AbawiyahKeluarga

Tetap Bisa Mesra Meski Datang Bulan Sedang Tiba

Anda jangan salah sangka! Judul di atas bukan bermaksud memprovokasi. Apalagi ingin menggiring pembaca untuk nyrempet-nyrempet sesuatu yang haram. Tidak begitu. Karena memang, sudah diketahui banyak orang, bahwa termasuk hal yang diharamkan agama adalah menggauli istri yang sedang haid.

Tulisan ini hanya ingin memberikan pencerahan, bahwa berjimak dengan istri yang sedang haid atau datang bulan memang jelas dilarang. Namun, bukan berarti saat istri sedang haid, semua aktivitas bermesraan diharamkan. Sehingga, suami-istri mesti ‘libur total’ pada momen bulanan itu. Jika ini terjadi, tentu yang paling kasihan adalah saudara-saudara kita yang menikah di saat mempelai putrinya sedang datang bulan!!

 

Bukan Seonggok Najis

Wanita haid bukanlah seonggok najis yang mesti dijauhi dan tak boleh disentuh. Sebagaimana kebiasaan kaum Yahudi, bahwa apabila seorang wanita datang haid, ia tidak diberi makan dan tidak disetubuhi di dalam rumah. Maka, para sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW tentang hal ini. Lalu turunlah ayat, “Engkau ditanya tentang haid, katakanlah, ‘Haid itu penyakit, maka jauhilah mereka itu sebelum suci’.” Nabi bersabda, “Perbuatlah segala sesuatu dengan istrimu di waktu haid, kecuali bersetubuh.” (HR. Muslim)   

Islam memberikan solusi pertengahan. Istri yang sedang haid tak diharamkan untuk disentuh. Bermesraan dengannya tak semuanya dilarang. Ada model bermesraan dengan istri yang sedang haid yang diperbolehkan. Rambu-rambu syar’i ini yang seharusnya dimengerti oleh pasangan suami-istri muslim. Sehingga, keduanya akan tetap bisa mesra sepanjang masa, tetap bisa harmonis walau di saat ‘kritis’.

 

Ini yang Dilarang

Para ulama fiqih telah membuat rincian hukum terhadap aktivitas bermesraan dengan istri yang sedang haid.

Pertama,

bermesraan dengan melakukan senggama pada kemaluan istri yang sedang haid, sebelum suci. Hal ini jelas diharamkan, sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

 مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوِ امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا فَقَدْ كَفَرَ

Barangsiapa yang menyetubuhi wanita haid atau menye­tubuhi wanita dari duburnya, maka sungguh ia telah kafir.” (HR. Nasai)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Umat Islam telah membuat suatu kon­sensus, bahwa haram hukumnya seorang suami meng­gauli istrinya pada kemaluannya saat ia sedang haid atau nifas. Tak seorang pun dari kaum muslimin yang menyelisihi hal ini.” (Fatawa Ibni Taimiyyah, XXI : 624).

Baca Juga:
Bila Rasa Bosa dengan Pasangan Mulai Menjangkiti

Imam Nawawi juga menegaskan, “Perlu diketahui bahwa men­­cumbui istri yang sedang haid ada beberapa macam. Salah satunya adalah mencumbuinya dengan melakukan senggama pada kemaluannya. Ini adalah haram hukumnya berdasarkan ijmak kaum muslimin, dengan landasan nash dari Al-Quran dan As-Sunnah yang shahih.” (Syarhun Nawawi ‘ala Shahih Muslim, II : 202).

Kedua,

bermesraan dengan melakukan senggama saat istri sudah suci dari haid, tapi belum mandi. Jumhur fuqaha’, dari kalangan madzhad Syafi’iyah, Hanabilah, Malikiyah, juga Imam Asy-Syaukani, Imam Ath-Thabari, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnu Ab­bas, Az-Zuhri, Imam Nawawi dan ulama lainnya, berpendapat bahwa tidak boleh berjimak dengan wanita yang sedang haid, sebelum darahnya berhenti, dan ia mandi.

Pendapat mereka di­san­­­dar­­­kan kepada firman Allah Ta’ala, “Mereka bertanya kepada­mu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid itu adalah suatu kotoran.’ Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu ha­id, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyuci­kan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)

Yakni, apabila ia telah mandi. Demikianlah yang ditafsir­kan oleh Ibnu Abbas, karena dalam ayat ini Allah Ta’ala berfir­man, “…dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri,” yakni Allah menyanjung mereka. Ini menunjukkan bahwa Allah men­­yan­­­jung perbuatan mereka. Sedang perbuatan mereka itu ada­lah mandi, bukan berhentinya darah. Dengan demi­ki­an, sebelum dibolehkannya berjimak itu harus memenuhi dua syarat, yakni berhentinya darah, dan mandi.

Syaikhul Islam Ibnu Taimi­yyah menga­­­­­­­­­ta­­­kan, “Tidak boleh berjimak dengan istri yang se­dang ha­­­id dan nifas, sebelum ia mandi. Jika ia tidak menda­patkan air atau khawatir akan membahaya­kan dirinya bilamana meng­­­gu­­­­­­nakan air karena ia sakit atau cuaca sa­ngat dingin se­kali, maka hendaknya ia ber­taya­mum, setelah itu baru si sua­mi boleh berjimak dengan­­nya.” (Majmu’ul Fatawa, I : 635)

 

Ini yang Dibolehkan

Bermesraan dengan istri yang sedang haid, selain dengan berjimak pada kemaluan. Para ahli ilmu telah sepakat tentang bolehnya bermesraan de­ng­an istri yang sedang haid di daerah atas pusar dan bawah lutut, baik dengan ciuman, dekapan, tidur bersa­ma, bercumbuan dan lain sebagainya. (Majmu’ul Fatawa, I : 624). Sedangkan bermesraan dengan istri yang sedang haid di daerah bawah pusar dan atas lutut, selain di ke­ma­luan, diperbolehkan bagi suami yang wara’ dan mampu menguasai dirinya.  

Diriwayatkan dari Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Apabila sa­lah seorang di antara kami sedang haid, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam biasa menyuruhnya mengenakan kain sarung di tempat keluarnya haid, lalu beliau mencumbuinya.” Aisyah melanjutkan, “Dan siapakah di antara kalian yang mam­pu menguasai hajatnya, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu mampu menguasai hajatnya?” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari hadits ini, dapat di­sim­pul­kan bolehnya bermesraan dengan istri yang se­dang haid dan nifas di daerah atas pusar dan ba­wah lu­­­­­tut. Karena arti “mengenakan kain sarung (ta’taziru)” ada­­­lah mengikatkan kain sarung yang bisa menutupi pusarnya dan daerah bawahnya sampai lutut.

Baca Juga: 
Mama Galak Kasihan Si Anak

Diriwayatkan juga dari Haram bin Hakim, dari pamannya, bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Apa yang halal bagiku sebagai suami terhadap istriku, saat ia haid?” Beliau menjawab, “Bagimu daerah di atas kain sarungnya.” (HR. Baihaqi dalam As-Sunanul Kubra

Bermesraan adalah bumbu pemanis dalam kehidupan rumah tangga. Hal tersebut juga bernilai ibadah, jika dilakukan untuk membahagiakan pasangannya. Namun, bermesraan tetap ada batas-batasnya, tak boleh lepas bebas, termasuk saat istri sedang haid. Lakukan yang dibolehkan, dan jauhi yang dilarang syariat. Semoga sakinah dan mawaddah akan selalu menggelayuti kehidupan rumah tangga Anda. Wallahul musta’an.

 

Oleh: Redaksi/Keluarga

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *