Sejarah Kemunculan Hadits Maudhu’

Selama umat Islam di bawah kepemimpinan Khulafaur arba’ah (4 khalifah pertama), hadits Nabi ﷺ senantiasa bersih, tidak ternoda kedustaan. Akan tetapi kondisi tersebut berubah tatkala umat Islam terpecah menjadi beberapa golongan. Setelah Khalifah Ali wafat, kelompok Syi’ah yang menuntut hak mereka untuk menduduki kursi khilafah. Selanjutnya muncullah kelompok-kelompok lain yang berbasis agama.

Setiap kelompok menopang argumentasinya dengan al-Quran dan as-Sunnah. Oleh karena itu, sebagian dari mereka berupaya menakwilkan al-Quran dan menafsirkan sebagian nash hadits dengan arti yang menyimpang. Namun, usaha mereka ini tidak membuahkan hasil karena keberadaan jumlah penghafal al-Quran dan para ulama dari kalangan sahabat dan murid-muridnya masih sangat banyak. Oleh karena itu, mereka berupaya mengubah dan memasukkan tambahan ke dalam as-Sunnah dan melakukan pemalsuan atas nama Rasulullah ﷺ .

Hadits-hadits palsu muncul bersamaan dengan munculnya berbagai macam kelompok itu. Para pemalsu membuat hadits itu untuk menyerang kelompok lainnya, dan sebaliknya kelompok tersebut juga membuat hadits palsu untuk membela diri. Demikian seterusnya, sehingga muncul sekumpulan hadits palsu yang berhasil diungkap oleh para ulama.

Baca Juga: Al-Quran dan Hadits: Dua Pedoman dalam Menyandarkan Agama Islam

Munculnya hadits palsu diperkirakan mulai tahun 41 H. Pada masa tabi’in (murid para shahabat) pemalsuan hadits lebih sedikit dibandingkan dengan pada masa tabi’ut tabi’in (murid tabi’in) karena masih banyak sahabat dan tabi’in yang mengamalkan as-Sunnah. Mereka dapat membedakan mana hadits yang shahih dan mana yang palsu.

 

Banyak Muncul di Irak

Dahulu, hadits-hadits maudhu’ banyak muncul di Irak, tempat munculnya sebagian besar pemberontakan. Irak dikenal dengan daerah pemalsu hadits sehingga dijuluki “Darul Dharb” (Rumah Percetakan). Penduduk Madinah sangat berhati-hati terhadap hadits yang bersumber dari Irak. Sehingga Imam Malik berkata:

“Perlakukanlah hadits-hadits yang bersumber dari penduduk Irak seperti berita-berita yang bersumber dari Ahlu Kitab, jangan engkau membenarkan dan jangan pula engkau mendustakannya.”

Hadits palsu atau hadits maudhu’ adalah hadits dengan tingkat kelemahan paling rendah. Di dalam ilmu hadits, bisa diterima atau tidaknya sebuah hadits, dilihat dari dua hal; matan atau lafadz haditsnya dan sanad atau jalur periwayatan. Hadits maudhu’ dikategorikan sebagai hadits mardud (tertolak) karena hadits tersebut cacat dari sisi jalur periwayatan.  Sebab salah seorang perawinya diketahui berdusta. Ia mengklaim ucapan seseorang sebagai hadits lalu menyebarluaskannya.

 

Sebab Munculnya Hadits Maudhu’

Ada beberapa faktor yang mendorong pemalsuan hadits:

Pertama, Fanatisme golongan

Dalam kitab Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abi al-Hadid berkata, “Pertama kali kedustaan dalam hadits tentang keutamaan (fadhilah), dilakukan oleh Syi’ah. Sejak pertama, mereka memalsukan hadits yang berbeda mengenai diri Ali. Pemalsuan hadits tersebut didorong rasa permusuhan terhadap para lawan. Ketika al-Bakriyah (pendukung Abu Bakar) melihat apa yang dilakukan syi’ah, mereka pun memalsukan hadits mengenai diri Abu Bakar sebagai tandingan hadits yang dibuat Syi’ah.

