Muhasabah

‘Wukuf’ di Negeri Sendiri

Memasuki bulan haji, semua hati terketuk pasti. Yang belum berhaji makin kuat mimpinya, yang pernah haji ingin sekali mengulang lagi. Satu diantara momen penting haji, bahkan inti dari haji adalah wukuf di Arafah, sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam hadits yang shahih dari An-Nasa’I, Tirmidzi dan yang lain, “al-hajju ‘arafah”, (inti) haji adalah (wuquf di) Arafah.

Baca Juga: Pandai-pandailah Merasa Berdosa

Makna wukuf adalah berhenti, atau berdiam diri. Dalam prosesi haji, wukuf adalah hadir dan berada di lokasi mana saja di batasan wilayah Arafah, walaupun dalam keadaan tidur, sadar, berkendaraan, duduk, berbaring atau berjalan, termasuk pula dalam keadaan suci atau tidak suci (seperti haidh, nifas atau junub). (Fiqih Sunnah, 1: 494). Aktivitas ini dilakukan  pada hari Arafah (9 Dzulhijjah) sejak matahari tergelincir (zawal). Tentu saja aktivitas yang dianjurkan adalah memperbanyak ibadah dan taqarrub kepada Allah. Dan selama wukuf seseorang tidak boleh keluar dari area Arafah yang hari ini telah diberi tanda batas yang bertuliskan ‘bidayatu ‘arafah’ (permulaan Arafah) jika terlihat dari luar, dan ‘nihayatu ‘arafah’ (batas akhir arafah) jika dibaca dari dalam area Arafah.

Hari itu dan di tepat itu Allah mengabulkan doa orang-orang yang berdoa, dan Allah membebaskan banyak orang dari neraka. Singkatnya, banyak sekali fadhilah wukuf di hari Arafah yang tentu sangat diharapkan oleh setiap muslim untuk mendapat peluang emas itu.

Namun bagi yang tidak berangkat berhaji karena suatu hal, ada nasihat berharga dari Imam ibnu Rajab al Hambali, “man lam yastathi’il wuquf bi’arafah falyaqif nafsahu ‘inda huduudillahilladzi ‘arafah’, barangsiapa yang tak mampu wukuf di Arafah, maka hendaknya ia wukuf (berdiam) di batasan-batasan yang Allah tetapkan yang telah ia ketahui.”

Baca Juga: Memakai Obat Penunda Haid Saat Umrah & Haji

Inilah wukuf yang dituntut sepanjang tahun, tak hanya di bulan-bulan yang khusus. Yakni dengan cara mencari tahu dan memahami batasan halal dan haram, sehingga dia membatasi perkara-perkara yang halal untuk diambil dan dilakukan. Ia juga memahami perintah dan larangan, lalu menjalankan perintah dan menjauhi larangan.

Maka barangsiapa yang konsisten dengan itu semua, doanya akan makbul setiap saat. Karena mencukupkan diri dengan yang halal adalah faktor dominan diijabahinya doa seseorang. Dan selagi seseorang berada dalam ‘wukuf’ seperti ini, maka aktifitasnya tidak kosong dari nilai taqarrub dan ibadah. Karena yang dimaksud ibadah adalah segala aktifitas yang dicintai oleh Allah, diridhai oleh-Nya, baik perkataan maupun perbuatan, yang lahir maupun yang batin sebagaimana dijelaskan oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dan yang lain. Maka pantaslah orang yang mengisi hari-harinya dengan ibadah untuk dibebaskan dari neraka, wallahul muwaffiq. (Abu Umar Abdillah/Muhasabah/Wukuf)

 

Tema Terkait: Haji, Syariat, Muhasabah

 

One thought on “‘Wukuf’ di Negeri Sendiri

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *