Ilmu akan Kemuliaan

Bukan sekedar makanan, minuman, pakaian, dan obat-obatan yang kita hajatkan dalam kehidupan ini, karena kesemuanya hanyalah memenuhi kebutuhan fisik belaka, sedang ia tidak mewakili diri kita seutuhnya. Meski ia paling dikenali sebab terlihat, yang disangkakan sebagai kebutuhan utama sebab ia tak memerlukan perangkat iman dan kemanusiaan, juga yang akan membawa kepada kejenuhan jika ia berulang dan berlebihan, bukan berarti tidak ada hajat akan selainnya.

Namun kita juga menghajatkan ilmu sebagai pemuas akal dan penentram jiwa. Yang kebutuhannya diniscayakan agar kita tak tersesat jalan dan menggeliat dalam gelisah, dalam raga indah menawan namun hampa dari petunjuk memaknai tujuan penciptaan. Yang merasa jumawa dan tertawa ria namun nelangsa di kedalaman batinnya. Tubuh yang luruh dalam perjalanan menua dan pulang ke haribaanNya dengan kecewa.

Tapi tak semua ilmu memuliakan. Ia serupa jalan yang menunjukkan, dimana kemuliaan penempuhnya kembali kepada niat, tujuan dan keinginan. Sebab dosa dan maksiat, cita-cita rendah dan hina, juga aniaya dan kezaliman seringkali berjalan berdampingan dengan ilmu, yang perolehannya penuh liku dan perlu waktu. Ia menelan banyak biaya dan pengorbanan jiwa raga, bahkan memakan sebagian besar usia manusia.

Maka ilmu syariat secara mutlak menjadi yang termulia di antara yang ada. Bukan saja karena ia menunjukkan jalan makrifat kepada Allah, menjelaskan pintu-pintu kebaikan, perbaikan, dan membaikkan lahir batin, namun juga karena ia adalah ilmu warisan para nabi yang kebaikan mereka terlegitimasi oleh Pencipta langit dan bumi. Sehingga pengambilan ilmu dari mereka dan peneladannya diperintahkan. Dan inilah jalan kemuliaan agar manusia tak menjadi serupa dengan hewan.

Penempuhan ilmu syariat membuka jalan ke surga dan berpahala. Pencapaiannya memuliakan dan menaikkan derajat pemiliknya, hingga pemahamannya menjadi pertanda kebaikan. Ia juga sarana yang mendekatkan kepada Sang Pengasih dan Penyayang, karena di antara hamba-hambaNya, yang memiliki ilmulah yang akan menjadi yang paling takut kepadaNya. Sedang rasa inilah yang menjadi penghalang antara diri kita dengan dosa dan maksiat yang hina.

Maka adalah sebuah keutamaan tiada tara jika Allah memudahkan kita memiliki ilmu dan pemahaman yang benar akan ilmu-ilmuNya. Menjadi sebab kita menaiki tangga ketakwaan dan meraih hikmah dalam kehidupan. Ilmu yang menjadi pakaian jiwa, pembungkus niat akan kebaikan, juga pembebas dari keraguan. Ilmu yang benar- benar membaikkan kita. Ilmu tentang Laa ilaaha illallah.

Adakah yang lebih baik dari semua ini?

Fadhilah Surat-Surat Al Qur’an

Allah menjadikan Alqur’an sebagai petunjuk dan cahaya bagi setiap hambaNya yang mengimaninya, ia sebagai penawar hati dan obat dari penyakit yang ada di dada, Mukjizat yang diberikan Allah kepada NabiNya shallallahu’alaihi wasallam.

Kalamullah, setiap huruf yang dibaca mendatangkan pahala bahkan dilipatgandakan. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menyebutkan beberapa keutaman surat-suratnya, semoga dengan mengetahui  keutamaannya menumbuhkan semangat untuk membacanya dan membuahkan amal sesuai dengan tuntunannya, amin.

Al-Faatihah

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, ketika Jibril sedang duduk di sisi Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, terdengarlah suara dari arah atas dan ia mendongakkan kepalanya, Jibril berkata, “Ini adalah suara pintu langit dibuka pada hari ini setelah sebelumnya ia tidak pernah dibuka sama sekali kecuali pada hari ini.” Maka turunlah malaikat darinya. Jibril berkata, “Ini adalah malaikat yang turun ke bumi setelah sebelumnya ia tidak pernah turun sama sekali kecuali pada hari ini.” Lalu (malaikat tersebut) memberi salam dan berkata, “Bergembiralah dengan dua cahaya yang diberikan kepadamu yang sebelumnya ia tidak pernah diberikan kepada seorangpun Nabi sebelummu, (yaitu) pembuka Kitab (Surat Al-Faatihah) dan penutup surat Al-Baqarah, tidaklah engkau membaca satu huruf pun (dari keduanya) kecuali cahaya tersebut akan diberikan kepadamu.” (HR. Muslim)

Surat Al-Baqarah

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan, sesungguhnya syetan lari dari rumah yang dibacakan surat Al Baqarah didalamnya.” (HR. Muslim)

Dari An Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menulis kitab sejak dua ribu tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi, Allah menurunkan darinya dua ayat yang menjadi penutup surat Al Baqarah. Tidaklah keduanya dibaca didalam rumah selama tiga malam kemudian syetan berani mendekatinya.” (HR. Tirmidzi, Ahmad, Ad Darimi)

Dari Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqarah dalam suatu malam, kedua ayat itu telah mencukupinya.” (HR. Bukhari)

Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang membaca ayat Kursi pada tiap akhir shalat wajib maka tidak ada yang menghalanginya memasuki surga kecuali kematian.” (HR. An Nasai)

Surat Ali ‘Imraan

Abu Umamah Al-Bahiliy berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bacalah Al-Qur’an karena dia akan datang di hari kiamat nanti sebagai syafa’at kepada yang membacanya. Bacalah Az-Zahraawain, yaitu Surat Al-Baqarah dan Ali ‘Imraan, karena keduanya akan datang di hari kiamat nanti bagai dua gumpalan awan atau bagai dua naungan atau bagai dua kawanan burung sebagai pembela kepada yang membacanya. Bacalah Surat Al Baqarah karena sesungguhnya membacanya adalah berkah dan meninggalkannya adalah kerugian, Al-Bathalah (tukang sihir) tidak akan dapat menguasainya.” (HR. Muslim)

Al Musabbihaat

Dari ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia telah menceritakan kepada mereka, bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dahulu membaca Al Musabbihaat sebelum beliau beranjak tidur, beliau bersabda, “Disana ada ayat yang lebih afdhal dibanding seribu ayat.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ahmad)

Al Musabbihaat adalah surat-surat Al-Qur’an yang diawali dengan “subhana”, “sabbaha” dan “yusabbihu”, surat-surat tersebut adalah Al-Israa’, Al-Hadiid, Al-Hasyr, Ash-Shaff, Al-Jumu’ah, At-Taghaabun dan Al-A’laa.

Surat Al-Kahfi

Dari Abud Darda’ radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa hapal sepuluh ayat dari awal surat Al-Kahfi, ia akan terlindungi dari (fitnah) Dajjal.” (HR. Muslim)

Dalam riwayat yang lain dengan lafazh, “Dari akhir surat Al-Kahfi.”

Surat Al-Mulk

Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Surat dari Al-Qur’an yang berjumlah tiga puluh ayat, ia dapat memberikan syafa’at bagi yang membacanya hingga dia diampuni Allah, (surat itu adalah) Tabarakalladzi biyadihil mulku (Surat Al-Mulk).” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ahmad)

Dari Jaabir radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam dahulu tidak tidur hingga beliau membaca “Alif Laam Miim, Tanziil (As-Sajdah)” dan “Tabarakalladzi biyadihil mulku (Al-Mulk).” (HR. Tirmidzi, Ahmad)

Surat Al-Kaafiruun

Dari Jabalah bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, aku berkata, “Wahai Rasulullah, ajarkanlah aku sesuatu yang dapat aku baca ketika akan tidur.” Beliau Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika kau hendak menuju pembaringan, maka bacalah “Qul yaa ayyuhal kaafiruun (Al-Kaafiruun)” hingga akhir surat, karena ia akan melepaskannya dari kesyirikan.” (HR. Ahmad, Nasai,)

