Muhasabah

Yang Menyenangkan Belum Tentu Membuat Bahagia

Senang Belum Tentu Bahagia. Banyak orang tak mampu membedakan; mana kebahagiaan dan mana pula kesenangan. Mereka mencari kebahagiaan di dalam kesenangan. Hingga ketika kesenangan usai, kesedihan dan masalah hadir kembali. Berfoya-foya sembari berjoged bersama, dugem dan bahkan minum khamr dianggap sebagai cara untuk mendapatkan kebahagiaan. Harta yang melimpah hingga dengan leluasa bisa digunakan untuk memperturutkan keinginan pemiliknya juga sering diduga sebagai sebab kebahagiaan. Ini karena mereka tidak mampu membedakan antara kebahagiaan dan kesenangan.

Durasi kesenangan itu berlangsung singkat, dan sangat dipengaruhi faktor luar yang jika faktor itu ada, maka ia gembira, tapi begitu habis atau hilang faktor tersebut, maka hilang pula kesenangan. Dan untuk merasakan kesenangan, dibutuhkan tiga kondisi; memiliki waktu, kesehatan dan harta. Padahal jarang sekali ketiganya ini berkumpul dalam satu momen. Atau kalaupun terjadi, hanya berlangsung singkat.

 

Baca Juga: Pandai-pandailah Merasa Berdosa

 

Bukankah ketika masa anak-anak rata-rata manusia memiliki waktu dan sehat, tapi belum memiliki harta yang bisa dipergunakan untuk bersenang-senang. Lalu menginjak dewasa dan mampu mandiri, ia memiliki harta dan tubuh masih sehat, akan tetapi kesibukannya dalam pekerjaan membuatnya hanya memiliki sedikit waktu untuk bersenang-senang. Dan ketika manusia memasuki usia tua, ia memang memiliki harta, waktupun banyak tersedia, tapi apa daya saat itu kesehatan dan kondisi fisik tidak mampu lagi mengenyam berbagai jenis kenikmatan. Maka alangkah nisbi jika kesenangan disebut sebagai kebahagiaan.

Padahal kebahagiaan itu mestinya lebih langgeng. Untuk mendapatkannya membutuhkan iman yang benar, yang menumbuhkan amal shalih lalu konsisten dan istiqamah di atasnya. Maka siapapun yang memiliki tiga hal itu, ia mendapatkan kebahagiaan, bahkan meskipun terkadang ia kehilangan sebagian kesenangan.

Kadang tidak mendapatkan makanan yang enak, sesekali tubuhnya kurang fit dan kali lain ia sangat sibuk. Mungkin dia bukan dari kalangan kaya raya atau pejabat. Tapi, kebahagiaan tetap bersemayam di hati. Karena ia tidak terpengaruh oleh faktor eksternal berupa materi fisik yang apabila ada ia bahagia dan apabila tiada ia menjadi sengsara, sama sekali tidak.

 

Baca Juga: Antara Pilihan Kita dan Pilihan-Nya

 

Bahwa ia bahagia ketika rejeki melimpah, namun faktor utamanya adalah rasa syukur kepada Allah yang memberikan anugerah dan nikmat. Karenanya saat itu ia akan berucap sebagaimana tuntunan Nabi shallallahu alaihi wasallam, “Alhamdulillahi bini’matihi tatimmush shaalihaat” , segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya, kebaikan menjadi sempurna.

Dan ketika suatu kali diuji dengan sempit rejeki atau bahkan musibah menghampiri, tak berarti kebahagiaan tercabut. Mungkin saja kesenangan hilang, tapi kebahagiaan tetap bersemayam di hati. Dari sisi mana kebahagiaan dinikmati? Yakni dengan ridha terhadap takdir, mengharapkan pahala di sisi Allah, terhapusnya dosa-dosa dan dengan pengharapan kepada Allah agar memberi ganti yang lebih baik. Karena itulah, dalam kondisi tidak ideal seperti yang diharapkan pun, ia tetap berucap, alhamdulillah ‘ala kulli haal, segala puji Allah atas segala keadaan. Wallahu a’lam.

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Muhasabah

One thought on “Yang Menyenangkan Belum Tentu Membuat Bahagia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *