Beberapa Cara Pelaksanaan Puasa Asyura

Muharram adalah bulan yang mulia, hingga Allah Ta’ala menjadikan bulan tersebut sebagai salah satu bulan haram, maknanya di bulan tersebut diharamkan melakukan pertumpahan darah (perang).

Empat bulan haram itu dijelaskan oleh Rasulullah ﷺ dalam sabdanya:

”Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhar yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari dan Muslim )

Islam Menyebut Bulan Muharram sebagai syahrullah (bulan Allah). Rasulullah bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ

“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.”(HR. Muslim)

Bulan ini betul istimewa karena disebut syahrullah yaitu bulan Allah, dengan disandarkan pada lafazh jalalah Allah. Az Zamakhsyari mengatakan, “Bulan Muharram ini disebut syahrullah (bulan Allah), disandarkan pada lafazh jalalah ‘Allah’ untuk menunjukkan mulia dan agungnya bulan tersebut.”

Dalam hadits tersebut Rasulullah bersabda:

“Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah, Muharram.”

Maksud puasa disini adalah puasa secara mutlak. Dan minimalnya bagi kita tidak meninggalkan puasa Assyura yang merupakan kebiasaan para salaf.

Dari Ibnu Abbas ra ia berkata, “sesungguhnya Rasulullah melakukan puasa Assyura dan memerintahkan para sahabat untuk melakukannya”. (Muttafaq ‘alaih)

Sedangkan mengenai pahalanya termaktub dalam sebuah hadits. “Sesungguhnya Rasulullah ditanya tentang pahala puasa Assyura maka beliau bersabda ,” Akan menghapuskan dosa setahun yang lalu”. (HR. Muslim).

Adapun pelaksanaan puasa asyura ada beberapa cara antara lain:

  1. Berpuasa pada tanggal 10 Muharram dengan berpuasa sehari sebelumnya atau setelahnya

Rasulullah bersabda, “Berpuasalah kalian di hari asyura, dan selisihilah orang-orang yahudi dengan berpuasa sehari sebelumnya atau setelahnya.” (HR. Al-Haitami)

  1. Berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram

Rasulullah bersabda, “”Kalau saja aku hidup sampai tahun depan, niscaya aku akan berpuasa pada

9 muharram.” (HR. Muslim)

  1. Berpuasa pada tanggal 9, 10 dan 11 Muharram

Rasulullah bersabda, “Berpuasalah kalian di hari asyura, dan selisihilah orang-orang yahudi dengan

berpuasa sehari sebelumnya dan setelahnya.” (HR. Ahmad)

  1. Berpuasa sehari saja pada tanggal 10 muharram

Rasulullah bersabda, “Puasa di hari Asyura, sungguh aku mengharap kepada Allah dapat menggugurkan dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim)

 

Redaksi/Fikih

Belum Shalat Maghrib, Bolehkah ikut Jamaah Isya’?

Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh

Ustadz, ana mau tanya. Suatu ketika ana melakukan safar. Ana belum menunaikan shalat maghrib dan isya’. Dan ketika sampai di sebuah masjid, ana melihat jamaah sedang melakukan shalat Isya’ karena waktu menunjukkan pukul tujuh –kurang lebih-. Pertanyaan ana, apa yang harus ana lakukan? Shalat maghrib dulu atau langsung ikut jamaah, padahal ana belum shalat maghrib? Bukankah menjamak shalat itu harus urut?

Syukran.

Pembaca

 

Jawaban:

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh.

Dari pertanyaan ini, inti masalahnya ada pada apakah dalam menjamak shalat disyaratkan muwalah atau berurut sesuai urutan waktu atau tidak. Mengenai hal ini para ulama berbeda pendapat. Ada yang mensyaratkan berurut ada yang tidak. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam Majmu’ Fatawa menyatakan tidak disyaratkan berurut.

Lebih jelasnya kita simak pemaparan dari Syaikh Abdul Aziz bin Baz:

“Dalam jamak taqdim wajib adanya muwalah (dilakukan berurut dzuhur baru ashar, maghrib lalu Isya’). Jeda sedikit antara dua shalat tidak menjadi masalah. Sebab, ada contoh yang mengukuhkan hal ini dari Nabi ﷺ. Dan Beliau bersabda, ” Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Bukhari). Adapun untuk jamak ta’khir, masalahnya lebih longgar karena shalat yang kedua dijalankan pada waktunya. Tapi yang paling afdhal adalah berurut guna meneladani Nabi ﷺ. (Majmu’ Fatawa Syaikh ibnu Baz: 12/240 versi al Maktabah asy Syamilah).

Pendapat lain dari Syaikh Nasiruddin al-Albani saat ditanya dengan pertanyaan seperti ini beliau menjawab: Dia harus mengikuti imam menunaikan shalat isya’ tapi meniatkan shalat maghrib. Dan nanti jika imam hendak bangun di rakaat keempat ia meniatkan diri untuk berpisah dari imam, ia tetap duduk, tasyahud akhir lalu menyelesaikan shalatnya sendiri.” (Fatwa ini dimuat dalam majalah al Ashalah, Edisi Pertama tanggal 15 R. Tsani 1413 H (+ th 1992), hal. 49, terbit di Beirut, Libanon).

Kesimpulannya, untuk jamak ta’khir tidak diharuskan dilakukan berurut. tapi lebih baik dilakukan berurut, lebih-lebih jika melakukan shalat secara munfarid (sendirian). Akan tetapi jika bersama jamaah, boleh ikut shalat Isya’ lalu shalat maghrib, atau mengikuti pendapat syaikh al Albani di atas, dan setelah selesai, bisa bangkit kembali untuk shalat Isya’ berjamaah meski hanya mendapat satu rakaat, jika masih memungkinkan. Wallahua’lam.

Dijawab Oleh: Ust. Taufik El-Hakim/Tanya Jawab Islam

 

10 Amal Harian Penyubur Iman

Sebagaimana diketahui bahwa iman pada saatnya akan bertambah dan pada saat yang lain akan berkurang. Ia bertambah dengan amal shalih dan berkurang karena kemaksiatan. Saat kemaksiatan sudah sering dilakukan, maka iman akan berada pada posisi yang sangat mengkhawatirkan. Bila tidak segera diperbaiki dan dipompa, lama-kelamaan iman bisa saja berkarat, keropos bahkan sampai puncaknya dia akan hilang.

Maka dari itu, si pemilik iman harus senantiasa melazimi hal-hal yang bisa menjaga keimanannya. Agar iman selalu terjaga, seseorang haruslah mengupayakannya, bukan hanya menunggu dan membiarkannya. di bawah ini ada 10 amal harian yang kiranya bila dilazimi oleh seorang mukmin akan membantu menjaga bahkan menyuburkan imannya.

  1. Dzikir Pagi Sore

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعاً وَخِيفَةً وَدُونَ الجَهْرِ مِنَ القَوْلِ بِالغُدُوِّ والآصَالِ وَلاَ تَكُنْ مِنَ الغَافِلِينَ

Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS.al A’raf: 205)

  1. Rutin Shalat Dhuha

يُصْبحُ عَلَى كُلِّ سُلاَمَى مِنْ أَحَدكُمْ صَدَقَةٌ : فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ ، وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ ، وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ ، وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ ، وَأَمْرٌ بِالمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ ، وَنَهْيٌ عَنِ المُنْكَرِ صَدَقَةٌ ، وَيُجْزِىء مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِن الضُّحَى

“Pada pagi hari, setiap persendian kalian diwajibkan sedekah; setiap satu ucapan tasbih itu bernilai satu sedekah, satu kalimat tahmid bernilai satu sedekah, satu ucapan tahlil bernilai satu sedekah, satu ucapan takbir bernilai satu sedekah, memerintahkan yang ma’ruf satu sedekah, mencegah yang mungkar satu sedekah. Dan semua itu bisa diganti dengan dua rakaat shalat dhuha.” (HR. Muslim)

  1. Shalat Jamaah Tepat Waktu

لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الأَوَّلِ ، ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إلاَّ أنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لاسْتَهَمُوا

“Kalau saja manusia tahu pahala dalam panggilan shalat dan shaf awal, kemudian mereka tidak bisa mendapatkannya selain harus dengan mengundi, pasti mereka akan mengundi.”(HR.Bukhari)

  1. Menjaga Shalat Rawatib

مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يُصَلِّي للهِ تَعَالى كُلَّ يَوْمٍ ثِنْتَيْ عَشرَةَ رَكْعَةً تَطَوُّعاً غَيرَ الفَرِيضَةِ ، إلاَّ بَنَى الله لَهُ بَيْتاً في الجَنَّةِ

“Tidaklah seorang hamba melakukan shalat sunah dengan ikhlas lillaahi ta’ala setiap hari sebanyak 12 rakat, melainkan pasti Allah akan membangunkannya rumah di jannah (HR. Muslim)

  1. Qira’ah Al-Qur’an 1 Juz

اقْرَؤُوا القُرْآنَ ؛ فَإنَّهُ يَأتِي يَوْمَ القِيَامَةِ شَفِيعاً لأَصْحَابِهِ

“Bacalah al Quran karena sesungguhnya al-Quran akan datang sebagai pemberi syafaat bagi sahabatnya (orang yang rajin qira’ah qur’an).” (HR. Muslim)

  1. Berusaha Selalu dalam Kondisi Suci

من تَوَضَّأ فَأَحْسَنَ الوُضُوءَ ، خَرَجَتْ خَطَايَاهُ مِنْ جَسَدِهِ حَتَّى تَخْرُج مِنْ تَحْتِ أَظْفَارِهِ

“Sesiapa yang berwudhu dan membaguskan wudhunya, kesalahan-kesalahannya akan keluar dari jasadnya, bahkan sampai keluar dari ujung kuku-kukunya.” (HR. Muslim)

  1. Sedekah Harian

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ الصَّدَقَةِ أَعْظَمُ أَجْرًا قَالَ: أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ ، تَخْشَى الْفَقْرَ وَتَأْمُلُ الْغِنَى ، وَلاَ تُمْهِلُ حَتَّى إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ قُلْتَ لِفُلاَنٍ كَذَا ، وَلِفُلاَنٍ كَذَا ، وَقَدْ كَانَ لِفُلاَنٍ

“Seorang lelaki datang menemui Rasulullah ﷺ dan bertanya, “ Wahai Rasulullah, sedekah apa yang paling utama?” Rasulullah ﷺ menjawab, “Bersedekah saat kau dalam kondisi sehat dan kikir; takut miskin dan sedang berharap menjadi kaya, tidak menunda sampai nyawa sampai di tenggorokan baru kau berkata, “Aku sedekahkan ini untuk si fulan segini dan si fulan segini,” padahal itu sudah menjadi bagian si fulan (ahli warisnya).”(HR. Bukhari)

  1. Membaca Buku

قُلْ هَلْ يَسْتَوي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ

Katakanlah (hai Muhammad) Adakah sama antara orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS. Az-Zumar: 9).

  1. Istighfar Minimal 100 Kali

والله إنِّي لأَسْتَغْفِرُ الله وأَتُوبُ إِلَيْه في اليَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً

“Demi Allah, Aku selalu beristighfar dan bertaubat kepada-Nya lebih dari tujuh puluh kali dalam sehari.” (HR. Bukhari)

  1. Witir Sebelum tidur

عن أَبي هريرة – رضي الله عنه – ، قَالَ : أوْصَانِي خَلِيلي – صلى الله عليه وسلم – بِصِيَامِ ثَلاَثَةِ أيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَرَكْعَتَي الضُّحَى ، وَأنْ أُوتِرَ قَبْلَ أنْ أرْقُدَ . متفقٌ عَلَيْهِ

“Dari Abu Hurairah berkata, “Kekasihku (Rasulullah ﷺ) mewasiyatkan padaku agar melaksanakan shaum tiga hari setiap bulan, dua rakaat dhuha dan shalat witir sebelum tidur.” (Muttafaq alaih).

Semoga kita diberi keteguhan hati untuk melazimi amal harian di atas dalam keseharian kita.

 

Oleh: Redaksi/Ibadah

Menuai Berkah Dengan Shalat Sunah Di Rumah

”Kok si fulan gak pernah shalat sunah ya, hampir setiap kali selesai shalat wajib dan berdzikir ia langsung pulang ke rumahnya.”

Demikian gumam hati saya setiap kali memperhatikan si fulan tersebut. Ada rasa su’uzhan berkecamuk di dalam dada, karena bagaimanapun ia adalah salah seorang ustadz lulusan timur tengah yang sudah tentu faham tentang keutamaan shalat sunah rawatib. Namun rasa su’udhan tersebut tiba-tiba hilang ketika suatu saat saya berkunjung ke rumahnya persis setelah selesai mengerjakan shalat wajib dan berdzikir. Ketika saya mengetuk pintu, yang nongol justru anaknya yang menyuruh untuk menunggu sebentar, katanya sang abi sedang mengerjakan shalat sunah. Ternyata beliau mempunyai kebiasaan mengerjakan shalat sunah di rumah.

 

Meneladani Kebiasaan Salaf

Shalat sunah disebut juga shalat nawafil atau tatawwu’. Yang dimaksud dengan nawafil ialah semua perbuatan yang tidak termasuk dalam fardhu. Disebut nawafil karena amalan-amalan tersebut menjadi tambahan atas amalan-amalan fardhu dan juga sebagai penyempurna dari yang kurang.

Menilik dari apa yang dilakukan sang ustadz diatas sebenarnya bukan suatu hal yang aneh, karena sejatinya demikianlah Rasulullah ﷺ dan para salaf shaleh melaksanakan shalat tersebut. Mereka membiasakan diri untuk mengerjakannya di rumah, tidak sebagaimana yang dilakukan kebanyakan muslimin hari ini yang mengerjakannya di masjid.

Baca Juga: Memuliakan Marbut Masjid

Shalat sunnah sebenarnya boleh dilakukan di mana saja, di masjid, rumah, atau segala tempat yang suci seperti tanah lapang dan lainnya. Tetapi shalat sunnah di rumah itu lebih utama, kecuali untuk shalat sunnah yang disyariatkan berjamaah seperti shalat tarawih, atau yang tidak bisa dikerjakan di rumah seperti shalat tahiyatul masjid maka dilakukan di masjid lebih utama.

Rasulullah ﷺ bersabda:

 

فَصَلُّوْا أَيُّهَا النَّاسُ فِيْ بُيُوْتِكُمْ، فَإِنََّ أَفْضَلَ الصَّلاَةِ صَلاَةُ الْمَرْءِ فِيْ بَيْتِهِ إِلاَّ الْمَكْتُوْبَةَ

“Wahai manusia, shalatlah kalian di rumah kalian karena shalat yang paling utama adalah shalatnya seseorang di rumahnya, kecuali shalat wajib.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah berkata, ”Rasulullah ﷺ mengerjakan shalat-shalat sunah di rumah. Demikian pula shalat sunah yang tidak berkaitan dengan tempat tertentu, beliau lebih suka mengerjakannya di rumah. Terutama shalat sunah ba’diyah maghrib, tidak ada riwayat yang menyebutkan beliau pernah mengerjakannya di masjid.”

Salah satu keutamaan ulama’-ulama’ shaleh pada zaman dahulu adalah mereka berusaha menyembunyikan amal-amal saleh yang mereka kerjakan. Jika mereka mampu menyembunyikan semuanya, mereka pasti akan melakukannya. Imam Sufyan Ats Tsaury pernah mengatakan bahwa dirinya tidak menganggap amal yang terlihat oleh manusia sebagai amal shalehnya. Rabi’ bin Khutsaim tidak suka memperlihatkan amal ibadahnya. Ia bahkan berupaya menyembunyikan ibadahnya. Rabi’ tidak melakukan shalat sunnah di masjid jami’. Hanya satu kali orang-orang melihatnya mengerjakan shalat sunnah di masjid.

 

Turun Rahmah Menuai Barakah

Shalat sunah yang dikerjakan di rumah selain untuk meneladani sunnah Rasulullah juga akan menghindari dari riya’ dan ujub (membanggakan diri). Begitu pula lebih mudah untuk khusyu’ dan ikhlas lantaran suasana yang sepi, tidak banyak orang. Juga bisa menjadi penyebab rahmah Allah turun ke dalam rumah bersamaan dengan turunnya malaikat karena bacaan dzikir dan Al Qur’an yang dilantunkan ketika shalat.

Rasulullah ﷺ bersabda:

”Tiada satu kaum yang sedang berdzikir kepada Allah, kecuali para malaikat akan mengelilinginya, dan rahmat Allah akan tercurah kepadanya, dan sakinah (kedamaian) akan turun di atasnya, dan Allah akan menyebut-nyebut mereka kepada malaikat yang ada di sisi-Nya.” (HR. At Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Dengan mengerjakan shalat sunah di rumah berarti tidak menjadikannya seperti kuburan. Rasulullah saw bersbda:

اجْعَلُوا فِى بُيُوتِكُمْ مِنْ صَلاتِكُمْ، وَلا تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا

”Kerjakanlah sebagian dari shalat (shalat sunah) kalian di rumah, dan janganlah kalian jadikan seperti kuburan.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Rasulullah ﷺ memang melarang shalat dan membaca Al Quran di kuburan. Mafhumnya, jika rumah tidak digunakan untuk berdzikir, membaca Al Qur’an dan shalat sunah di dalamnya berarti ia telah menjadikannya kuburan.

Shalat sunah juga bisa mendatangkan keberkahan, berdasarkan hadits Jabir bin Abdillah bahwa Rasulullah saw bersabda:

“Apabila salah seorang di antara kalian usai melaksanakan  shalat di masjid, hendaklah dia menyisakan waktu untuk shalat di rumahnya karena Allah menjadikan kebaikan pada shalatnya di rumah tersebut.” (HR. Muslim).

Sangat tepat apa yang disampaikan oleh Imam An-Nawawi: “Shalat sunnah dianjurkan di rumah karena akan lebih terhindar dari sikap riya’ serta lebih menjaga dari hal-hal yang membatalkan ibadah. Juga  agar barakah meliputi rumah tersebut, rahmat dan para malaikat akan turun, serta dijauhi oleh setan.”

Ternyata, shalat sunah di rumah mendatangkan banyak fadhilah. Selayaknya kita meneladani sunah yang mulia ini.

 

Oleh: Redaksi/Ibadah/Fadhilah Amal

Referensi Amalan Untuk Ibu Hamil

Kehamilan adalah kebahagiaan bagi sepasang suami-istri dalam berumah tangga. Kedatangan buah hati adalah hal yang sangat dinanti. Karena ia merupakan permata hati dan penyejuk mata bagi keduanya. Sebelum si buah hati hadir ke dunia, biasanya seorang ibu sudah diwanti-wanti untuk melakukan ini itu dan diimbau untuk meninggalkan ini-itu agar buah hatinya sehat dan ketika lahir pun selamat.

Islam pun mengajarkan beberapa amalan yang bisa dilakukan seorang ibu dalam menanti lahirnya buah hati. Di bahwa ini beberapa referensi amalan yang bisa dikerjakan,

 

Mempersiapkan Hati

Reaksi para istri ketika pertama mengetahui bahwa dirinya positif hamil berbeda antara satu dengan yang lain. Wanita yang hamil untuk anak pertama, umumnya merasa lega dan gembira karenanya. Karena biasanya peristiwa itu sangat diharapkan terjadinya. Lain halnya dengan wanita yang hamil untuk anak yang kesekian, saat di mana datangnya bayi sudah tidak atau minimal belum diinginkan.

Bagaimanapun kondisinya, menata hati agar siap menerima amanah yang diberikan oleh Allah adalah penting. Hendaknya dia menerima takdir Allah, dan memahami bahwa apa yang terjadi atasnya adalah yang terbaik baginya selagi dia husnu dhann kepada Allah. Bertambahnya anak tidak identik dengan tambahnya beban dan kemiskinan. Karena Allah lah yang akan memberikan rejeki kepadanya:

وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ ۖ نَّحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ ۚ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا ﴿٣١

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu.” (QS. Al-Isra’:  31)

 

Banyak Berdo’a

Anak bukan saja berfungsi untuk menyambung keturunan, tetapi amanah yang harus ditunaikan haknya. Jika anak durhaka karena didikan rang tuanya, maka orang tua bertanggung jawab di hadapan Rabbnya, akan menambah bilangan dosa dan siksa. Namun jika anak tumbuh menjadi shalih, maka pahala senantiasa mengalir kepada orang tuanya meski telah meninggal dunia.

Alangkah baiknya wanita yang hamil memperbanyak do’a agar diberi karunia anak yang shalih. Di antara doa tersebut adalah:

“Wahai Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.” (QS. Ash-Shaffat: 100)

 

Bersabar

Allah menyebutkan kondisi wanita ketika sedang hamil:

حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ 

“Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah” (QS. Lukman: 14)

Maka hendaknya wanita bersabar ketika merasakan beban dan rasa sakit ketika hamil. Untuk setiap kesabaran mendapatkan pahala besar dari Allah. Karena pengorbanan dan kesabaran inilah sehingga ibu dimuliakan. Dengan ini pula sang ibu menjadi orang yang paling layak  untuk mendapat perlakuan baik dari anaknya.

 

Banyak Membaca Al-Qur’an

Konon, musik klasik bisa merangsang kecerdasan bayi ketika di rahim. Akan tetapi, kita memiliki sesuatu yang lebih hebat dan manfaat dari musik klasik, yakni bacaan Al-Qur’an. Jika sang bayi yang berada di rahim mampu merekam apa yang didengarnya, maka sesbaik-baik hal untuk direkam adalah Al-Qur’an. Dan sebaik-baik hal  untuk perdengarkan dan dikenalkan adalah kalam Allah.

Lagi pula  tilawah Qur’an merupakan dzikir yang paling utama, Allah menyediakan pahala bagai yang membacanya dengn  satu kebaikan perhurufnya, setiap satu kebaikan dilipatkan sepeuluh kali.

 

Menjaga Kondisi Diri dan Bayinya

Sudah menjadi kewajiban bagi ibu yang hamil untuk menjaga kondisi tubuhnya, menjaga dari hal-hal yang   menyebabkan gugurnya janin atau yang membahayakan janinnya.

Upaya-upaya yang sifatnya ‘hissi’ (inderawi) yang menunjang kesehatan dan kecerdasan sang janin hendaknya dilakukan. Seperti makanan yang bergizi atau olah raga ringan sesuai dengan kondisinya.

 

Tawakal Kepada Allah Ketika Hendak Melahirkan

Dalam hal menerima berita kehamilan, wanita yang hamil untuk anak pertama umumnya lebih siap, akan tetapi soal melahirkan,  baginyaitu adalah saat-saat menegangkan dalam hidupnya. Tak ada sesuatu yang lebih baik dia kerjakan selain bertawakal kepada Allah disertai usaha maksimal sesuai dengan kemampuan. Karena:

وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّـهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.” (QS. Ath-Thalaq: 3)

Dengan beberapa amalan di atas, semoga mempermudah si ibu dalam proses mengandung hingga persalinan. Bayi pun sehat dan menjadi anak yang shalih-shalihah.

 

Oleh: Redaksi/Ibadah

Kunci Meraih Nikmatnya Ibadah

Ibadah merupakan tujuan utama penciptaan manusia. Puncak dari segala urusan dan kepentingan di dunia fana ini. Meskipun disebut taklif atau beban, namun di dalam ibadah juga terdapat kenikmatan luar biasa. Sebuah kenikmatan yang jauh melebihi segala bentuk kenikmatan yang ada di dunia. Seperti kata Imam Abu Sulaiman, “Kenikmatan yang dirasakan ahlu tha’at (orang yang rajin melakukan ketaatan) jauh lebih lezat daripada kenikmatan yang dirasakan ahlu syahwat (budak syahwat) saat menuruti nafsu mereka.”(Hilyatul Auliya’ IV/181).

[bs-quote quote=”“Kenikmatan yang dirasakan ahlu tha’at (orang yang rajin melakukan ketaatan) jauh lebih lezat daripada kenikmatan yang dirasakan ahlu syahwat (budak syahwat) saat menuruti nafsu mereka.”(Hilyatul Auliya’ IV/181).” style=”default” align=”left”][/bs-quote]

Sesiapa yang mampu merasakan nikmatnya ibadah, berarti dia telah mendapatkan anugerah terindah dari  Allah. Ia telah meraih sebuah maqam (kedudukan) yang tinggi di antara manusia. Dari milyaran manusia, hanya sedikit yang mau beribadah, dari yang mau beribadah hanya sedikit yang beribadah dengan sungguh-sungguh, dan dari yang sudah bersungguh-sungguh, hanya sedikit yang benar-benar bisa merasakan nikmatnya pengabdian kepada Allah. Mereka adalah manusia-manusia yang istimewa. Ibadah bagi mereka bukan lagi beban tapi kesenangan, rehat dan aktivitas yang penuh kenikmatan.

Nah, bagaimanakah cara meraih kenikmatan dalam ibadah?

Tentunya, kita tidak mungkin mendapatkan caranya tanpa mencoba mencari tahu dari orang-orang yang pernah merasakannya, yakni para ulama dan shalihin. Jika kita pelajari berbagai keterangan para ulama, akan ada banyak tips dan cara agar kita bisa meraih kenimatan dalam ibadah. Hanya saja, wallahu a’lam, kiranya  ada satu hal fundamental dalam semua tips dan cara meraih kenikmatan dalam ibadah yang disarankan. Yaitu, kuatnya rasa ta’zhim (pengagungan) kepada Allah.

Baca Juga: Nikmat Beribadah Bersama Keluarga

Semakin besar dan kuat pengagungan seorang hamba akan kebesaran dan kuasa Rabbnya, semakin mudah baginya merasakan nikmatnya mengabdi kepada Rabbul Izzati. Sebuah pengagungan yang menjadikan Allah satu-satunya Dzat yang diharap, ditakuti, dicintai dan disegani atas segala kuasa dan kemuliaan-Nya. Sebuah pengagungan yang membuat segala hal selain Allah menjadi kecil nilainya dan benar-benar layak dikesampingkan; tidak begitu diharapkan, tak ditakuti dan dikhawatirkan dan tak layak mendapat cinta sedalam cinta kepada-Nya.

Dalam ibadah, kuatnya ta’zhim akan membuat ibadah semakin nikmat dirasa. Segala perintah Allah akan terasa ringan bahkan menyenangkan. Begitu pula saat menghadapi godaan maksiat. Kuatnya ta’zhim akan membuat hati mudah meninggalkan perbuatan dosa dan tak gampang tergiur untuk melakukannya.

 

Ta’zhim Membuat Ibadah Semakin Indah

Ambil satu contoh ibadah; shalat. Pengagungan terhadap Allah dan ayat-ayat-Nya menjadikan dalam shalat membuat ibadah ini benar-benar terlihat menakjubkan. Lebih dari itu, shalat sendiri seakan-akan merupakan ibadah yang disetting agar unsur ta’zhim kita kepada Allah benar-benar diperhatikan.

Coba kita renungkan, di dalam shalat ucapan yang mengawali dan menandai setiap gerakan adalah takbir, “Allahu akbar”, Allah Mahabesar. Wallahua’lam, seakan-akan dalam setiap gerakan shalat kita diingatkan dan ‘diprogram’ untuk selalu mengingat keagungan dan kebesaran Allah. Dalam setiap gerakan seakan-akan kita diarahkan agar hanya Allahlah yang besar, paling mulia, paling layak dicari perhatian-Nya, sedang selain Allah itu remeh, kecil dan tidak penting. Tak hanya ucapannya, bahkan seluruh gerakan shalat pun mengilustrasikan pengagungan dan ketundukan kepada Dzat Yang Maha Besar.

Baca Juga:Wisata Ke Rumah Ibadah Agama Lain

Karenanya, tidaklah mengherankan jika saat shalat, orang-orang shalih seperti terbius oleh syahdunya munajat kepada Allah. Mereka begitu menikmati ibadah ini. Tentu kita sudah pernah mendengar kisah Ali bin Abi Thalib yang menjadikan kenikmatan ibadah shalat sebagai anestesi saat lukanya hendak dioperasi. Subhanallah.

Atau puncaknya adalah seperti yang dirasakan Nabi kita Muhammad ﷺ.  Bagi beliau, shalat adalah rohah, istirahat, jeda dari segala aktivitas yang melelahkan. Shalat bukan beban tapi justru rehatnya badan, hati dan pikiran dari segala kelelahan. Beliau bersabda,

يَا بِلاَلُ أَرِحْنَا بِالصَّلاَةِ

“Wahai Bilal, istirahatkan kami dengan shalat.”(HR. Ahmad)

Itulah arti sebuah pengagungan. Ketika Allah benar-benar menjadi yang paling agung di mata dan hati kita, semua menjadi remeh. Pertemuan dan momen-momen yang mendekatkan diri kepada-Nya pun menjadi momen paling indah dan membahagiakan.

 

Maksiat Mudah Ditinggalkan Karena Ta’zhim

Tak hanya dalam ibadah, kuatnya rasa ta’zhim kepada Allah akan membuat seorang hamba dengan mudahnya menangkis godaan maksiat. Bukankah yang namanya ketaatan itu bukan hanya melaksanakan perintah (fi’lul ma`mur) tapi juga meninggalkan maksiat (tarkul mahdzur)?

Senikmat apapun hidangan yang disajikan nafsu dan setan, rasa pengagungan kepada Allah yang kuat akan dengan mudah memusnahkan fatamorgana syahwat. Hati benar-benar tak sudi mengkhianati-Nya. Pengawasan-Nya terasa nyata, jauh lebih terasa dari pengawasan kamera bahkan supervisor di ruang kerja. Kenikmatan yang dijanjikan-Nya jauh lebih diingini meski masih ba’da kiamat nanti, daripada kenikmatan yang sudah ada dihadapanny kini. Ancaman-Nya jauh lebih terasa menyengsarakan daripada sengsaranya hati jika harus meninggalkan kesempatan mencicipi maksiat yang terlihat begitu nikmat. Dan harapan akan cinta dan kasih-Nya telah membuatnya putus asa dari mengharap cinta dari selain-Nya. Allah benar-benar akbar dalam hati dan akalnya.

Tentu kita tidak lupa dengan kisah Juraij yang urung berzina karena mengingat Allah. Padahal sajian haram itu telah terhidang pasrah dihadapannya. Juga kisah-kisah orang shalih yang lain, yang dengan mudahnya meninggalkan ajakan maksiat karena teringat akan kebesaran Rabbnya.

Dan memang, Allah berhak atas pengagungan dari seluruh hamba-Nya. Allah berfirman;

وَلَهُ الْكِبْرِيَاءُ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Dan bagi-Nyalah keagungan di langit dan di bumi, Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Jatsiyah: 37)

Itulah makna ta’zhim. Memang, bukan hal mudah untuk memupuk rasa ini dalam hati. Kadangkala, meski sudah tahu ilmu dan bagaimana seharusnya, tetap saja hati kita sering lemah. Pada akhirnya, ibadah sering terasa hambar dan bahkan memberatkan. Garis dosa pun demikian mudah dilanggar seakan-akan pasti mendapat permakluman.

Ya Allah, tumbuhkanlah ta’zhim kami akan kebesaran-Mu. Tambahkan iman kami, besarkan harapan kami akan kasih-Mu, kuatkan takut kami akan siksa-Mu dan rekatkan cinta kami kepada-Mu. Jadikanlah kami hamba-hamba-Mu yang Engkau beri nikmat dapat merasakan lezatnya berkhidmat kepada-Mu. Aamiin. Wallahua’lam.

 

Oleh: Redaksi/Ibadah 

Jabat Tangan; Antara Yang Berdosa Dan Yang Berpahala

Ada berbagai macam niat saat seseorang melakukan jabat tangan; sekedar formalitas, bersopan santun, atau ingin mengamalkan sunah Nabi. Cara berjabat tangan pun berbeda-beda. Ada yang lembek dan seperti tidak bersemangat, ada yang hanya bersentuhan ujung jemari, yang mantap dan hangat dan ada pula yang keras lagi mengguncang.

Bagi seorang muslim, semua perilakunya semestinya didasarkan pada teladan Nabi Muhammad. Termasuk dalam berjabat tangan, teladan dan batasan dari Nabi harus diperhatikan.

 

Niatkan untuk Mengamalkan Sunah

Berjabat tangan dengan saudara muslim adalah amalan sunah. Bukan sekadar formalitas atau basa basi. Sehingga berjabat tangan harus dilakukan dengan hangat  dan sopan. Selain akan menghangatkan suasana, jabatan tangan juga akan menggugurkan dosa. Rasulullah ﷺ bersabda,

إِنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا لَقِيَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، فَأَخَذَ بِيَدِهِ تَحَاتَّتْ عَنْهُمَا ذُنُوبُهُمَا، كَمَا تَتَحَاتُ الْوَرَقُ مِنَ الشَّجَرَةِ الْيَابِسَةِ فِي يَوْمِ رِيحٍ عَاصِفٍ، وَإِلا غُفِرَ لَهُمَا، وَلَوْ كَانَتْ ذُنُوبُهُمَا مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ

“Sesungguhnya, bila seorang muslim bertemu saudaranya sesama muslim, lalu ia memegang salah satu tangannya, maka dosa keduanya akan berguguran sebagaimana dedaunan berguguran dari sebuah pohon yang kering pada saat angin musim panas. Bila tidak demikian, maka keduanya akan diampuni, meskipun dosa keduanya laksana buih di lautan.” (HR. Ath-Thabrani).

 

Tak Hanya Saat Bertemu

Sunah jabat tangan tak hanya saat bertemu tapi juga saat berpisah. Diriwayatkan dari Qaza’ah, ia berkata, “Ibnu Umar mengutusku untuk suatu keperluan, seraya berkata, “Kemarilah. Aku akan melepas kepergianmu sebagaimana Rasulullah ﷺ melepasku,” lalu beliau berdoa:

 أَسْتَودِعُ اللهَ دِيْنَكَ وَأَمَانَتَكَ وَخَوَاتِيْمَ عَمَلِكَ

“Aku meminta kepada Allah agar menjaga agamamu, amanahmu (keluarga dan harta yang kamu tinggalkan), dan penghujung amal perbuatanmu.” (HR. Abu Dawud, Hakim, dan Imam Ahmad) Dalam riwayat Ibnu ‘Asakir disebutkan, “Beliau memegang tanganku lalu menjabat tanganku.”

 

Jangan Sembarang Tangan

Jabat tangan itu sunah dan berpahala, tapi jika melanggar syariat-Nya justru akan berubah menjadi maksiat dan membuahkan dosa. Batasan syariat hanya satu, jangan menyentuh wanita yang bukan mahram. Sentuhan dalam bentuk apapun termasuk jabat tangan. Tentu saja konteks pembicaraan kita bukan dalam kondisi terpaksa dan pengecualian lain.

Jabat tangan antara laki-laki dengan perempuan yang bukan mahramnya, terutama di kalangan pemuda dan pemudi, sudah menjadi hal yang biasa. Pelanggaran syariat yang menjadi tradisi. Rasa sungkan, takut dianggap sok, ketinggalan jaman, ekstrim, anti silaturahmi, eksklusif dan lainnya mengalahkan ketundukan pada syariat. Alasan pun dicari untuk menenangkan hati, “yang diajak salaman belum paham” atau ” asal tidak pake’ nafsu kan tidak masalah” dan sebagainya. Bahkan, ada sebagain orang yang mengancam cerai istrinya yang shalihah karena tidak mau berjabat tangan dengan kolega-koleganya. Persoalan semakin ruwet karena masih banyak yang belum mengetahui siap mahram dan siapa yang bukan mahram.

Padahal maslaah ini bukan masalah sepele. Rasulullah ﷺ telah memberikan peringatan tentang hal ini. Dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

 

لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ

“Seandainya kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh perempuan yang tidak halal baginya.” (HR. Ath-Thabrani)

Rasulullah ﷺ juga bersabda:

Nasib anak Adam mengenai zina telah ditetapkan. Tidak mustahil, ia pasti melakukannya. Dua mata zinanya melihat, dua telinga zinanya mendengar, lidah zinanya berbicara, tangan zinanya menyentuh, kaki zinanya melangkah, hati zinanya berangan-angan, dan kemaluanlah yang akan membenarkan atau mendustakan itu semua.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Makna hadits di atas, bahwa setiap anak Adam ditakdirkan untuk melakukan perbuatan zina. Di antara mereka ada yang melakukan zina sesungguhnya, yaitu memasukkan kemaluannya ke dalam kemaluan wanita secara haram. Di antara mereka ada yang zinanya bersifat majaz, yakni dengan melihat hal-hal yang haram, atau mendengarkan sesuatu yang mengarah pada perzinaan dan usaha-usaha untuk mewujudkan zina, atau dengan bersentuhan tangan, atau menyentuh wanita asing dengan tangannya, atau menciumnya. Atau, dengan melangkahkan kaki menuju tempat perzinaan, melihat, menyentuh, atau bercakap-cakap yang diharamkan bersama wanita asing, atau beranggan-anggan dengan hatinya.”

Larangan bersentuhan dengan wanita itu bukan hanya karena disertai syahwat atau tidak. Menyentuh wanita bukan mahram dilarang karena dikategorikan sebagai bagian dari zina, yaitu zina kulit. Sebagaimana mata, zinanya adalah melihat. Melihat aurat atau gambar porno tetap haram hukumnya meski tidak disertai syahwat. Tidak adanya syahwat, bisa jadi karena sudah terbiasa, atau karena modelnya tidak cantik dan faktor lainnya. Namun tetap saja, tidak adanya syahwat bukan berarti melihat gambar porno dibolehkan, begitu pula menyentuh wanita yang bukan mahram. Kebanyakan orang memahami syahwat hanya sebagai hasrat melakukan hubungan seksual. Padahal bersit keinginan dan rasa suka untuk melihat aurat, menyentuh wanita dan bercengkerama dengan para wanita adalah syahwat. Bahkan, menghalalkan jabat tangan dengan yang bukan mahram dengan alasan “toh tidak pake syahwat” pun adalah dorongan dari nafsu syahwat.

Muhammad Al-Amin Asy-Syanqithi mengatakan, “Menundukkan pandangan diwajibkan karena dikhawatirkan akan masuk ke dalam fitnah. Tidak diragukan lagi bahwa sentuhan anggota tubuh laki-laki ke tubuh wanita asing merupakan faktor yang paling kuat untuk membangkitkan naluri syahwat dan pendorong yang paling kuat menuju fitnah dibandingkan pandangan mata. Setiap orang yang normal mengetahui kebenaran hal ini.(Lihat Adhwa’ul Bayan).

 

Sunnah yang Menjadi Bid’ah

Sekarang kita bahas mengenai berjabat tangan setelah shalat. Banyak yang masih tidak setuju jika dikatakan, berjabat tangan sesudah shalat seperti yang biasa dilakukan orang adalah bid’ah. Sekarang coba kita lihat pendapat para ulama dalam hal ini.

Dalam kitab Fatawa Al-‘Izz bin Abdussalam, hal. 46-47, Al-Izz bin Abdussalam mengatakan, “Jabat tangan seusai shalat Subuh dan Ashar adalah bid’ah, kecuali bagi seseorang yang baru saja datang (dari bepergian) yang mana sebelum shalat ia sempat berkumpul bersama orang yang diajak berjabat tangan tersebut. Berjabat tangan disyari’atkan pada saat datang (dari bepergian). Selepas shalat, biasanya Nabi berdzikir dengan dzikir-dzikir yang disyari’atkan; istighfar tiga kali; lalu beranjak pergi. Diriwayatkan bahwa beliau berdzikir: “Wahai Rabbku, selamatkanlah aku dari siksamu pada hari Engkau membangkitkan hamba-hamba-Mu.” Sesungguhnya, seluruh kebaikan itu terletak pada usaha mengikuti Rasulullah ﷺ.”

Sedangkan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitab Majmu’ Fatawa, XXIII: 239, menulis saat ditanya tentang hukum jabat tangan selepas shalat; apakah sunnah atauk bukan? Beliau menjawab, “Segala puji bagi Allah, jabat tangan selepas shalat bukan termasuk amalan sunnah, akan tetapi amalan bid’ah. Wallahu a’lam.”

Jadi yang bermasalah adalah alasan dan motivasinya. Yaitu berjabat tangan dengan motivasi dan keyakinan bahwa hal itu sunah, atau baik dilakukan setelah shalat. Mereka berjabat tangan karena usai melaksanakan shalat. Sehingga terbentuklah semacam persepsi bahwa shalat-jabat tangan sesudahnya adalah baik. Dan pada akhirnya, jabat tangan menjadi seremoni tambahan setelah shalat. Padahal baik dan buruk, apalagi sunah dan tidak sunah, yang berhak menentukan adalah syariat. Nabi dan shahabat juga tidak pernah mencontohkan. Berjabat tangan hukumnya tetap sunah, meski dilakukan selepas shalat, dengan catatan ada sebab lain selain shalat. Misalnya, bertemu teman lama; seseorang yang baru pulang dari bepergian; menampakkan kesukaan dan kecintaan kepada saudaranya, dengan syarat pada akhirnya tidak dijadikan sebuah kebiasaan. Namun, bila jabat tangan tersebut dilakukan hanya karena faktor “ba’da shalat” saja, maka amalan tersebut termasuk bid’ah yang tidak pantas dilestarikan..

Dengan mencermati penjabaran di atas dan nash-nash yang berkenaan dengan jabat tangan, maka dapat kita pahami bahwa pada dasarnya jabat tangan dapat mendatangkan kebaikan bagi pelakunya bilamana dilakukan sesuai dengan kode etik dan rambu-rambunya. Namun, bila sunnah Nabi ﷺ ini disalahpraktekkan, maka tak pelak ia akan menghantarkan kita kepada dosa dan kemaksiatan. Akhirnya, jangan sampai jabat tangan yang seharusnya berpahala, tapi malah mendatangkan dosa.

 

Oleh: Abu Huzaifah (dalam rubrik makalah edisi: 97)/ Majalah ar-risalah

 

Awali Kerja dengan Shalat Dhuha

HASYIM (60) terbaring lemah. Kedua kaki dan tangannya terasa lemas. Warga Dusun III Tanjung Tinggi Kecamatan Sijuk itu hanya berbaring di ruang kamar kediamannya. Ia menderita penyakit aneh. Sekujur tubuhnya terasa sakit. Persendian tangan dan kakinya nyeri dan sulit digerakkan.

Tubuh manusia memiliki ratusan tulang yang masing-masing dihubungkan dengan persendian. Jumlah persendian dalam tubuh manusia adalah 360, sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah ﷺ dan dibenarkan oleh para dokter. Kita tidak bisa membayangkan, bagaimana jika tulang-tulang yang ada dalam tubuh kita tersebut tidak dihubungkan dengan persendian. Atau salah satu persendian tersebut tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Maka, tidak ada yang mengetahui betapa besarnya nikmat ini kecuali orang yang telah kehilangan nikmat tersebut, sebagaimana yang dialami oleh bapak Hasyim diatas. Sekujur tubuhnya sakit, persendian tangan dan kakinya terasa nyeri dan sulit untuk digerakkan.

 

Shadaqah Tanpa Harta

Setiap hari, persendian kita mempunyai kewajiban untuk bershadaqah sebagai realisasi syukur kita kepada Allah, Dzat yang telah menciptakannya. Caranyapun beragam sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah ﷺ:

 “Setiap persendian manusia diwajibkan untuk bershadaqah setiap harinya sejak matahari terbit. Memisahkan (menyelesaikan perkara) antara dua orang yang berselisih adalah shadaqah. Menolong seseorang naik ke atas kendaraannya atau mengangkat barang-barangnya ke atas kendaraannya adalah shadaqah. Berkata yang baik juga termasuk shadaqah. Begitu pula setiap langkah berjalan untuk menunaikan shalat adalah shadaqah. Serta menyingkirkan suatu rintangan dari jalan adalah shadaqah. (HR. Bukhari dan Muslim)

Begitu berat dan lelahnya kita jika harus  melakukan berbagai amal tersebut setiap harinya. Sehingga para sahabatpun bertanya, “Siapa yang sanggup melakukan, wahai Rasulullah?” Maka beliau menjawab, “Jika ia tidak mampu, maka dua rakaat Dhuha sudah mencukupinya.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).

Baca Juga: Menahan Sendawa, Meraih Pahala

Rasulullah ﷺ memberikan kemudahan kepada umatnya, bahwa semua shadaqah yang dilakukan oleh anggota badan tersebut dapat diganti dengan dua rakaat shalat Dhuha, karena shalat merupakan amalan semua anggota badan. Jika seseorang mengerjakan shalat, maka setiap anggota badan menjalankan fungsinya masing-masing. Demikian penjelasan yang disebutkan oleh Ibnu Daqiqil ‘Ied.

Jumlah raka’at Dhuha minimal adalah 2 raka’at sedangkan maksimalnya adalah 8 raka’at. Dengan mengerjakan 2 rakaat Dhuha, kita telah melaksanakan salah satu wasiat Rasulullah ﷺ.

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kekasihku, Rasulullah ﷺ berwasiat kepadaku dengan tiga perkara: puasa selama tiga hari setiap bulannya, dua rakaat shalat Dhuha dan mengerjakan shalat witir sebelum aku tidur.” (Muttafaq ‘Alaihi).

 

Keutamaan Shalat Dhuha

Meskipun bernilai sunnah, shalat ini mengandung banyak fadhilah (keutamaan), namun tidak banyak dari kita yang memperhatikannya. Diantaranya sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Allah ta’ala berfirman:

ابْنَ آدَمَ ، اِرْكَعْ لِيْ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ مِنْ أَوَّلِ النَّهاَرِ أَكْفِكَ آخِرَهُ

“Wahai anak Adam, shalatlah untuk-Ku empat rakaat pada permulaan hari, maka Aku akan mencukupi kebutuhanmu pada sore harinya” (HR. Tirmidzi).

At-Thayyibi menerangkan bahwa: dengan mengerjakan empat rakaat di pagi hari, Allah akan mencukupi kebutuhan-kebutuhan kita dan menjauhkan kita dari semua yang tidak kita inginkan hingga sore hari. Fadhilah lainnya, orang yang mengerjakannya dimasukkan dalam golongan orang-orang yang kembali kepada Allah. Karena shalat dhuha adalah shalat awwabin, yakni shalatnya orang-orang yang kembali kepada Allah (bertaubat). Dalam hadits lain Rasulullah SAW menyebutkan bahwa pahala orang yang mengerjakan shalat dhuha seperti orang mengerjakan umrah.

 

Menjadi Kaya dengan Shalat Dhuha?

Ada diantara kaum muslimin yang begitu bersemangat mengerjakan shalat dhuha. Namun ironisnya ketika mereka melaksanakan shalat wajib, justru malas-malasan dan hanya sekedar untuk menggugurkan kewajiban saja. Shalat subuh dikerjakan jam enam pagi dan shalat asar hanya kalau sempat saja. Penyebabnya, ada tujuan lain ketika mereka mengerjakannya yaitu ingin mendapatkan balasan di dunia, biar lancar rezkinya dan menjadi orang yang kaya raya. Sehingga doa-doa yang dipanjatkanpun hanya berkenaan dengan kelancaran rizki.

Baca Juga: Silaturahmi, Memanjangkan Umur Menambah Rizki

Demikian fenomena yang sering kita dapatkan di masyarakat. Dunia, mungkin saja mereka peroleh. Boleh jadi akan semakin lancar rizkinya dan karirnya terus meningkat. Namun apa yang mereka peroleh di akhirat? Qatadah ketika menafsirkan surat Hud: 15-16, ia berkata, “Barangsiapa yang dunia adalah tujuannya, dunia yang selalu dia cari-cari dengan amalan shalehnya, maka Allah akan memberikan kebaikan kepadanya di dunia. Namun ketika di akhirat, dia tidak akan memperoleh kebaikan apa-apa sebagai balasan untuknya. Adapun seorang mukmin yang ihlas dalam beribadah (yang hanya mengharapkan wajah Allah), selain akan mendapatkan balasan di dunia dia juga akan mendapatkan balasannya di akhirat.”

 

Luangkan Waktu

Waktu pelaksanaan shalat Dhuha adalah ketika matahari mulai naik sepenggalan, kira-kira seperempat jam setelah matahari terbit hingga waktu zawal (matahari tergelincir). Dan waktu yang paling afdhal adalah ketika matahari mulai panas.

Memang, tidak mudah untuk melaksanakan shalat Dhuha. Karena waktunya bertepatan dengan jam-jam dimulainya aktivitas keseharian, orang sibuk bekerja mencari rezki pada waktu tersebut. Namun, sesempit apa pun waktu kita karena aktivitas sehari-hari, jika kita luangkan waktu sejenak untuk mengerjakan shalat Dhuha, insya Allah tidak akan mengurangi jatah rizki yang telah ditentukan untuk kita. Kalau toh meluangkan waktu pada waktu tersebut tidak memungkinkan pula, karena peraturan perusahaan yang begitu ketat dan mengikat, shalat Dhuha bisa kita kerjakan sebelum masuk jam kerja. Nah, mari awali kerja kita dengan melaksanakan shalat Dhuha.

Oleh: Ust. Qadri Fathurrahman/Fadhilah Amal