Kultum Ramadhan: Semangat Hingga Tamat

Banyak orang lebih bersemangat di awal program kebaikan, tapi loyo di akhir kesempatan, para salaf yang shalih justru lebih semangat lagi di momen-momen akhir setiap peluang. Dalil-dalil syar’i menunjukkan bahwa penentu hasil itu ada di akhir. Umur manusia manusia misalanya,  yang paling menentukan adalah di akhir-akhir kehidupan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

ﺇﻧَّﻤَﺎ ﺍﻷَﻋْﻤَﺎﻝُ ﺑِﺎﻟﺨَـﻮَﺍﺗِﻴْﻢُ

“Sesungguhnya amalan itu (tergantung) dengan penutupnya”. (HR Bukhari)

Bahkan jika di awal-awal seeorang melakukan kesalahan dan banyak keteledoran, niscaya dosanya diampuni  jika dia bertaubat dan berkesempatan meraih derajat tinggi jika optimal dengan kebaikan di akhir kesempatan. Karena itulah, orang yang wafat dalam keadaan baik, maka disebut dengan husnul khatimah, akhir atau penutupuan yang baik.

Sebaliknya, meskipun nyaris sepanjang umur manusia melakukan ketaatan danbanyak amal shalih, namun ketika di akhirnya ia murtad atau lebih dominan maksiat, maka ia berakhir dengan suul khatimah, akhir yang buruk dan terancam dengan neraka. Begitulah urgensi amal di penghujung kesempatan.

Baca Juga: Setan Dibelenggu Nafsu Menghasutmu

Jika malam dibagi menjadi tiga, maka sepertiga malam yang terakhir adalah waktu terbaik bermunajat dan shalat. Bahkan Nabi shallallahu alahi wasallam bersabda,

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

يَتَنَزَّلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ ، مَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ ، وَمَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ

Rabb kita tabaroka wa ta’ala turun setiap malam ke langit dunia hingga tersisa sepertiga malam terakhir, lalu Dia berkata: ‘Siapa yang berdoa pada-Ku, aku akan memperkenankan doanya. Siapa yang meminta pada-Ku, pasti akan Kuberi. Dan siapa yang meminta ampun pada-Ku, pasti akan Kuampuni’.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menjelaskan, “Riawayat ini dibawakan oleh Al Bukhari pada bab yang menerangkan mengenai keutamaan berdoa pada waktu tersebut hingga terbit fajar Shubuh dibanding waktu lainnya.”

Ibnu Baththal dalam Syarah Bukhari berkata, “Waktu tersebut adalah waktu yang mulia dan terdapat dorongan beramal di waktu tersebut. Allah Ta’ala mengkhususkan waktu itu dengan nuzul-Nya (turunnya Allah). Allah pun memberikan keistimewaan pada waktu tersebut dengan diijabahinya doa dan diberi setiap  yang diminta.”

Dalam menjalani amal yang berhubungan dengan Ramadhan juga begitu. Selama 29 atau 30 hari ramadhan, maka hari-hari terakhir sangat menentukan hasil dan penentu kesuksesan Ramadhan. Malam yang lebih baik dari seribu bulan yang disebut dengan lailatul qadar juga berada di sepertiga hari ramadhan yang terakhir.

Di penghujung Ramadhan seringkali berkecamuk perasaan; antara ingin segera beriedul fithri dan rasa ingin tetap bersama Ramadhan. Mungkin di antara hikmah bahwa ramadhan tak lama adalah agar jiwa senantiasa setia dan merindukan ia kembali tiba. Sungguh, hakikat cinta bukan semata perasaan bahagia ketika hendak bersua, tapi juga perasaan duka ketika hendak berpisah dengannya. Dan sejatinya cinta ialah yang tak ingin melewatkan sedetikpun waktu berlalu tanpa membersamai yang dicintai di hari-hari terakhirnya.

Sebagian salaf tampak bersedih ketika hari raya Iedul Fitri, lalu dikatakan kepadanya:Ini adalah hari kesenangan dan kegembiraan. Dia menjawab, “Kamu benar, akan tetapi aku adalah seorang hamba yang diperintah oleh Rabbku untuk beramal karenaNya, dan aku tidak tahu apakah Dia mengabulkan amalku atau tidak?

Baca Juga: Buta Hati Di Dunia, Buta Mata Di Akhirat

Karena itulah para salaf dahulu sangat serius memberikan perhatian di akhir ramadhan. Mereka masih tetap fokus hingga tamat. Imam Hasan Al-Bashri rahimahullah sebagaimana uang disebutkan dalam Hilyatul Auliya berkata, “Berbuat baiklah di sisa-sisa Ramadhan niscaya diampuni (kesalahanmu) yang telah berlalu, maka manfaatkanlah hari-hari yangg tersisa, karena Anda tidak tahu kapan bisa meraih rahmat Allah untukmu.”

Mereka menganggap bahwa Ramadhan adalah perlombaan dalam ibadah dan kebaikan. Sedangkan peserta lomba tentu akan lebih power full dan mencurhakan segala kemampuannya ketika mendekati finishnya. Ibnul al-Jauzi berkata, “Sesungguhnya kuda pacu apabila mendekati batas finish ia akan mengerahkan segenap kemampuannya untuk memenangkan perlombaan.Maka, jangan sampai kuda pacu menjadi lebih cerdas darimu.”

Maka selayaknya, semakin dekat dengan kesempatan terakhir, makin gigih dalam melakukan ketaatan. Seperti Qatadah, di luar bulan Ramadhan mengkhatamkan al-Qur`an tujuh hari sekali. Memasuki bulan Ramadhan mengkhatamkannya tiga hari sekali. Bahkan, di sepuluh terakhir, ia mampu mengkhatamkan al-Qur`an satu kali setiap malam.

Teladan terbaik adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang makin gigih di kesempatn-kesempatan terakhir.

 

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan melebihi kesungguhan beliau di waktu yang lainnya.” (HR. Muslim)

Amalan paling istimewa dan waktu yang paling agung keutamannya adalah lailatul qadar yang lebih baik dari seribu bulan. Nabi shallallahu alaihi wasallam memerintahkan umatnya untuk berjaga-jaga akan datangnya malam lailatul qadar,

 

تَحَرَّوْا وفي رواية : الْتَمِسُوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِيْ الْوِتْرِ مِنْ الْعَشْرِ

“Carilah malam Lailatul Qadar di (malam ganjil) pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR Bukhari dan Muslim)

Sebagaimana dinukil oleh Imam Asy-Syafi’i dalam Al-Umm dari sekelompok ulama Madinah dan dinukil pula sampai pada Ibnu ‘Abbas disebutkan, “Menghidupkan lailatul qadar bisa dengan melaksanakan shalat Isya’ berjamaah dan bertekad untuk melaksanakan shalat Shubuh secara berjama’ah.”

Begitupun menghidupkan malam dengan shalat sunnah, membaca al-Qir’an, istighfar dzikir dan semisalnya termasuk dikatakan berjaga-jaga akan hadirnya malam lailatul qadar.

Intinya, tetap fokus dengan amal taat hingga tamat. Wallahu a’lam bishawab.

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Kultum Ramadhan 

Kultum Ramadhan: Kisah Para Pendamba Pintu Ar-Rayyan

Kebiasaan shaum telah mengantarkan orang-orang pilihan ke derajat yang tinggi. Shaum telah membuat kecenderungan mereka adalah memperbanyak amal shalih. Mereka rajin melakukan ketaatan, tak ada gairah untuk melakukan dosa, mereka jauh dari maksiat, sebagaimana hal itu menjadi inti tujuan shaum, yakni takwa.

Seperti Abu Bakar ash-Shiddiq, beliau melakukan beragam ketaatan di saat menjalankan shaum. Bukan saja ketika di bulan Ramadhan, tapi di bulan-bulan selainnya. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim,

“Suatu ketika Nabi Muhammad bermajelis bersama para sahabat, lalu beliau bertanya, “Siapakah di antara kalian yang hari ini melakukan shaum?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Nabi n bertanya lagi, “Siapa di antara kalian yang hari ini telah mengantar jenazah?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Beliau bertanya lagi, “Siapakah di antara kalian yang hari ini telah memberi makan orang miskin?” Abu Bakar menjawab, “Saya.” Nabi n bertanya lagi, Siapakah di antara kalian yang hari ini telah menengok orang sakit?” Lagi-lagi Abu Bakar menjawab, “Saya.” Kemudian Nabi n bersabda, “Tiadalah semua itu ada pada diri seseorang melainkan dia pasti masuk jannah.” (HR Muslim)

Begitulah, shaum telah membawa suasana yang ringan untuk melakukan banyak kebaikan. Lihatlah, sepagi itu, ash-Shiddiq telah melakukan amal sebanyak itu.

Mereka yang Terbiasa Menjalani Shaum

Adalah Utsman bin Affan, beliau orang yang sangat rajin menjalankan shaum. Seperti yang diungkapkan oleh Abu Nuaim, “Waktu siangnya adalah kemurahan berderma dan untuk shaum, sedang malamnya untuk sujud dan qiyam (shalat).” Ini menjadi kebiasaan beliau setiap harinya. Adapun di bulan Ramadhan, lebih menakjubkan. Beliau mengkhatamkan al-Quran dalam sehari dalam shalatnya. Perutnya kosong karena Allah, sementara lisannya senantiasa sibuk dengan dzikir dan bacaan al-Quran.