Surat Al-Ikhlaash dan Al-Mu’awwidzatain

Dari Abud Darda’, dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Tidakkah salah seorang dari kalian sanggup membaca sepertiga Al-Qur’an dalam satu malam?” Para sahabat bertanya, “Bagaimana caranya membaca sepertiga Al-Qur’an?” Rasulullah bersabda, “Qul huwallaahu ahad sama dengan sepertiga Al-Qur’an.” (HR. Muslim)

Rasulullah shallallahu’alihi wasallam bersabda “Wahai fulan, apa yang menghalangimu untuk melakukan yang diperintahkan teman-temanmu dan apa yang mendorongmu membaca surat itu (surat al ikhlash) disetiap rakaat?” Dia menjawab, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mencintai surat tersebut.” Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya mencintai surat tersebut akan memasukkanmu ke dalam surga.” (HR. Tirmidzi, Ahmd, Ad Darimi)

Rasulullah shallallahu’alihi wasallam bersabda, “Ucapkan, Qul huwallaahu ahad dan Al-Mu’awwidzatain (Al-Falaq dan An-Naas) saat sore dan pagi hari tiga kali, maka mereka akan mencukupimu dari segala sesuatu.” (HR. Abu Daud, Nasai, Ahmad)

sumber saaid.net, terjemah abu Ahmad, muhandisun.wordpres, disusun dan diringkas Abu Abdillah

Apakah Dewa itu Malaikat?

Akhir-akhir ini, masyarakat lagi heboh dengan tayangan Mahabharata. Dengan kualitas film yang bagus, pemain-pemain yang konon cantik dan tampan, serta jalan cerita yang menarik.

Saking asyiknya, banyak yang tidak sadar terpengaruh oleh jalan cerita dan pesona para pemainnya. Hingga bukan saja mata yang terus mengikuti jalan cerita, namun hati dan keyakinan bisa tenggelam dalam alur cerita yang berasal dari Hindu tersebut.

Satu di antara pengaruh keyakinan yang menjadi salah satu pesan dari cerita adalah dijumpainya keterlibatan para dewa, lengkap dengan kehebatan luar biasa yang menambah hiperbola cerita tersebut. Tanpa sadar, pikiran melayang dalam alam bawah sadar, lalu menyimpulkan sendiri bahwa Dewa adalah para malaikat. Sebagian yang agak kritis masih menyimpan tanda tanya, Siapakah sebenarnya sosok dewa itu, apakah ia adalah malaikat dalam bahasa orang Islam?

Istilah Dewa dikenal dalam ajaran Hindu, meski ada juga ajaran lain yang mengenal adanya Dewa. Sedangkan Malaikat adalah makhluk gaib yang wajib diimani oleh setiap muslim. Antara keduanya jelas berbeda, Dewa bukan Malaikat dan Malaikat bukan pula Dewa. Sumber yang dijadikan pathokan untuk mempercayai dan mengimani sudah berbeda, maka tidak boleh menyamakan antara Dewa dengan Malaikat. Mengingat, keyakinan terhadap hal yang gaib di dalam Islam tidak boleh disandarkan pada cerita, dongeng, atau kisah-kisah yang tidak didapatkan dalam dalil yang maqbul (diyakini keabsahannya), yakni al-Qur’an dan as-Sunnah. Maka Islam tidak mengenal adanya Dewa dengan segala macam ceritanya itu. Maka jangan ada keyakinan bahwa Dewa adalah nama lain dari malaikat.

Apalagi, istilah Dewa sering digunakan dengan pengertian yang kurang jelas, ada kalanya berarti hampir setiap jenis makhluk yang bukan manusia. Adapun di dalam Islam, telah jelas adanya makhluk-makhluk yang tidak tampak oleh manusia lengkap dengan perbedaan yang detil tersebut dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.

Ada makhluk bernama jin, adapula malaikat. Jin diciptakan dari api, sedangkan malaikat diciptakan dari cahaya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

خُلِقَتِ الْمَلاَئِكَةُ مِنْ نُورٍ وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ

“Malaikat diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari api, dan Adam diciptakan dari apa yang disifatkan atas kalian (yakni tanah).” (HR Muslim)

Tidak sebagaimana jin yang sebagian beriman dan sebagian lagi menjadi setan yang ingkar, maka malaikat adalah makhluk yang selalu taat kepada Penciptanya. Allah Ta’ala berfirman,

mereka tidak mendurhakai Allah (terhadap) apa-apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan mereka melaksanakan apa yang diperintahkan (At-Tahrim: 6) (QS at-Tahrim 6)

Para malaikat tidak memiliki nafsu, tidak memiliki keturunan dan bahkan tidak disifat dengan laki-laki atau perempuan. Seperti yang dikatakan oleh Syeikh DR. Umar Sulaiman al-Asyqar rahimahullah dalam ‘Alamul Malaaikah al-Abraar, “laa yushafuuna bidz dzukuur wal unuutsah, “Tidak (boleh) mensifati mereka (malaikat) dengan laki-laki dan perempuan….” [‘Aalamul-Malaaikah Al-Abraar, hal. 13]. Karena memang tidak ada dalil yang jelas dan tegas menyatakan hal itu. Sementara malaikat juga tidak bisa diqiyaskan dengan manusia karena keduanya makhluk yang berbeda.

Berbeda dengan Dewa yang diyakini bahwa sebagian mereka memiliki keturunan. Seperti dalam Mahabaratha yang mengisahkan bahwa Abimanyu adalah cucu Dewa Indra. Dan disifati pula ada Dewa yang berjenis kelamin laki-laki dan ada juga Dewi yang berjenis kelamin perempuan.

Maka dalam hal ini, Islam juga tidak membenarkan keyakinan yang menggambarkan sosok bidadari cantik yang suka menolong, yang dalam bahasa Inggris disebut ‘angel.’ Bahkan menyebut malaikat berjenis kelamin perempuan itu sama dengan keyakinan orang Arab jahiliyah dahulu yang menganggap bahwa malaikat adalah anak perempuan Allah, Mahasuci Allah dari apa yang mereka yakini. Atas keyakinan tersebut mereka dianggap mengolok-olok Allah, sebagaimana yang tersirat dalam firman-Nya,

وَيَجْعَلُونَ لِلَّهِ الْبَنَاتِ سُبْحَانَهُ وَلَهُمْ مَا يَشْتَهُونَ

“Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan. Maha Suci Allah, sedang untuk mereka sendiri (mereka tetapkan) apa yang mereka sukai (yaitu anak-anak laki-laki)” [QS. An-Nahl : 57].

Perbedaan yang lain, bahwa posisi Dewa bagi orang yang mempercayainya dijadikan sebagai sesembahan yang dipuja dan dimintai pertolongan. Sedangkan Malaikat yang kita yakini tidak memiliki hak untuk disembah atau dimintai pertolongan, karena hak untuk disembah hanya milik Allah semata.

Allah Ta’ala berfirman,

“Dan (ingatlah) pada hari (ketika) Allah mengumpulkan mereka semuanya, kemudian DIA berfirman kepada para malaikat, Apakah kepadamu mereka telah menyembah…?”. Para malaikat itu menjawab, Maha Suci Engkau, Engkaulah Pelindung kami, bukan mereka. Bahkan mereka telah menyembah JIN, kebanyakan mereka percaya kepada jin itu”. (QS Saba’: 40-41)

Maka, tidaklah sama antara Dewa dan Malaikat. Wallahu a’lam.

 

Oleh: Abu Umar Abdillah

Keterbatasan dan Peran Akal

(Perspektif Ahlussunnah wal Jamaah)

Dewasa ini banyak manusia yang memosisikan akal melebihi dari yang seharusnya. Apalagi setelah Allah memudahkan dan membukakan untuk mereka pintu ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan luar angkasa dan atom. Banyak dari mereka yang membuang agama dan menggantikannya dengan hawa nafsu mereka sendiri. Lantaran mereka sudah merasa pandai, mereka pun menetapkan syariat untuk diri mereka sendiri.

Dalam Islam, akal mendapatkan posisi yang istimewa. Tetapi ada batasnya. Manusia tidak boleh menuhankan dirinya sendiri. Bagaimana pun, akal memiliki kemampuan untuk mengetahui perkara-perkara yang baik dan yang buruk. Hanya, akal tidak benar-benar dapat menjawab tantangan dan problematika kehidupan tanpa tuntunan wahyu.

 

Keterbatasan Akal

Ada beberapa perkara yang tidak diketahui akal kecuali dengan bantuan wahyu. Perkara-perkara itu  adalah:

  1. Hakikat perkara ghaib yang disembunyikan oleh Allah dari makhluk-Nya, seperti mangetahui sifat-sifat Allah, mengetahui hakikat malaikat, jin, neraka, dan surga, serta apa-apa yang disediakan oleh Allah yang berupa pahala dan hukuman di akhirat kelak.
  2. Detail suatu kebaikan atau keburukan. Kemampuan akal bersifat global, tidak detail. Terkadang, akal mengetahui bahwa suatu perbuatan itu baik seperti keadilan atau buruk seperti kezaliman. Namun ia tidak mengetahui apakah suatu amal itu termasuk keadilan atau kezaliman. Riba adalah contoh untuk poin ini.
  3. Kebaikan perkara yang mengandung maslahat sekaligus mengandung mafsadat atau perkara yang tampak sebagai kerusakan, padahal sejatinya ada maslahatnya. Ibnu Taymiyah berkata, “Para Nabi datang dengan membawa perkara yang akal tidak mampu memahaminya, bukan membawa perkara yang akal mengetahui pasti kebatilannya. Para Nabi mengabarkan bagaimana akal mesti beraksi, bukan menjelaskan ruang lingkup akal.” (Majmu’ Fatawa, 2/312)

Peran Akal

Dalam pandangan Islam, peran akal adalah memikirkan makhluk-makhluk Allah, mengeluarkan perbendaharaan bumi dan segala kebaikan yang ada di dalamnya, serta mengkaji segala macam ilmu yang dapat dicapainya sehubungan alam raya ini. Perkara-perkara yang tidak dimampuinya, ia tidak perlu membahasnya. Seperti mengetahui apa yang ada di balik alam raya ini dan bagaimana cara memperbudak akal manusia yang lain.

Kewajibannya adalah tunduk kepada wahyu dan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memahaminya dan mentadabburinya serta mengambil kesimpulan dari bagian yang belum dijelaskan secara sharih. Itupun harus disertai dengan sikap tawadhu’ dan pasrah kepada wahyu-Nya, serta tetap menerima apa-apa yang tidak dapat dijangkaunya,

 

Urgensi Risalah

Akal manusia butuh kepada risalah dari Allah untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Dalam hadits yang shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari ‘Iyadh bin Himar dari Nabi saw bahwa beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah melihat penduduk bumi. Allah amat murka kepada mereka, baik yang Arab maupun non-Arab; kecuali beberapa gelintir Ahli Kitab.”

Meskipun Allah amat murka, namun Allah tidak mengazab mereka kecuali setelah mengutus Rasul.

Allah berfirman,

“Dan Kami tidak akan mengazab sebelum kami mengutus seorang rasul.” (Al-Isra`: 15)

“Dan sekiranya kami binasakan mereka dengan suatu azab sebelum al-Qur`an itu (diturunkan), tentulah mereka berkata, Wahai Rabb kami, mengapa tidak Engkau utus seorang Rasul kepada kami, lalu kami mengikuti ayat-ayat-Mu sebelum kami menjadi hina dan rendah?’.” (Thaha: 134)

“Dan tidak adalah Rabb-mu membinasakan kota-kota, sebelum dia mengutus di ibukota itu seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezaliman.” (Al-Qashash: 59)

BACA JUGA : Keterbatasan dan Peran Akal

“Dan agar mereka tidak mengatakan ketika azab menimpa mereka disebabkan apa yang mereka kerjakan, ‘Wahai rabb kami, mengapa Engkau tidak mengutus seorang Rasul kepada kami, lalu kami mengikuti ayat-ayat-Mu dan jadilah kami termasuk orang-orang yang beriman.’.” (Al-Qashash: 47)

“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu.” (An-Nisa`: 165)

Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa azab Allah ditimpakan setelah diutusnya para Rasul dan tegaknya hujjah dengan diutusnya mereka. Ini meskipun faktor turunnya azab ada, yakni kemurkaan Allah yang amat sangat kepada mereka dan Allah pun telah menjelaskan bahwa mereka berhak dan layak untuk diazab. Hanya saja Allah Maha Pengasih kepada hamba-hamba-Nya.

 

Daya Akal Mengenali Kebaikan

Kaum muslimin berbeda pendapat mengenai dapatkah akal mengetahui baik buruknya ucapan dan perbuatan dan apakah pengenalannya akan kebaikan dan keburukannya itu berakibat hukuman atau tidak. Ada banyak pendapat, tetapi ringkasnya ada tiga:

Pertama, mereka yang berpendapat, baik buruknya ucapan dan perbuatan hanya diketahui dengan syariat saja, akal tidak dapat melakukannya. Ini adalah pendapat Jahm bin Shafwan, Abul Hasan al-Asy’ariy, Abu Bakar bin ath-Thayyib, al-Qadhi Abu Ya’la, Abul Ma’ali al-Juwayniy, Abul Wafa` bin ‘Uqail, dan lain-lain.

Kedua, mereka yang menyatakan, akal dapat mengetahui baik buruknya ucapan dan perbuatan. Barangsiapa menyelesihi apa yang baik-buruknya ditunjukkan oleh akal akan mendapatkan azab di akhirat. Ini adalah pendapat Mu’tazilah, Hanafiyah, dan Abul Khattab Mahfuzh bin Ahmad.

Ketiga, mereka yang mengatakan, akal dapat mengetahui baik-buruknya ucapan dan perbuatan. Hanya, akal saja tidak dianggap cukup sebagai sarana tegaknya hujjah dan orang yang menyelisihinya tidak berhak dan layak mendapatkan azab kecuali setelah penegakan hujjah dengan diutusnya para Rasul. Mereka berkata, “Mereka tidak diazab sampai diutusnya rasul kepada mereka, sebagaimana ditunjukkan oleh al-Qur`an dan as-Sunnah. Hanya, perbuatan mereka dicela dan dimurkai oleh Allah. Mereka pun disifati dengan sifat kekafiran yang dicela dan dibenci oleh Allah. Meskipun Allah tidak mengazab mereka sehingga mengutus seorang Rasul kepada mereka.” Ini adalah pendapat jumhur Ahlussunnah wal Jamaah.

 

Fungsi Syariat

Datangnya syariat bukan untuk menjelaskan kepada manusia perkara-perkara yang bermanfaat dan berbahaya buat kehidupannya di dunia. Jika hanya untuk itu, binatang pun sudah bisa. Keledai dan kuda dapat membedakan antara tanah dan rumput sehingga keduanya hanya memakan rumput dan tidak memakan tanah. Datangnya syariat adalah untuk menjelaskan perkara-perkara yang bermanfaat dan berbahaya/bermudharat di kehidupan dunia dan akhirat. Hal ini hanya dapat diketahui dengan risalah. Jika bukan karena risalah, akal tidak akan mampu sampai kepada detail perkara yang bermanfaat dan bermudharat di dunia dan di akhirat. Maka, adalah nikmat Allah yang amat besar Dia mengutus rasul dan menurunkan kitab serta menjelaskan jalan yang lurus.

Sekiranya manusia diberi kebebasan, dipersilakan untuk menentukan syariat seperti apa yang hendak mereka jalani, niscaya mereka akan memilih dan memutuskan jalan yang sesuai dengan hawa nafsunya dan tidak terlepas dari kelemahan manusia, sempitnya ilmu dan pengetahuan mereka, di samping kemusyrikan yang telah mendarah daging dengan mereka. Oleh karena itu semua, sepantasnyalah memilih syariat yang datang dari atas langit. Dari Dzat yang Maha Mengetahui segala yang terbaik bagi umat manusia sepanjang masa.

“Maka apakah orang yang berjalan terjungkal di atas mukanya itu lebih banyak mendapatkan petunjuk ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus?” (Al-Mulk: 22)

Wallahu al-Muwaffiq.