Taubat Adalah Obat yang Khasiatnya Bertingkat-tingkat

Dari Anas bin Malik –radhiyallahu ‘anhu– ia berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda, “Sungguh Allah lebih bahagia dengan taubat seorang hamba ketika dia bertaubat dari (bahagianya) seorang diantara kalian, yang suatu saat mengendarai hewan tunggangannya di padang pasir yang luas. Tiba-tiba hewan tunggangannya itu hilang darinya. Padahal disana ada perbekalan makan dan minumannya. Hingga ia putus asa. Lalu ia menghampiri sebuah pohon dan berbaring di bawah naungannya. Sungguh ia telah putus asa dapat kembali menemukan hewan tunggangannya. Kemudian dalam kondisi seperti itu, tiba-tiba hewan tunggangan itu sudah berada di sisinya. Maka ia segera meraih tali kekangnya seraya berkata karena sangat bahagianya, “Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah tuhan-Mu.” Ia keliru bicara karena saking bahagia. (HR. Bukhari dan Muslim)

Allah menegaskan kecintaannya kepada para hamba-Nya yang bertaubat dalam firman-Nya,

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-baqarah: 222)

Karena kecintaan-Nya maka Allah mengampuni seluruh dosa yang telah lalu. Pun begitu, taubat adalah obat bagi dosa. Khasiatnya bertingkat-tingkat sesuai kondisi.

Ada obat yang tidak menyembuhkan, baik karena obatnya yang abal-abal atau tidak sesuai dengan penyakit yang diderita. Begitupun dengan taubat yang tidak diterima, karena taubatnya abal-abal atau pura-pura. Memohon ampunan namun tak ada sesal dan tak pula berhenti mengerjakannya. Atau seseorang yang bertaubat setelah nyawa di tenggorokan.

Ada pula obat yang hanya mengurangi penyakit. Seperti orang yang berobat, namun tidak konsisten dengan seluruh aturan pengobatan. Berobat tapi masih juga mengkonsumsi sebagian pantangan.

Seperti orang yang bertaubat, atau bahkan masuk Islam dari kekafiran, namun tidak seluruh dosa-dosa dia tinggalkan.

Baca Juga: Dua Ayat Penyebab Taubat Seorang Begal

Seseorang bertanya kepada Nabi ﷺ, “Wahai Rasulullah! Apakah kami akan dihukum karena perbuatan yang telah kami lakukan semasa Jahiliyah?” Beliau ﷺ menjawab:

أَمَّا مَنْ أَحْسَنَ مِنْكُمْ فِي الْإِسْلَامِ فَلَا يُؤَاخَذُ بِهَا وَمَنْ أَسَاءَ أُخِذَ بِعَمَلِهِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَالْإِسْلَامِ

“Barangsiapa di antara kamu yang berbuat baik setelah Islam, maka dia tidak akan dikenakan hukuman karena perbuatannya di masa Jahiliyah. Tetapi barangsiapa yang berbuat kejahatan, maka dia akan dihukum karena perbuatannya di masa Jahiliyah maupun Islam.” (HR. Muslim)

Adapun tingkatan berikutnya adalah taubat yang mampu menghapus seluruh dosa yang telah lalu. Ini seperti obat yang menyembuhkan secara total. Karena obatnya mencocoki dan dikonsumsi dengan dosis yang pas.

Yakni taubat yang memenuhi syarat-syaratnya; berhenti dari dosa, menyesal atas dosanya, bertekad untuk tidak mengulanginya, beristighfar kepada Allah dan mengembalikan hak sesama jika berhubungan dengan manusia. Itulah syarat taubat yang dijelaskan para ulama yang disimpulkan dari nash-nash yang ada.

[bs-quote quote=”Yakni taubat yang memenuhi syarat-syaratnya; berhenti dari dosa, menyesal atas dosanya, bertekad untuk tidak mengulanginya, beristighfar kepada Allah dan mengembalikan hak sesama jika berhubungan dengan manusia. Itulah syarat taubat yang dijelaskan para ulama yang disimpulkan dari nash-nash yang ada.” style=”style-4″ align=”left” color=”#1e73be”][/bs-quote]

Ini adalah bentuk kecintaan Allah kepada hamba-Nya. Allah menganggap orang yang bertaubat itu seperti orang yang tidak pernah melakukan dosa. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ,
“Orang yang telah bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak punya dosa.” [HR. Ibnu Majah]

Lalu apakah kemudian hitungan bagi orang yang bertaubat dimulai dari nol?

Amru bin Ash radhiyallahu anhu bercerita, “Pada saat Allah menganugerahkan hidayah Islam di hatiku, aku mendatangi Rasulullah ﷺ.

Aku mengatakan, ‘ulurkanlah tangan Anda, aku ingun membaiat Anda (masuk Islam). Rasulullah pun mengulurkan tangan kanannya kepadaku. Lalu mendadak kutahan tanganku hingga Rasulullah bertanya, ‘Ada apa wahai Amru?”

Kujawab, “Saya ingin mengajukan syarat.” Rasulullah ﷺ bertanya, “Syarat apa yang kamu minta?” Aku menjawab, “Agar dosa-dosaku diampuni.”

Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Tidakkah engkau tahu, bahwa keislaman menghapuskan dosa-dosa sebelumnya? Demikian juga hijrah menghapus kesalahan-kesalahan yang telah lalu?” (HR. Muslim)

Namun tidak cukup di sini anugerah Allah bagi orang yang bertaubat. Bisa jadi seseorang yang bertaubat telah memiliki berbagai jenis kebaikan yang pernah ia lakukan. Sehingga seorang berandai jika berbuat baik di masa lalu itu bisa bernilai sebagai amal yang dikakukan di masa Islam atau setelah taubatnya.

Ini seperti yang dirasakan oleh Hakim bin Hizam, keponakan Sayyidah Khadijah radhiyallahu anha. Meski dekat dengan Nabi sejak kecilnya, dan dikenal baik perilakunya, namun 20 tahun setelah kenabian beliau baru menyatakan keislamannya. Ia pun gelisah dan menyesal kenapa tertinggal. Hingga beliau bertanya perihal kebaikan-kebaikannya di masa jahiliyah dahulu, adakah pahala baginya. Rasulullah ﷺ bersabda,

“Keislamanmu turut mengislamkan pula kebaikan yang telah engkau lakukan (sebelumnya).” (HR. Bukhari)

Artinya bahwa taubat seperti ini tak hanya menjadikan seseorang memulai dari nol dosa, namun langsung membawa poin pahala atas suatu kebaikan yang pernah dilakukan sebelum taubatnya. Siapa lagi yang lebih pemurah daripada Allah.

Baca Juga: Taubat Yang Batal & Hijrah Yang Gagal

Masih ada lagi taubat yang membawa khasiat lebih dahsyat, seperti obat yang tak hanya menyembuhkan dari penyakit, namun juga memperbaiki stamina dan imunitas setelah sembuh dari sakitnya.

Ada taubat yang mengubah keburukan dan dosa di masa lalu menjadi kebaikan dan pahala. Sesuatu yang diawal masuk ditimbangan keburukan, dipindah posisinya ke timbangan kebaikan, Allahu Akbar. Siapa mereka? Allah berfirman,

“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan.” (QS. Al-Furqan: 70)

 Mereka tidak hanya berhenti dari dosa lalu berdiam, akan tetapi dia menggantikan aktivitas keburukan dengan perilaku kebaikan. Sehingga ia mendapatkan pahala kebaikan sekaligus memindah posisi keburukan di masa lalu menjadi kebaikan yang berpahala. Wallahu a’lam bishawab.

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Motivasi

Khutbah Jumat: Belum Datangkah Saat Untuk Bertaubat?

Khutbah Jumat:

Belumkah Datangkah
Saat Bertaubat?

Oleh: Majalah ar-risalah

 

الْحَمْدُ للهِ الغَفُورِ التَّوَّابِ، يَقْبَلُ التَّوبَةَ مِمَّنْ تَابَ إِلَيْهِ وَأَنَابَ، أَحْمَدُهُ تَعَالَى بِمَا هُوَ لَهُ أَهلٌ مِنَ الحَمْدِ وَأُثْنِي عَلَيْهِ، وَأَستَغْفِرُهُ مِنْ جَمِيعِ الذُّنُوبِ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضلِلْ فَلا هَادِيَ لَهُ،

وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، دَعَا عِبَادَهُ إِلَى الإِنَابَةِ إِلَيْهِ وَالمَتَابِ، وَوَعَدَهُمْ عَلَى ذَلِكَ رِضْوَانَهُ وَحُسْنَ مَآبٍ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، كَانَ يَتُوبُ إِلَى اللهِ تَعَالَى وَيَستَغْفِرُهُ بِلا عَدٍّ وَلا حِسَابٍ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ، وَعَلَى كُلِّ مَنِ اتَّبَعَهُ وَسَارَ عَلَى نَهْجِهِ وَدَعَا بِدَعْوَتِهِ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ

أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ تَعاَلَى ، وَصِيَّةُ اللهِ لَكُمْ وَلِلأَوَّلِيْنَ. قَالَ تَعَالَى: ( وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُواْ اللَّهَ وَإِن تَكْفُرُواْ فَإِنَّ للَّهِ مَا فِى السَّمَاواتِ وَمَا فِى الأرْضِ وَكَانَ اللَّهُ غَنِيّاً حَمِيداً) (النساء:113)1 

 

Jama’ah jum’at rahimakumullah

Menjadi kewajiban kita untuk senantiasa bersyukur kepada Allah, atas segala limpahan dan karunia yang tak terhingga. Sungguh, kenikmatan itu datang karena syukur, dan syukur itu akan mengundang hadirnya tambahan nikmat. Tambahan karunia dari Allah tak akan berhenti, kecuali jika hamba itu menghentikan syukurnya. Di antara ulama mengartikan syukur dengan tarkul ma’aashi, meninggalkan maksiat. Maka barangsiapa yang bermaksiat kepada Allah, maka dia telah menanggalkan syukurnya kepada Allah, sesuai dengan tingkat dosa yang dilakukannya. Namun, dengan kasih sayang Allah atas hamba-Nya, Dia memberikan kesempatan kepada setaip orang yang berdosa untuk bertaubat. Taubat yang sempurna tak hanya menghapus dosa, bahkan bisa jadi keadaan orang yang bertaubat lebih baik dari keadaannya sebelum berbuat dosa.

Jamaah jumat rahimakumullah

Imam adz-Dzahabi menyebutkan dalam Siyar A’lam An-Nubala dari jalan Al-Fadhl bin Musa, beliau berkata, “Adalah Al-Fudhail bin ‘Iyadh dulunya seorang penyamun yang menghadang orang-orang di daerah antara Abu Warda dan Sirjis. Dan sebab taubat beliau adalah karena beliau pernah terpikat dengan seorang wanita, maka tatkala beliau tengah memanjat tembok guna melampiaskan hasratnya terhadap wanita tersebut, tiba-tiba saja beliau mendengar seseorang membaca ayat,

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِيْنَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوْبُهُمْ لِذِكْرِ اللهِ وَماَ نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلاَ يَكُوْنُوا كَالَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتاَبَ مِنْ قَبْلُ فَطاَلَ عَلَيْهِمُ اْلأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوْبُهُمْ وَكَثِيْرٌ مِنْهُمْ فاَسِقُوْنَ

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka guna mengingat Allah serta tunduk kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka) dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah turun Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras, dan mayoritas mereka adalah orang-orang yang fasiq.” (QS. al-Hadid: 16).

Tatkala mendengarnya, tubuh beliau gemetar dan berkata, “Tentu saja wahai Rabbku. Sungguh telah tiba saatku (untuk bertaubat).” Maka beliaupun kembali, dan pada malam itu ketika beliau tengah berlindung di balik reruntuhan bangunan, tiba-tiba saja di sana ada sekelompok orang yang sedang lewat. Sebagian mereka berkata, “Kita jalan terus!,” dan sebagian yang lain berkata, “Kita jalan terus sampai pagi, karena biasanya Al-Fudhail menghadang kita di jalan ini.” Fudhail menceritakan, “Kemudian aku merenung dan bergumam, “Aku menjalani kemaksiatan-kemaksiatan di malam hari dan sebagian dari kaum muslimin ketakutan kepadaku, dan tidaklah Allah menggiringku kepada mereka ini melainkan agar aku berhenti (dari kemaksiatan ini). Ya Allah, sungguh aku telah bertaubat kepada-Mu dan aku jadikan taubatku itu dengan tinggal di Baitul Haram.”

Ayat itulah yang menyadarkan seorang Fudhail bin ‘Iyadh dari kelalaian yang panjang. Hingga akhirnya beliau menjadi ulama senior di kalangan tabi’in, sekaligus dikenal sebagai ahli ibadah yang zuhud. Ayat itu pula yang menyadarkan Malik bin Dinar rahimahulah yang pada gilirannya beliau menjadi ulama terkemuka di zamannya.

Hadirin jamaah jumat rahimakumullah

Ayat ini menjadi teguran yang halus, sekaligus ‘menohok’ terhadap orang-orang yang telah menyatakan dirinya beriman. Halus, karena Allah menyentuh dengan sapaan “orang-orang yang beriman”, bukan orang-orang yang durhaka. Menohok, karena setiap orang yang merasa dirinya beriman pastilah terhenyak ketika menghayati ayat ini. Karena mereka akan menyadari, betapa tidak layaknya seseorang yang disifati sebagai orang beriman, namun hati dan perbuatannya tidak mencerminkan sebagai orang beriman. Yang terkadang masih menyepelekan dosa-dosa, menomorduakan perintah Allah dan rasul-Nya dan ditambah lagi merasa enjoy untuk berlama-lama dengan kondisi seperti itu.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ الْمُؤْمِنُ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ فِي أَصْلِ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ مِثْلَ ذُبَابٍ مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ فَذَبَّ عَنْهُ

“Sesungguhnya seorang muslim membayangkan dosa-dosanya seperti duduk di kaki gunung dan ia takut tertimpa olehnya. Sedangkan seorang yang fajir menganggap dosanya seperti lalat yang hinggap dihidungnya, lalu dikibasnya.” (HR. Tirmidzi)

Janganlah kita membatasi obyek seruan ayat ini hanya kepada orang yang mengaku Islam namun masih menjadi penjahat, pemabuk atau pezina. Atau seakan-akan kita telah bebas dari teguran ini.

Para sahabat yang demikian taat menganggap bahwa ayat ini sebagai teguran untuk mereka. Abdullah bin Mas’ud berkata, “Jarak antara keislaman kami dengan teguran Allah pada ayat ini adalah 4 tahun.” Sementara Abdullah bin Abbas mengatakan, “Sesungguhnya Allah menganggap lambat hati orang-orang dalam merespon (ayat-ayat-Nya), lalu Allah menegur mereka setelah 13 tahun sejak diturunkan ayat!”, yakni teguran dengan ayat ini.

Jika demikian, tentulah kita lebih layak menjadi obyek dari teguran Allah dalam ayat ini. Memang kita telah banyak mendengar ayat-ayat Allah dibacakan, juga membaca dan mempelajarinya, alhamdulillah. Namun jujur, kadang hati dan jasad belum juga khusyuk. Hati belum fokus dan konsen terhadap peringatan dari Allah, jasadpun belum menunjukkan ketundukan dan kepasrahan terhadap perintah dan larangan-Nya.

Berapa kali kita membaca dan mendengar ayat-ayat perintah, tapi seberapa persenkah yang telah kita lakukan? Dan segigih apakah kita dalam menjalankan?

Ayat-ayat dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang larangan, sering pula mampir di telinga. Ancaman bagi setiap pelaku dosa juga kerap kita baca. Namun seberapakah efek peringatan itu terhadap hati dan tindakan kita? Seakan masih menunggu waktu, atau merasa masih panjang waktu kita bersenang-senang. Seolah kita tahu berapa jatah umur kita hidup dunia, lalu dengan pedenya merencanakan untuk menyisihkan saat taubat itu beberapa saat saja di ujung usia.

Kita lupa, bahwa angan-angan manusia itu melampaui batas ajalnya. Kematian bisa saja datang sebelum kita menyelesaikan separuh atau bahkan seperempat dari rencana ‘goal setting’ yang kita buat. Bagaimana lancangnya kita jika meletakkan target bertaubat itu di ujung usia kita, padahal kita buta, kapan hari ketetapan ajal itu tiba.

Hadirin jamaah jumat rahimakumullah

Membaca ayat ini, mestinya kita tersadar, Allah masih memberi kesempatan kita untuk bertaubat, dan menyuruh kita bersegera kembali kepada-Nya setelah sekian lama teledor dan lalai. Dan kita tidak tahu, seberapa lama lagi Allah masih memberi kesempatan dan menunggu kita untuk memperbaiki diri.

