tidak nyaman. Namun, ingat bahwa rasa sakit hanyalah sebuah keadaan pikiran. Anda bisa memikirkan jalan keluar dari segala hal, bahkan rasa sakit. Cobalah untuk tidak melibatkan diri dalam argumen, hindari berpikir negatif. Jika Anda merasa terbebani, berdoalah, “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir” (QS. Al-Baqarah: 286)

 

4. Anda adalah spesial dan terlahir dengan tujuan mulia

Allah menciptakan setiap manusia dengan keunikannya masing-masing. Hidup kita adalah anugerah dari Allah yang harus disyukuri. Allah akan senantiasa menguji hambaNya untuk melihat sejauh mana cintanya. Akan ada air mata tapi juga akan ada tawa dan cinta. Pernikahan bukan sesuatu yang bisa dipaksakan. Percayalah bahwa Allah akan memilihkan yang terbaik bagi setiap hamba-Nya.

 

5. Selalu ada alasan mengapa Allah menakdirkan hal tersebut

Cobalah merenung sejenak dan carilah alasan mengapa Allah memilih situasi ini untukmu.

Mungkin Dia menginginkan agar Anda memenuhi tugas yang sangat penting dalam hidup Anda sehingga Allah membebaskan Anda sampai tujuan itu tercapai? Atau mungkin Ia ingin memberi hadiah kepada Anda dengan sesuatu yang hebat dan cobaan berat ini adalah ujian untuk Anda. Jadi beristighfarlah sebanyak yang Anda bisa dan berdoalah kepada Allah agar Allah memberikan kemenangan dan kedamaian dan meenangkan hatimu. Banyaklah berdoa agar Allah memberikan pasangan terbaik untukmu.

Bacalah doa yang diajarkan dalam Al-Qur’an,

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا 

“Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan: 74).
Jika hati kita dipenuhi dengan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya tentu kita dapat menghadapai semua rintangan.
Semoga Allah memudahkan setiap langkah kita dalam kebaikan. Amin.

 

Oleh: Ust. Muhtadawan Bahri/Motivasi

Baca Juga yang Lainnya: Untuk Muslimah: Jangan ragu Datangi Majelis Ilmu, Amalnya di Puncak Takutnya Mencapai Klimaks, Dari Mata Turun Ke Hati, Jaga Mata Bersihkan Diri

Sisipkan Satu Ketaatan Di sela Seribu Kemaksiatan

Suatu kali Suhail bin Amru melakukan suatu perjalanan bersama istrinya. Di tengah perjalanan keduanya bertemu dengan kawanan perampok dan merampas semua yang dibawanya, baik harta maupun makanan. Para perampok duduk menikmati makanan dan bekal yang didapatkan, terlihat pemimpin perampok tidak ikut makan. Ketika itu Suhail bertanya kepadanya, ‘Kenapa kamu tidak ikut makan bersama mereka?” Dia menjawab,”Saya sedang puasa.” Maka heranlah Suhail lalu ia bertanya,”Kamu merampok tetapi berpuasa?”

Ia menjawab, “Aku biarkan satu pintu antara aku dengan Allah agar suatu kali aku bisa masuk (bertaubat) kepadanya.”

Setelah selang beberapa lama, Suhail bertemu dengan perampok itu dalam keadaan berhaji. Ia telah menjadi seorang ahli ibadah yang zuhud.

Baca Juga: ‘Wukuf’ di Negeri Sendiri

Sebuah pelajaran berharga, jangan sampai kita menutup pintu yang terbuka antara kita dengan Allah, meskipun banyak kesalahan dan dosa yang kita lakukan. Karena bisa jadi dari satu pintu itu Allah hendak memperbaiki kita di pintu-pintu ketaatan yang lain sekaligus menutup bagi kita pintu-pintu kemaksiatan. Karena setiap kebaikan akan menghasilkan kebaikan setelahnya.

Seperti juga orang yang berdoa sementara ia masih terbiasa menikmati yang syubhat atau bahkan yang haram. Jangan sampai berfikir untuk berhenti berdoa dengan asumsi doanya tak terkabul. Bisa jadi melalui pintu doa Allah bukakan pintu muhasabah (mawas diri), lalu memberi taufik untuk meninggalkan yang haram, sekaligus memberi anugerah terkabulnya doa.

Baca Juga: Cara Allah Menjaga Iman Hamba-Nya

Kasus lain dalam hal shalat, jangan sampai berfikir untuk berhenti karena belum mendapatkan buahnya, yakni tercegah dari perbuatan keji dan mungkar. Yang seharusnya adalah berusaha memperbaiki kualitas shalat hingga Allah akan memberikan buahnya.

Sebagaimana kita tidak meremehkan satu pintu kebaikan di tengah banyaknya kemaksiatan yang dilakukan, begitupun sebaliknya. Jangan meremehkan satu pintu maksiat di tengah banyaknya ketaatan yang dilakukan. Bisa jadi melalui satu pintu maksiat ini setan masuk dan hendak menyeretnya kepada maksiat-maksiat yang lain. Banyak pula kisah tragis orang yang murtad karena bermula dari satu maksiat yang diremehkan. Dan memang tabiat dosa akan berbuntut munculnya dosa berikutnya. Semoga Allah memberikan taufik kepada kita kepada ketaatan, dan melindungi kita dari dosa dan kemaksiatan, Amiin.

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Muhasabah