Menangisi Mayat Menambah Siksa Mayit?

Pertanyaan:

Ada yang mengatakan, jika orang hidup teringat orang yang telah meninggal, misalnya anak teringat orang tuanya yang telah meninggal kemudian berduka, menangis dan mengenangnya, maka hal itu menyebabkan si mayat tersiksa dan menimbulkan keburukan baginya. Sehingga kita tidak boleh mengingat-ingat si mayat dengan kesedihan, tangisan tapi cukup dengan doa dan memohonkan ampun serta rahmat bagiya, apakah ini benar?

 

Jawab :

Terdapat riwayat dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda:

إِنَّ الْمَيِّتَ لَيُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ

“Sesungguhnya mayit itu disiksa karena tangisan keluarganya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Arti dari hadits di atas adalah, jika si mayat berpesan agar ditangisi, sebagaimana yang dilakukan oleh kaum jahiliyah, maka ia disiksa. Ada juga yang mengartikan, bahwa yang demikian itu jika ini sudah menjadi tradisi, lalu si mayat (ketika masih hidup) tidak memperingatkan keluarganya akan tradisi batil ini, maka ia disiksa. Ada juga yang mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan siksaan itu adalah duka dan sedih karena perbuatan mereka yang tidak diperlukan itu. Jadi bukan siksa neraka.

Adapun sekedar teringat, bersedih dan mengucap “Inna lillahi …” tidak termasuk dalam larangan ini. karena yang demikian ini banyak dialami oleh manusia, sementara manusia tidak bisa menolak kesedihan dan duka yang terdetik di dalam hatinya ketika teringat orang yang telah meningalkannya.

Jika ia teringat lalu mengucapkan “inna lillahi..” dan berdoa kepada Allah agar diberi kesabaran dan ketabahan serta diberikan pengganti yag lebih baik dari musibah tersebut, Allah akan memberinya pahala atas musibah yang dialaminya.

Fatwa oleh syaikh Ibnu Jibrin, dinukil dari buku Fatwa-Fatwa Terkini, jilid 2, hal 502

Hukum Jual-Beli dengan Orang Kafir Sementara Ada Pedagang Muslim

 

PERTANYAAN

Bagaimanakah hukumnya meninggalkan kerjasama diantara kaum muslimin, yakni dengan tidak ridha dan tidak suka membeli dagangan dari kaum muslimin tetapi suka membeli barang dari toko-toko orang kafir. Apakah hal seperti itu sebagai suatu yang halal atau haram?

 

JAWABAN:

Sesuai ketetapan hukum pokok, seorang muslim boleh membeli apa yang dibutuhkannya pada sesuatu yang dihalalkan oleh Allah, baik dari orang muslim maupun orang kafir.

Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam sendiri pernah membeli dari orang yahudi. Tetapi jika keengganan seorang muslim untuk membeli dari muslim lainnya tanpa ada sebab, baik itu dalam bentuk kecurangan, mahalnya harga dan jeleknya barang yang membuatnya lebih suka membeli dari orang kafir serta lebih mengutamakannya atas orang muslim tanpa alasan yang benar, maka yang demikian itu jelas haram, sebab yang demikian itu termasuk bentuk loyalitas kepada orang-orang kafir, meridhai dan mencintai mereka.

Baca Juga: Bolehkah Bersedekah kepada Non Muslim?

selain itu, hal tersebut dapat melemahkan perdangan kaum muslimin dan merusak barang dagangan mereka serta tidak membuatnya laris, jika seorang muslim menjadikan hal-hal itu menjadi kebiasaannya.

Adapun jika ada sebab-sebab yang menjadikannya dia berpaling sebagaimana telah disebutkan, hendaklah dia menasehati saudaranya itu dengan memperbaiki kekurangan yang ada pada saudaranya tersebut. Apabila dia mau menerima nasehat tersebut, alhamdulillah, dan jika tidak, maka dia boleh berpaling darinya dan membeli dari orang lain, sekalipun kepada orang kafir.

wabillahittaufiiq, mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhmammad shallallahu’alaihi wasallam, keluarga dan para sahabatnya.

Fatwa al-Lajnah ad-Daimah, dinukil dari buku fatwa-fatwa jual beli, pustaka imam syafi’ie hal. 14

Hukum Shalat Di Atas Sajadah Bergambar Ka’bah dan Gambar Lainnya

Pertanyaan:

Apakah menginjak Ka’bah dan tempat-tempat suci yang ada dalam sajadah shalat itu haram? Ada propoganda yang mengajak embargo tidak membeli sajadah shalat yang ada gembar tempat-tempat suci agar tidak menginjaknya dengan kaki. Apa pendapat syar’i dalam masalah ini? Terimakasih

 

Jawaban:

Alhamdulillah

Menggambar yang tidak ada ruh baik benda mati atau tumbuhan serta semisalnya tidak mengapa. Termasuk dalam hal ini Ka’bah dan tempat-tempat suci selama tidak ada gambar orangnya. Akan tetapi hendaknya jamaah shalat tidak shalat di hadapan gambar atau di sajadah yang ada gambarnya agar tidak mengganggunya.

