Jabat Tangan; Antara Yang Berdosa Dan Yang Berpahala

Ada berbagai macam niat saat seseorang melakukan jabat tangan; sekedar formalitas, bersopan santun, atau ingin mengamalkan sunah Nabi. Cara berjabat tangan pun berbeda-beda. Ada yang lembek dan seperti tidak bersemangat, ada yang hanya bersentuhan ujung jemari, yang mantap dan hangat dan ada pula yang keras lagi mengguncang.

Bagi seorang muslim, semua perilakunya semestinya didasarkan pada teladan Nabi Muhammad. Termasuk dalam berjabat tangan, teladan dan batasan dari Nabi harus diperhatikan.

 

Niatkan untuk Mengamalkan Sunah

Berjabat tangan dengan saudara muslim adalah amalan sunah. Bukan sekadar formalitas atau basa basi. Sehingga berjabat tangan harus dilakukan dengan hangat  dan sopan. Selain akan menghangatkan suasana, jabatan tangan juga akan menggugurkan dosa. Rasulullah ﷺ bersabda,

إِنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا لَقِيَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، فَأَخَذَ بِيَدِهِ تَحَاتَّتْ عَنْهُمَا ذُنُوبُهُمَا، كَمَا تَتَحَاتُ الْوَرَقُ مِنَ الشَّجَرَةِ الْيَابِسَةِ فِي يَوْمِ رِيحٍ عَاصِفٍ، وَإِلا غُفِرَ لَهُمَا، وَلَوْ كَانَتْ ذُنُوبُهُمَا مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ

“Sesungguhnya, bila seorang muslim bertemu saudaranya sesama muslim, lalu ia memegang salah satu tangannya, maka dosa keduanya akan berguguran sebagaimana dedaunan berguguran dari sebuah pohon yang kering pada saat angin musim panas. Bila tidak demikian, maka keduanya akan diampuni, meskipun dosa keduanya laksana buih di lautan.” (HR. Ath-Thabrani).

 

Tak Hanya Saat Bertemu

Sunah jabat tangan tak hanya saat bertemu tapi juga saat berpisah. Diriwayatkan dari Qaza’ah, ia berkata, “Ibnu Umar mengutusku untuk suatu keperluan, seraya berkata, “Kemarilah. Aku akan melepas kepergianmu sebagaimana Rasulullah ﷺ melepasku,” lalu beliau berdoa:

 أَسْتَودِعُ اللهَ دِيْنَكَ وَأَمَانَتَكَ وَخَوَاتِيْمَ عَمَلِكَ

“Aku meminta kepada Allah agar menjaga agamamu, amanahmu (keluarga dan harta yang kamu tinggalkan), dan penghujung amal perbuatanmu.” (HR. Abu Dawud, Hakim, dan Imam Ahmad) Dalam riwayat Ibnu ‘Asakir disebutkan, “Beliau memegang tanganku lalu menjabat tanganku.”

 

Jangan Sembarang Tangan

Jabat tangan itu sunah dan berpahala, tapi jika melanggar syariat-Nya justru akan berubah menjadi maksiat dan membuahkan dosa. Batasan syariat hanya satu, jangan menyentuh wanita yang bukan mahram. Sentuhan dalam bentuk apapun termasuk jabat tangan. Tentu saja konteks pembicaraan kita bukan dalam kondisi terpaksa dan pengecualian lain.

Jabat tangan antara laki-laki dengan perempuan yang bukan mahramnya, terutama di kalangan pemuda dan pemudi, sudah menjadi hal yang biasa. Pelanggaran syariat yang menjadi tradisi. Rasa sungkan, takut dianggap sok, ketinggalan jaman, ekstrim, anti silaturahmi, eksklusif dan lainnya mengalahkan ketundukan pada syariat. Alasan pun dicari untuk menenangkan hati, “yang diajak salaman belum paham” atau ” asal tidak pake’ nafsu kan tidak masalah” dan sebagainya. Bahkan, ada sebagain orang yang mengancam cerai istrinya yang shalihah karena tidak mau berjabat tangan dengan kolega-koleganya. Persoalan semakin ruwet karena masih banyak yang belum mengetahui siap mahram dan siapa yang bukan mahram.

Padahal maslaah ini bukan masalah sepele. Rasulullah ﷺ telah memberikan peringatan tentang hal ini. Dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

 

لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ

“Seandainya kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh perempuan yang tidak halal baginya.” (HR. Ath-Thabrani)

Rasulullah ﷺ juga bersabda:

Nasib anak Adam mengenai zina telah ditetapkan. Tidak mustahil, ia pasti melakukannya. Dua mata zinanya melihat, dua telinga zinanya mendengar, lidah zinanya berbicara, tangan zinanya menyentuh, kaki zinanya melangkah, hati zinanya berangan-angan, dan kemaluanlah yang akan membenarkan atau mendustakan itu semua.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Makna hadits di atas, bahwa setiap anak Adam ditakdirkan untuk melakukan perbuatan zina. Di antara mereka ada yang melakukan zina sesungguhnya, yaitu memasukkan kemaluannya ke dalam kemaluan wanita secara haram. Di antara mereka ada yang zinanya bersifat majaz, yakni dengan melihat hal-hal yang haram, atau mendengarkan sesuatu yang mengarah pada perzinaan dan usaha-usaha untuk mewujudkan zina, atau dengan bersentuhan tangan, atau menyentuh wanita asing dengan tangannya, atau menciumnya. Atau, dengan melangkahkan kaki menuju tempat perzinaan, melihat, menyentuh, atau bercakap-cakap yang diharamkan bersama wanita asing, atau beranggan-anggan dengan hatinya.”

Larangan bersentuhan dengan wanita itu bukan hanya karena disertai syahwat atau tidak. Menyentuh wanita bukan mahram dilarang karena dikategorikan sebagai bagian dari zina, yaitu zina kulit. Sebagaimana mata, zinanya adalah melihat. Melihat aurat atau gambar porno tetap haram hukumnya meski tidak disertai syahwat. Tidak adanya syahwat, bisa jadi karena sudah terbiasa, atau karena modelnya tidak cantik dan faktor lainnya. Namun tetap saja, tidak adanya syahwat bukan berarti melihat gambar porno dibolehkan, begitu pula menyentuh wanita yang bukan mahram. Kebanyakan orang memahami syahwat hanya sebagai hasrat melakukan hubungan seksual. Padahal bersit keinginan dan rasa suka untuk melihat aurat, menyentuh wanita dan bercengkerama dengan para wanita adalah syahwat. Bahkan, menghalalkan jabat tangan dengan yang bukan mahram dengan alasan “toh tidak pake syahwat” pun adalah dorongan dari nafsu syahwat.

Muhammad Al-Amin Asy-Syanqithi mengatakan, “Menundukkan pandangan diwajibkan karena dikhawatirkan akan masuk ke dalam fitnah. Tidak diragukan lagi bahwa sentuhan anggota tubuh laki-laki ke tubuh wanita asing merupakan faktor yang paling kuat untuk membangkitkan naluri syahwat dan pendorong yang paling kuat menuju fitnah dibandingkan pandangan mata. Setiap orang yang normal mengetahui kebenaran hal ini.(Lihat Adhwa’ul Bayan).

 

Sunnah yang Menjadi Bid’ah

Sekarang kita bahas mengenai berjabat tangan setelah shalat. Banyak yang masih tidak setuju jika dikatakan, berjabat tangan sesudah shalat seperti yang biasa dilakukan orang adalah bid’ah. Sekarang coba kita lihat pendapat para ulama dalam hal ini.

Dalam kitab Fatawa Al-‘Izz bin Abdussalam, hal. 46-47, Al-Izz bin Abdussalam mengatakan, “Jabat tangan seusai shalat Subuh dan Ashar adalah bid’ah, kecuali bagi seseorang yang baru saja datang (dari bepergian) yang mana sebelum shalat ia sempat berkumpul bersama orang yang diajak berjabat tangan tersebut. Berjabat tangan disyari’atkan pada saat datang (dari bepergian). Selepas shalat, biasanya Nabi berdzikir dengan dzikir-dzikir yang disyari’atkan; istighfar tiga kali; lalu beranjak pergi. Diriwayatkan bahwa beliau berdzikir: “Wahai Rabbku, selamatkanlah aku dari siksamu pada hari Engkau membangkitkan hamba-hamba-Mu.” Sesungguhnya, seluruh kebaikan itu terletak pada usaha mengikuti Rasulullah ﷺ.”

Sedangkan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitab Majmu’ Fatawa, XXIII: 239, menulis saat ditanya tentang hukum jabat tangan selepas shalat; apakah sunnah atauk bukan? Beliau menjawab, “Segala puji bagi Allah, jabat tangan selepas shalat bukan termasuk amalan sunnah, akan tetapi amalan bid’ah. Wallahu a’lam.”

Jadi yang bermasalah adalah alasan dan motivasinya. Yaitu berjabat tangan dengan motivasi dan keyakinan bahwa hal itu sunah, atau baik dilakukan setelah shalat. Mereka berjabat tangan karena usai melaksanakan shalat. Sehingga terbentuklah semacam persepsi bahwa shalat-jabat tangan sesudahnya adalah baik. Dan pada akhirnya, jabat tangan menjadi seremoni tambahan setelah shalat. Padahal baik dan buruk, apalagi sunah dan tidak sunah, yang berhak menentukan adalah syariat. Nabi dan shahabat juga tidak pernah mencontohkan. Berjabat tangan hukumnya tetap sunah, meski dilakukan selepas shalat, dengan catatan ada sebab lain selain shalat. Misalnya, bertemu teman lama; seseorang yang baru pulang dari bepergian; menampakkan kesukaan dan kecintaan kepada saudaranya, dengan syarat pada akhirnya tidak dijadikan sebuah kebiasaan. Namun, bila jabat tangan tersebut dilakukan hanya karena faktor “ba’da shalat” saja, maka amalan tersebut termasuk bid’ah yang tidak pantas dilestarikan..

Dengan mencermati penjabaran di atas dan nash-nash yang berkenaan dengan jabat tangan, maka dapat kita pahami bahwa pada dasarnya jabat tangan dapat mendatangkan kebaikan bagi pelakunya bilamana dilakukan sesuai dengan kode etik dan rambu-rambunya. Namun, bila sunnah Nabi ﷺ ini disalahpraktekkan, maka tak pelak ia akan menghantarkan kita kepada dosa dan kemaksiatan. Akhirnya, jangan sampai jabat tangan yang seharusnya berpahala, tapi malah mendatangkan dosa.

 

Oleh: Abu Huzaifah (dalam rubrik makalah edisi: 97)/ Majalah ar-risalah

 

Bersiwak, Malaikat Mendekat Pahala Berlipat

Bersiwak atau menggosok gigi dengan menggunakan batang yang lembut dari pohon arok atau yang semisalnya adalah sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang sudah mulai dilupakan oleh kaum muslimin. Bahkan ada sebagian kaum muslimin yang merasa jijik jika harus melakukannya dan menganggap sebagai perbuatan jorok. Padahal amalan tersebut adalah termasuk kebiasan para Rasul: “Ada empat hal yang termasuk dari sunnah para Rasul: Malu, memakai minyak wangi, bersiwak dan menikah” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

[bs-quote quote=”“Ada empat hal yang termasuk dari sunnah para Rasul: Malu, memakai minyak wangi, bersiwak dan menikah” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)” style=”default” align=”center” color=”#176b9b”][/bs-quote]

 

Sebenarnya banyak manfaat yang akan kita dapat kalau mau mengerjakannya, ٍٍٍbaik di dunia maupun di akherat. Manfaat yang paling besar adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah SAW :

السِّوَاكُ مُطَهَّرَةٌ لِلْفَمِ، مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ

“Bersiwak itu sebagai pembersih mulut dan diridhai oleh Allah.” (HR. Ahmad dan An-Nasai)

Hadits diatas ternyata telah terbukti dalam dunia kesehatan. Dalam sebuah penelitaan, siwak ternyata mempunyai zat anti bakteri sehingga mampu mengurangi jumlah bakteri di dalam mulut. Sehingga gigi menjadi sehat dan mencegah timbulnya gigi berlubang. Di dalam siwak juga terdapat enzim yang mencegah penyakit gusi.

Bersiwak dianjurkan setiap waktu, namun ada waktu-waktu tertentu yang diutamakan karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam biasa melaksanakannya, diantaranya:

  • Setiap Akan Mengerjakan Shalat.

Rasulullah SAW pernah bersabda: “Kalau bukan karena akan memberatkan umatku maka akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan mengerjakan shalat”. (HR. Bukhari dan Muslim).

  • Setiap Bangun Tidur

Rasulullah SAW juga menganjurkan kepada kita agar bersiwak setiap bangun tidur. Karena tidur di malam hari menyebabkan bau mulut berubah. Menggosok gigi dengan siwak akan menghilangkan bau mulut dan akan menambah semangat setelah bangun tidur.

  • Setiap Kali Masuk Rumah

Beliau juga mengajarkan kepada kita agar bersiwak setiap kali masuk rumah. Salah seorang sahabat bertanya kepada ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha: “Apa yang pertama kali dilakukan oleh Rasulullah jika dia memasuki rumahnya?” Beliau menjawab: ”Bersiwak”. (HR. Muslim).

Sebuah teladan yang bagus dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebab, ketika seseorang keluar rumah, boleh jadi ia menyantap makanan atau minuman yang menyebabkan bau mulut. Maka dengan bersiwak bau itu akan hilang dan isteri yang menyambut tidak ‘tersiksa’ dengan bau tersebut.

 

Pahalanya Berlipat

Secara khusus Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan keistimewaan bagi orang yang menunaikan shalat dengan bersiwak terlebih dahulu dengan pahala 70 kali lipat dibanding yang tidak bersiwak. Beliau bersabda,

فَضْلُ الصَّلَاةِ بِالسِّوَاكِ عَلَى الصَّلَاةِ بِغَيْرِ سِوَاكٍ سَبْعِينَ ضِعْفًا

“Shalat dengan bersiwak (terlebih dahulu) lebih utama 70 kali dibanding yang tidak bersiwak.” (HR. Ahmad).

Bahkan beliau bersabda: “Mengerjakan shalat dua rakaat dengan bersiwak lebih aku cintai daripada mengerjakan tujuh puluh rakaat tanpa bersiwak.” (Sebagian ulama’ mendhaifkan hadits ini, namun ada yang menghasankannya bahkan menyatakannya shahih, diantaranya Ibnu Huzaimah, Al Hakim dan Abu Nua’im).

 

Malaikat Mendekat

Malaikat sebagai makhluk yang paling dekat dengan Allah akan merasa terganggu dengan bau yang tidak sedap yang keluar dari orang yang sedang mengerjakan shalat. Mereka akan merasa merasa senang dan betah berlama-lama di sisi orang yang sedang mengerjakan shalat jika sebelumnya bersiwak.

Dari Ali Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami bersiwak. Apabila seorang hamba berdiri shalat, malaikat akan mendatanginya kemudian berdiri dibelakangnya dan mendekat untuk mendengar bacaan Al-Qur’an. Maka malaikat terus mendengar dan mendekat hingga meletakkan mulutnya di atas mulut hamba itu. Sehingga tidaklah dia membaca satu ayatpun kecuali akan masuk ke tenggorokan malaikat.” (HR. Baihaqi)

Bagaimana Dengan Sikat Gigi?