Beliau sangat rajin shaum di hari biasa, hingga di hari terbunuhnya, beliau dalam keadaan shaum sementara mushhaf al-Quran berada dalam dekapannya.

Baca Juga: Ia Ingin Memiliki Nyawa Sebanyak Jumlah Rambutnya

Memang ada hari-hari dimana sebagian sahabat tidak menjalankan shaum, seperti Abu Thalhah. Bukan karena malas, tapi karena tenaganya sangat dibutuhkan di saat perang, untuk menyerang dan menangkis serangan maupun berteriak untuk memberi motivasi kepada para mujahidin, hingga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh, suara Abu Thalhah di tengah-tengah pasukan lebih hebat dari seribu orang tentara.”

Tentang Abu Thalhah, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Abu Thalhah tidak melakukan shaum (sunnah) di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena selalu terjun dalam kancah perang. Akan tetapi, setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, aku tidak melihat dia meninggalkan shaum, kecuali di hari-hari Iedul Adha dan tasyriqnya, maupun di hari Iedul Fithri.”

Adapun Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu yang dikenal sebagai sahabat yang paling antusias dalam berittiba’ kepada Nabi , selalu menjalankan shaum, kecuali di saat safar. Putera beliau, Nafi’ bin Abdullah bin Umar berkata, “Ibnu Umar tidak melakukan shaum sunnah dalam keadaan safar, akan tetapi ketika tidak dalam keadaan safar, beliau hampir tidak pernah meninggalkan shaum. Inilah kebiasaan sahabat yang dipuji Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Ni’mal ‘abdu Abdullah,” sebaik-baik hamba adalah Abdullah.

 

Hafshah ash-Shawwaamah dan Rahmah al-Abidah

Di kalangan wanita sahabiyat, tercatat seseorang yang digelari shawwamah, ahli shaum. Bukan gelaran yang disematkan oleh teman-temannya, atau generasi setelahnya, tetapi malaikat Jibril yang mengesahkannya. Dialah Hafshah, ummul mukminin, istri dari Rasulullah, sekaligus puteri dari Umar bin Khathab.

Seperti yang diceritakan oleh Qais bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mentalak Hafshah, lalu dua orang paman beliau dari pihak ibu, yakni Qudamah dan Utsman bin Mazh’un menemui beliau. Hafshah menangis sambil berkata, “Demi Allah Nabi mentalakku bukan karena saya senang makan kenyang…demi Allah Nabi mentalakku bukan karena saya senang makan kenyang…”

Tak lama kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang dan bersabda, “Jibril berkata kepadaku, “Ruju’lah Hafshah, karena ia itu shawwaamah (rajin shaum), qawwaamah (rajin shalat), dan ia nanti menjadi istrimu di jannah.” 

Subhanallah, pengesahan makhluk manakah yang lebih meyakinkan dan lebih berharga dari pengesahan Jibril? Semoga Allah meridhai Hafshah, beliau wafat di saat menjalani shaum, sebagaimana disebutkan oleh Nafi’, keponakannya.

Baca Juga: Shafiyah bintu Huyay, Putri Tercantik Khaibar

Satu lagi teladan menakjubkan dari kaum salaf. Seorang wanita yang dikenal dengan sebutan Rahmah al-Abidah, pelayan Muawiyah. Begitu rajinnya ia dalam melakukan shalat dan shaum, sampai-sampai beberapa orang mendatanginya untuk membujuk, supaya ia mengasihi dirinya. Maka beliau berkata, “Apa yang perlu dikasihani dari saya. Saya hanyalah bilangan hari yang bergulir dengan cepat, ketika satu hari berlalu maka tak mungkin lagi didapatkan di hari esok. Sungguh, saya akan bersungguh-sungguh shalat selagi jasadku terkandung nyawa, aku akan senantiasa shaum selagi masih hidup. Siapakah di antara kalian yang ingin hamba sahayanya berleha-leha tak bekerja keras?” Yakni, Allah yang menjadi majikannya yang sesungguhnya tentu menyukai jika ia bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada-Nya. Semoga Allah meridhai Rahmah al-Abidah.

Kiranya, beberapa penggal kisah di atas mampu mengatrol semangat kita untuk menjalankan shaum yang wajib maupun yang sunnah, serta mengisi saat-saat shaum dengan amal kebaikan. Agar kita termasuk kaum yang diijinkan masuk jannah melalui pintu yang istimewa, pintunya orang yang rajin menjalankan shaum, yakni ar-Rayyan.

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Kultum Ramadhan