Telah diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dari Aisyah sesungguhnya Nabi sallallahu alaihi wa sallam mempunyai kelambu yang ada gambarnya, maka beliau melihat sepintas gambar tersebut, lalu ketika selesai beliau mengatakan,

 

اذْهَبُوا بِخَمِيصَتِي هَذِهِ إِلَى أَبِي جَهْمٍ وَأْتُونِي بِأَنْبِجَانِيَّةِ أَبِي جَهْمٍ فَإِنَّهَا أَلْهَتْنِي آنِفًا عَنْ صَلَاتِي وَقَالَ هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُنْتُ أَنْظُرُ إِلَى عَلَمِهَا وَأَنَا فِي الصَّلَاةِ فَأَخَافُ أَنْ تَفْتِنَنِي

“Pergilah kalian dengan kain ini ke Abu Jahm dan datangkan kain kasar Abu Jahm. Karena ia barusan melenakan dalam shalatku. Hisyam bin Urwah mengatakan dari ayahnya dari Aisyah, Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Saya barusan melihat gambarnya, sementara saya dalam shalat, saya khawatir menggangguku.”

Kata ‘Khomishoh’ adalah baju bergaris dari sutera atau wol

Kata ‘Al-A’lam’ adalah ukiran dan hiasan

Kata ‘Anbajaniyah adalah kain tebal tidak ada gambar dan ukiran.

Dimakruhkan shalat di atas sajadah yang bergambar dan ada ada hiasannya karena dapat mengganggu dan melalaikan jamaah shalat. Bukan seperti yang disebutkan dalam pertanyaan yaitu karena ada penghinaan tempat suci dengan menginjaknya. Yang nampak hal itu tidak ada penghinaan dalam hal ini. Bahkan sajadah-sajadah ini sangat dijaga oleh pemiliknya dan biasanya menjadikan ruang kosong untuk tempat pijakan kaki.

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya tentang sajadah yang ada gambar masjid apakah shalat di atasnya?

Maka beliau menjawab, “Pendapat kami, hendaknya tidak menaruh sajadah untuk Imam yang ada gambar masjidnya. Karena terdakang mengganggu dan memalingkan pandangannya dan ini mengurangi kekhusyukan shalat. Oleh karena itu ketika Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam shalat dengan kain yang ada gambarnya, beliau melihat selintas gambarnya. Ketika selesai beliau mengatakan, “Pergi dengan kain bergambar ini ke Abu Jahm. Dan datangkan kepadaku dengan kain kasar yang  tidak bergambar karena ia berusan melalaikan shalatku.” Muttafaq ‘alaihi dari hadits Aisyah radhiallahu anha.

Kalau seorang Imam shalat di atas sajadah bergambar sedangkan ia tidak tergangu dengan hal itu, karena buta atau karena hal ini seringkali dilewati sehingga tidak ada perhatian dan tidak mengalihkan pandangannya, maka kami berpendapat tidak mengapa shalat di atasnya. Wallahu muwafiq. Selesai dari ‘Majmu Fatawa Syekh Ibnu Utsaimin, (12/362).

 

Oleh: Ust. Taufik al-Hakim/Fatwa

 

Baca Fatwa Lainnya Tentang:

Hukum Menjadikan Bekam Sebagai Pekerjaan Tetap, Hukum Mengucapkan “al-marhum” Bagi Orang Meninggal, Gaya Rambut Terlarang

Hukum Menjadikan Bekam dan Ruqyah Sebagai Pekerjaan Tetap

Tanya:

Assalaamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh. Ustadz mau nanya, apakah diperbolehkan menjadikan bekam dan ruqyah sebagai aktifitas tetap untuk mencari maisyah? Demikian, dan Jazaakumullah atas jawabannya. Wassalaamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.

Hamba Allah

 

Jawab:

Tentang bekam, mengambil upah atau mencari ma’isyah darinya, kebanyakan para ulama menghukuminya halal. Hal demikian didasari karena berobat dengan bekam itu sunnah, Nabi shallallau ‘alaihi wasallam juga pernah bekam lalu memberi upah pada shahabat yang sudah membekamnya sebagaimana riwayat Bukhari dan Muslim dari shahabat Anas bin Malik. Ibnu Abbas juga pernah bercerita, bahwa Nabi shallallau ‘alaihi wasallam pernah bekam lalu memberi upah kepada orang yang membekamnya. Seandainya haram tidak mungkin beliau memberi upah padanya.

Al-Laits bin Sa’ad bercerita, aku pernah bertanya pada Rabi’ah tentang upah al-Hajjaam (tukang bekam), “Tidak mengapa, bahkan dahulu di zaman Umar bin Khattab ada pasar khusus tukang bekam.” Jawabnya. Imam Malik berkata, “Upah tukang bekam bukan amalan yang dibenci, aku berpendapat tidak apa-apa.” Yahya bin Sa’id juga berkata, “Kaum muslimin tidak pernah melarang upah tukang bekam, mereka membolehkannya.”

Baca Juga: Hukum Mengucapkan “Al-Marhum” Bagi Orang Meninggal

Walau demikian, diantara para ulama, yaitu sebagian dari ahlu hadits ada yang mengharamkan upah dari bekam. Hal demikian karena tidak sedikit hadits yang secara jelas mencelanya. Diantaranya hadits dari Rafi’ bin Khadij, bahwa Nabi shallallau ‘alaihi wasallam bersabda:

 

كَسْبُ الْحَجَّامِ خَبِيثٌ، وَمَهْرُ الْبَغِيِّ خَبِيثٌ، وَثَمَنُ الْكَلْبِ خَبِيثٌ

Upah tukang bekam itu buruk, upah pezina itu buruk dan jual beli anjing itu buruk.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi)

Kesimpulan yang lebih tengah-tengah dalam hal ini, sebagaimana diungkapkan oleh Dr. Abdullah Faqih dalam fatawa Asy-Syabakah Al-Islamiyah, bahwa bagi mereka yang membutuhkan upah dari jasa bekamnya maka tidak mengapa mengambil dan mensyaratkannya. Tapi bagi mereka yang tidak membutuhkannya dan hal demikian ia lakukan sebagai bentuk bantuan pada sesama kaum muslimin maka baginya pahala dan kebaikan di sisi Allah ta’ala, bahkan sebagian ulama Syafi’iyyah mengkategorikan pengobatan bekam dengan fardhu kifayah.

Demikian Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika ditanya tentang upah tukang bekam, beliau menyitir ayat An-Nisa: 6, “Barangsiapa mampu, maka hendaklah ia menahan diri dan barangsiapa miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.” Lalu berkata, “Demikian dalam permasalahan ini (upah tukang bekam), karena syari’at dibangun di atas landasan mengambil kemaslahatan dan menjauhkan kerusakan.”

Adapun ruqyah, juga tidak mengapa mengambil upah darinya. Nabi shallallau ‘alaihi wasallam bersabda:

 

إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ

Sesungguhnya sesuatu yang paling layak kalian ambil upah darinya adalah kitabullah.” (HR. Bukhari)

Dari Nabi saw juga menyetujui perbuatan para shahabat yang mengambil upah atas ruqyahnya, sebagaimana riwayat Bukhari Muslim dari shahabat Abi Sa’id Al-Khudri. Dan kedudukannya seperti seorang yang mengobati orang sakit, dia membacakannya pada orang yang sakit agar mendatangkan manfaat padanya yaitu kesembuhan, demikian menurut Syeikh Shalih al-Utsaimin.

Imam An-Nawawi ketika mengomentari hadits persetujuan Nabi shallallau ‘alaihi wasallam atas tindakan shahabatnya yang mengambil upah dari jasa ruqyah, ia berkata, “Ini jelas menunjukkan kebolehan mengambil upah dari jasa ruqyah dengan surat al-Fatihah dan dzikir lainnya. Ia adalah halal tidak dibenci sama sekali, sebagaimana upah pengajaran al-Qur’an, demikian menurut madzhab Syafi’i, Malik, Ahmad, Isahq, Abu Tsur dan ulama salaf lainnya, adapun Abu Hanifah melarang upah pengajaran al-Qur’an dan membolehkan upah dari jasa ruqyah.”

Baca Juga: Hukum Berobat dan Menjual Obat yang Haram

Menurut Ibnu Taimiyah, tidak mengapa mengambil upah dari jasa ruqyah sebagaimana pendapat imam Ahmad. Menurut syeikh Fauzan, mengambil upah dari jasa ruqyah adalah halal, karena Nabi shallallau ‘alaihi wasallam pun menyetujui atas perbuatan shahabatnya yang berbuat demikian. Demikian menurut Syeikh Abdullah bin Baz.

Yang perlu ditekankan dalam hal ini, -sebagaimana perkataan Syeikh Abdullah bin Jibrin- bagi orang yang melakukan ruqyah agar lebih mengedepankan manfaat bagi kaum muslimin, memohon pahala Allah ta’ala agar disembuhkan dari penyakitnya, dan menjauhkan bahaya darinya. Lalu tidak meminta upah atas jasa ruqyahnya, tapi biarlah urusannya dikembalikan pada yang sakit, bila memberinya dan dianggap berlebihan maka dikembalikan sebagiannya. Sikap seperti ini merupakan penyebab terbesar atas kesembuhan penyakit tersebut.

Bahkan menurut Syeikh Utsaimin, dibolehkan bagi yang sakit ketika akan diruqyah mensyaratkan kesembuhan yang dengannya ia memberi upah, tapi bila tidak sembuh maka ia tidak memberi apa-apa.

(Lihat: Fatawa Asy-Syabakah Al-Islamiyah:2/3624, Al-Muhalla:13/24, Liqaa’at Al-Bab Al-Maftuh:8/34, Aunul Al-Ma’bud: 7/406)

 

Oleh: Redaksi/Fatwa


Ingin berlangganan Majalah Islami yang menyajikan bacaan bagus untuk keluarga dan wanita? Hubungi Keagenan Majalah ar-risalah terdekat di kota Anda, atau hubungi kami di nomer: 0852 2950 8085

Gaya Rambut yang Terlarang

Apa itu Qoza’? apa hukum seperti yang dilakukan sebagian para pemuda dengan mencukur sisi kepala dan meninggalkan di tengahnya?