Sebagian ulama berpendapat bahwa bersiwak tidak bisa diganti dengan sikat gigi karena siwak berbeda dengan sikat gigi. Siwak memiliki banyak kelebihan dibandingkan sikat gigi, baik dari tinjauan syar’i maupun kesehatan. Namun pendapat yang benar, bahwa jika tidak terdapat akar atau dahan pohon untuk bersiwak maka boleh kita bersiwak dengan menggunakan sikat gigi atau kain. Karena illah (sebab) disyariatkannya siwak adalah untuk membersihkan gigi. Bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersiwak dengan jarinya ketika berwudhu, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ali bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ”Beliau memasukkan jarinya (ke dalam mulutnya) ketika berwudlu dan menggerak-gerakkannya” (HR. Ahmad). Namun tentunya membersihkan gigi dengan kayu siwak lebih utama daripada dengan lainnya, karena lebih mengikuti sunah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia.

 

Satu Siwak Untuk Berdua

Mungkin diantara kita merasa jijik jika harus menggunakan siwak orang lain, meskipun milik istri kita. Padahal Rasulullah dan istri beliau tercinta, Aisyah Radhiyallahu ‘anha telah memberikan teladannya kepada kita. Aisyah pernah berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersiwak, lalu siwak diberikan kepadaku untuk dicuci. Maka aku menggunakannya untuk bersiwak, kemudian (setelah aku gunakan) aku mencucinya, kemudian aku menyerahkannya kepada beliau.” (HR.Abu Daud).

Jika begitu banyak manfaat yang kita akan dapat dengan bersiwak, masihkah kita meremehkannya? Wallahu musta’an.

Redaksi/Fadhilah Amal

 

Kisah-kisah Menggugah dalam Menjalankan Sunnah

Para salaf tak hanya antusias dalam mencari ilmu. Semangat mereka dalam mengamalkan ilmu setara dengan mujahadah mereka dalam mencarinya. Karena mereka paham bahwa maksud dicarinya ilmu adalah untuk diamalkan.

Tak hanya dalam hal yang wajib, perkara sunnah yang telah mereka ketahui tak sedikitpun mereka remehkan, Jika para sahabat bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang kebaikan, itu karena mereka ingin mengamalkan, bukan sekedar tambahan wacana atau bahan diskusi seperti yang umum terjadi hari ini. Dan jika mereka bertanya tentang keburukan, itu dalam rangka agar mereka terhindar darinya.

Tidak mengherankan, karena mereka adalah orang-orang yang sangat bersemangat kepada kebaikan. Hal ini pula yang telah memberi pengaruh kepada orang-orang yang datang setelah mereka dari kalangan salaf dan generasi utama. Sejarah telah mencatat untuk kita contoh-contoh yang menggugah jiwa untuk meniti jalan sunnah dari mereka yang mengikuti generasi sebelumnya dalam hal komitmen mereka terhadap sunnah.

Baca Juga: Sabar dan Shalat, Kunci dari Segala Maslahat

Imam Ahmad rahimahullah mendokumentasikan lebih dari 40.000 hadits dalam kitabnya ‘al Musnad’, Bukan sekedar dokumentasi, beiau juga mengamalkan apa yang beliau tulis di dalamnya. Beliau berkata, “Tidaklah aku menukil sebuah hadits melainkan aku telah mengamalkannya.” Tatkala beliau meriwayatkan hadits, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah dibekam dan memberi Abu Thibah (orang yang membekam Nabi) dengan upah satu dinar, Imam Ahmad berkata, “Aku dibekam, lalu aku beri orang yang telah membekamku dengan uang satu dinar.” Satu dinar sama dengan 4,25 gram emas. Beliau rela mengeluarkan satu dinar demi menjalankan apa yang dijalankan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam, meski kadar tersebut bujan merupakan satu keharusan.

Generasi terbaik di kalangan sahabat adalah teladan dalam hal ittiba’m mengikuti ilmu yang telah diketahui. Seperti Ummul Mukminin Ummu Habibah yang berkata, “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

 

مَنْ صَلَّى اثْنَتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِى يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بُنِىَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِى الْجَنَّةِ

Barangsiapa yang mengerjakan dua belas raka’at shalat sunnah rawatib sehari semalam, maka akan dibangunkan baginya suatu rumah di jannah.” (HR Muslim)

Imam Muslim juga meriwayatkan bahwa Ummu Habibah mengatakan: “aku tidak pernah meninggalkannya sejak aku mendengar hadits ini dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam”. ‘Anbasah yang meriwayatkan hadits ini juga berkata, “Aku juga tidak pernah meninggalkannya sejak aku mendengar hadits ini dari Ummu Habibah.” Begitupun dengan An-Nu’man yang mendengar dari Anbasah, “Aku tidak pernah meninggalkannya sejak aku mendengar hadits ini dari ‘Anbasah.”

Tak hanya di waktu aman dan longgar, para salaf komitmen mengamalkan ilmu yang diketahui dalam segala kondisi. Seperti yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu bahwa Fathimah radhiyallahu anha datang kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam untuk meminta seorang pembantu. Lalu Nabi bersabda:

 

 أَلاَ أُخْبِرُكِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكِ مِنْهُ, تُسَبِّحِينَ اللَّهَ عِنْدَ مَنَامِكِ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ وَتَحْمَدِينَ اللَّهَ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ وَتُكَبِّرِينَ اللَّهَ أَرْبَعًا وَثَلاَثِينَ

wahai Fathimah, maukah aku sampaikan kepadamu suatu hal yang lebih baik dari hal itu? Bertasbihlah ketika hendak tidur 33x, bertahmidlah 33x, bertakbirlah 34x”.

Ali bin Abi Thalib mengatakanm “Aku tidak pernah meninggalkan amalan ini semenjak aku mendengarnya.” Ketika ada yang bertanya, ”Bagaimana ketika hari-hari peristiwa Shiffin?” Beliau menjawab, “Begitupun juga di hari-hari peristiwa Shiffin, aku tidak meninggalkannya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Mereka juga menyesal jiak meninggalkan keutamaan meski ilmunya baru diketahui belakangan. Seperti sahabat Abdullah bin Umar radhiyallahu pernah melakukan shalat jenazah lalu pergi dan tidak ikut mengantarkan ke kuburnya. Tatkala sampai kepada beliau riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, beliau menyesal karena telah melewatkan keutamaan.

Baca Juga: Tetap Takwa Saat Jodoh Tak Kunjung Tiba

Dari Amir bin Sa’ad bin Abi Waqqash, ia sedang duduk di sisi Abdullah bin Umar. Datanglah Khabbab dan berkata, “Wahai Abdullah bin Umar, tidakkah engkau mendengar perkataan Abu Hurairah? Ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menuju  jenazah dari rumahnya, kemudian menshalatkannya, lalu mengantarkannya sampai dikebumikan, maka pahala baginya adalah dua qirath, setiap qirath besarnya seperti gunung Uhud. Adapun orang yang menshalatkannya lalu pulang, maka ia hanya mendapat pahala seperti satu gunung Uhud.” Ibnu Umar mengutus Khabbab agar menemui Aisyah untuk bertanya kepadanya perihal perkataan Abu Hurairah tersebut, lalu ia kembali kepadanya membawa kabar dari Aisyah. Ibnu Umar mengambil satu genggam tanah masjid dan membolak-balikkannya di tangannya (seperti gelisah menunggu jawaban-pen), hingga datang Plah Khabab dan berkata, “Aisyah berkata, “Abu Hurairah benar.” Seketika itu Ibnu Umar membanting tanah yang ada di tangannya, lalu berkata, “Sungguh kita telah melewatkan banyak  qirath pahala.” (HR Bukhari)

Imam an-Nawawi rahimahullah  memberikan komentar dalam al-Minhaj, “Kisah ini menjadi gambaran semangat para sahabat dalam ketaatan saat mereka mengetahuinya, dan merasa menyesal jika mereka terlewat darinya, walaupun karena sebelumnya mereka tidak mengetahui besarnya keutamaan amal tersebut.

Semoga Allah tunjukkan kita ilmu yang benar dan taufik untuk mengamalkannya, aamiin.

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Motivasi

Al-Qur’an, Bukan Bacaan Biasa

Suatu hari Nafi’ bin Abdul Harits bertemu dengan Amirul Mukminin Umar bin Al Khattab radiyallahu ‘anhu  di daerah ‘Usfan. Saat itu Umar tengah mempercayakan kepemimpinan Mekah kepada Nafi’. Lalu Umar bertanya, “Siapa yang engkau tunjuk menjadi pemimpin daerah Wadi?” Nafi’ menjawab, “Ibnu Abza.” Umar bertanya lagi, “Siapa Ibnu Abza itu?” Nafi’ menjawab, “Seorang bekas budak dari budak-budak kami yang telah dimerdekakan.” Umar bertanya kembali, “Engkau percayakan jabatan itu kepada seorang bekas budak?“ Nafi’ mengatakan,“Sesungguhnya dia adalah seorang Ahlul-Qur’an (yang hafal, paham, dan mengamalkannya) dan faqih dalam hal syariat.”

Umar berkata, “Sungguh Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,

Sesungguhnya Allah mengangkat derajat sebagian manusia dengan Al-Qur`an dan merendahkan sebagian yang lain dengan Al-Qur`an” (Shahih Muslim)

Begitulah pandangan orang beriman terhadap al-Qur’an, ia merupakan tolok ukur kemuliaan. Al-Qur’an itu bukan bacaan biasa. Ia adalah barometer manusia itu mulia ataukah hina. Mulialah orang yag memuliakannya, dan hinalah orang yang meremehkannya.

Al-Qur’an adalah barometer baik dan buruk, pemisah antara yang benar dan yang salah, pembeda yang adil dan yang zhalim, yang mukmin dan yang kafir. Allah Ta’ala berfirman,

Sesungguhnya al-Quran itu benar-benar firman yang memisahkan antara yang hak dan yang bathil. Dan sekali-kali bukanlah dia senda gurau”. (QS. at-Thariq: 13-14)

Baca Juga: Qalbun Salim, Hati yang Selamat dari Syubhat dan Syahwat

Al-Quran tidaklah seperti yang dituduhkan oleh orang-orang kafir. Bukan gurauan atau mitos sebagaimana klaim mereka. Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan sebagai pembeda antara kebenaran dan kebatilan. Di dalamnya termuat kaidah dan risalah serta ajaran yang mengajak kepada kebenaran serta konsekuensinya. Juga memuat rambu-rambu dan batas-batas yang menyelamatkan manusia dari kerugian abadi dan kesengsaraannya.

Orang-orang yang kafir sekalipun, di zaman turunnya al-Qur’an tak mampu menyembunyikan kekagumannya terhada al-Qur’an, bahkan tak mampu menemukan celah kekurangannya. Dialah Walid bin Mughirah, sang pujangga Arab, pakar dalam syair dan bahasa Arab, Ibnu Abbas mengisahkan bahwa suatu hari dia menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Rasulullah membacakan Al-Qur’an kepadanya. Sepertinya al-Quran itu melembutkan kekufuran al-Walid. Kabar ini sampai ke telinga Abu Jahal. Ia pun datang menemui al-Walid.

Abu Jahal mengatakan, “Wahai paman, sesungguhnya kaummu ingin mengumpulkan harta untukmu.” “Untuk apa?” tanya al-Walid. “Untukmu. Karena engkau datang menemui Muhammad yang menentang ajaran nenek moyang kita.”

Al-Walid bin al-Mughirah menanggapi, “Orang-orang Quraisy tahu, kalau aku termasuk yang paling kaya di antara mereka.”

Abu Jahal ingin memastikan bahwa al-Walid masih dipihaknya, ia berkata, “Ucapkanlah suatu perkataan yang menunjukkan kalau engkau mengingkari Al-Qur’an atau engkau membencinya.”

Al-Walid mengatakan, “Lalu apa yang harus saya katakan? Demi Allah tidak ada di antara kalian orang yang lebih memahami syair Arab daripada aku. Tidak juga pengetahuan tentang rajaz dan qashidahnya, bahkan tentang syair jin yang mengungguli diriku. Tapi apa yang diucapkan Muhammad itu berbeda dengan itu semua. Demi Allah! Apa yang ia ucapkan itu serasa manis, nikmat merasuk jiwa. Bagian atasnya berbuah, sedang bagian bawahnya begitu subur. Perkataannya begitu tinggi dan tidak ada yang mengunggulinya, serta menghantam apa yang ada dibawahnya.”

Baca Juga: Menghamba Separuh Jiwa

Abu Jahal terus mendesak al-Walid dan berkata, “Kaummu tidak akan ridha kepadamu sampai engkau mengatakan sesuatu yang buruk tentang al-Qur’an itu.” Pintu inilah, kekhawatiran jatuh di mata kaumnya hingga ia mengingkari nurani dan pengetahuannya sendiri, hingga dia mengatakan bahwa al-Qur’an itu adalah sihrun yu’tsar, sihir yang dipelajari.

Allah juga menantang semua jin dan  manusia dengan semua level kepandaiannya untuk yang membuat semisal al-Qur’an, dan Allah telah memvonis bahwa mereka tak akan mampu.Takkan ada yang semisal al-Qur’an, yang dijaga oleh Allah otentitasnya,

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Alquran, dan Sesungguhnya Kami pula yang benar-benar memeliharanya.” (QS. al-Hijr: 9)

Bacaan mana pula yang bernilai pahala perhuruf bagi pembacanya; satu kebaikan yang dilipatkan sepuluh kali. Lantunan manakah yang lebih indah daripada al-Qur’an? Yang ketika didengar takkan membuat bosan. Bahkan popularitasnya terus viral di sepanjang zaman.

Ilmu manakah yang lebih utama dari al-Qur’an? Ia menjelaskan segala sesuatu, tibyaanan likulli syai’in. Ilmu apapun yang bertentangan dengannya pasti salah, karena al-Qur’an adalah fiman Allah yang ilmunya meliputi segala sesuatu. Tak ada kesalahan sedikitpun di dalamnya. Sementara akal manusia terbatas, penelitian tak akan mencapai final dari keseluruhan ilmu pengetahuan, meskipun estafet itu bersambung dari zaman ke zaman. Dan jika ada klimks dari sebuah penelitian tertentu, hasilnya adalah bukti kebenaran al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman,

“Akan Kami perlihatkan secepatnya kepada mereka kelak, bukti-bukti kebenaran Kami di segenap penjuru dunia ini dan pada diri mereka sendiri, sampai terang kepada mereka, bahwa al-Quran ini suatu kebenaran.” (Q.S Fushshilat : 53)

Maka siapa yang ingin memiliki pengetahuan paling luas, hendaknya ia mempelajari al-Qur’an. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu menyatakan,

 

مَنْ أَرَادَ الْعِلْمَ فَلْيُثَوِّرِ الْقُرْآنَ فَإِنَّ فِيهِ عِلْمَ الْأَوَّلِينَ وَالْآخِرِينَ رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ فِي الْمَدْخَلِ وَقَالَ: أَرَادَ بِهِ أُصُولَ الْعِلْمِ

“Barangsiapa yang menginginkan ilmu (yang bermanfaat), maka hendaklah ia mendalami Al-Qur`an, karena di dalamnya terdapat ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang sekarang dan akan datang” (Diriwayatkan Al-Baihaqi)

Maka beruntunglah adalah yang mengambil bagian paling dari al-Qur’an; membacanya,  menghafalnya, mengamalkannya, mengajarkannya dan mendakwahkannya. Semoga Allah menjadikan kita sebagai ahlul Qur’an, aamiin.

 

Oleh: Abu Umar Abdillah/Tadabbur

 


Belum baca Majalah islam ar-risalah edisi terbaru? Segera hubungi agen terdekat kami di kota Anda, atau hubungi pemasaran kami di: 0852 2950 8085