Tak ada pilihan lain, kita harus menyudahi segala bentuk kemaksiatan kepada Allah sekarang juga, baik dosa yang tersembunyi, maupun yang terang-terangan. Sebelum satu dari dua keburukan menimpa kita. Apakah ajal yang datang sebelum sempat bertaubat, ataukah kerasnya hati lantaran tak sudi menggunakan peluang yang panjang untuk berbenah diri.

Sementara setan terus menghembuskan bisikan yang memabukkan, tapi berdampak mematikan. Bisikan itu adalah ‘taswif’, bujukan untuk menunda kebaikan dan taubat dengan kalimat beracun, “nanti!” Dihembuskannya bisikan itu setiap kali tercetus hasrat di hati seorang hamba untuk bertaubat dan memperbaiki diri. Karena itulah, Ibnul Qayyim al-Jauziyah mengatakan, “innat taswif min junuudi iblis”, sesungguhnya taswif (mengatakan ‘nanti” untuk kebaikan) adalah satu di antara tentara Iblis.”

Sebelum semua itu terjadi, sekarang juga kita pasrah di hadapan Allah, “Wahai Rabb kami, sesungguhnya kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.”

 

أقُولُ قَوْلي هَذَا وَأسْتغْفِرُ اللهَ العَظِيمَ لي وَلَكُمْ، فَاسْتغْفِرُوهُ يَغْفِرْ لَكُمْ إِنهُ هُوَ الغَفُورُ الرَّحِيمُ،  وَادْعُوهُ يَسْتجِبْ لَكُمْ إِنهُ هُوَ البَرُّ الكَرِيْمُ

 

Khutbah Kedua

الْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِينَ، فَتَحَ بَابَ تَوْبَتِهِ لِلتَّائِبِينَ، وَأَسْبَلَ سِتْرَهُ عَلَى العَاصِينَ، وَنَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَلِيُّ الصَّالِحِينَ، وَنَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ إِمَامُ الأَنبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِينَ، وَأَفْضَلُ المُخْبِتِينَ التَّائِبِينَ، صَلَوَاتُ اللهِ وَسَلاَمُهُ عَلَيْهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَالتَّابِعِينَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ.

هَذَا وَصَلُّوْا وَسَلِّمُوْا عَلَى إِمَامِ الْمُرْسَلِيْن، فَقَدْ أَمَرَكُمُ اللهُ تَعَالَى بِالصَّلاَةِ وَالسَّلاَمِ عَلَيْهِ فِي مُحْكَمِ كِتَابِهِ حَيْثُ قَالَ عَزَّ قَائِلاً عَلِيْمًا

(( إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا))

اللَّهُمَّ صَلِّ وسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ وسَلّمْتَ عَلَى سَيِّدِنا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنا إِبْرَاهِيْمَ، وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنا إِبْرَاهِيْمَ، فِي العَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدُّعَاءِ

رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الخَاسِرِيْنَ

رَبَّنَا لا تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا، وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً، إِنَّكَ أَنْتَ الوَهَّابُ

اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَوَحِّدِ اللَّهُمَّ صُفُوْفَهُمْ، وَأَجْمِعْ كَلِمَتَهُمْ عَلَى الحَقِّ، وَاكْسِرْ شَوْكَةَ الظَّالِمِينَ، وَاكْتُبِ السَّلاَمَ وَالأَمْنَ لِعِبادِكَ أَجْمَعِينَ

رَبَّنَا آتِنَا في الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

  : عِبَادَ اللهِ

 إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي القُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ .وَ أَقِمِ الصَّلاَةَ إِنَّ الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَ الْمُنْكَرِ وَ لَذِكْرَ اللهِ أَكْبَرُ وَ اللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ

 

Taubatnya Si Lelaki Tua

Suatu kali, Umar keluar dari rumahnya bersama Abdullah bin Mas’ud. Tiba-tiba beliau melihat cahaya api. Beliau mendekati arah api itu hingga memasuki suatu kampung. Ternyata, cahaya itu bersumber dari sebuah rumah. Ia mendatangi tempat itu dan ia mendapati ada lelaki tua sedang minum khamer dan di sebelahnya ada wanita penyanyi. Ia tidak sadar sampai Umar menghardiknya. Umar berkata, “Aku tidak melihat malam hari ini pemandangan yang lebih buruk dari seorang lelaki tua yang sedang menunggu saat kematiannya.”

Lelaki tua itu mengangkat kepalanya dan berkata, “Wahai Aminul Mukminin, sesungguhnya apa yang engkau lakukan terhadapku lebih buruk lagi. Karena engkau melakukan tajassus (menyelidiki/memata-matai kesalahan orang lain), padahal tajassus itu dilarang. Dan engkau masuk ke dalam rumahku juga tanpa ijin. “Benar apa yang kau katakan, ” kata Umar.

Baca Juga: Janda empat Syuhada’

Kemudian Umar keluar sambil menangis dan mengusapnya dengan bajunya, lalu bergumam, “Wahai Umar, celakalah dirimu, jika Rabbmu tidak memberi ampun kepadamu.”

Lelaki tua itu tidak hadir di majelis Umar untuk sementara waktu. Sampai pada suatu kali, ketika Umar duduk di antara kawan-kawannya, ia melihat lelaki tua itu menyembunyikan dirinya di ujung majelis.

“Panggillah kemari lelaki tua itu,” kata Umar. Lelaki tua itu mendatangi Umar dengan perasaan takut karena mengira Umar akan menghukum karena telah melihatnya bersalah. Lelaki itu dipersilahkan mendekat di sisi Umar, kemudian Umar membisiki telinganya, “Demi Yang mengutus Muhammad dengan benar, aku tidak memberitahu kepada siapapun tentang perbuatanmu yang aku lihat, meskipun kepada Ibnu Mas’ud yang datang bersamaku pada waktu itu.”

