Siapa Bersyukur Takkan Tersungkur

Saba’ adalah sebuah negeri yang semula disebut oleh Allah dengan “baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafuur.” Negeri yang dianugerahi rasa aman dan makmur sewaktu penduduknya bersyukur. Tak hanya aman dari gangguan sesama manusia, namun juga dari segala jenis hewan yang berbahaya. Imam asy-Syaukani tatkala menafsirkan ayat,

“Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka..” (QS Saba’ 15)

Beliau menukil dari Abdurrahman bin Zaid yang berkata, “Maksud ayat (tanda) bagi penduduk Saba’ di tempat tinggal mereka adalah bahwa sesungguhnya mereka tidak mengenal nyamuk, lalat, kutu, kalajengking, ular maupun hewan-hewan yang membahayakan.”

 

Makmur, Selagi Manusia Bersyukur

Tentang kemakmuran yang dirasakan penduduk Saba’, Allah anugerahkan kepada mereka dua kebun yang menghasilkan buah-buahan dengan hasil terbaik. Digambarkan oleh Qatadah rahimahullah sebagaimana dinukil oleh Ibnu Katsier dalam tafsirnya tentang,

“Yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri.” (QS Saba’ 15)

Beliau mengatakan, “Seorang wanita cukup berjalan di bawah pepohonan (kebunnya) sembari meletakkan keranjang buahnya di atas kepalanya, maka buah-buahan akan berguburan dari pohon dan memenuhi keranjang buahnya, tanpa harus memanjat atau memetiknya, saking banyak dan matangnya buah-buahan.”

Apa yang Allah kehendaki dengan semua nikmat itu? Yakni supaya mereka bersyukur. Sebagaimana firman-Nya,

“Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya.” (QS Saba’ 15)

Karena dengan syukur, maka nikmat akan terikat dan bahkan akan bertambah banyak. Akan tetapi ketika syukur diganti kufur, taat diganti maksiat, maka nikmat akan berubah menjadi niqmat (bencana). Dan ini pula yang terjadi atas penduduk Saba’. Allah berfirman,

“Lalu mereka berpaling…” (QS Saba’ 16)

Yakni berpaling dari syukur. Maka bergantilah berbagai nikmat menjadi musibah, wal ‘iyadzu billah. Hujan deras dan berturut-turut menyebabkan banjir bandang yang memakan banyak korban; manusia, ternak dan juga tanaman. Bahkan tanaman yang tadinya hebat dalam hal kualitas dan kuantitas berubah menjadi tanaman yang hampir tidak ada faedahnya kecuali sedikit.

Karena itulah, tidak ada pengikat nikmat paling kuat dan penambah nikmat paling cepat selain dari syukur, sebagaimana tidak ada yang mempercepat lenyapnya nikmst selain dari kufur terhadap nikmat. Allah Ta’ala berfirman,

“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari ni’mat-ni’mat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” (QS an-Naml 112)

 

Di Dunia Takkan Tersungkur

Ada ungkapan menarik yang dikatakan seorang salaf,

النَّعِمُ إِذاَ شُكِرَتْ قُرَّتْ وَإِذَا كُفِرَت فَرَّتْ

“Nikmat itu, ketika disyukuri akan menyenangkan hati, tapi jika dikufuri akan lari.”

Satu sisi bahwa rasa syukur akan mendatangkan kebahagiaan, karena semakin banyak seseorang mengingat nikmat yang didapat, sebanyak itu pula kebahagiaan yang dirasakan. Kebahagiaan itu bukan seberapa banyak nikmat yang didapat, tapi seberapa banyak nikmat yang diingat. Seseorang tetap menderita meski nikmat melimpah, jika yang diingatnya adalah ambisi terhadap dunia yang belum didapat, sementara ia lupakan apa yang berada dalam genggaman tangannya yang penuh nikmat.

Hamba yang bersyukur hatinya dominan oleh kebahagiaan. Karena ia mengenali dan mengakui dan merasakan tetes nikmat demi nikmat yang Allah curahkan. Baginya, nikmat itu tak sebatas pada makanan, tempat tinggal maupun kemewahan. Nikmat yang bersifat duniawi tak terhitung cacahnya, belum lagi nikmat berupa kemudahan untuk menjalankan ketaatan. Makin tinggi kemampuan seseorang mendeteksi setia nikmat, semakin tinggi pula tingkat kebahagiaannya, dan semakin cerdaslah ia. Begitupula sebaliknya. Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang tidak melihat nikmat selain pada makanan, muniman dan pakaian, maka sungguh dangkal akalnya dan banyak deritanya.”

Faedah syukur akan lebih besar lagi manfaatnya ketika di akhirat. Ketika seseorang mengucapkan tahmid sebagai ungkapan syukur kepada Allah, maka ucapan ini akan memperberat timbangan di akhirat. Sebagaimana hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam,

وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلَأُ الْمِيزَانَ

“Dan ucapan alhamdulillah itu memenuhi timbangan.” (HR Muslim)

Bahkan faedah dari ucapan alhamdulillah dijelaskan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah, “Andaikan seorang hamba diberi anugerah berupa dunia dan seisinya, lalu dia ucapkan ‘Alhamdulillah’, maka ilham dari Allah atasnya untuk bisa mengucapkan ‘Alhamdulillah’ itu lebih agung dan lebih berharga daripada anugerah berupa dunia dan seisinya, karena nikmat dunia itu akan sirna, sedangkan pahala tahmid itu kekal selamanya.”

 

Takkan Tersiksa di Neraka

Di samping memperberat timbangan yang akan menyelamatkan di akhirat, syukur juga menjadi penghalang dari siksa pada hari Kiamat. Allah Ta’ala berfirman,

مَا يَفْعَلُ اللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَآمَنْتُمْ وَكَانَ اللَّهُ شَاكِرًا عَلِيمًا

“Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui.“ (An-Nisaa: 147)

Artinya, kalau kalian mau bersyukur dan beriman yang menjadi tujuan kalian diciptakan, maka buat apa Allah menyiksa kalian? Tidak mungkin Allah menyiksa orang yang bersyukur dan beriman. Bisa pula kata “maa” dalam ayat tersebut sebagai “nafiyah” yang bermakna tidak, yakni tidaklah Allah menyiksamu jika kamu bersyukur dan beriman.

Karena syukur secara jawarih (anggota badan) adalah menggunakan anugerah sesuai dengan kehendak Allah, menggunakan nikmat untuk taat. Dan tidak menggunakannya sebagai sarana untuk bermaksiat. Pengakuan dengan hati dan lisan atas nikmat yang telah diberikan Allah belum dikatakan sebagai bentuk syukur kecuali jika anggota badannya menggunakan nikmat tersebut sesuai dengan kehendak Allah. Ibnul Qayyim mendefinisikan syukur dengan ‘tashriifun ni’mah ‘ala muraadi mu’thiiha’, yakni memanfaatkan nikmat sesuai dengan kehendak yang memberinya (Allah). Maka untuk masing-masing jenis nikmat menuntut ada bentuk syukur tersendiri yang kesemuanya terikat dengan kaidah ini.

Seseorang pernah bertanya kepada Abu Hazim, “Bagaimana cara mensyukuri kedua mata?” Beliau menjawab, “Jika keduanya melihat yang baik-baik, Anda membukanya dan jika keduanya melihat yang buruk maka hendaknya Anda menutupinya.” Orang itu bertanya, “Bagaimana mensyukuri telinga?

Baca juga : Syafaat Seorang Sahabat

Beliau menjawab, “Jika keduanya mendengar yang baik-baik maka Anda menjaganya dan jika mendengar yang buruk maka Anda merahasiakannya.” Orang itu bertanya: “Bagaimana mensyukuri kedua tangan?” Beliau menjawab: “Jangan mengambil apa yang bukan menjadi hak keduanya dan janganlah Anda menolak hak Allah yang ada padanya (untuk diberikan orang lain).” Dia bertanya lagi: “Bagaimana mensyukuri perut?” Beliau menjawab, “Hendaknya meletakkan makanan yang halal pada bagian bawah dan ilmu pada bagian atasnya.” Dia bertanya lagi, “Lalu bagaimana mensyukuri farji (kemaluan)?” Beliau menjawab: “Syukurnya adalah seperti yang difirmankan oleh Allah:

“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.” (Al-Mukminun: 7)

Begitulah makna dan konsekuensi syukur, maka bagaimana mungkin Allah akan menyiksa hamba-Nya yang meralisasikan syukur dengan sebenar-benar syukur?

Demikian besar peran syukur dalam menyelamatkan dunia dan akhirat bagi siapapun yang menyandangnya, maka ketika setan begitu getol menggoda manusia dari segala penjuru; dari depan, belakang, samping kanan, samping kiri. Apa yang menjadi target utamanya? Yakni menjauhkan manusia dari syukur. Sebagaimana kesaksiannya disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,

“kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat). “ (QS al-A’raf 17)

Semoga Allah masukkan kita ke dalam golongan hamba-hamba-Nya yang bersyukur. (Abu Umar Abdillah)

Kisah Pasangan Harmonis yang Paling Tragis

Abu Lahab adalah sosok yang tampan, wajahnya bersinar, termasuk figur publik di kalangan orang-orang Quraisy. Istrinya menonjol dalam hal kecantikan dan kehormatan. Saking cantiknya, dijuluki Ummu Jamil (Ibunya gadis-gadis cantik).

Keduanya merupakan pasangan yang sangat serasi dan sangat harmonis dipandang dari sisi hubungan suami istri. Tak hanya itu, keduanya juga seide dan seiya sekata dalam menyikapi dakwah Nabi shallallahu alaihi wasallam. Yakni sikap untuk menolak dan melawan.

Sang istri menganggu dari depan, sang suami mengganggu dari belakang. Perihal Abu Lahab, Imam Ahmad meriwayatkan, “Ada seseorang yang bernama Rabi’ah bin ‘Abbad dari bani ad-Dail –yang dulunya dia seorang Jahiliyyah yang kemudian masuk Islam- berkata, ‘Aku pernah melihat Nabi shallallahu alaihi wasallam sewaktu (aku) masih di masa jahiliyah di pasar Dzul Majaz, beliau berdakwah, “Wahai sekalian manusia, katakanlah, “Tidak ada Ilah yang haq selain Allah,”  niscaya kalian beruntung.”

Dan orang-orang pun berkumpul menemuinya sedang di belakang beliau ada seseorang yang wajahnya bersinar, yang memiliki dua kepang rambut mengatakan, “Sesungguhnya dia (Rasulullah) pembawa agama sesat lagi pendusta.” Dia mengikuti beliau kemana saja beliau pergi. Kemudian aku tanyakan mengenai dirinya, maka orang-orang menjawab, “Itu adalah pamannya, yang bernama Abu Lahab.”  , “istri Abu Lahab biasa memanggul kayu berduri lalu ditebar di jalan yang hendak dilalui Nabi shallallahu alaihi wasallam untuk menganggu beliau dan para sahabatnya.”

Klop sudah, sang istri menganggu dari depan, suami menggembosi dakwah Nabi shallallahu alaihi wasallam dari belakang. Pada gilirannya, kisah keduanya menjadi kisah sepasang suami istri harmonis yang paling tragis.

Keduanya telah dinash oleh Allah bakal masuk ke dalam neraka yang menyala-nyala. Bahkan tentangnya, Allah turunkan kabar kebinasaan keduanya dalam al-Qur’an yang dengan membacanya, kita mendapatkan pahala setiap hurufnya. Allah Ta’ala berfirman,

تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ (1) مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ (2) سَيَصْلَى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ (3) وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ (4) فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِنْ مَسَدٍ (5)

 

“Binasalah kedua tangan abu Lahab dan Sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut.” (QS al-Lahab: 1-5)

Keharmonisan sepasang suami istri di dunia berujung derita di akhirat selamanya, dan kelak keduanya akan menjadi partner dalam menambah siksa sebagaimana keduanya menjadi partner dalam kemaksiatan dan memusuhi dakwah Islam. Inilah yang terkandung dalam salah satu makna ‘hammalatal hathab’, wanita pembawa kayu bakar.

Ibnu Katsier dalam tafsirnya menjelaskan makna ini, “Istrinya senada dengan suaminya dalam kekafiran dan penentangannya. Karena itulah pada hari Kiamat ia juga akan membantu suaminya untuk membakar suaminya di neraka jahannam. Maksud pembawa kayu bakar adalah membawa kayu untuk membakar suaminya agar semakin berat siksanya.”

Di samping ada dua makna lain; makna hakiki bahwa dia membawa kayu bakar berduri untuk mengganggu dakwah Nabi, juga makna majazi yakni dia menjadi provokator yang ‘mengompori’ manusia dan suaminya untuk memusuhi Nabi shallallahu alaihi wasallam.

Pada kisah pasangan ini terdapat pelajaran berharga dalam hal berkeluarga. Bahwa harmonis saja tidak cukup. Apalah artinya keharmonisan rumah tangga jika kemudian berakhir dengan derita neraka dan kelak akan menjadi musuh satu dengan lainnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS az-Zukhruf 67)

Agar kita juga tidak latah meniru gaya hidup pasangan suami istri yang yang lalai dari akhirat dan hobi maksiat. Meskipun mereka tampakkan romatisme dan keharmonisannya dalam berkeluarga. Tak ada yang lebih indah dari akhlak Islam dalam berkeluarga, dan tak ada yang lebih kokoh dari pada pondasi takwa dalam membangun rumah tangga. Imam al-Qurthubi memiliki catatan menarik tentang firman Allah Ta’ala,

“Maka apakah orang-orang yang mendirikan bangunannya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridhaan (Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahannam?” (QS at-Taubah 109)

Beliau mengatakan dalam tafsirnya, “Ayat ini menunjukkan bahwa segala sesuatu yang dibangun di atas pondasi takwa kepada Allah Ta’ala, bertujuan mengharap wajah Allah, itulah bangunan yang akan langgeng, membawa kepada bahagia dan berpahala.”

Adapun keluarga yang dibangun melulu atas pertimbangan kecantikan, kehormatan di mata manusia, kekayaan dan tendensi dunia semata, itulah bangunan rumah tangga yang rapuh, serapuh bangunan yang dibangun di atas tepi jurang yang sedang runtuh.  wallahu a’lam bishawab. (Abu Umar Abdillah)

Dari Jurang Sengsara Menuju Puncak Bahagia

Perjalanan manusia di akhirat berakhir di finish yang berbeda-beda. Setelah berakhirnya keputusan di Makhsyar, dibagikan catatan amal, dihisab dan ditimbang amalnya, maka ada yang langsung digiring ke neraka tanpa melewati jembatan shirath. Mereka adalah orang-orang kafir dan musyrikin.
Yang Kekal di Neraka

Imaam Ibnul Jauzi رحمه الله, berkata, “Adapun orang-orang yang musyrik maka mereka itu tidak akan melewati jembatan shirath, dan mereka akan dimasukkan ke dalam Jahannam bahkan sebelum dipancangkannya Shirath.”
Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,

يَجْمَعُ اللَّهُ النَّاسَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيَقُولُ مَنْ كَانَ يَعْبُدُ شَيْئًا فَلْيَتَّبِعْهُ. فَيَتَّبِعُ مَنْ كَانَ يَعْبُدُ الشَّمْسَ الشَّمْسَ وَيَتَّبِعُ مَنْ كَانَ يَعْبُدُ الْقَمَرَ الْقَمَرَ وَيَتَّبِعُ مَنْ كَانَ يَعْبُدُ الطَّوَاغِيتَ الطَّوَاغِيتَ

Allah Ta’ala akan mengumpulkan manusia pada Hari Kiamat dan berfirman, “Barangsiapa yang menyembah sesuatu, maka ikutilah dia.” Maka orang yang menyembah matahari akan mengikuti matahari. Siapa yang menyembah bulan maka ia akan mengikuti bulan. Siapa yang menyembah thaghut, maka ia pun akan mengikuti thaghut –orang yang rela diibadahi-.” (HR Bukhari)

Ibnu al-Jauzi رحمه الله melanjutkan keterangannya, “Hadits tersebut dengan jelas menerangkan bahwa siapa saja yang pernah menampakkan penghambaan diri kepada selain Allooh سبحانه وتعالى, misalnya dari kalangan Ahlul Kitab, orang Nashoroyang menyembah Al Masih, dan orang Yahudi yang menyembah ‘Uzair,maka mereka semua akan mengikuti di belakang kaum musyrikin untuk jatuh ke dalam neraka sebelum dihamparkannya Shirath.”

Mereka itulah orang-orang yang kekal di neraka. Mereka tak bisa keluar dari neraka, tak bisa masuk ke dalam jannah seperti mustahilnya onta masuk ke dalam lubang jarum.
“Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami dan menyombongkan diri terhadapnya, tidak akan dibukakan baginya pintu langit dan tidak pula masuk surga sampai unta masuk lubang jarum” (QS al-A’raf 40)

Ayat tersebut dan juga ayat-ayat sebelumnya menunjukkan, bahwa yang kekal di neraka itu adalah orang-orang kafir dan musyrikin. Adapun orang-orang mukmin yang bermaksiat tidak masuk dalam ketegori ayat tersebut.
Jahannamiyun, dari Sengsara Menuju Bahagia

Adapun orang-orang yang memiliki keimanan, akan menyeberangi shirath dengan tingkat kesulitan dan kemudahan tergantung amalnya di dunia. Ada yang lolos dalam penyeberangan, namun tidak sedikit yang berguguran jatuh ke dalam neraka jahannam yang terletak di bawah shirath.

Mereka akan merasakan pedihnya neraka dengan aneka ragam siksa dan jangka waktu tergantung kadar maksiatnya di dunia. Tapi seringan-ringannya siksa di neraka adalah tatkala diletakkan kerikil di kakinya, maka mendidihlah kepalanya saking panasnya.

Mereka tidak selamanya berada di neraka. Pada akhirnya akan tersudahilah derita yang luar biasa. Mereka dikeluarkan dari neraka sementara wajah mereka telah gosong lantaran terpanggang api neraka. Hingga kemudian diceluplah mereka di sungai Hayat (sungai kehidupan). Dan setelah itu dimasukkanlah mereka ke dalam jannah. Sebagaimana kabar dari Nabi shallallahu alaihi wasallam,

يَدْخُلُ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ وَأَهْلُ النَّارِ النَّارَ ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى أَخْرِجُوا مِنْ النَّارِ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ مِنْ إِيمَانٍ فَيُخْرَجُونَ مِنْهَا قَدْ اسْوَدُّوا فَيُلْقَوْنَ فِي نَهَرِ الْحَيَا (أَوْ الْحَيَاةِ) فَيَنْبُتُونَ كَمَا تَنْبُتُ الْحِبَّةُ فِي جَانِبِ السَّيْلِ أَلَمْ تَرَ أَنَّهَا تَخْرُجُ صَفْرَاءَ مُلْتَوِيَةً

“Yang berhak masuk surga akan masuk surga, yang harus masuk neraka akan masuk neraka. Lalu Allah Ta’ala berfirman, “Keluarkanlah mereka yang mempunyi iman walaupun hanya seberat satu biji benih sawi!!! Maka mereka keluar dari neraka dan benar-benar mereka itu sudah gosong hitam pekat kemudian mereka ini dicelup ke dalam sungai Hayat, lalu dia tumbuh seperti benih diujung aliran air…”(HR Bukhari no.21).

Mereka itulah yang dijuluki jahannamiyun, atau mantan penduduk jahannam lantaran mereka pernah menjadi penghuni neraka. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

لَيُصِيبَنَّ أَقْوَامًا سَفْعٌ مِنَ النَّارِ بِذُنُوبٍ أَصَابُوهَا عُقُوبَةً ثُمَّ يُدْخِلُهُمُ اللَّهُ الْجَنَّةَ بِفَضْلِ رَحْمَتِهِ يُقَالُ لَهُمُ الْجَهَنَّمِيُّونَ

“Dari Anas r.a. bahwa Nabi Saw bersabda, “Akan ada beberapa kaum tampak sangat hitam dari api neraka, karena dosa-dosa yang pernah mereka lakukan sebagai hukuman atas mereka, kemudian Allah memasukkan mereka ke dalam surga dengan kurnia rahmat-Nya, mereka itulah yang dinamakan jahannamiyun (mantan penghuni neraka jahannam).” (HR Muslim)

Maka berubahlah keadaan mereka secara total. Yang sebelumnya berada di jurang kesengsaraan neraka dan disiksa tanpa jeda, akhirnya berpindah ke tempat yang penuh dengan kenikmatan tiada tara. Dimulai sejak dicelupkannya mereka ke dalam sungai Hayat, kelak, hanya dengan sekali celupan saja di jannah, penderitaan orang yang paling sengsara di duniapun akan hilang seketika tanpa bekas, tanpa sisa. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

وَيُؤْتَى بِأَشَدِّ النَّاسِ بُؤْسًا فِي الدُّنْيَا، مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ، فَيُصْبَغُ صَبْغَةً فِي الْجَنَّةِ، فَيُقَالُ لَهُ: يَا ابْنَ آدَمَ هَلْ رَأَيْتَ بُؤْسًا قَطُّ؟ هَلْ مَرَّ بِكَ شِدَّةٌ قَطُّ؟ فَيَقُولُ: لَا، وَاللهِ يَا رَبِّ مَا مَرَّ بِي بُؤْسٌ قَطُّ، وَلَا رَأَيْتُ شِدَّةً قَطُّ

Kemudian didatangkan seorang penghuni jannah yang paling sengsara sewaktu di dunia, lalu ia dicelupkan sekali celupan di jannah, kemudian ia ditanya,”Adakah engkau merasakan penderitaan? adakah engkau pernah merasakan kesengsaraan?” Ia menjawab,”Tidak, demi Allah wahai Rabbku. Aku tidak merasakan penderitaan sedikitpun dan sama sekali belum pernah mengalami kesengsaraan.” (HR Muslim)

Merekapun tinggal di kediaman kenikmatannya belum pernah dilihat oleh mata, belum pernah didengar telinga dan belum pernah mereka bayangkan sebelumnya.

Mereka sama sekali tidak menyesal lantaran di dunia belum memliki rumah megah ataupun kendaraan mewah. Karena telah disediakan untuk mereka sebuah rumah, “Yang batu batanya dari perak, dan batu bata dari emas, lantainya dari minyak kasturi yang kuat wanginya, kerikilnya berupa permata dan berlian, dan tanahnya dari za’faron.” Kemahnya, enampuluh mil panjangnya. Seluruh yang dilihat dan dirasakan adalah kenikmatan belaka.

Agar Tak ‘Mampir’ di Neraka
Meskipun penderitaan jahannamiyun tidak kekal dirasakan, bukan berarti kita boleh meremehkannya. Karena siksa neraka tak bisa dialihkan dengan hiburan, tidak pula didapatkan penawarnya selagi masih berada di neraka. Sementara rasa sakitnya dahsyat tiada tara. Maka, semestinya kita berusaha selagi masih ada kesempatan, agar kita tak perlu ‘mampir’ di neraka.

Semua manusia pastipernah meakukan dosa. Dan Allah telah menyediakan sarana bagi mereka untuk membersihakn diri dari dosa-dosa mereka. Bagi pelaku dosa, ada tiga ‘sungai’ tersedia di dunia, sehingga para pendosa bisa membersihkan dosa-dosanya di sana. Jika dosa-dosanya belum bersih dengannya, maka ada kemungkinan dosanya akan dibersihkan di neraka.

‘Sungai’ yang pertama adalah taubat nasuha. Maka barangsiapa yang membersihkan dirinya dengan bertaubat nasuha, dosa-dosanya akan berguguran seperti tidak pernah melakukan dosa. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,

التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ، كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ

“Orang yang bertaubat dari dosa, seperti orang yang tidak pernah melakukan dosa.” (HR Ibnu Majah, al-Albani mengatakan, “hasan)

Sungai yang kedua adalah “al-hasanah”, atau amal kebaikan yang menghapus dosa-dosa. Sebagaiman wasiat Nabi shallallahu alaihi wasallam,

اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا

“Bertakwalah kepada Allah di manapun kamu berada, dan ikutilah (hapuslah) keburukan dengan amal kebaikan yang bisa menghapus keburukan.” (HR Tirmidzi)

Banyak amal kebaikan yang bisa menghapus dosa-dosa, seperti shaum Arafah, shaum Asyura, dari umrah ke umrah, wudhu, memperbanyak langkah kaki ke masjid dan masih banyak lagi.

Adapun ‘sungai’ ketig adalah bersabar saat ditimpa musibah. Bagi seorang mukmin, musibah sekecil apapun itu bisa berkhasiat menggugurkan dosa-dosa, seperti pohon menggugurkan daun-daunnya. Dengan syarat ia bersabar dalam menjalaninya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُشَاكُ شَوْكَةً فَمَا فٌوْقَهَا إِلَّا كُتِبَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةً وَ مُحِيَتْ عَنْهُ بِهَا خَطِيْئَةً

“Tidaklah dari seorang Muslim yang tertusuk duri hingga apa-apa yang lebih berat darinya, kecuali dicatat baginya derajat dan dihapus darinya dengan hal itu kesalahan.” (HR Muslim).

Maka jika Allah menghendaki kebaikan hambaNya yang berdosa, Dia akan memasukkannya ke tiga sungai yang ada, hingga ia telah bersih saat menghadap Rabbnya. Tapi jika ketiga sungai itu belum cukup untuk membersihkannya, bisa jadi dosanya akan dibersihkan di neraka, nas’alullahal ‘afiyah. Semoga Allah mengampuni dan menghapus dosa-dosa kita. Amiin. (Abu Umar Abdillah)