Syi’ah membuat banyak hadits dan mengubah sebagian hadits sesuai dengan keinginan mereka. Mereka memalsukan hadits-hadits tentang sisi positif Ali dan hadits yang menonjolkan sisi negatif Mu’awiyah dan para pendukung Bani Umayah. Mereka juga menjelek-jelekkan sahabat Abu Bakar, Umar dan sahabat lain.

Kedua, Usaha untuk Mendeskreditan Islam

Setelah kehadiran Islam, kekuasaan Kisra dan Kaisar roboh. Namun mereka tidak mampu untuk membalas dendam dengan pedang karena kekuasaan Islam telah sedemikian kokoh. Maka mereka berusaha menjauhkan kaum muslimin dari akidahnya dengan cara menciptakan kebatilan dan berdusta atas nama Rasulullah SAW. Hal itu mereka lakukan untuk menodai citra Islam. Sebagai contoh:

Diriwayatkan bahwa ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, terbuat dari apakah Tuhan kita? Rasulullah menjawab, ‘Dari air yang berlalu (tidak diam), tidak dari bumi dan tidak pula dari langit. Dia menciptakan seekor kuda kemudian menjalankan kuda itu maka berkeringatlah kuda itu. Kemudian dia menciptakan diri-Nya dari keringat kuda itu.”

Baca Juga: Hadits ‘Istiqlaaliyah’, Bolehkah Dijadikan Pegangan?

Mereka lebih membahayakan Islam daripada yang lain. Diantara mereka ada yang keterlaluan dalam mendustakan hadits, seperti al-Karim bin al-Auja’. Ia berkata, “Demi Allah sungguh aku membuat hadits-hadits untukmu sebanyak 4000 hadits. Dan hadits itu mengharamkan apa yang halal dan sebaliknya.”

Ketiga, Diskriminasi Etnis dan Fanatisme Kabilah, Negara dan Imam

Pada masa pemerintahannya, Dinasti Umayyah secara khusus mengandalkan etnis Arab, sebagian mereka bersikap fanatik terhadap kebangsaan Arab dan Bahasa Arab. Maka muncullah kelompok Mawalli (kaum muslimin non Arab), yang berupaya mewujudkan persamaan hak antara kaum muslimin non Arab dengan etnis Arab. Mereka memanfaatkan sebagian besar gerakan pemberontakan dengan cara bergabung ke dalamnya untuk mewujudkan keinginannya. Selain itu, mereka berupaya menandingi kebanggan etnis Arab. Inilah yang mendorong mereka memalsukan hadits-hadits yang isinya menjelaskan kelebihan-kelebihan mereka. Misalnya hadits:

“Sesungguhnya pembicaraan orang-orang yang berada di sekitar ‘Arsy adalah dengan bahasa Persia, dan sesungguhnya jika Allah mewahyukan sesuatu yang lunak (menggembirakan) maka Allah mewahyukan dengan bahasa Persia, dan jika Dia mewahyukan sesuatu yang berupa ancaman maka Dia mewahyukan dengan bahasa Arab.”

Selain hadits palsu yang berbicara tentang bahasa, etnis dan kabilah, hadits palsu juga dibuat tentang kelebihan negara atau imam tertentu.

Keempat, tendensi duniawi berupa popularitas dan usaha menjilat penguasa

Pada masa-masa akhir pemerintahan Khulafaur Rasyidin, muncul kelompok-kelompok pendongeng dan penasihat yang jumlahnya terus bertambah. Selanjutnya mereka berkembang ke masjid-masjid yang berada di dalam kekuasaan Islam. Para pendongeng ini membuat hadits palsu dengan tujuan untuk mendapatkan uang.

Ada pula yang menjilat para penguasa dengan membuat hadits yang dapat memuaskan mereka. Hal ini benar-benar terjadi pada masa Abbasiyah. Contohnya adalah, Ghiyats bin Ibrahim berdusta untuk Khalifah al-Mahdi dalam hadits, “Tidak ada perlombaan kecuali dengan permainan memanah, sepatu atau kuda.” Kemudian Ghiyats menambahkan, “ atau sayap”, ketika ia melihat al-Mahdi bermain-main dengan burung dara. Al-Mahdi kemudian menyuruh orang untuk menyembelih burung merpati tersebut dan memberikan kepada Ghiyats uang sebanyak 10.000 dirham. Dr. As-Siba’I berkata, “Khalifah dan gubernur pada masa itu bersikap lemah dan meremehkan efek dari pemalsuan hadits.”

Kelima, pemahaman yang keliru dari madzhab al Karramiyah

Madzhab sesat ini mengklaim bolehnya memalsukan hadits dalam rangka targhib dan tarhib, menghasung manusia berbuat baik dan menakut-nakuti mereka dari maksiat. Mereka berdalil dengan sebuah hadits shahih yang sudah dimodifikasi yang berbunyi, ” Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaknya ia mengambil tempat duduknya di neraka.” Dengan ditambahi lafadz ” secara sengaja untuk menyesatkan manusia.” Mereka berargumen, “kami berdusta untuk kebaikan beliau, bukan untuk menodai beliau.

 

Haram Meriwayatkannya

Hadits palsu adalah hadits yang sama sekali tak bisa dijadikan dalil. Bahkan menurut kesepakatan ulama, meriwayatkan hadits palsu adalah haram jika tidak disertai keterangan bahwa hadits tersebut maudhu’. Rasulullah SAW bersabda,

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّداً فَلْيِتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaknya ia mengambil tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari Muslim)

Kita bisa mengetahui hadits-hadits palsu tersebut dengan membaca keterangan para ulama atau buku-buku yang mereka akrang seperti: Kitab al Maudhu’at, karya Ibnul Jauzi atau al Laali’ al Mashnu’ah fiel Ahadits al Maudhu’ah karya Ibnu Iraq al Kinani.

Meski beberapa hadits sering kita dengar, kita harus memastikan terlebih dahulu keshahihannya sebelum menjadikannya dalil atau mengajarkannya. Sebab, ada beberapa hadits yang menurut ulama maudhu’ tapi sangat terkenal di tengah kita misalnya  “ hubbul wathan minal iman” (cinta tanah air sebagian dari iman), “al haya’ yamna’ur rizq” (malu menghalangi rezeki) seperti dijelaskan dalam kitab Maudhu’at ash Shaghani, karya ar Ridha ash Shaghani. Juga hadits ” raja’na minal jihadil ashghar ilal jihadil akbar qala jihadil qalbi” (kita pulang dari jihad kecil menuju jihad yang lebih esar, beliau berkata, ‘ Yaitu jihad hati.) yang menurut Ibnu Hajar adalah perkataan dari Ibrahim bin Ailah (dalam kitab Kasyful Khafa’, karya al Ajluni).

Wallahua’lam.

 

Oleh: Redaksi/Tsaqafah

Referensi: Taisir Mushthalahul Hadits, DR. Mahmud Thahhan. Maudhu’at ash Shaghani, karya ar Ridha ash Shaghani Kasyful Khafa’, karya al Ajluni, Tanzih asy-Syari’ah al-Marfu’ah, Muqaddimah al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Hajjaj,

 

 

Perbedaan Antara Khutbah Jumat dan Khutbah Ied

Pertanyaan:
Assalamualaikum warahmatullah, Ustadz, sekilas khutbah dalam shalat jumat dan shalat ied (Iedul fitri dan Iedul Adha) sama. Adakah perbedaan antara kedua khutbah tersebut?

 

Jawaban:
Waalaikumussalam, keduanya merupakan khutbah yang disampaikan seorang khatib kepada para jamaah. namun ada beberapa perbedaan mendasar tentang tata cara pelaksanaan antara kedua khutbah tersebut. Antara lain berikut ini:

Pertama, Khutbah ied dilakukan setelah melaksanakan shalat sebagaimana hadits Abu Said yang menuturkan, “Bahwasanya Nabi tatkala keluar di hari iedul adha dan iedul fitri dan menuju tempat shalat, pertama kali beliau melakukan shalat, usai shalat lalu berdiri menghadap jamaah dan jamaah dalam barisannya masing-masing. lalu Rasulullah memberikan wasiat dan nasihat kepada mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kedua, khutbah ied tidak diatas mimbar dan tidak mengeluarkan mimbar dari masjid, serta adzan dan iqamat. Ibnu Qayim menuturkan, “Tidak ada mimbar dalam khutbah ied yang akan meninggikan posisi khatib dan tidak pula mengeluarkan mimbar madinah, hanyasanya beliau berdiri di atas tanah. Sebagaimana perkataan Jabir, ‘Aku saksikan langsung shalat beliau shalallahu alaihi wasallam di hari ied, beliau mulai dengan shalat sebelum khutbah tanpa adzan atau iqamah lalu berdiri tegak menghadap bilal.” (HR. Mutafaqun alaih).

Dapatkan Kumpulan Materi Khutbah DI SINI

Ketiga, disunahkan memperbanyak takbir disela khutbah ied. Imam Malik berkata dalamal-Ausath, “temasuk dari sunnah hendaknya seorang khatib iedul adha dan iedul fitri memperbanyak takbir di dalamnya.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa mengatakan, “Dan takbir itu disyariatkan dalam khutbah ied lebih banyak daripada khutbah Jumat.”

Keempat, Menurut Dr. Suud bin Ibrahim bin Muhammad Suraim dalam Asy-Syamil fi fiqhi khatib wa khutbah, tidak ada duduk sebelum khutbah ied dilaksanakan, sebagaimana pendapat Asy-Syaukani karena duduk sebelum khutbah itu untuk adzan (sebagaimana dalam khutbah jumat).

Demikian pula bahwa hadits-hadits yang menjelaskan tentang shalat iedain; Iedul Fitri dan Iedul Adha tidak menunjukkan bahwa Nabi duduk sebelum khutbah.

Demikian beberapa hal mendasar yang membedakan tata cara pelaksanaan antara khutbah jumat dan khutbah di hari ied. Semoga bermanfaat.

Oleh: Redaksi/Majalah ar-risalah

Hidayah itu Dicari Bukan Dinanti

Salah jika kita berpikir bahwa mendapat hidayah berarti Allah menurunkan malaikat yang akan menuntun seseorang sesat, lalu masuk Islam, bertaubat, menuntunnya melakukan amal kebaikan setiap saat sepanjang hidupnya tanpa ada usaha dari orang tersebut.

Hidayah adalah petunjuk yang secara halus menunjukkan dan mengantarkan kepada sesuatu yang dicari. Dan yang paling dicari manusia -semestinya- adalah keselamatan akhirat khususnya dan keselamatan di dunia. Untuk mendapatkannya, Allah telah memberi bekal bagi setiap manusia dengan berbagai arahan yang akan membawanya menuju keselamatan. Namun Allah juga memberinya pilihan. Sehingga ada yang mengikuti petunjuk lalu selamat dan ada yang tidak mengacuhkannya lalu celaka.

Jika kita cermati tahapan hidayah berikut ini, kita akan tahu bahwa setiap manusia pada dasarnya memiliki kesempatan yang sama untuk mendapat hidayah. Hanya saja tidak semua orang mau berjalan mengikuti cahaya hidayah, menapaki jalan yang lurus. Kebanyakan mereka justru memilih jalan sesat hingga akhirnya celaka di akhirat.

 

Tahapan Hidayah

Imam Ibnul Qayim dan Imam al Fairuz Abadi menjelaskan, Allah telah memberikan petunjuk secara halus kepada setiap manusia agar selamat hingga hari kiamat, bahkan sejak hari kelahirannya. Beliau menyebutkan;

Tahapan pertama adalah memberikan al-hidayah al-amah, hidayah yang bersifat umum yang diberikan kepada setiap manusia, bahkan setiap makhluknya. Yaitu petunjuk berupa insting, akal, kecerdasan dan pengetahuan dasar agar makhluknya bisa mencari dan mendapatkan berbagai hal yang memberinya maslahat. Hidayah inilah yang dimaksud dalam ayat,

“Musa berkata:”Rabb kami ialah (Rabb) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk”. (QS. Thaha: 50)

Dengan bekal ini, manusia bisa menyerap, memahami dan melaksanakan berbagai arahan dan bimbingan yang diberikan kepadanya.

Tahapan kedua adalah hidayatud dilalah wal bayan atau hidayatul Irsyad, yaitu petunjuk berupa arahan dan penjelasan yang akan mengantarkan manusia kepada keselamatan dunia-akhirat. Semua itu terangkum dalam risalah yang disampaikan melalui Nabi dan Rasul-Nya. Allah berfirman,

“Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami.” (QS. 21:73)

Risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah hidayatul bayan yang paripurna yang telah Allah berikan kepada manusia. Sifatnya hanya memberi penjelasan dan arahan agar manusia bisa meraih keselamatan. Mengikuti atau tidak, Allah memberikan pilihan kepada setiap manusia berupa ikhtiar. Sehingga ada diantara mereka yang mengetahui, kemudian mengikuti dan terus melazimi hingga menjadi mukmin yang taat, namun ada pula yang enggan bahkan menentang. Yang mengetahui, lalu mengikuti dan berusaha tetap berada diatas kebenaran akan selamat, sebaliknya yang mengetahui lalu berpaling akan binasa.

Baca Juga: Biografi Iblis, Si Pembangkang Hingga Akhir Zaman

Kemudian, fase ketiga adalah hidayatut taufiq, yaitu petunjuk yang khusus diberikan kepada orang-orang yang dikehendaki Allah. Hidayah yang menuntun hati seseorang untuk beriman dan beramal sesuai dengan tuntunan-Nya. Cahaya yang menerangi hati dari gelapnya kesesatan dan membimbingnya menuju jalan kebaikan. Hidayah yang mutlak hanya dimiliki dan diberikan oleh Allah inilah yang melunakkan hati seseorang hingga ia mau menjawab seruan dakwah. Dan hidayah ini pulalah yang menuntun mereka agar tetap berada di atas jalan yang lurus.  

Hidayah ini adalah buah dari hidayatul irsyad. Seseorang tidak mungkin akan mendapat hidayah ini jika belum mendapatkan hidayatul irsyad sebelumnya. Namun, tidak semua orang yang sudah mendapat hidayatul irsyad pasti mendapatkan hidayatut taufiq.  

Seperti yang sudah dipaparkan di atas bahwa tugas dan kewenangan Nabi, juga orang-orang yang menjadi pewaris para Nabi hanyalah menjelaskan dan menyampaikan. Mereka tidak akan mampu membuat atau memaksa seseorang mengikuti apa yang meraka dakwahkan, jika orang tersebut lebih memilih jalan kesesatan dan tidak diberi hidayatut taufiq oleh Allah. Allah berfirman,

“Sesungguhnya engkau takkan bisa memberikan hidayah (taufiq) kepada orang yang engkau cintai, akan tetapi Allah memberikan hidayah kepada siapa pun yang Dia kehendaki, dan Dia Maha Mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS. Al-Qashash: 56)

Yang terakhir adalah hidayah di akhirat. Petunjuk di akhirat yang menuntun manusia menuju Jannah. Rasulullah bersabda, “Demi jiwa Muhammad yang berada di tangan-Nya, salah seorang dari mereka lebih tahu arah menuju rumahnya di Jannah daripada arah menuju rumahnya di dunia.”

Keempat fase ini saling terkait secara berurutan. Tanpa adanya hidayah pertama, seseorang tidak akan bisa mendapatkan hidayah yang kedua berupa irsyad, arahan dan bimbingan dari Rasulullah. Sebab orang yang akalnya tidak sempurna (gila maupun idiot) tidak bisa menyerap dan menalar berbagai ilmu dan bimbingan dari siapapun. Kalaupun bisa, daya serapnya sangat minim, sehingga mereka justru dibebaskan dari semua taklif dan tanggungjawab. Sedang hidayah yang ketiga tidak mungkin bisa diraih sebelum seseorang mendapatkan hidayah yang pertama dan kedua. Taufiq dari Allah hanya akan turun kepada orang yang telah mendengar risalah dan kebenaran. Demikian pula hidayah yang keempat. Dan Allah maha mengetahui siapa yang benar-benar mencari dan berhak mendapatkan hidayah dari-Nya.

 

Hidayah Harus Dicari

Hidayah al-amah kita semua sudah memilikinya. Adapun hidayah di akhirat, bukan lain adalah buah dari hidayah yang kedua dan ketiga. Sehingga yang harus kita cari semasa hidup di dunia adalah hidayatul irsyad dan hidayatut taufiq. Ibnu Katsier menjelaskan hidayah kita pinta dalam surat al Fatihah adalah dua hidayah tersebut.

Hidayatul irsyad adalah ilmu syar’i yang shahih dimana dengan itulah kita bisa mengetahui kebenaran (ma’rifatul haq), sedang hidayatut taufiq adalah kelapangan hati untuk mengamalkan dan selalu berada diatas kebenaran. Dua hal ini tidak akan kita dapatkan jika Allah tidak menghendaki kita mendapatkannya. Sehingga yang harus kita lakukan adalah mencari dan memohon kepada Pemiliknya. Mencari berbagai hal yang bisa mendatangkan hidayah dan berusaha menghancurkan semua yang menghalangi kita dari hidayah.

Syaikh Abdurrahman bin Abdullah as-Sahim, dalam sebuah risalahnya menjelaskan, ada beberapa hal yang bisa mendatangkan hidayah;

Yang pertama adalah bertauhid dan menjauhi syirik. Allah berfirman,

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al An’am :82)

Kedua, menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi larangannya

“Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka).” Dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi Kami. Dan pasti Kami beri mereka hdiayah kepada jalan yang lurus. (QS. An Nisa’: 66-68)

Baca Juga: Syirik, Mengharap Syafaat Peroleh Laknat

Ketiga, inabah, bertaubat dan kembali kepada Allah

“Orang-orang kafir berkata:”Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) tanda (mu’jizat) dari Rabbnya” Katakanlah:”Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi hidayah orang-orang yang bertaubat kepada-Nya. (QS. Ar Ra’du: 27)

Keempat, I’tisham, berpegang teguh kepada kitabullah

“Bagaimana kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu? Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Ali Imran: 101)

Kelima, berdoa dan berusaha keras mencarinya

Dari Ibnu Mas’ud, Nabi selalu berdoa, “

اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu hidayah, ketakwaan, penjagaan diri dan kecukupan diri.” (HR. Muslim).

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al Ankabut:69)

Ketujuh, memperbanyak dzikir

“Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran (Rabb) Yang Maha Pemurah (al-Qur’an), Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.”

“Dan sesungguhnya syaitan-syaitan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk.” (QS. Az Zukhruf:36-37).

 

Penghalang Hidayah

Selain sebab-sebab yang bisa mendatangkan hidayah, ada juga beberapa hal yang akan menghalangi masuknya cahaya hidayah ke dalam hati, diantaranya;

Pertama, Minimnya pengetahuan dan penghargaan atas nikmat hidayah.

Ada sekian banyak manusia yang tergiur dengan dunia dan menjadikannya satu-satunya hal yang paling diharapkannya. Sukses di matanya adalah capaian harta dan kedudukan di mata manusia. Kesuksesan yang bersifat ukhrawi di nomorduakan, dan berpikir bahwa hal seperti itu bisa dicari lagi di lain kesempatan. Meski sudah mendapatkan lingkungan yang baik, kesempatan belajar agama yang benar, rejeki yang halal meski sedikit, ia tidak segan meninggalkannya demi meraih dunianya. Itu karena rendahnya penghargaan atas hidayah Allah berupa teman yang shalih dan ilmu dien yang telah diberikan padanya.  Firman Allah,

“Mereka hanya mengetahui yang tampak dari kehidupan dunia; sedang tentang (kehidupan) akhirat mereka lalai. (QS. Ar Rum: 7)

Kedua, Hasad dan kesombongan.

Dua hal yang menghalangi Iblis menjalankan perintah Allah dan menjadikannya gembong dari segala kesesatan di dunia. Dua hal ini pulalah yang menghalangi kebanyakan umat terdahulu -hingga sekarang- untuk beriman. Mereka tahu yang benar, tapi keangkuhan membuat hati mereka semakin gelap dan sukar ditembus cahaya kebenaran.

Ketiga, Jabatan.

Seperti halnya Heraklius. Ia mengetahui kebenaran nubuwat Muhammad SAW, mengakui dan dengan jujur membenarkan risalah Islam. Tapi kedudukannya sebagai orang nomor satu di Romawi Timur menghalangi hatinya untuk bersyahadat, menggapai hidayah ilahi. Kasus semacam ini masih akan ada hingga hari ini.

Keempat, Syahwat dan harta.

Ketakutan akan hilangnya mata pencaharian dan berkurangnya kesempatan memuaskan syahwat akan dengan mudah memalingkan manusia dari cahaya hidayah.

Betapa banyak yang menunda taubatnya hanya karena tidak mau ‘tersiksa’ oleh godaan wanita dan minuman keras. Betapa banyak yang enggan meninggalkan penghasilan yang syubhat dan haram hanya gara-gara takut menjadi miskin dan kehilangan mewahnya kehidupan. Dan betapa banyak yang tak sudi mendekati orang-orang shalih karena khawatir tak bisa lagi menikmati pergaulan bebas. Dua penghalang ini menjadikan mata pecintanya serasa pedas saat menatap kemilau hidayah Allah. Dan merekapun terus-menerus tenggelam dalam kegelapan maksiat.

Kelima, Kebencian.

Seseorang yang membenci orang lain, si A misalnya, ketika si A mendapatkan hidayah berupa masuk Islam, taubat dari suatu maksiat, semangat belajar Islam atau yang lain, kebenciannya akan menghalanginya untuk mengikuti jejak orang yang ia benci itu. Kesombongan, gengsi dan kejengkelan tumbuh subur diatas lahan kebenciannya dan menghalangi sinar hidayah masuk menerangi hatinya.

 

Hidayah Membawa Hidayah

Satu hidayah akan membawa hidayah yang lain. Demikian pula jika manusia terjebak pada satu penghalang hidayah, ia akan semakin terjerat dan sulit melepaskan diri.

Ibnul Qayim di dalam kitab Tanwirul Hawalik mengatakan, “Hidayah akan membawa hidayah yang lain. Dan kesesatan akan mendatangkan kesesatan yang lain pula. Perbuatan baik akan mendatangkan hidayah, setiap kali amal bertambah, bertambah pulalah hidayah dari-Nya. Demikian pula kesesatan. Hal itu karena Allah menyukai amal kebajikan dan akan membalasnya dengan petunjuk dan kesuksesan dan membenci keburukan dan mengganjarnya dengan kesesatan dan kecelakaan.”

Beliau melanjutkan, “Sesungguhnya seorang hamba jika telah beriman kepada al-Qur`an dan mendapat petunjuk darinya secara global, mau menerima perintah dan membenarkan berita dari al-Qur`an, semua itu adalah awal mula dari hidayah-hidayah selanjutnya yang akan ia peroleh secara lebih detail. Karena hidayah itu tak memiliki titik akhir, seberapapun seorang hamba mampu mencapainya. Allah berfirman, “Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk. Dan amal-amal shalih yang kekal itu lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu dan lebih baik kesudahannya.” (QS. Maryam: 76). 

Wallahu a’lam.

 

Oleh: Ust. Taufik Anwar/Akidah Islam