Gantian lelaki tua mendekatkan mulutnya ke telinga Umar dan berbisik, “Wahai Amirul Mukminin, demi yang mengutus Muhammad dengan benar, sejak kedatanganmu kepadaku waktu itu, aku tidak mengulangi lagi kesalahanku.”

Maka Umar mengucapkan kalimat takbir dengan keras, sehingga membuat orang-orang yang berada di majelis itu terkejut, tetapi mereka tidak mengetahui apa yang menyebabkan Umat bertakbir. (Redaksi/Kisah/Salaf

 

Tema Terkait: Kisah Islami, Salafus Shalih, Umar RA

 

Dosa Itu Kini Tumbuh Besar

Sebagai manusia, kita terkesan biasa melihat hal-hal kecil dan remeh dalam hidup kita. Kita tidak terlalu memikirkan apalagi mengkaji hal tersebut, karena pikiran kita mengenai hal tersebut adalah hal yang tidak penting dan tidak tidak memberi keuntungan. Begitu juga sebagian kaum muslimin memandang remeh perkara dosa kecil.

Abu Hamid al-Ghazali mengungkapkan, “Dosa adalah ungkapan untuk segala pelanggaran terhadap perintah Allah denga berbuat jahat dan meninggalkan yang wajib.” Adapun dosa kecil menurut para Ulama adalah : “Dosa yang tidak sampai pada ukuran dosa besar yang terkecil atau dosa yang pelakunya tidak dikenakan Hadd (Hukuman dunia) atau wa’id (ancaman siksa akhirat).”

Namun jangan pernah meremehkan dosa-dosa kecil. Dosa kecil yang luput dari perhatian kita, akan tumbuh terakumulasi menjadi dosa besar. Faktor-faktor penyebabnya adalah,

 

1.Apabila dilakukan dengan konsisten dan terus-menerus. Oleh sebab itu para ulama sepakat, “Tidak ada namanya dosa kecil apabiladilakukan dengan terus-menerus. Dan tidak ada namanya disa besar bila diiringi dengan taubat.”

 

2.Ada unsur meremehkan. Sesungguhnya perbuatan dosa itu apabila dianggap berat oleh hamba, akan menjadikannya kecil di sisi Allah. namun sebaliknya, apabila diremehkan ia akan menjadi besar di sisi Allah. karena anggapan sebuah dosa sebagai dosa yang besar berpangkal dari hati yang benci kepadanya dan berupaya menghindarinya.

 

3.Apabila seorang hamba merasa senang melakukannya. Jika rasa senang telah mendominasi pada diri seseorang, maka menjadi besarlah dosa itu dan besar pula pengaruhnya untuk menghitamkan hati. Sesungguhnya dosa-dosa itu membinasakan. Apabila seorang hamba terjerumus pada semua bentuk dosa dan pelanggaran, setan berhasil menggiringnya ke arah lembah hitam. Hendaklah ia segera sadar bahwa dirinya telah dikalahkan setan dan dirinya semakin jauh dari Allah.

 

4.Apabila dosa dilakukan terang-terangan. Yaitu jika seseorang menyebut dan menceritakan kepada orang banyak tentang perbuatan dosa atau kemaksiatan yang ia perbuat. Dampak perbuatan ini adalah menimbulkan dan mengundang hasrat orang lain yang mendengarnya, sehingga tertarik untuk untuk menirunya. Jadilah dua macam dosa terkumpul menjadi satu yang konsekwensinya pun lebih berat.

 

“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh berbuat yang mungkar dan melarang berbuat yang makruf. (QS. at-Taubah: 67).

Sebagian Ulama salaf berpendapat: Tidak pernah seorang hamba itu melanggar kehormatan seseorang paling besar daripada menolong saudaranya melakukan maksiat dan memudahkan jalan maksiat kepadanya.

Taubat Dan Perbaiki Adab

Ruwaim bin Ahmad al Baghdadi berkata kepada putranya, “Anakku buatlah amalanmu menjadi seperti garam dan adabmu seperti tepung. Artinya, perbanyaklah melakukan adab sampai ukurannya di dalam perilakumu seperti ukuran tepung dengan garam yang ditaburkan di atasnya. Banyak adab dengan sedikit amal shaleh masih lebih baik dari pada banyak amal shaleh dengan sedikit adab.” (disebutkan Imam Al Qarafi dalam kitabnya al Faruq 3/96)

Banyak amal shaleh dan sedikit adab bisa membuat orang bangkrut di akhirat, ujungnya dilemparkan ke dalam neraka, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menyebutnya dengan al muflis :

أَتَدْرُونَ مَاالْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ

“Apakah kalian tahu siapa orang yang bangkrut itu?” Para sahabat menjawab, “orang yang bangrut itu adalah yang tidak mempunyai harta maupun fasilitas hidup.” Tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Orang yang bangkrut dari umatku ialah, orang yang datang pada hari Kiamat membawa (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun (ketika di dunia) dia telah mencaci dan (salah) menuduh orang lain, makan harta, menumpahkan darah dan memukul orang lain (tanpa hak). Maka orang-orang itu akan diberi pahala dari kebaikan-kebaikannya. Jika telah habis kebaikan-kebaikannya, maka dosa-dosa mereka akan ditimpakan kepadanya, kemudian dia akan dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim)

Sepertinya berilmu, namanya diapit dengan gelaran ilmu akan tetapi adab dan sikapnya tidak menunjukkan ilmunya. Apa yang salah?, begitulah kalau makanan yang tampak dilihat lezat mengundang selera, tapi ketika dicicipi asinnya bukan main. Ya..garamnya lebih banyak dari tepungnya.

