Abawiyah

Tak Sekadar Tak Bercerai

Ada banyak pelajaran berharga yang saya temukan, sejauh ini, dalam perjalanan hidup sebagai dai dan konsultan keluarga. Berbagai rahasia besar dan kecil yang tak terduga, mengiringi sejumlah kasus yang saya hadapi, menyadarkan saya tentang arti sakinah yang sangat personal. Lengkap dengan sejumlah kejutan yang membuat saya terdiam, kaget, bahagia, terharu, dan merenung. Dan sakinah, dengan semua kata padanannya, selalu kembali kepada suasana hati yang nyaman, tenang, dan tenteram menjalani peran dan menghadapi berbagai masalah kehidupan berkeluarga dengan iman. Ia tak jauh-jauh dari kata qanaah, ridha, taat, dan sabar sebagai pengiringnya. Hati yang ikhlas dan sabar dengan apapun yang menjadi takdir hidupnya, sehingga semua aktivitasnya diarahkan untuk menggapai keridhaan Allah. Karena dalam hidup ini, tidak ada capaian yang lebih tinggi daripada keshalihan amal. Inilah aktualisasi ibadah yang sesungguhnya, dan ia menentramkan, dan ia berada dalam ketaatan kepada Allah. Maka sakinah, akan selalu beriringan dengan upaya menjalani ketaatan kepada Allah, dan bekerja keras menjauhi laranganNya. Sebagaimana Imam Hasan al Bashri pernah berkata, “Demi Allah, tidak ada sesuatu yang lebih menentramkan hati seorang muslim, melebihi saat dia melihat anak, orangtua, pasangan, atau saudaranya menjadi hamba yang taat kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” Sebaliknya, dalam kemaksiatan hanya ada gelisah, resah dan gundah gulana. Perasaan bersalah karena melanggar larangan Allah yang secara personal menimbulkan luka hati dan kecewa. Dan meski ia dibungkus dengan pencapaian materi yang mengagumkan, menuai puja puji dari orang lain, hakikatnya ia tetap menggelisahkan. Kecuali mereka yang bodoh, menghamba nikmat dunia, mati hati, atau gabungan dari ketiganya, hidup dalam maksiat itu sangat-sangat tidak nyaman. Dari sudut inilah seharusnya kita menilai sebuah keluaga, jika sakinah adalah capaian idealnya. Bahwa pada kulit yang terlihat elok rupawan, seringkali tersimpan luka batin yang mencengangkan. Sebab banyak di antara kita menilai kesuksesan sebuah keluarga dari tidak terjadinya perceraian, jumlah anak-anak yang dilahirkan beserta tingginya jenjang pendidikan, atau melimpahnya pencapaian materi dan tingginya status sosial. Faktanya, pada banyak fenomena mengagumkan itu terselip hati yang gelisah. Menangis malam-malam dalam pengaduan kepada Allah sebab beratnya beban hidup berkeluarga yang harus ditanggung. Banyak juga di antaranya yang nyaris putus asa sebab tak kuasa lagi berkompromi dengan keadaan yang menyakitkan. Tak kuat lagi berpura-pura memakai topeng kepalsuan atas nama perasaan dan peduli kepada penilaian orang lain. Sedang ‘life is too short to worry about what others think’, hidup terlalu singkat untuk khawatir tentang apa yang dipikirkan orang lain. Maka saya menemukan seorang ibu dalam pernikahan 28 tahun yang menderita, dalam pernikahan 15 tahun yang tersiksa, bahkan lebih dari 30 tahun yang merana. Kesemuanya dengan balutan capaian dunia yang fantastis. Yang mayoritas kita nyaris tidak percaya bahwa ada luka di dalam istana. Dalam limpahan materi yang sangat-sangat mencukupi, kesenangan dunia yang membuat iri, bahkan ada yang hampir setiap tahun umrah dan rajin datang ke majelis pengajian. Mereka berkecukupan dan tidak bercerai, jika itu yang ingin kita ketahui. Beberapa terlihat sangat islami dan bahkan menjadi aktivis keislaman. Namun jujur, mereka tidak bahagia! Menderita oleh banyak faktor yang muaranya adalah ketidaksesuaian antara apa yang terjadi di dalam keluarga dengan apa yang seharusnya dilakukan menurut syariat. Dan ibarat bom waktu, perjalanan kehidupan berkeluarga yang panjang hanyalah mengantarkan mereka kepada batas waktu ledaknya. Dan saat itu terjadi, rasanya sangat menyakitkan. Saya sangat nelangsa melihat ibu yang menangis karena beban yang sangat berat. Lebih-lebih beban itu sangat personal sebab tidak mudah bagi orang lain untuk mengidentivikasinya. Bagaimanapun, sakinah adalah istilah syariat. Yang dalam realisasinya tidak bisa kita curangi dengan jalan-jalan yang melanggar syariat itu sendiri. Melakukan banyak pelanggaran agama namun berharap hidupnya sakinah, adalah hal yang aneh dan membingungkan. Sesuatu yang mustahil adanya namun banyak yang tidak mengerti. Sebagaimana sabda Rasulullah, “Aku adalah yang terbaik di antara kalian kepada keluargaku.” Adalah sebuah informasi tentang wajibnya meneladani beliau dalam upaya pencapaian keluarga sakinah itu. Dan ini harga mati! Bahwa pada akhirnya hidup tidak selalu sejalan dengan apa yang kita inginkan, itu kita mengerti. Namun persoalannya adalah bagaimana kita menghadapinya sesuai dengan syariat, mengembalikannya kepada Allah dan Rasul sebagai sebaik-baik jalan dan akibatnya, juga mengikhlaskan diri dalam kesabaran agar semua derita ini tidak sia-sia dan bisa menentramkan jiwa. Melihat semua masalah dengan jernih, dan jika ada pelanggaran syariat, maka bagaimana bisa bertaubat dan terus berupaya memperbaiki diri. Maka sakinah bukanlah berkompromi dengan syariat atau pelaku pelanggaran syariat meski dia adalah anggota keluarga. Kecuali ia adalah proses dakwah dan tarbiyah yang seringkali memang membutuhkan waktu. Namun bukan dalam arti mengijinkan, membiarkan, atau bahkan mengembangbiakkannya. Dan dalam hal ini, air mata saja tidak bisa menyelesaikan masalah, jika tidak ada upaya sungguh-sungguh untuk melakukan perubahan. Membiarkannya, meremehkannya sambil berharap perubahannya, seringkali hanyalah menunggu bom waktu yang meledak, menghabiskan umur, dan memanen buah yang gagal. Maka tanyakan pada hati kita, sudah sakinahkah keluarga kita?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *