Para Pemula Dalam Sejarah Islam

Para shahabat adalah orang-orang yang sangat antusias dalam berburu keutamaan, bersemangat untuk mendapatkan keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka ingin hadir dalam setiap momen kebaikan, terus bergerak menyusuri jalan menuju ridha Allah. Mereka saling berlomba untuk menjadi pertama. Mereka adalah teladan, maka lihatlah semangat kita terhadap setiap jenis kebaikan, apakah juga sudah sejalan dengan jejak para teladan. Di sini kita hendak membaca siapakah para pemula, orang-orang yang pertama melakukan aktivitas yang kemudian ditulis dalam sejarah.  Semoga Allah memudahkan langkah kita dalam kebaikan.

  1. Orang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan laki-laki yang merdeka Abu Bakr as-Shidq RA
  2. Orang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan anak-anak Ali bin Abi Thalib RA
  3. Orang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan pelayan Zaid Bin Haritsah RA
  4. Orang yang pertama kali masuk islam dari kalangan budak Bilal bin Rabbah RA
  5. Orang yang pertama kali diutus Nabi sebagai komandan Sariyah (jihad tanpa terjadi pertempuran dan tidak dipimpin oleh Rasulullah) Hamzah bin Abdul Muthalib RA
  6. Orang Yang pertama kali menjadi pemegang panji Islam dalam perang Hamzah bin Abdul Muthalib
  7. Orang yang pertama kali membunuh kaum musyrikin dalam perang Badar Hamzah bin Abdul Muthalib
  8. Orang yang pertama kali diberikan jatah ghanimah dan menyalurkan seperlimanya Abdullah bin Jahsy RA
  9. Orang yang pertama kali diberikan gelar Amirul Mukminin dari para Khalifah Islam Umar bin Khatab RA
  10. Orang yang pertama kali hijrah ke Habasyah Abdullah bin Abdul Asad (Abu Salamah) RA
  11. Orang yang pertama kali mengumpulkan manusia untuk shalat tarawih? Umar bin Khatab RA
  12. Orang yang pertama kali dijuluki Amirul Umara’ dari sahabat (pemimpin dari para pemimpin) Abu Ubaidah bin Jarah RA
  13. Orang yang pertama kali Allah tertawa padanya Saad bi Muadz RA
  14. Orang yang pertama kali membaca alQuran dengan jahr (suara keras) Abdullah bin Mas’ud RA
  15. Orang yang pertama kali di muka bumi masuk kota Mekah dengan bertalbiyah Tsamamah bin Utsal RA
  16. Orang yang pertama kali dikubur di pemakaman Baqi’ Utsman bin Madh’un RA
  17. Orang yang pertama kali mengucapkan salam pada Nabi SAW Abu Dzar al-Ghifari RA
  18. Orang yang pertama kali menulis lafadz Basmallah (Bismillahirrahmanirrahim) Khalid bin Said bin al-Ash RA
  19. Orang yang pertama kali mengadakan penanggalan hijriyah Umar bin Khatab RA
  20. Orang yang pertama kali mati Syahid dalam Islam Al-Harits bin Abi Halah RA
  21. Orang yang pertama kali mati Syahid di perang Uhud Zur’ah bin ‘Amir al-Aslami RA
  22. Orang yang pertama kali mati syahid dari kaum Anshar ‘Umair bin al-Hamam RA
  23. Orang yang pertama kali dilahirkan dari golongan Bani Hasyim di mulut kakbah Ali bin Abi Thalib
  24. Orang yang pertama kali menjadi komandan dalam perang gerilya Abu Bashir ats-Tsaqafi
  25. Orang yang pertama kali menjadi Khatib (pengkhutbah) dalam Islam Abu Bakr ash-Shidiq RA
  26. Orang yang pertama kali menjadi pemimpin Kufah setelah ditakhlukan Saad bin Abi Waqash Ra
  27. Orang yang pertama kali menjadi pemimpin di Azerbaijan Hudzaifah bin Yaman RA
  28. Orang yang pertama kali mati syahid di perang Badar Mahja’ Maula Umar RA
  29. Orang yang pertama kali membebaskan/ menakhlukan negeri Mesir Umar bin Khatab Ra
  30. Orang yang pertama kali menghidupkan malam untuk meninjau keadaan rakyatnya Umar bin Khatab RA
  31. Orang yang pertama kali menetapkan perhakiman Umar bin Khatab
  32. Orang yang pertama kali mendirikan tempat persinggahan bagi musafir di antara kota Mekah dan Madinah Umar bin Khatab RA
  33. Orang yang pertama kali mengadakan pengarsipan/pencacatan data dalam Islam Umar bin Khatab RA
  34. Orang yang pertama kali mengadakan perangkat keamanan/penjaga dari khalifah Utsman bin Affan RA
  35. Orang yang pertama kali mengadakan tempat untuk peradilan Utsman bin Affan RA
  36. Orang yang pertama kali berbaiat di Baiat Ridwan Sinan bin Sinan al-Asadi RA
  37. Orang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan Bani Khathamah Al-Harits bin ‘Adi RA
  38. Orang Anshar pertama yang membaiat Abu bakr ash-Shidq dari suku Khazraj Basyir bin Saad RA
  39. Orang Badui yang pertama kali mengikuti Sariyah Uyainah bin hishn al-Fazari RA
  40. Orang yang pertama kali menyerang imperium Persia dan menghujamnya dari dalam Mutsana bin Haritsah RA
  41. Orang yang pertama kali berbaiat kepada Nabi SAW Basyir bin Bara’ bin Ma’rur RA
  42. Orang yang pertama kali diberikan wasiat untuk mensedekahkan sepertiga hartanya Basyir bin Bara’ bin Ma’rur RA
  43. Orang yang pertama kali menghadap kiblat Basyir bin Bara’ bin Ma’rur RA
  44. Orang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan kaum Anshar menurut Ibnu Ishaq Uqbah bin Wahb RA
  45. Orang yang pertama kali di tawari Nabi untuk mewariskan jatah Ghanimahnya kepada beliau Khilad bin Suwaid RA
  46. Orang yang pertama kali dinamai dengan nama Muhammad Muhammad bin Khatib al-Jamhi RA
  47. Orang yang pertama kali mati Syahid di peperangan Nahawan An-Nu’man bin Maqran al-Muzanni
  48. Orang yang pertama kali memimpin Haji dalam Islam Abu Bakr ash-Shidiq RA
  49. Orang yang pertama kali melemparkan tombak di jalan Allah Saad bin Abi Waqash RA
  50. Orang yang pertama kali menghunuskan pedangnya di jalan Allah Zubair bin Awam RA
  51. Orang yang pertama kali bereperang dengan kudanya di jalan Allah Miqdad bin ‘Amru al-Kindi RA
  52. Orang yang pertama kali menjalankan shalat sunnah 2 rekaat saat perang Khubaib bin ‘Adi RA
  53. Orang yang pertama kali hijrah ke Madinah Abdullah bin Abdul Asad RA
  54. Orang yang pertama kali rumahnya digunakan untuk dakwah dalam Islam Al-Arqam bin Abil Arqam RA
  55. Orang yang pertama kali dilahirkan dan diberikan air liur Nabi SAW Abdullah bin Zubair RA
  56. Orang yang pertama kali terbunuh di atas kudanya Miqdad bin ‘Amru RA
  57. Orang yang pertama kali berbaiat kepada Nabi SAW pada Baiat Aqabah kedua Al-Bara’ bin Ma’rur RA
  58. Orang yang pertama kali dilahirkan setelah peristiwa hijrah Abdullah bin Zubair RA
  59. Orang yang pertama kali terluka saat perang Yamamah dan akhirnya mati syahid Abu Uqail Abdurrahman bin Abdullah bin Tsa’labah RA
  60. Orang yang pertama kali meninggal setelah peristiwa hijrah As’ad bin Zararah RA
  61. Orang yang pertama kali meninggal dari pemuka kaum Al-Bara’ bin Ma’rur RA
  62. Orang yang pertama kali dishalati jenazahnya oleh Nabi SAW As’ad bin Zararah RA
  63. Orang yang pertama kali menusuk kudanya sendiri karena takut menjadi ghanimah orang kafir Ja’far bin Abi Thalib RA
  64. Orang yang pertama kali datang dari Hijaz menemui Nabi SAW dan memberikan harta dari kaumnya Hamzah bin Nu’man al-Udzri RA
  65. Orang yang pertama kali melakukan dhihar (suami menyerupakan istri dengan ibunya) dalam Islam Aush bin Shamit RA
  66. Orang yang pertama kali menumpahkan darah dalam Islam Saad bin Abi Waqash RA
  67. Orang yang pertama kali menulis untuk Nabi SAW Ubai bin Kaab RA
  68. Orang yang pertama kali menulis di akhir kitab (sepeti menulis; Fulan bin Fulan) Ubai bin Kaab RA
  69. Orang yang pertama kali lahir dari kaum Anshar Nu’man bin Basyir RA
  70. Orang yang pertama kali berangkat ke medan perang dan paling akhir pulangnya Abdullah bin Ruwahah RA
  71. Orang yang pertama kali meluaskan Masjid Nabawi Utsman Bin Affan
  72. Orang yang pertama kali memberikan penerangan/memberikan penghiasan dalam masjid Tamim ad-Dari RA
  73. Orang yang pertama kali berbaiat kepada Nabi SAW di Darul Arqam Aqil bin al-Bakir RA Amir bin al-Bakir RA Iyas bin al-Bakir RA Khalid bin al-Bakir RA

 

Oleh: Redaksi/Tsaqafah Islam

10 Penghalang Hidayah

Hidayah teramat mahal harganya. Karena upah dari seseorang yang tercelup tinta hidayah adalah jannah. Tak mungkin jannah diharga rendah, sedangkan kenikmatan di dalamnya amat abadi tiada tertandingi. Maka, banyak orang yang susah payah untuk mendapatkan hidayah. Tapi, ada juga yang dengan mudahnya, hanya karena satu-dua kalimat nasihat dari saudaranya, ia tergugah dan mendapatkan hidayah.

Waliyadzubillah bagi mereka orang-orang yang hingga ajalnya belum mendapatkan hidayah. Mungkin berikut inilah sebab mengapa mereka belum mendapatkannya.

 

PERTAMA: LEMAHNYA ILMU

kebodohan inilah yang menyebabkan terhalangnya kebanyakan orang-orang kafir untuk masuk Islam. Mereka tidak mengenal Islam dengan baik ditambah lagi dengan rasa benci terhadapnya. Sebagaimana dikatakan, “Manusia akan menjadi musuh ketika mereka bodoh.”

Kebodohan juga menyebabkan orang yang mengaku muslim membenci syari’at Islam, memusuhi pembelanya dan mencintai musuh-musuhnya.Patut disesalkan, kebodohan terhadap hakekat Islam yang tengah melanda kaum mulsimin hari ini. Bahkan diantara mereka berkata, “Apabila saya bertaubat kepada Allah, dan kembali ke jalan Allah kemudian beramal shalih maka rizki akan menajdi sempit bagiku dan akan mempersulit pekerjaanku. Jika aku kembali dalam kemaksiatan dan mengikuti kemauan hawa nafsuku justru rizki akan mengalir kepadaku dan banyak orang yang membantuku.” Ini adalah tipe orang yang beribadah kepada Allah semata-mata karena perut dan hawa nafsunya.

Kalaupun seseorang mengalami hal itu, Allah Maha Mengetahui ketulusan dan kesabaran hambaNya. La ilaha illallahu, berapa banyak kerusakan yang timbul karena terpedaya oleh ahli ibadah yang jahil, orang yang mengaku beragama namun tidak memiliki ilmu tentang agamanya dan orang yang dianggap  berilmu padahal dia tidak memahami hakekat dien dengan benar. Tidakkah anda membaca firman Allah:

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَعْبُدُ اللهَ عَلَى حَرْفٍ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انقَلَبَ عَلَى وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَاْلأَخِرَةَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ

Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi;maka jika memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (QS. Al Hajj :11)

Subhanallahu, betapa fitnah yang besar  ini telah menghalangi orang-orang untuk menegakkan hakekat agama ini dengan sebab bodoh terhadap urusan dien, bodoh terhadap hakekat nikmat yang dia cari dan untuknyalah dia bekerja keras. Seberapa besar nikmat dunia jika dibandingkan dengan nikmat akherat? Adapun perintah dan larangan sebenarnya adalah rahmat dari Allah dan juga sebagai benteng (dari mafsadah-pent). Allah menjadikan kesusahan di dunia bagi orang-orang yang beriman hingga mereka tidak merasa betah dan gandrung terhadap dunia dan mereka menggantungkan harapannya kepada akherat.

 

 KEDUA: TIDAK MAU MENGAMALKAN ILMUNYA

Terkadang seseorang memiliki pengetahuan yang sempurna, akan tetapi dia meninggalknnya karena kegersangan hatinya. Allah berfirman :

وَلَوْ عَلِمَ اللهُ فِيهِمْ خَيْرًا لأَسْمَعَهُمْ وَلَوْ أَسْمَعَهُمْ لَتَوَلَّوْا وَّهُم مُّعْرِضُونَ

“Kalau kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar. Dan jikalau Allah menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka pasti berpaling juga, sedang mereka memalingkan diri (dari apa yang mereka-mereka dengar itu).” (QS Al Anfaal 23)

Seperti tanah yang keras yang dibasahi air, maka hal itu tidak dapat menjadikan tumbuhnya tanaman lantaran tanah tersebut tidak dapat menerima (menyerap) air. Ketika hati itu keras, maka tidak dapat menerima nasehat sedangkan hati yang paling jauh dari Allah adalah hati yang keras. Demikian halnya keika hati itu sakit, maka tidak ada kekuatan padanya dan tekadpun menjadi lemah, sehingga ilmu tidak berpengaruh terhadapnya. Sifat mereka sebagaimana yang Allah sifatkan :

وَإِذَا ذُكِرَ اللهُ وَحْدَهُ اشْمَأَزَّتْ قُلُوبُ الَّذِينَ لاَيُؤْمِنُونَ بِاْلأَخِرَةِ وَإِذَا ذُكِرَ الَّذِينَ مِن دُونِهِ إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُونَ

“Dan apabila nama Allah saja yang disebut, kesallah hati orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat; dan apabila nama sembahan-sembahan selain Allah yang disebut, tiba-tiba mereka bergirang hati.” (QS Az Zumar 45)

 

KETIGA: HASAD DAN SOMBONG

Kesombongan menyebabkan iblis tak sudi mentaati Allah. Kesombongan juga menyebabkan orang-orang Yahudi tidak mau beriman kepada Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, padahal mereka mengenal Nabi,  menyaksikannya dan mengenali pula tanda-tanda kenabian beliau.  Allah berfirman :

الَّذِينَ ءَاتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَآءَهُمْ وَإِنَّ فَرِيقًا مِّنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

“Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui. (QS. Al Baqarah: 147)

Penyakit ini pula yang menyebabkan Abdullah bin Ubai bin Salul terhalang untuk beriman, demikian pula dengan Abu Jahal, yang mana ketika seseorang bertanya kepadanya sebab yang menghalangi dirinya mengimani Nabi padahal dia mengetahui bahwa beliau benar-benar seorang Nabi, maka Abu Jahal menjawab, “Kami berlomba dengan Bani Hasyim dalam hal kehormatan, hingga tatkala kami berlomba laksana kuda yang sedang bertanding tiba-tiba mereka (Bani Hasyim) berkata, “ Diantara kami ada seorang Nabi, lantas kapan kita akan mendapatkannya? Demi Allah aku tidak mau mengimaninya.”

Demikian halnya dengan orang-orang musyrik seluruhnya, pada dasarnya mereka tidak meragukan kebenaran Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan bahwa kebenaran berada dipihak beliau, akan tetapi rasa hasad dan sombong menyebabkan mereka tetap kafir dan membangkang.

 

KEEMPAT: TAKUT KEHILANGAN JABATAN

Seringkali manusia dihadapkan pada dua pilihan, antara tunduk kepada kebenaran atau kerajaan dan jabatan, lalu dia lebih condong kepada kedudukan sebagai raja dan jabatan. Sebagaimana keadaan Heraklius diakhir perbincangannya dengan dengan Abu Sufyan dia mengatakan, “Jika apa yang engkau katakan itu benar, niscaya dia akan menguasai tanah yang aku injak ini, dan kalau saja aku bisa selamat untuk menemuinya niscaya dengan susah payah aku akan menjumpainya, kalau saja aku berada di sisinya, niscaya akan aku basuh kedua telapak kakinya.” Maksudnya adalah dia tidak kuasa untuk menjumpai Nabi karena ia takut akan nasib hidupnya dan khawatir akan kehilangan jabatannya sebagai raja. Dan tiada yang selamat dari penyakit ini melainkan orang dijaga oleh Allah semacam raja Najasyi.

Inilah penyakit yang menjangkiti Fir’aun beserta antek-anteknya. Allah berfirman :

فَقَالُوا أَنُؤْمِنُ لِبَشَرَيْنِ مِثْلِنَا وَقَوْمُهُمَا لَنَا عَابِدُونَ

“Dan mereka berkata:”Apakah (patut) kita percaya kepada dua orang manusia seperti kita (juga), padahal kaum mereka (Bani Israil) adalah orang-orang yang menghambakan diri kepada kita?”(QS Al Mukminun 47)

Diriwayatkan bahwa tatkala Fir’aun hendak mengikuti Musa dan membenarkannya dia bermusyawarah dengan Haman sebagai mentrinya. Maka Haman berkata,”Apakah tuan ingin menjadi hamba yang menyembah kepada selain tuan setelah tadinya orang lain yang menyembah tuan?” Maka Fir’aun memilih riyasah (jabatan) daripada hidayah.

 

KELIMASYAHWAT DAN HARTA BENDA

Inilah yang menyebabkan kebanyakan ahli kitab menolak iman karena mereka takut jika kahilangan pangan dan harta yang mana kaum mereka mengirimkan upeti kepada mereka. Adalah orang-orang kafir Quraisy mencegah seseorang dari iman karena dapat mencegah dari melampiaskan syahwatnya. Mereka mengatakan kepada orang-orang yangsuka berzina,”jika kamu Isalm maka Islam melarang perbuatan zina.”

Meraka juga berkata kepada orang yang suka dengan minuman khamr, ”sesunguhnya Islam melarang khamr.” Dengan slogan ini pula mereka menghalang-halangi Al A’sya seorang penyair yang hendak masuk Islam, mereka mengabarkan bahwa Islam mengharamkan khamr. Maka dia kembali pulang padahal dia telah berjalan menuju Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Lalu dalam perjalanan pulang unta yang ditungganginya membantingnya hingga menyebabkan ia jatuh dan mati.

Diantara ahli ilmu berkata, “saya telah berdialog dengan beberapa ahli kitab tentang Islam, kebanyakan apa yang terakhir kali mereka katakan kepadaku adalah, “Saya tidak bisa jika harus meninggalkan khamr dan meminumnya, jika saya masuk Islam kalian mencegahku dari minum khamr dan jika aku nekat kalian akan menjilidku.”  Ada pula yang lain berkata setelah aku tawarkan Islam kepadanya, “Memang apa yang anda katakan benar, akan tetapi aku memiliki kerabat yang mempunyai banyak harta. Sedangkan kalau saya masuk Islam, maka aku tidak mendapatkan bagiannya sedikitpun padahal saya ingin mendapatkan warisan darinya.” Tidak diragukan lagi bahwa sikap seperti ini banyak dirasakan di hati kebanyakan orang-orang kafir. Ketika pada diri mereka berhadapan antara kekuatan yang menyeru kepada syahwat dan harta dengan seruan iman yang lemah, maka tidak diragukan lagi bahwa ia akan menyambut seruan syahwat dan harta. Allah berfirman :

وَمَن لاَّ يُجِبْ دَاعِيَ اللهِ فَلَيْسَ بِمُعْجِزٍ فِي اْلأَرْضِ وَلَيْسَ لَهُ مِن دُونِهِ أَوْلِيَآءَ أُوْلَئِكَ فِي ضَلاَلٍ مُّبِينٍ

“Dan orang yang tidak menerima (seruan) orang yang menyeru kepada Allah maka dia tidak akan melepaskan diri dari azab Allah di muka bumi dan tidak ada baginya pelindung selain Allah.Mereka itu dalam kesesatan yang nyata”. (QS. Al Ahqaaf: 32)

 

KEENAMLEBIH MENCINTAI KELUARGA KERABAT DAN FAMILI

Mereka memiliki opini bahwa jika dia mengikuti kebenaran sedangkan keluarganya menentangnya maka dia akan dijauhi dan diasingkan oleh mereka. Inilah yang menyebabkan kebanyakan orang kafir tetap dalam kekafirannya karena ingin tetap bersama kaum, keluarga dan familinya. Kedaaan ini pula yang banyak menimpa orang-orang Yahudi dan Nasrani, bagaimana jika mereka memboikot terhadap siapapun yang menyelisihi agamanya sehingga mereka seluruhnya akan memusuhinya? inilah yang menyebabkan keturunan mereka dan orang-orang yang menasabkan diri kepada mereka meninggalkan kebenaran setelah mereka mengetahui namun kemudian merekapun berpaling.

 Barangsiapa yang mulutnya sakit terasa pahit

Maka air yang segarpun baginya terasa pahit

 

KETUJUHCINTA TANAH AIR DAN BANGSA

Sekalipun dia tidak memiliki famili ataupun kerabat, akan tetapi dia berpendapat bahwa jika dia mengikuti Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam atau orang yang mengikuti kebenaran menuntut dirinya untuk keluar dari kampung dan negerinya menuju negara asing, hingga dia lebih memilih tanah airnya daripada mengikuti kebenaran atau masuk kedalam Islam setelah ia meyakini kebenarannya.

Barangsiapa yang merenungi kisah Salman Radhiyallahu ‘anhu, betapa susah payahnya beliau dalam menapaki jalan untuk mencari kebenaran, niscaya dia akan mengetahui betapa tingginya mujahadah beliau dalam memerangi hawa nafsunya. Beatapa bisa beliau meninggalkan keluarga, famili dan bahakan tanah airnya, lalu berhijrah menuju madinah sehingga beliau dijuluki “Pemburu kebenaran.”  Begitupula yang terjadi pada diri para sahabat yang lain, mereka meninggalkan keluarga, anak-anak dan harta mereka untuk berhijrah menuju kota kediaman Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengharap karunia dari Allah dan keridhaanNya, dan mereka menolong dienullah dan rasulNya. Mereka itulah Ash Shadiquun (orang-orang yang benar).

 

KEDELAPANTAKUT MENINGGALKAN ADAT NENEK MOYANGNYA

Diantara penghalang hidayah adalah seseorang yang khawatir jika dia masuk Islam dan mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berarti harus meninggalkan dan mencela adat bapak dan nenek moyangnya. Inilah yang menghalangi Abu Thalib dan yang semisalnya dari masuk Islam. Mereka melihat ketika orang-orang masuk Islam lantas mereka akan membodohkan angan-angan bapak-bapak dan nenek moyang mereka. Oleh karena itulah musuh Allah Abu Jahal tatakla melihat Abu Thalib hendak meninggal dia berkata kepadanya, “Apakah engkau hendak meninggalkan agama Abdul Muthallib?” Hingga kahirnya Abu Thalib mati dalam keadaan memegang agam Abdul Muthalib. Telah kami sebutkan di muka bahwa mereka akan menggoda seseorang dari pintu syahwatnya atau dari pintu ini. Karenanya, Abu Thalib berkata “Kalau saja engkau (Muhammad) tidak mencela agama Abdul Muthallib niscaya saya akan membuat sejuk pandangan matamu.” Dia ulang-ulang pernyataan tersebut dalam sya’irnya:

Aku tahu bahwa agama Muhammad terbaik bagi manusia

            Kalau saja bukan karena agama nenak moyang yang dicela

            Niscaya engkau dapatkan aku menerima dengan sukarela

Ada orang yang berkomentar, “ini adalah kebiasaan suatu kaum lalu dilaksanakan secara turun temurun.” Ini adalah syubhat yang dialami sebagian orang. Belum lama ini aku telah mendengar ketika kami berada di suatu dusun ada orang yang berkata, “Saya idak akan meninggalkan adat bapak dan nenek moyangku.” Allah berfirman :

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَآأَنزَلَ اللهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ ءَابَآءَنَا أَوَلَوْ كَانَ ءَابَآؤُهُمْ لاَيَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلاَيَهْتَدُونَ

“Apabila dikatakan kepada mereka:”Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul”. Mereka menjawab:”Cukuplah untuk kami apa yang kamu dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk.” (QS Al Maidah 104)

Inilah yang menyebabkan mereka tidak mau masuk Islam atau tidak mau menerima kebenaran padahala dia telah menegtahui dan bahkan meyakininya.

 

KESEMBILANTIDAK RELA MENGIKUTI ISLAM KARENA TELAH DIANUT OLEH MUSUHNYA

Diantara penyebab terhalangnya hidayah adalah seseorang tidak mau mengikuti Islam karena telah dianut oleh orang yang mereka musuhi atau mereka telah lebih dahulu menganutnya. Sebab inipun banyak menghalangi manusia dari mengikuti hidayah padahal mereka telah mengetahuinya. Yang mana seseorang memiliki musuh dan dia membenci tempat tinggalnya dan bumi tempat musuhnya berpijak dan dia bermaksud untuk selalu menselisihi musuhnya. Ketika dia melihat musuhnya telah mengikuti kebenaran, kebenciannya terhadap musuhnya menyebabkan dirinya memusuhi kebenaran dan penganutnya sekalipun terhadap mereka yang tidak ada permusuhan dengannya.

Hal inilah yang menyebabkan orang-orang Yahudi ketika berita tentang datangnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sampai kepada mereka dan orang-orang yang menjadi musuhnya telah mengikuti Nabi, ketika oranng-orang Anshar telah lebih dahulu masuk Islam menyebabkan orang-orang Yahudi tetap memerangi mereka dan mereka tetap berada diatas kekafiran, tetap berada diatas agama Yahudi.

 

KESEPULUHHUBUNGAN PERSAHABATAN, KEBIASAAN DAN TEMPAT ASAL

Kendati hal ini lebih lemah pengaruhnya jika ditinjau secara makna, akan tetapi hal ini merupakan penyebab yang paling umum terjadi atas umat dan merupakan biangnya penyimpangan. Bukan hanya menimpa sebagian besar bahkan nyaris seluruh orang yang menyimpang. Agama “kebiasaan” adalah agama kebanyakan manusia. Berpindah dari apa yang telah menjadi kebiasaan (adat yang umumnya berlaku) adalah bagaikan merubah tabiat dangan tabiat yang baru.

Shalawat dan salam semoga terlimpahkan atas para Nabi dan RasiNya, khususnya penutup para Nabi dan yang paling utama Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, betapa beliau telah merubah adat istiadat umat dari adat yang bathil meuju iman sehingga terciptalah kebiasaan yang baru dan mereka rela keluar dari adat istiadat dan tabiat yang rusak yang digambarkan oleh Allah :

إِنَّا وَجَدْنَآ ءَابَآءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى ءَاثَارِهِم مُّقْتَدُونَ

“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka“. (QS Az Zukhruf 23)

Tidak ada rasa keberatan pada jiwa melainkan hanya  mencabut agama (bathil) seseorang kemudian memindahkannya kepada kebenaran. Semoga Allah membalas  para Nabi dengan balasan yang paling utama diantara balasan yang dikaruniakan kepada umat semesta alam.

 

PENYEBAB DATANGNYA HIDAYAH

Adapun penyebab datangnya hidayah sangat banyak, diantaranya do’a, Al Qur’an, para Rasul dan bashirah akal. Sebagaimana sembuhnya seseorang dari sakitnya adalah karena adanya sebab, maka demikian pula halnya dengan hidayah. Orang yang sakit ketika dia merasa sakit mendorong dirinya untuk mendatangi dokter karena ingin mencari sembuh  dan sehat. Demikian pula dengan hidayah, tiada penghalang darinya melainkan sebab-sebab diatas yang membutakan hati sekalipun tidak buta matanya.

 

Oleh: Redaksi/Tsaqafah Islam

Imam Al-Bukhari: Imam Para Pakar Hadits Sepanjang Zaman

Namanya terlalu masyhur untuk dikenalkan, ilmunya terlalu luas untuk diukur, keutamaannya terlampau banyak untuk dibilang, lebih banyak dari bilangan kerikil dan pasir. Perjalanan hidupnya yang mengagumkan membuat tak seorangpun jemu untuk menelusuri lebih jauh siapakah gerangan sesungguhnya pemilik kitab yang paling shahih setelah kitabullah ini.

Beliau adalah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim. Lahir pada saat “sayyidul ayyaam”, usai shalat jum’at tanggal 13 Syawal 194 H. Badannya kurus, perawakannya sedang, kulit kecoklatan (sawo matang), sedikit makan, pemalu, dermawan dan zuhud. Tumbuh dalam keluarga yang pantas diteladani dalam hal ilmu dan wara’, terutama kehati-hatiannya dalam makan. Ayahnya berkata, “Didalam hartaku tidak terdapat uang yang haram ataupun syubhat sedikitpun.”

Sifat wara’ dari orang tua tersebut ternyata membuahkan keberkahan dengan lahirnya anak manusia yang pada gilirannya menjadi Imam para pakar hadits, dan tak seorang manusia hingga hari ini melainkan membutuhkan ilmunya.

Tanda-tanda kecerdasannya telah nampak ketara semenjak kecil, terutama daya hafalnya yang luar biasa. Belum genap usia sepuluh tahun, beliau sudah banyak menghafal hadits. Bahkan setelah berumur 16 tahun beliau sudah hafal kitab-kitab Abdullah bin Mubarak dan Waki’ bin Al-Jaraah.

Baca Juga: Sejarah Kemunculan Hadits Maudhu’

Bakat itu semakin memuncak ketika dipupuk dengan kesungguhan beliau dalam mencari hadits. Ketika beliau berumur 16 tahun, beliau pergi haji bersama ibu dan saudaranya. Setelah berhaji keduanya kembali ke Bukhara sementara Al-Bukhari memutuskan tinggal di Mekah. Sejak itulah pengembaraan memburu hadits dimulai. Beliau merantau ke seluruh negeri-negeri Islam untuk mendapatkan hadits. Tidak kurang dari 1.080 ulama di seluruh negeri Islam yang beliau datangi. Beliau berkata, “Saya telah pergi ke Syam, Mesir, Jazirah dua kali, ke Bashrah empat kali dan saya bermukim di Hijaz selama enam tahun, dan tak terhitung lagi berapa kali saya pergi ke Kufah dan Baghdad untuk menemui hadits.” Di Baghdad inilah beliau sering menemui Imam Ahmad bin Hambal, Imam Madzhab yang dikatakan Ar-Raazi, “Adalah Ahmad bin Hambal hafal 1 juta hadits.”

Semakin gigih beliau mencari ilmu sedangkan ilmu pun serasa cocok bersemayam di dalam jiwanya yang agung.

Terkadang untuk mencari sebuah hadits, tak segan-segan beliau rela menjual kendaraan dan barang berharga miliknya demi menemui ulama yang menyimpan hadits. Meski tidak selalu orang yang ditujunya benar-benar layak untuk diambil haditsnya.

Pernah suatu hari beliau mendatangi seseorang yang katanya memiliki hadits. Beliau menjumpainya di saat kudanya lari. Lalu dia pamerkan wadah makanan untuk kuda itu. Imam Bukhari bertanya, “Apakah dalam wadah itu betul-betul ada makanan untuk kuda itu?” Orang itu menjawab, “Tidak, ini hanyalah siasat untuk mengelabui dia supaya kuda itu mau kembali.” Dengan kecewa Imam Bukhari berpaling sambil berkata, “Aku tidak mengambil hadits dari orang yang berani menipu binatang.”

Begitulah, siang hari beliau berburu ilmu, bermalam bersama ilmu pula. Sudah menjadi kebiasaan beliau, ketika terlintas suatu ilmu dibenaknya di tengah malam beliau bangun menyalakan lampu lalu menulisnya, kemudian lampu itu dimatikan. Sebentar kemudian beliau ulangi lagi yang demikian itu, beliau mengulangi yang demikian itu hingga dua puluh kali dalam semalam.

Ilmu yang masuk ke dalam jiwanya demikian melimpah, namun serasa makin longgar daya tampungnya untuk mewadahinya, kuat mempertahankan apa yang telah dihafalnya. Tentu tidak sebagaimana umumnya kita di zaman ini, bertambahnya hafalan seringkali bersamaan dengan hilangnya sebagian hafalan yang lain karena lupa.

Bukti akan kecerdasan dan kekuatan hafalannya adalah tatkala beliau tiba di Baghdad, ulama hadits berkumpul untuk menguji kemampuannya. Mereka mencampur aduk dan mengoplos sanad dan matan hadits sebanyak 100 hadits. Matan hadits satu ditukar dengan sanad hadits yang lain dan sebaliknya. Sepuluh ulama itu massing-masing mengajukan 10 hadits yang sudah acak tak karuan. Ulama pertama membacakan 10 hadits kepada beliau, setelah selesai Al-Bukhari menjawab, “Aku tidak mengenal matan hadits seperti itu namun jalur sanadnya seperti itu.” Begitu seterusnya sampai penanya yang kesepuluh.

Setelah itu Imam Al-Bukhari kembali kepada penanya pertama dan berkata, “Hadits yang pertama tadi mestinya sanadnya adalah begini..” Hingga seratus hadits mampu beliau posisikan letak sanad dan matannya dengan tepat. Ternyata tak satupun ada kesalahan atau sanad yang tertukar. Maka ulama Baghdad menyatakan kekaguman akan kecerdasan beliau hingga mereka menjuluki beliau dengan Imam Hadits.

 

Kitab Shahih Bukhari yang Luar Biasa

Ada persitiwa mengesankan yang selalu beliau kenang. Persitiwa yang dengannya muncul kitab Shahih Al-Bukhari. Kitab yang disepakati oleh para ulama sebagai kitab paling shahih setelah kitabullah, sehingga hari ini kita tidak mungkin rasanya dapat meneladani Nabi melainkan harus dengan membuka kitab beliau.

Suatu ketika beliau mengikuti majelis syeikhnya Ishaq bin Rahawaih yang tatkala itu beliau berkata kepada para muridnya, “Andai saja di antara kalian ada yang mampu mengumpulkan hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah saw dalam sebuah kitab.” Peristiwa tersebut, begitu istimewa bagi beliau meski dianggap sederhana oleh selainnya atau tak lebih sebagai umumnya harapan bahkan dianggap angan-angan. Imam Bukhari bercerita, “Kalimat itu sangat berkesan di hatiku, sehingga aku bertekad untuk mengumpulkan hadits-hadits yang shahih.”

Baca Juga: Hadits ‘Istiqlaaliyah’, Bolehkah Dijadikan Pegangan?

Beliau tidak gegabah memasukkan hadits ke dalam kitab shahihnya. Di samping hati-hati dalam mengambil hadits dari sumbernya, beliau tidak memasukkan satu haditspun melainkan setelah istikharah sebelum menulisnya. Alangkah istimewa kitab shahihnya, alangkah luar biasa penyusunnya.

Abu Zaid Al-Marwazi, seorang ulama pengikut Madzhab Syafi’iyah yang masyhur berkata, “Suatu ketika aku bermimpi ketemu dengan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam lalu beliau berkata kepadaku, ”Sampai kapan engkau mempelajari kitab-kitab Syafi’i sedangkan engkau belum mempelajari kitabku?” Aku bertanya, “Apa kitab Anda itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Kumpulan hadits Muhammad bin Isma’il (Al-Bukhari). ”Tentu cerita ini tidak menunjukkan kerendahan kitab-kitab Imam Syafi’i, namun keunggulan kitab Shahih Al-Bukhari.

Banyak sanjungan yang disampaikan oleh para ulama masyhur perihal beliau. Di antaranya adalah Abu Bakar bin Khuzaimah berkata, “Di kolong langit ini tidak ada ahli hadits yang melebihi Muhammad bin Isma’il (Al-Bukhari)

Sedangkan Abu Hatim Ar-Raazi berkata, “Khurasan ini belum pernah melahirkan seorang yang melebihi Al-Bukhari, begitupula di Irak.”

Namun beliau bukan saja ahli dalam bidang hadits dan ilmu dien. Beliau juga ahli memanah dan rajin mempelajarinya sebagai i’dad (persiapan) untuk berjihad fii sabilillah. Bahkan ada yang berkata bahwa sepanjang hidupnya hanya dua kali saja anak panahnya meleset dari sasaran.

Demikianlah, perjalanan hidup beliau penuh dengan lembaran indah amal shalih, kenangan ilmu dan teladan bagi umat yang setelahnya dalam kegigihan mencari ilmu dan mengamalkannya.

Hingga datanglah hari di mana Allah berkehendak mencabut sebagian ilmu dengan wafatnya ulama yang tiada bandingnya pada zamannya apalagi generasi yang setelahnya.

Ketika penduduk Samarkand meminta kesediaan beliau untuk tinggal di sana, beliau berangkat menuju ke sana. Beliau mampir di sebuah desa Khartank yang terletak 2 farsakh dari Samarkand untuk mengunjungi sebagian kerabatnya, namun wafat menjemputnya di saat usia beliau sekitar 62 tahun. Semoga Allah membalas kebaikan beliau atas jasa-jasanya terhadap Islam dan kaum muslimin. Wallahu a’lam

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Tsaqafah Islam 

 

 

Sejarah Kemunculan Hadits Maudhu’

Selama umat Islam di bawah kepemimpinan Khulafaur arba’ah (4 khalifah pertama), hadits Nabi ﷺ senantiasa bersih, tidak ternoda kedustaan. Akan tetapi kondisi tersebut berubah tatkala umat Islam terpecah menjadi beberapa golongan. Setelah Khalifah Ali wafat, kelompok Syi’ah yang menuntut hak mereka untuk menduduki kursi khilafah. Selanjutnya muncullah kelompok-kelompok lain yang berbasis agama.

Setiap kelompok menopang argumentasinya dengan al-Quran dan as-Sunnah. Oleh karena itu, sebagian dari mereka berupaya menakwilkan al-Quran dan menafsirkan sebagian nash hadits dengan arti yang menyimpang. Namun, usaha mereka ini tidak membuahkan hasil karena keberadaan jumlah penghafal al-Quran dan para ulama dari kalangan sahabat dan murid-muridnya masih sangat banyak. Oleh karena itu, mereka berupaya mengubah dan memasukkan tambahan ke dalam as-Sunnah dan melakukan pemalsuan atas nama Rasulullah ﷺ .

Hadits-hadits palsu muncul bersamaan dengan munculnya berbagai macam kelompok itu. Para pemalsu membuat hadits itu untuk menyerang kelompok lainnya, dan sebaliknya kelompok tersebut juga membuat hadits palsu untuk membela diri. Demikian seterusnya, sehingga muncul sekumpulan hadits palsu yang berhasil diungkap oleh para ulama.

Baca Juga: Al-Quran dan Hadits: Dua Pedoman dalam Menyandarkan Agama Islam

Munculnya hadits palsu diperkirakan mulai tahun 41 H. Pada masa tabi’in (murid para shahabat) pemalsuan hadits lebih sedikit dibandingkan dengan pada masa tabi’ut tabi’in (murid tabi’in) karena masih banyak sahabat dan tabi’in yang mengamalkan as-Sunnah. Mereka dapat membedakan mana hadits yang shahih dan mana yang palsu.

 

Banyak Muncul di Irak

Dahulu, hadits-hadits maudhu’ banyak muncul di Irak, tempat munculnya sebagian besar pemberontakan. Irak dikenal dengan daerah pemalsu hadits sehingga dijuluki “Darul Dharb” (Rumah Percetakan). Penduduk Madinah sangat berhati-hati terhadap hadits yang bersumber dari Irak. Sehingga Imam Malik berkata:

“Perlakukanlah hadits-hadits yang bersumber dari penduduk Irak seperti berita-berita yang bersumber dari Ahlu Kitab, jangan engkau membenarkan dan jangan pula engkau mendustakannya.”

Hadits palsu atau hadits maudhu’ adalah hadits dengan tingkat kelemahan paling rendah. Di dalam ilmu hadits, bisa diterima atau tidaknya sebuah hadits, dilihat dari dua hal; matan atau lafadz haditsnya dan sanad atau jalur periwayatan. Hadits maudhu’ dikategorikan sebagai hadits mardud (tertolak) karena hadits tersebut cacat dari sisi jalur periwayatan.  Sebab salah seorang perawinya diketahui berdusta. Ia mengklaim ucapan seseorang sebagai hadits lalu menyebarluaskannya.

 

Sebab Munculnya Hadits Maudhu’

Ada beberapa faktor yang mendorong pemalsuan hadits:

Pertama, Fanatisme golongan

Dalam kitab Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abi al-Hadid berkata, “Pertama kali kedustaan dalam hadits tentang keutamaan (fadhilah), dilakukan oleh Syi’ah. Sejak pertama, mereka memalsukan hadits yang berbeda mengenai diri Ali. Pemalsuan hadits tersebut didorong rasa permusuhan terhadap para lawan. Ketika al-Bakriyah (pendukung Abu Bakar) melihat apa yang dilakukan syi’ah, mereka pun memalsukan hadits mengenai diri Abu Bakar sebagai tandingan hadits yang dibuat Syi’ah.

Syi’ah membuat banyak hadits dan mengubah sebagian hadits sesuai dengan keinginan mereka. Mereka memalsukan hadits-hadits tentang sisi positif Ali dan hadits yang menonjolkan sisi negatif Mu’awiyah dan para pendukung Bani Umayah. Mereka juga menjelek-jelekkan sahabat Abu Bakar, Umar dan sahabat lain.

Kedua, Usaha untuk Mendeskreditan Islam

Setelah kehadiran Islam, kekuasaan Kisra dan Kaisar roboh. Namun mereka tidak mampu untuk membalas dendam dengan pedang karena kekuasaan Islam telah sedemikian kokoh. Maka mereka berusaha menjauhkan kaum muslimin dari akidahnya dengan cara menciptakan kebatilan dan berdusta atas nama Rasulullah SAW. Hal itu mereka lakukan untuk menodai citra Islam. Sebagai contoh:

Diriwayatkan bahwa ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, terbuat dari apakah Tuhan kita? Rasulullah menjawab, ‘Dari air yang berlalu (tidak diam), tidak dari bumi dan tidak pula dari langit. Dia menciptakan seekor kuda kemudian menjalankan kuda itu maka berkeringatlah kuda itu. Kemudian dia menciptakan diri-Nya dari keringat kuda itu.”

Baca Juga: Hadits ‘Istiqlaaliyah’, Bolehkah Dijadikan Pegangan?

Mereka lebih membahayakan Islam daripada yang lain. Diantara mereka ada yang keterlaluan dalam mendustakan hadits, seperti al-Karim bin al-Auja’. Ia berkata, “Demi Allah sungguh aku membuat hadits-hadits untukmu sebanyak 4000 hadits. Dan hadits itu mengharamkan apa yang halal dan sebaliknya.”

Ketiga, Diskriminasi Etnis dan Fanatisme Kabilah, Negara dan Imam

Pada masa pemerintahannya, Dinasti Umayyah secara khusus mengandalkan etnis Arab, sebagian mereka bersikap fanatik terhadap kebangsaan Arab dan Bahasa Arab. Maka muncullah kelompok Mawalli (kaum muslimin non Arab), yang berupaya mewujudkan persamaan hak antara kaum muslimin non Arab dengan etnis Arab. Mereka memanfaatkan sebagian besar gerakan pemberontakan dengan cara bergabung ke dalamnya untuk mewujudkan keinginannya. Selain itu, mereka berupaya menandingi kebanggan etnis Arab. Inilah yang mendorong mereka memalsukan hadits-hadits yang isinya menjelaskan kelebihan-kelebihan mereka. Misalnya hadits:

“Sesungguhnya pembicaraan orang-orang yang berada di sekitar ‘Arsy adalah dengan bahasa Persia, dan sesungguhnya jika Allah mewahyukan sesuatu yang lunak (menggembirakan) maka Allah mewahyukan dengan bahasa Persia, dan jika Dia mewahyukan sesuatu yang berupa ancaman maka Dia mewahyukan dengan bahasa Arab.”

Selain hadits palsu yang berbicara tentang bahasa, etnis dan kabilah, hadits palsu juga dibuat tentang kelebihan negara atau imam tertentu.

Keempat, tendensi duniawi berupa popularitas dan usaha menjilat penguasa

Pada masa-masa akhir pemerintahan Khulafaur Rasyidin, muncul kelompok-kelompok pendongeng dan penasihat yang jumlahnya terus bertambah. Selanjutnya mereka berkembang ke masjid-masjid yang berada di dalam kekuasaan Islam. Para pendongeng ini membuat hadits palsu dengan tujuan untuk mendapatkan uang.

Ada pula yang menjilat para penguasa dengan membuat hadits yang dapat memuaskan mereka. Hal ini benar-benar terjadi pada masa Abbasiyah. Contohnya adalah, Ghiyats bin Ibrahim berdusta untuk Khalifah al-Mahdi dalam hadits, “Tidak ada perlombaan kecuali dengan permainan memanah, sepatu atau kuda.” Kemudian Ghiyats menambahkan, “ atau sayap”, ketika ia melihat al-Mahdi bermain-main dengan burung dara. Al-Mahdi kemudian menyuruh orang untuk menyembelih burung merpati tersebut dan memberikan kepada Ghiyats uang sebanyak 10.000 dirham. Dr. As-Siba’I berkata, “Khalifah dan gubernur pada masa itu bersikap lemah dan meremehkan efek dari pemalsuan hadits.”

Kelima, pemahaman yang keliru dari madzhab al Karramiyah

Madzhab sesat ini mengklaim bolehnya memalsukan hadits dalam rangka targhib dan tarhib, menghasung manusia berbuat baik dan menakut-nakuti mereka dari maksiat. Mereka berdalil dengan sebuah hadits shahih yang sudah dimodifikasi yang berbunyi, ” Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaknya ia mengambil tempat duduknya di neraka.” Dengan ditambahi lafadz ” secara sengaja untuk menyesatkan manusia.” Mereka berargumen, “kami berdusta untuk kebaikan beliau, bukan untuk menodai beliau.

 

Haram Meriwayatkannya

Hadits palsu adalah hadits yang sama sekali tak bisa dijadikan dalil. Bahkan menurut kesepakatan ulama, meriwayatkan hadits palsu adalah haram jika tidak disertai keterangan bahwa hadits tersebut maudhu’. Rasulullah SAW bersabda,

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّداً فَلْيِتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaknya ia mengambil tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari Muslim)

Kita bisa mengetahui hadits-hadits palsu tersebut dengan membaca keterangan para ulama atau buku-buku yang mereka akrang seperti: Kitab al Maudhu’at, karya Ibnul Jauzi atau al Laali’ al Mashnu’ah fiel Ahadits al Maudhu’ah karya Ibnu Iraq al Kinani.

Meski beberapa hadits sering kita dengar, kita harus memastikan terlebih dahulu keshahihannya sebelum menjadikannya dalil atau mengajarkannya. Sebab, ada beberapa hadits yang menurut ulama maudhu’ tapi sangat terkenal di tengah kita misalnya  “ hubbul wathan minal iman” (cinta tanah air sebagian dari iman), “al haya’ yamna’ur rizq” (malu menghalangi rezeki) seperti dijelaskan dalam kitab Maudhu’at ash Shaghani, karya ar Ridha ash Shaghani. Juga hadits ” raja’na minal jihadil ashghar ilal jihadil akbar qala jihadil qalbi” (kita pulang dari jihad kecil menuju jihad yang lebih esar, beliau berkata, ‘ Yaitu jihad hati.) yang menurut Ibnu Hajar adalah perkataan dari Ibrahim bin Ailah (dalam kitab Kasyful Khafa’, karya al Ajluni).

Wallahua’lam.

 

Oleh: Redaksi/Tsaqafah

Referensi: Taisir Mushthalahul Hadits, DR. Mahmud Thahhan. Maudhu’at ash Shaghani, karya ar Ridha ash Shaghani Kasyful Khafa’, karya al Ajluni, Tanzih asy-Syari’ah al-Marfu’ah, Muqaddimah al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Hajjaj,