Mementingkan ilmu dunia ketimbang ilmu syar’ie dalam pendidikan tentu bukan urutan yang benar, begitu juga mengakhirkan adab dalam menuntut ilmu syar’ie juga mengakibatkan tidak mendapat keberkahan ilmu, tidak mendapatkan kemanfaatan ilmu yang dicarinya.

Baca juga : Demi Uang Logika Dibuang

Sebelum mencari ilmu syar’I seorang penuntut ilmu harus memulai dengan belajar adab menuntut ilmu, bila ia tidak memenuhinya maka ia pergi ke barat dan ilmu yang dicarinya pergi ke timur, sebagaimana pepatah arab mengatakan, saarat musyarriqatan wa sirtu mugharriban, syattaana baina musyarriqin wa mugharribin. Dia pergi berjalan menuju timur dan aku menuju barat, sungguh jauh sekali antara timur dan barat. Tidak akan ketemu (tidak mendapatkan kemanfaatan ilmu) bila ia tidak memenuhi dirinya dengan adab, meski sudah dihapal ilmunya,  ilmu nya menuju timur dan ia menuju barat, sungguh semakin jauh dan tidak akan bertemu.

Termasuk diantara adab yang dimiliki penuntut ilmu adalah memuliakan ulama. Imam al Ghazali rahimahullah menyebutkan perkataan Yahya bin Muadz tentang keutamaan para ulama, “Para ulama lebih sayang kepada umat Muhammad dibandingkan bapak dan ibu mereka sendiri. Bagaimana itu bisa terjadi?, karena bapak dan ibu menjaga mereka dari neraka dunia, sedangkan para ulama menjaga mereka dari neraka akhirat.”

Rasul bersabda, “Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati orang yang lebih tua, sayang kepada yang lebih muda dan mengenali hak ulama.” (HR. Ahmad dan Hakim)

Meninggikan suara dan melotot kepada orang yang lebih tua bukanlah perangai seorang penuntut ilmu, bahkan mengatakan ulama tidak mengetahui ilmu tafsir alqur’an termasuk celaan terhadap ulama, lebih parah lagi menggunakan metode tafsir orang kafir (hermeneutics) dalam menafsiri alQur’an  dan menjadi pendukung dan membela orang kafir yang jelas menodai ulama dan menghina alQur’an. Subhanallah!!

Ibnu Abbas, sebagai ulama sahabat telah berhasil mengeluarkan dua ribu orang dari kesesatan khawarij, dalam pendahuluannya beliau berkata, “ Aku datang mewakili para sahabat Nabi dari kaum Muhajirin dan Anshar dan mewakili anak dari paman Nabi (Ali bin Abi Thalib). Merekalah yang membersamai Nabi, Alqur’an diturunkan di tengah tengah mereka, dan merekalah yang paling memahami makna alqur’an, dan tidak ada salah seorang pun dari kalian yang termasuk sahabat. Akan aku sampaikan perkataan mereka yang lebih benar dari perkataan kalian..” (HR. An Nasai, dalam kitab Khashais Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thalib)

Alhamdulillah ilmu dari sahabat mulia Ibnu Abbas diturunkan kepada muridnya dan begitu seterusnya sampai diwarisi ulama kita hari ini. Yang benar adalah yang merujuk tafsirnya kepada pemahaman sabahat, dan yang salah sekaligus menyesatkan adalah yang merujuk kepada tafsiran hermenutik.

Membela orang kafir karena tuntutan partai bukanlah alasan yang bisa dibenarkan dalam islam, begitu pula mengangkat pemimpin kafir telah jelas keharamannya dalam syariat Muhammad shalallallahu’alaihi wasallam. Membela orang kafir yang bersalah dengan menghina ulama dan melecehkan alQur’an merupakan peninggalan jahiliyah, ta’asub atau fanatik buta.

Dipertanyakan kepada siapa loyalitasnya diberikan? Kepada islam ataukah kepada kekafiran..taubat sebelum terlambat, perbaiki adab semoga mendapat ilmu yang bermanfaat.

Taubat Orang yang Berzina

Beberapa saat yang lalu, penulis mendapatkan pertanyaan via sms yang isinya:“Apakah pezina yang bertaubatharus dirajam dulu?Apakah taubat pezina yang belum dirajam diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala?”

Bila seorang muslim berzina, sebenarnya mempunyai dua keadaan:

Pertama : Pihak yang berwajib mengetahui perbuatannya. Baik melalui pelaporan empat orang saksi atau si pelaku melaporkan perbuatannya sendiri dan meminta hukum ditegakkan kepadanya. Dalam kasus seperti ini, pemerintah wajib menegakkan hukum had kepadanya.

Dalilnya adalah hadits kisah Ma’iz bin Malik al Aslami dan wanita Ghamidiyah, yang datang menemui Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengaku dirinya berzina dan ingin dibersihkan dari dosa tersebut, kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam merajam keduanya. (HR. Muslim)

Ini dikuatkan dengan Hadist Zaid bin Aslam, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Barangsiapa memberitahukan perbuatan-nya kepada kami, maka akan kami tegakkan atasnya hukum Allah.”(Hadits Shahih Riwayat Malik dan Ahmad)

Kedua: Kejahatan tersebut belum diketahui oleh pihak berwajib.Jika pelaku ingin bertaubat, ia harus menyesali perbuatannya dan berjanji tidak mengulangi lagi. Lalu, memperbanyak amal shalih di sisa umurnya, itu saja.

Apakah hukuman baginya menjadi gugur setelah bertaubat?Para ulama berbeda pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa Hukum Hadharus tetap ditegakkan, meski sudah bertaubat. Ini adalah pendapat Hanafiyah, Malikiyah, Dhahiriyah dan salah satu pendapat Imam Syafi’i.