 

Syekh Muhammad bin Ibrahim ditanya tentang hal itu, maka beliau menjawab, “Khusus terkait dengan rambut, maka diantara petunjuk Nabi sallallahu alaihi wa sallam pada rambut kepalanya adalah meninggalkan semua atau mengambil semuanya. Beliau tidak mencukur sebagian dan membiarkan sebagian lainnya. Sementara apa yang dilakukan sebagain umat Islam dengan mencukur sebagian kepala dan meninggallan sebagian. Maka ini termasuk Qaza’ yang dilarang oleh Nabi sallallahu alaihi wa sallam. Dan itu ada banyak macamnya:

–          Mencukur di beberapa tempat di kepala dan meninggalkan pada tempat lain

–          Mencukur sisi kepala dan meninggalkan di tengahnya

–          Mencukur di tengahnya dan membiarkan di sisi lainnya

–          Mencukur di depan dan meninggalkan di belakang

–          Mencukur di belakang dan meninggalkan di depan

–          Mencukur sebagian salah satu sisi dan meninggalkan sisanya.

Ini adalah macam-macam (Qoza’) yang menunjukkan akan pengharamannya adalah apa yang ada di dalam dua shahih (Bukhari dan Muslim) dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma berkata:

 

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ القَزَعِ أَنْ يُحْلَقَ رَأْسَ الصَبِي وَيَتْرُكَ بَعْضَ شَعْرِهِ

“Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam melarang tentang Qaza’. Yaitu mencukur rambut anak dan meninggalkan sebagian rambutnya.

Dari beliau (Ibnu Umar radhiallahu anhuma) sesungguhnya Nabi sallallahu alaihi wa sallam melihat anak dipotong sebagian rambutnya dan meninggalkan sebagian lainnya. Maka beliau melarang akan hal itu. Seraya bersabda, “Cukurlah semuanya atau biarkan semuanya.

Dari Umar radhiallahu anhu sampai kepada Nabi sallallahu aliahi wa sallam:

 

حَلْقُ القَفَا مِنْ غَيْرِ حِجَامَةِ مَجُوْسِيّة

“Mencukur bagian belakang selain untuk berbekam itu (prilaku) orang Majusi.

Dalam sunan Abu Dawud dari Anas bin Malik radhiallahu anhu, bahwa beliau melihat anak-anak mempunyai dua tanduk atau dua cukuran. Maka beliau mengatakan, gundul atau cukur pendek dua hal ini. Karena ini seragam Yahudi. Mardawai mengatakan, saya bertanya kepada Abu Abdillah (Maksudnya Imam Ahmad) tentang mencukur di belakang (tengkuk) maka beliau menjawab, “Ia termasuk perbuatan orang Majusi. Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk di dalamnya.

Fatawa Al-Mar’atul Muslimah, 2/510/Redaksi/Fatwa

 

Hukum Mengucapkan “Al-Marhum” Untuk Orang Meninggal

Ada sebuah tradisi yang sudah mengakar di Indonesia ketika menuliskan nama seseorang yang sudah meninggal atau menyebut namanya dalam suatu pembicaraan. Orang-orang biasanya mengatakan al-marhum atau menulis dengan singkatan (alm). Dengan harapan, apa yang diucapkan tersebut akan menjadi doa bagi orang yang telah meninggalkan mereka, dan untuk menghormati jasa-jasa mereka ketika masih hidup. 

Bagaimana Hukumnya?

Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya bagaimana hukumnya ketika ada yang meninggal, orang-orang mengucapkan,

يَاأَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ

 ارْجِعِي إِلىَ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَةً

Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya.  (QS. Al Fajr:27-28)

 

Jawaban beliau: Hal ini tidak boleh diucapkan terhadap seseorang secara khusus karena merupakan bentuk persaksian bahwa orang tersebut termasuk golongan yang ada pada ayat.

Dalam fatwa lain juga dinyatakan bahwa menyebut orang yang meninggal dengan sebutan al-marhum (yang dirahmati) atau al-maghfur (yang diampuni) juga tidak diperbolehkan. Karena hal itu merupakan klaim bahwa orang tersebut adalah orang mendapat rahmat, padahal kita tidak mengetahui hakikatnya. Yang diperbolehkan adalah “ghafarahullah” (semoga Alah mengampuninya) atau “rahimahullah” (semoga Allah merahmatinya) yang sifatnya doa, bukan klaim.

 

Redaksi/Disarikan dari Fatwa Syaikh Utsaimin dan Syaikh bin Baz

 

Baca Juga: 

Hukum Berobat dan Menjual Obat Yang Haram

Pertanyaan:

Apakah hukum meminum khamr pada saat darurat dan atas perintah dokter?

 

Jawaban:

Menurut jumhur ulama, haram hukumnya berobat dengan meminum khamr dan hal-hal kotor yang telah diharamkan oleh Allah ta’ala. Wail bin Hujr telah meriwayatkan bahwasanya Thariq bin Suwaid al Ja’fi pernah bertanya kepada Nabi shallallahu’alaihi wasallam tentang khamr, maka beliau melarangnya. Kemudian Thariq bin Suwaid berkata, “Saya menggunakannya untuk obat.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya khamr itu bukan obat, tetapi penyakit.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Dari Abu Darda Radhiallahu’anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta’ala menurunkan penyakit, tetapi juga menurunkan obat. Dan Allah menjadikan setiap penyakit ada obatya. Maka, berobatlah kalian dan janganlah berobat dengan sesuatu yang haram.” (HR. Abu Daud)

 

Baca Juga: Hukum Memajang Pohon Natal Untuk Hiasan

 

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam telah melarang berobat dengan sesuatu yang kotor.” dalam lafadz yang lain disebutkan, “Yakni Racun.” (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Dalil diatas jelas mengharamkan berobat dengan khamr, sedangkan kalangan yang membolehkan berobat dengan khamr yaitu ulama kufah, maka mereka menganalogikan dengan bolehnya memakan bangkai dan darah pada saat darurat. Namun pendapat ini lemah dan bertentangan dengan dalil yang ada.

Analagi ini tidak memiliki sisi yang sama antar keduanya, sebab orang yang makan bangkai dan darah bisa menghilangkan bahanya (kelaparang-pen) dan hal ini telah terbukti. Adapun meminum khamr tidak ada buktinya menghilangkan penyakit, bahkan Nabi menjelaskan bahwa khamr merupakan penyakit bukan obat dan bukan cara (yang halal-pen) untuk mendapat kesembuhan.

 

Baca Juga: Bolehkah Bersedekah Kepada non Muslim

 

Adapun jika tersedak di tenggorokannya dan tidak ada yang bisa menghilangkan kecuali dengan meminum khamr, maka diperbolehkan baginya untuk meminum sekadarnya sehingga dapat menghindarkannya dari bahaya (kematian). Tapi dengan syarat tidak ada sesuatu yang halal, misalnya air.

Adapun tentang obat-obat yang haram, serperti morfin, kokain, dan yang semisalnya, seperti obat batuk yang mengandung alkohol, maka ini tidak termasuk kategori darurat, meski dianjurkan oleh dokter, karena masih banyak obat yang tidak mengandung alkohol.

Fatwa Dr. Sa’id Abdul Azhim

 

Wali Nikah Sekaligus Calon Suami

Pertanyaan: 

“Saya ingin menikahi anak perempuan paman saya dari jalur bapak, sedangkan saya adalah walinya karena perwaliannya diwakilkan kepada saya, kami tidak mempunyai kerabat dari ashabah (jalur laki-laki) juga tidak ada saudara laki-laki, dan tidak ada yang menggantikan saya untuk menjadi walinya, apakah saya harus mengatakan kepadanya: “Saya menikahkan anda dengan saya” dengan disaksikan oleh para saksi, dan dia menjawab: “Saya terima”, atau saya harus mewakilkan kepada bapak penghulu? Atau apa yang harus saya lakukan?”

 

Jawaban: 

Alhamdulillah

Jika wali seorang wanita adalah anak laki-lakinya paman dari jalur bapak dan dia ingin menikahinya, maka hal tersebut tidak masalah jika dia mau menerimanya.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: “Seorang wali dari wanita yang dia boleh menikahinya adalah anak laki-laki dari paman jalur bapaknya, tuannya, hakim atau penguasa dengan syarat jika wanita tersebut mau menikah dengannya, maka silahkan saja”. (Al Mughni: 7/360)

 

Opsi Pertama

Dalam kondisi seperti itu maka dia boleh menikahkan dirinya sendiri dan wanita tersebut karena dia sebagai walinya dengan mengatakan: “Saya telah menikah dengan anda” atau “saya menikahkan diri sendiri dengan fulanah” atau dengan ungkapan lain yang serupa. Dan tidak membutuhkan jawaban: “Saya terima”; karena seorang wanita tidak berhak terlibat langsung dalam akad nikah tidak untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain, namun walinya yang mengakadkan.

 

Opsi Kedua

Wali tersebut juga boleh mewakilkan perwaliannya kepada seseorang, baik wakil tersebut sebagai penghulu atau tidak. Maka wakil tersebut mengatakan: “Saya nikahkan anda dengan fulanah”, sedangkan dia (wali aslinya) menjawab: “Ya, saya terima”. Maka dengan ini akad nikah dianggap sah. Kedua opsi tersebut pernah dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum.

Imam Bukhori rahimahullah berkata:

“Bab Jika seorang wali menjadi mempelai laki-lakinya, Mughirah bin Syu’bah telah menikahi seorang wanita, yang dia sendiri adalah orang yang paling berhak atas wanita tersebut (sebagai walinya). Maka dia menyuruh seseorang untuk menikahkan dengannya.”

Abdurrahman bin Auf berkata kepada Ummu Hakim binti Qaridz: “Apakah anda menyerahkan urusan anda kepada saya?, dia berkata: “Ya”. Dia menjawab: “Berarti saya telah menikahi anda”.

‘Atha’ berkata: “Agar disaksikan bahwa saya telah menikahi anda atau agar salah seorang dari kerabat anda diminta (untuk menikahkan).”

(Al Baani menshahihkan riwayat Mughirah bin Syu’bah dan Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘ahuma dalam Irwa’ul Gholil: 1854-1855)

Namun perlu diketahui bahwa dua opsi akad tersebut harus disaksikan.

Wallahu a’lam. (Redaksi/Islamqa/Nikah

 

Baca Juga:

 

Tema Terkait: Pernikahan, Fatwa, Fikih 

 

Bolehkah Bersedekah kepada Non Muslim?

Pertanyaan

Jika seseorang sangat membutuhkan sumbangan namun ia tidak melaksanakan shalat, apakah masih boleh bagi kita untuk bersedekah kepadanya?

 

Jawaban

Alhamdulillah

Shadaqah wajib seperti zakat, kaffarat (denda), nadzar dan zakat fitrah tidak boleh dibayarkan kepada orang kafir, kecuali jika mereka para mu’allaf yang hatinya condong kepada Islam. Sedangkan shadaqah sunnah dan hasil patungan iuran, maka boleh diberikan kepada non muslim jika ada maslahat tertentu, di antaranya kerena ia sebagai keluarga dekat atau yang lainnya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Asma’ binti Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu :

( صِلِي أمك )

“Sambunglah (tali silaturrahim) dengan ibumu”.

Padahal ibu tersebut adalah seorang yang kafir.

Sedangkan zakat dan shadaqah wajib yang lain, maka tidak boleh dibayarkan kepada orang kafir kecuali para muallaf yang hatinya condong kepada Islam, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang zakat:

( تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُ عَلَى فُقَرَائِهِمْ )

“(Zakat itu) diambil dari orang-orang kaya di antara mereka, dan dikembalikan kepada orang-orang fakir di antara mereka juga”.

Maksud mereka di sini adalah kaum muslimin.

 

(Al Muntaqa min Fatawa al Fauzan: 2/333)

 

Hukum Suntikan Pada Siang Bulan Ramadhan

Karena kaget dengan pola hidup baru yang mereka jalani pada bulan Ramadhan, bnyak orang yang sakit demam, maag, badan panas dingin dan lain sebagainya. Agar kuat puasa seharian dan sampai nanti sebulan kedepan, ada yang pergike bidan meminta suntikan agar sakitnya segera reda, ada juga yang membiarkannya begitu saja. Bagi yang disuntik sedang dalam keadaan puasa, bagaimana hukumnya?

Pertanyaan

Apakah suntikan pengobatan di siang hari pada bulan ramadhan mempengaruhi puasa?

Jawaban

Suntikan pengobatan ada dua macam: pertama, suntikan infus. Suntikan ini bisa mencukupi kebutuhan makan dan minum, maka ini termasuk yang membatalkan puasa. Karena jika ada hal yang tercakup dengan makna nash-nash syariat, maka dihukumi sama sesuai nash tersebut.

Adapun jenis yang kedua adalah suntikan yag tidak mewakili makan dan minum. Jenis ini tidak tercmasuk dalam konteks lafadh maupun makna. Jadi suntikan jenis ini bukan makan dan minum, juga bukan berarti seperti makan dan minum. Maka hukum asalnya adalah puasa sah sampai ada dalil syar’I yang menetapkan bahwa hal tersebut membatalkan puasa.

(Syaikh Ibnu Utsaimin, Fatawa ash-shiyam)

Majalah ar-risalah edisi 40/ tahun 2004

 

BACA JUGA: MENCICIPI MASAKAN BAGI ORANG YANG BERPUASA

Mencicipi Masakan Bagi Orang yang Berpuasa

Pada bulan-bulan selain ramadhan, sangat lumrah kita dapati ibu-ibu mencicipi dahulu masakannya sebelum dihidangkan ke suami. Biar ketahuan bumbunya sudah pas atau belum. Jangan sampai kurang garam atau terlalu masam, bisa-bisa kena semprot suami tercinta.

Tapi, bagaimana kalau saat puasa, Padahal sebelum masuk waktu berbuka belum boleh makan dan minum?

Syaikh Ibnu Jibrin dalam Fatawa ash-Shiyam berkata,

“Tidak apa-apa mencicipi masakan jika diperlukan yaitu dengan cara menempelkannya pada ujung lidah untuk mengetahui rasa manis, asin atau yang lainnya. Namun tidak ditelan dan diludahkan atau dikeluarkan lagi dari mulut. Hal ini tidak merusak puasa. Wallahu a’lam.”

Jadi buat ibu-ibu tidak perlu risau, boleh mencicipi masakannya asalkan hanya di ujung lidah dan tidak sampai ditelan.

(Majalah ar-risalah edisi 40/ tahun 2004)

Shalat Jenazah Di Rumah Bagi Wanita

Apakah para wanita dibolehkan menshalati mayat secara berkelompok di rumah setelah dimandikan dan dikafani?

Alhamdulillah

Seorang wanita tidak mengapa shalat kepada mayat di rumahnya. Kalau mereka berkumpul dan shalat secara berjamaah, maka hal itu lebih utama. Yang menunjukkan dianjurkan shalat wanita kepada jenazah di rumahnya adalah:

Sesungguhnya Aisyah radhiallahu anha berkata,

لَمَّا تُوُفِّيَ سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ أَرْسَلَ أَزْوَاجُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَمُرُّوا بِجَنَازَتِهِ فِي الْمَسْجِدِ فَيُصَلِّينَ عَلَيْهِ فَفَعَلُوا

”Ketika Sa’ad bin Abi Waqqash meninggal dunia, istri-istri Nabi sallallahu alaihi wa sallam meminta agar jenazahnya di bawah ke  masjid agar mereka dapat menshalatkannya, kemudian hal itu mereka lakukan.(HR. Muslim)

Imam Nawawi rahimahullah mengomentari, “Adapun para wanita, kalau bersama para lelaki, maka mereka shalat mengikuti imam para lelaki. Kalau mereka perempuan semua. Syafi’i dan para ulama pengikutnya mengatakan, ‘Dianjurkan mereka melakukan shalat (jenazah) sendiri-sendiri. Masing-masing melakukan sendiri. Kalau salah seorang di antara mereka (mengimami), itu dibolehkan akan tetapi menyalahi yang lebih utama. Dalam hal ini perlu dikaji ulang. Seyogyanya mereka melakukan jamaah seperti jamaah pada (shalat) lainnya. Ini pendapat sekelompok ulama salaf diantaranya Hasan bin Sholeh, Sofyan Tsauri Ahmad dan teman-teman Abu Hanifah serta yang lainnya. Malik mengatakan, dilakukan sendiri-sendiri.” (Syarh Al-Muhadzab, 5/172)

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya, “Apakah seorang wanita dibolehkan berkumpul di salah satu rumah wanita, dan mereka shalat jenazah kepada mayat di rumah itu?”

Beliau menjawab, “Ya, tidak mengapa seorang wanita melakukan shalat jenazah. Baik dia shalat di masjid bersama orang-orang. Atau dia shalat (jenazah) di rumah jenazah. Karena para wanita tidak dilarang menshalati jenazah. Akan tetapi yang dilarang adalah ziarah kubur.”(Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin, 17/157)

Beliau juga ditanya, “Apakah seorang wanita shalat mayat di rumahnya atau di masjid?”

Beliau menjawab, “Shalat dia di rumahnya itu yang lebih utama. Jika dia keluar dan shalat bersama orang-orang juga tidak mengapa. Akan tetapi selagi hal itu tidak dikenal di kalangan kita, maka yang lebih utama adalah tidak menshalatinya. Maksudnya agar mereka tidak keluar ke masjid untuk melakukan shalat jenazah. Akan tetapi, shalat jenazah bagi wanita di rumah, jika  mayat itu termasuk keluarga. Jika mayat orang luar, maka tidak mungkin dia melakukan shalat gaib kepadanya.” (Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin, 17/114)

Wallahua’lam.

Islamqa.info

Hukum Wanita Menghajikan Laki-laki

Apakah boleh bagi seorang wanita menghajikan bapaknya?

 

Alhamdulillah

Ibnu Qudamah dalam “al Mughni” 5/27 berkata:

“Seorang laki-laki boleh mewakili sorang laki-laki ataupun wanita dalam ibadah haji, begitu juga sebaliknya menurut pendapat kebanyakan para ulama, tidak ada yang menyelisihi pendapat ini kecuali Hasan bin Shaleh, bahwa ia menjadikan makruh jika seorang wanita menghajikan laki-laki. Ibnul Mundzir berkata: ini adalah kelalaian terhadap teks hadits; karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyuruh seorang wanita menghajikan bapaknya”.

Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: Apakah boleh bagi seorang wanita menghajikan bapaknya, meskipun ia memiliki saudara laki-laki yang sudah baligh?

Beliau menjawab:

“Seorang wanita boleh menghajikan bapaknya, meskipun ia memiliki saudara laki-laki yang sudah baligh, perwakilan haji itu boleh dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan.”

Dari Abdulah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata: “Suatu ketika seorang wanita dari Khots’am mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya : “Wahai Rasulullah, kewajiban haji dari Allah belum dilaksanakan oleh bapakku sampai sekarang, sedang ia sudah sangat tua tidak mampu lagi menaiki kendaraan, apakah saya boleh menghajikannya?, beliau menjawab: “Ya”. Dan peristiwa itu terjadi pada haji wada.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ini adalah hajinya seorang wanita untuk laki-laki, tapi dengan syarat harus berangkat dengan mahram, baik dalam perjalan haji untuk dirinya atau orang lain maupun perjalanan yang lainnya”. (Fatawa Ibnu Utsaimin21/247), diringkas dari islamqa.

Memajang Pohon Natal Untuk Hiasan

Pertanyaan

“Saya tidak melakukan perayaan hari kelahiran Yesus yang dikenal dengan Natal. Akan tetapi saya mempunyai anak wanita umurnya 11 tahun yang senang pohon natal. Apakah dibolehkan menghadirkan untuknya pohon ini dan saya letakkan di rumah sebagai dekorasi rumah?”

Jawaban

Alhamdulillah
Pohon natal adalah salah satu simbol/tanda hari natal dan perayaan mereka. Sampai dinamai dengan (pohon) natal. awalnya penggunaan secara resmi seperti ini mulai pada abad keenam belas di Jerman di Katedral Strasbuck tahun 1539 M.

Muslim tidak diperbolehkan menyerupai orang kafir dalam ibadah, syiar atau tanda mereka. Berdasarkan sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian mereka.”(HR. Abu Daud, 4031 dishahehkan oleh Al-Albany dalam Irwaul Gholil, 5/109)

Maka tidak dibolehkan meletakkan pohon ini di dalam rumah seorang muslim, meskipun tanpa merayakan hari natal. Karena penggunaan dan pemilikannya termasuk suatu penyerupaan yang diharamkan. Atau pengagungan dan penghormatan simbol agama orang kafir.

BACA JUGA: Hari Raya, Syiar dan Identitas Keyakinan

Seharusnya kedua orang tua menjaga dan melindungi anak-anaknya dari hal hal yang haram, dan membentengi mereka dari api neraka. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu…” (QS. At-Tahrim: 6)

Nabi sallallahu alaihi wa sallam beliau bersabda, “Ketahuilah bahwa masing-masing kamu adalah pemimpin, dan masing-masing bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya. Seorang pemimpin bertanggung jawab terhadap rakyatnya. Seorang laki laki bertanggung jawab terhadap keluarganya dan ia akan diminta pertanggung jawaban atas mereka. Seorang istri pemimpin di rumah suami dan anaknya dan dia bertanggung jawab atasnya. Seorang budak pemimpin terhadap harta majikannya dan dia bertanggung jawab terhadapnya. Ketahuilah masing-masing kamu adalah pemimpin dan masing-masing akan diminta pertanggung jawaban terhadap yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari, 7138 dan Muslim, 1829)

Diriwayatkan dari Bukhari dan Muslim dari Ma’qil bin Yasar Al-Muzani radhiallahu anhu berkata, saya mendengar Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ

“Tidaklah seorang hamba diberi kekuasaan oleh Allah untuk memimpin suatu kaum, kemudian meninggal dunia dalam kondisi menipu rakyatnya, niscaya Allah haramkan baginya surga.”

Hendaknya anda menjelaskan kepada putri anda akan haramnya menyerupai orang kafir serta keharusan menyelesihi mereka, serta tidak disukainya mengagungkan mereka, baik terhadap pakaian, simbol atau syiar-syiarnya, agar sang anak tumbuh dalam keadaan mengagungkan agamanya, berpegang teguh dengannya, serta memiliki wala (loyalitas terhadap keimanan) dan bara (berlepas diri dari kekufuran). Hal ini termasuk salah satu pilar dalam tauhid dan landasan keimanan. Wallahu’al’am

Bacaan Dzikir Bagi Orang Yang Junub

Pertanyaan:
Bolehkah ketika seseorang dalam keadaan junub ia berdoa kepada Allah, berdzikir kepada Allah terutama doa sebelum tidur?

Jawab:
Alhamdulillah
Seseorang diperbolehkan berdoa dan berdzikir kepada Allah dalam kondisi junub. Meskipun dzikir sebelum tidur atau (dzikir) lainnya. Sebagaimana yang Terdapat dalam hadits Aisyah s, beliau berkata:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يذكر الله على كل أحيانه

“Biasanya Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam berdzikir kepada Allah dalam segala kondisinya.” (HR. Muslim)

Hadits ini sebagai pedoman dasar yaitu dzikir kepada Allah dalam segala kondisi. Meskipun dalam kondisi hadats atau junub. Dzikir bisa dengan tasbih (mengucap subhanallah), tahlil (mengucapkan lailaha illallah), takbir (mengucap Allah Akbar), tahmid (mengucap alhamdulillah) dan dzikir lainnya yang diperbolehkan dalam segala kondisi menurut kesepakatan umat Islam.

Baca juga : Shalat Syuruq Adalah Shalat Dhuha

Yang diharamkan dari dzikir adalah membaca al-Qur’an yaitu membaca satu ayat dan selebihnya. Baik hal itu dari mushaf atau dari hafalan. Karena Terdapat larangan akan hal itu. Akan tetapi dianjurkan bagi orang yang junub membasuh kemaluannya dan berwudu ketika ingin tidur. Sebagaimana Terdapat hadits bahwa Umar radhiallahu anhu berkata,

يا رسول الله أينام أحدنا وهو جنب ؟ قال : نعم إذا توضأ

“Wahai Rasulullah, apakah salah satu diantara kita tidur dalam kondisi junub? Beliau menjawab, “Ya, kalau dia sudah berwudu.” (HR. Bukhari)

Silahkan melihat Syarkh Mumti’ karangan Ibnu Utsaimin, (1/288), Taudhihul Ahkam, karangan Bassam, (1/250). Fatawa Islamiyah, (1/232). Syekh Muhammad Sholeh Al-Munajid