Adapun  dasarnya sebagai berikut:Pertama, firman Allah subhanahu wa ta’ala pada surat An-Nuur: 2 berlaku umum, tidak membedakan antara yang sudah bertaubat maupun belum.

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”(QS. An-Nur:2)

Kedua, Hadist Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menerapkan hukum rajam kepada orang yangmengaku berzina yang bertaubat.

“Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya perempuan itu telah benar-benar bertaubat, sekiranya taubat (seperti) itu dilakukan oleh seorang pelaku dosa besar niscaya dosanya akan diampuni.”Setelah itu beliau memerintahkan untuk menshalati jenazahnya dan menguburkannya.”(HR. Muslim)

Ketiga,Bahwa hukuman diterapkan kepada pelaku zina dengan tujuan untuk membersihkan dari dosa tersebut di dunia ini. Selama itu belum ditegakkan kepadanya, maka dia belum bersih dari dosa. Dan ini sekaligus sebagai bentuk kaffarah.

Pendapat Kedua:

Jika seseorang yang berzina telah bertaubat sebelum ditegakkan hukuman had kepadanya, dalam arti pemerintah belum mengetahui perbuatannya, maka hukuman tersebut menjadi gugur. Ini adalah pendapat Hanabilah dan sebagian Ulama Syafi’iyah.

Dalil-dalil mereka sebagai berikut:

Pertama: Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

“Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nisa’:16)

Ayat di atas secara tegas memerintahkan untuk berpaling dari orang  yang berzina, kemudian dia bertaubatdari perbuatannya. Perintah berpaling berarti tidak boleh menerapkan hukuman had atasnya.

Kedua: Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

“Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS. Al Maidah: 39)

Ayat di atas menunjukkan bahwa orang yang mencuri, kemudianbertaubat dan memperbaiki diri, maka Allahmenerima taubatnya, serta tidak dikenakan hukuman had kepadanya. Hal ini berlaku juga bagi  orang yang berzina dan bertaubat.

Ketiga: Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

“Kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS. Al Maidah: 34)

Para perampok dan pengacau keamanan yang mengancam nyawa dan harta masyarakat, jika mereka bertaubat sebelum ditangkap, tidak boleh diterapkan hukuman had kepada mereka. Jika demikian, tentunya kejahatan perzinaan yang tidak mengancam harta dan nyawa, lebih berhak untuk diterima taubat mereka tanpa harus diterapkan hukuman had.

Keempat:Orang yang telah bertaubat seakan-akan dia tidak melakukan perbuatan tersebut, dan taubat itu sendirimenghapus dosa-dosa sebelumnya, maka hukum had menjadi gugur dengan taubat tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam:

“Orang yang bertaubat dari dosanya sebagaimana orang yang tidak memiliki dosa.“(HR. Ibnu Majah dan Baihaqi. Hadist ini dihasankan Syekh Albani dalam Shohih Al Jami’, no. 3008 dan dalam  Shohih at-Targhib wa at-Tarhib, no. 314)

Pendapat Ketiga:

Taubat orang yang berzina diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan terbebas dari hukuman, karena perbuatan zina berhubungan dengan hak Allah. Kecuali jika pezina sendiri meminta diterapkan hukum had kepadanya untuk membersihkan dirinya.Ini pendapat Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayim.

Pendapat yang paling mendekati kebenaran adalah pendapat yang menyatakan bahwa pezina yang bertaubat, jika belum diketahui oleh pihak berwajib, taubatnya diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala.Secara otomatis hukuman hadnya menjadi gugur.

Apakah wajib melaporkan diri kepada pemerintah?

Tidak wajib baginya untuk melaporkan diri kepada pemerintah, dan tidak boleh menceritakan perbuatan maksiatnya itu kepada orang lain tanpa ada keperluan. Tetapi  justru dianjurkan untuk menutupi perbuatannya tersebut, jangan sampai seorangpun mengetahuinya.

Dalil-dalilnya sebagai berikut:

Pertama: Firman Allah subhanahu wa ta’ala setelah menjelaskan sejumlah dosa besar termasuk berzina:

“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang.  “(QS. Al Furqan: 70)

Kedua: Hadist Zaid bin Aslam, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Barangsiapa terjerumus pada perbuatan kotor ini maka hendaknya dia menutupinya dengan perlindungan Allah. Barangsiapa memberitahukan perbuatannya kepada kami, maka akan kami tegakkan atasnya hukum Allah.”(HR. Malik dan Ahmad. Shahih menurut Syaikh Albani).

Bagaimana sikap orang yang mengetahui perbuatan tersebut, apakah melaporkannya atau diam saja? Harus dirinci terlebih dahulu: jika orang itu bisa dinasehati secara empat mata, mau mendengar dan bertaubat, sebaiknya ditutupi aibnya dan tidak disebarluaskan. Dalilnya adalah hadist Abu hurairah radiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Barang siapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat“(HR. Muslim)

Wallahu A’lam, Cipayung, Jakarta Timur, 18 Shofar 1432 H / 24 Januari 2011 M

Agar yang Taubat kembali Maksiat

Dalam teori pemasaran dikenal istilah win back. Yaitu strategi mengembalikan pelanggan yang berhenti menjadi pelanggan karena suatu hal hingga tidak mau membeli lagi produk yang dipasarkan. Penyebabnya bisa karena kecewa terhadap kualitas produk, pelayanan dari produser atau ada produk lain yang lebih baik. Nah, win back adalah usaha persuasif untuk membujuk ‘mantan pelanggan’ ini agar mau menjadi pelanggan kembali. Caranya adalah dengan mencari faktor yang membuat pelanggan tidak membeli produk. Jika penyebabnya adalah kualitas, produser akan mencoba memperbaiki kualitas, jika karena pelayanan, produser berusaha meningkatkan pelayanan dan jika karena ketiadaan barang karena tersendatnya pengiriman (delivery), maka produser akan mencari cara untuk melancarkan distribusi. Usaha itu disertai  ‘hasutan-hasutan’ persuasif yang memotivasi si mantan pelanggan agar kembali mengenakan ID card kepelanggananya.

Dan rupanya, di dalam menjual produk-produk maksiatnya, ada kemiripan antara strategi setan dengan strategi marketing di atas. Kalau kita renungkan, tidak jarang setan  juga menggunakan teori win back; berusaha mengembalikan manusia yang bertaubat dan berhenti menjadi pelanggankemaksiatan agar kembali menjadi pelanggannya.

Caranya, harus dicari faktor primer dan sekunder dari taubatnya manusia. Faktor primer yang membuat manusia adalah sebuah kesadaran sepenuhnya bahwa produk setan berupa kemaksiatan adalah sesuatu yang buruk dan berbahaya. Faktor sekundernya bisa jadi karena produk kemaksiatan mahal dan sulit didapat dan konsekuensi yang berat.

Untuk lebih mudahnya kita aplikasiakn langsung pada sebuah contoh. Untuk mendapatkan win back dari mantan pelanggan produk kemaksiatan berupa penghasilan yang haram; korupsi, jual ganja atau jual aurat setan akan memanfaatkan dalil “kebaikan akan menghapus keburukan”. Manusia akan dihasung agar tidak perlu khawatir hingga harus bertaubat dari korupsi, asalkan sebagiannya diinfakkan kepada rakyat miskin, itu akan menghapus dosa korupsi. Minimal antara dosa dan pahalanya bisa seimbang. Persis seperti yang dilakukan tokoh dongeng Ali baba yang merampok orang-orang kaya untuk kemudian sebagian hasil rampokan diberikan kepada rakyat miskin. Untuk menambah daya tarik, manusia mantan koruptor ini juga akan dijanjikan jaringan korupsi yang lebih rapi. Kalaupun tertangkap, yang bakal tertangkap hanyalah mediator-mediator yang sudah siap untuk bungkam atau beraksi menyuap para penegak hukum agar jaringan aman. Kalau sudah begini siapa yang tidak tertarik?

Sedang bagi pelanggan produk riba, manusia-manusia yang sudah tidak mau lagi mengonsumsi produk haram ini akan diundang kembali untuk menjadi pelanggan. Caranya, dengan mengganti nama produk ribawi dengan nama-nama yang lebih islami. Sayangnya yang berubah hanya namanya saja, secara esensi akad-akad itu masih seperti yang dulu, tanaman uang yang berbunga riba. Dengan sedikit mengutak-atik sistem akad, manusia pun berhasil dikelabui.

Mantan preman akan dibujuk dengan iming-iming backingan kuat atau kedudukan yang menjanjikan dengan anak buah yang banyak. Peminum khamr, setan akan mengutus kawan-kawannya ‘semajelis’ dulu untuk membujuk dirinya agar kembali menikmati minuman yang tak jauh beda dengan bahan bakar itu. Bisa dengan cara yang halus atau sedikit kasar. Misalnya, saat si mantan peminum ini tertimpa masalah, kawan-kawannya akan berusaha membantu dan bersimpati. Konsekuensinya, ia akan merasa tidak enak hati dan jika suatu saat ditawari untuk menenggak lagi cairan laknat itu, hantinya akan sulit menolak karena merasa berhutang budi.

Sedang dosa-dosa yang lain seperti, setan akan memanfaatkan dalil luasnya ampunan Allah untuk mengundang mereka agar kembali menikmati produknya. Tak usah takut dosa, bukankah rasulullah bersabda, “

إِنَّاللَّهَعَزَّوَجَلَّيَبْسُطُيَدَهُبِاللَّيْلِلِيَتُوبَمُسِىءُالنَّهَارِوَيَبْسُطُيَدَهُبِالنَّهَارِلِيَتُوبَمُسِىءُاللَّيْلِحَتَّىتَطْلُعَالشَّمْسُمِنْمَغْرِبِهَا».

“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla membentangkan tangannya di malam hari untuk menerima tau bat para pendosa di siang hari, dan membentangkan tangan-Nya di siang hari untuk menerima taubat para pendosa di malam hari sampai matahari terbit dari barat.” (HR. Muslim)

Peluang win back memang selalu ada karena hati manusia sering berbolak balik. Kadang rajin kadang malas, kadang taat kadang maksiat. Yang paling ekstrim, hati manusia bisa berbolak balik dari iman menjadi kafir, iman lagi lalu kafir lagi. Seperti disebutkan dalam ayat:

Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman (pula), kemudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya, maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan yanglurus. (QS. An Nisa:137)

Sebenarnya, Allah juga memberikan peluang yang sama kepada manusia. Yaitu membuka pintu rahmat dan taubat agar manusia yang terjerumus mengonsumsi produk setan dapat kembali menjadi pelanggan ketaatan dan kebaikan. Hanya saja, pemaknanya bukan sebagaimana yang telah diplesetkan setan. Tapi, Allah membuka pintu taubat siang dan malam adalah sebagai rahmat bagi hamba yang beriman dengan syarat, taubatnya adlaah taubat nashuha. Taubat yang benar-benar dilandasi keinginan untuk berhenti mengonsumi produk maksiat. Bukan sebagai peluang agar manusia bisa bermain-main, meloncat-loncat dari garis ketaatan menyeberangi garis kemaksiatan sesuka hatinya, berulang kali.

Oleh karenanya kita tidak bisa merasa aman meskipun telah berhenti dan jauh dari kemaksiatan. Kewaspadaan terhadap tipuan setan yang bervariasi harus terus ditingkatkan. Wallahul musta’an. (T.anwar)