Kultum Ramadhan: Kebakhilan yang Menyebabkan Kebangkrutan

Kultum Ramadhan

Kebakhilan yang Menyebabkan Kebangkrutan

 

إِنَّا بَلَوْنَاهُمْ كَمَا بَلَوْنَا أَصْحَابَ الْجَنَّةِ إِذْ أَقْسَمُوا لَيَصْرِمُنَّهَا مُصْبِحِينَ وَلَا يَسْتَثْنُونَ فَطَافَ عَلَيْهَا طَائِفٌ مِنْ رَبِّكَ وَهُمْ نَائِمُونَ فَأَصْبَحَتْ كَالصَّرِيمِ فَتَنَادَوْا مُصْبِحِينَ أَنِ اغْدُوا عَلَى حَرْثِكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَارِمِينَ فَانْطَلَقُوا وَهُمْ يَتَخَافَتُونَ أَنْ لَا يَدْخُلَنَّهَا الْيَوْمَ عَلَيْكُمْ مِسْكِينٌ

  “Sesungguhnya Kami telah mencobai mereka (musyrikin Mekah) sebagaimana Kami telah mencobai pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil)nya di pagi hari, dan mereka tidak mengucapkan in syaaAllah, lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Rabbmu ketika mereka sedang tidur, maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita. lalu mereka panggil memanggil di pagi hari. Pergilah di waktu pagi (ini) ke kebunmu jika kamu hendak memetik buahnya. Maka pergilah mereka saling berbisik-bisikan. Pada hari ini janganlah ada seorang miskinpun yang masuk ke dalam kebunmu”.

 (QS. al-Qalam: 17-24)

 

Ibnu katsier menyebutkan dari Sa’id bin Jabir rahimahullah bahwa para pemilik kebun yang dikisahkan dalam ayat tersebut tinggal di desa Dhurwan yang jaraknya 6 mil dari Shana’a. Ada pula yang berpendapat mereka adalah penduduk negeri Habasyah. Yang jelas bapak mereka adalah seorang petani yang mewariskan kebun itu untuk mereka. Mereka termasuk kalangan ahlul kitab (Sebelum diutusnya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam).

Bapak mereka adalah orang yang memiliki rekam jejak yang baik dalam hidupnya. Dia menggunakan hasil kebunnya untuk modal perawatan kebunnya, sebagiannya lagi disimpan untuk kebutuhan makan keluarganya selama setahun, dan sisanya untuk di sedekahkan.

Kemudian, tatkala dia telah wafat, maka kebunnya diwariskan kepada mereka selaku ahli warisnya. Namun mereka memiliki sikap berbeda dengan ayahnya. Bahkan mereka berkata, “Bapak kita telah berbuat bodoh dan keliru karena telah memberikan sisa panen kebun untuk disedekahkan kepada orang-orang fakir. Sekiranya kita tidak memberikan sisa panen kebun kita kepada orang-orang fakir tentunya harta kita akan melimpah.”

Dengan sifat tamak tersebut, mereka bertekad untuk tidak memberikan sisa panen kebun kepada orang-orang fakir.

Mereka lupa bahwa anugerah yang Allah berikan kepada orangtua mereka itu lantaran sedekah yang ditunaikannya. Ketika kebiasaan baik orangtua mereka yang suka berderma itu diganti dengan kebakhilan, maka dicabutlah anugerah tersebut.

Maka Allah azza wa jalla menggagalkan maksud dan rencana mereka. Allah lenyapkan semua hasil panen yang sudah hampir di tangan dan di depan mata.

Apa yang Allah kisahkan dalam al-Qur’an, bukan sekedar untuk dinikmati alurnya. Akan tetapi mengandung peringatan bagi orang-orang yang bertindak semisal yang tersebut dalam kisah, maka akan mengalami akibat yang serupa.

Sisi cela yang dimiliki oleh para pemilik kebun itu adalah kelalaian mereka terhadap kehendak dan kekuasaan Allah. Seakan penentu rejeki adalah hasil kerja kerasnya semata. Hingga ketika dalam perhitungan mereka masa panen telah datang, merekapun berencana dengan perencanaan seakan tak ada apa atau siapapun yang menghalangi panen raya. Merekapun tidak mengucapkan kata ‘in syaAllah’ (jika Allah menghendaki). Mereka lupa bahwa sehebat apapun perhitungan, perencanaan maupun ikhtiar manusia takkan terwujud jika Allah tak menghendaki. Allah Ta’ala berfirman,

 

وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّـهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” (QS at-Takwir 29)

Karena kelalaian terhadap kehendak dan kekuasaan Allah, mereka juga mengandalkan perhitungan logis semata, bahwa dengan menahan pemberian kepada si fakir maka hitungan hasilnya lebih banyak daripada jika dikurangi dengan sedekah. Padahal, Allah telah menjadikan sedekah sebagai salah satu wasilah untuk datangnya rejeki dan karunia. Dan bahwa sifat tamak tak akan menambah kekayaan dan bahkan kebakhilan menjadi penyebab kebangkrutan. Sebagaimana yang dikabarkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam,

 

مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ العِبَادُ فِيهِ، إِلَّا مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ، فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا: اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا، وَيَقُولُ الآخَرُ: اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا “

“Tiada datang pagi hari atas manusia melainkan ada dua malaikat turun, di mana salah dari keduanya berdoa, “Ya Allah berilah ganti (yang lebih baik) bagi orang yang berinfak,  dan yang kedua berdoa, “Ya Allah buatlah bangkrut  orang yang menahan pemberian.” (HR. Bukhari)

Baca Juga: Kultum Ramadhan, Takkan Mati Sebelum Habis Jatah Rezeki

Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya, “Ketika seorang laki-laki berada di tempat yang sunyi, dia mendengar suara awan, ‘Siramilah kebun fulan.’ Lalu awan itu berjalan dan menumpahkan airnya di tanah yang banyak bebatuan hitam. Ternyata ada saluran air yang telah dipenuhi oleh air hujan. Laki-laki itu menelusuri jalannya air. Ternyata ada seorang laki-laki yang berdiri di kebunnya, dia mengalirkan air dengan cangkulnya. Dia bertanya, “ Wahai hamba Allah, siapa namamu?” Dia menjawab, “Fulan.” Nama itulah yang didengarnya dari suara awan.

Petani itu balik bertanya, “Wahai hamba Allah, mengapa kamu bertanya tentang namaku?” Dia menjawab, “Sesungguhnya aku mendengar suara di awan yang telah tumpah airnya di sini. Suara itu berkata, “Siramilah kebun Fulan!” Apa sebenarnya yang Anda  lakukan?”

Dia menjawab, “Tentang pertanyaan Anda itu, saya memiliki kebiasaan ketika panen hasil kebunku. Sepertiganya aku sedekahkan, sepertiganya lagi aku makan bersama keluargaku, dan sepertiga siasanya aku kembalikan kembali (untuk menanam).” (HR. Muslim)

Maka tak ada cara mendatangkan keberkahan rejeki melebihi tawakal kepada Allah dan menggunakan cara-cara yang Allah kehendaki semisal sedekah. Semoga Allah memudahkan rejeki kita dan memberkahinya. Aamiin.

 

Kultum Ramadhan/Majalah ar-risalah/Ust. Abu Umar Abdillah

Kultum Ramadhan: Bahaya Dosa Jariyah, Terus Mengalir dan Bertambah

Mundzir meriwayatkan dari Ibnu al-Hanifiyah bahwa dahulu Abu Jahal dan para dedengkot Quraisy memprovokasi orang-orang yang telah didakwahi Nabi shallallahu alaihi wasallam dan masuk Islam. Mereka berkata, “Muhammad mengharamkan khamr, zina dan mengharamkan apa-apa yang dilakukan oleh orang-orang Arab, maka kembalilah kalian (murtad dari Islam), biarlah kami nanti yang akan memikul dosa-dosa kalian…” Lalu turunlah ayat,

 وَلَيَحْمِلُنَّ أَثْقَالَهُمْ وَأَثْقَالًا مَعَ أَثْقَالِهِمْ 

“Dan sesungguhnya mereka akan memikul beban (dosa) mereka, dan beban-beban (dosa yang lain) disamping beban-beban mereka sendiri…” (QS. al-Ankabut: 13)

Mujahid bin Jabr rahimahullah menafsirkan ayat tersebut, “Mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya, yakni memikul dosa-dosanya sendiri ditambah dosa semua orang yang mengikuti seruannya, tanpa sedikitpun mengurangi dosa orang-orang yang mengikutinya.”

Hingga meskipun para penyeru kesesatan itu sudah mati, sedangkan para pengikutnya masih hidup dan berbuat maksiat seperti arahan penyeru itu. Maka para penyeru itu turut memikul dosa-dosa yang dilakukan oleh para pengikutnya. Inilah yang disebut dengan dosa jariyah, dosa yang terus mengalir meskipun pelakunya sudah mati.

Baca Kultum Lainnya: Yang Mengerikan di Bulan Ramadhan

Maka jangan heran, jika ada orang-orang yang pulas tertidur namun kalkulasi dosa terus bergulir. Bahkan ketika jasad telah kaku terbujur, catatan dosa belum berakhir. Hingga pun ia masuk ke dalam kubur, kiriman dosa datang bergilir. Duhai celakanya orang yang telah mati, namun dosanya lebih panjang umurnya daripada pelakunya.

Begitulah resiko menjadi trendsetter dosa, pioner maksiat dan siapapun yang ikut andil menyebarkan kesesatan dan kamaksiatan. Mereka turut menanggung dosa orang-orang yg mengikutinya. Mereka turut memikul dosa orang lain yang bermaksiat, karena ia memiliki saham dalam menyebarkannya.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

 

وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنِ اتَّبَعَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا

“Barangsiapa yang menyeru kepada kesesatan, maka baginya dosa orang-orang yang mengikutinya sampai hari kiamat, tanpa mengurangi dosa pengikutnya sama sekali.” (HR. Muslim)

Ambil contoh, ada seseorang yang menggubah sebuah karya lagu yang berisi ajakan keburukan atau menggiring kepada kemesuman, atau berupa kata-kata jorok yang mengandung nilai dosa. Ia berbangga ketika akhirnya lagu itu populer dan digandrungi semua khalayak. Ia juga merasa beruntung dengan besarnya royalti yang bisa dikantongi karena hasil karyanya. Ketika itu ia lupa, bahwa dia juga berhak mendapatkan royalti dosa setiap kali ada yang menirukan lagu ciptaannya yang mengandung dosa.

Dirinya tidur nyenyak sementara lagu ciptaannya dinyanyikan orang lain, dan terus ‘mencetak’ dosa yang akan ia pikul di akhirat. Bahkan, meskipun dirinya telah masuk ke dalam kubur, wal ‘iyadzu billah. Termasuk jika ada orang yang berbuat dosa karena terinspirasi oleh nyanyian itu, sebagai inspirator akan terkena dampaknya.

Ini mengingatkan kita akan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ العَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ، مَا يَتَبَيَّنُ فِيهَا، يَزِلُّ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ المَشْرِق

“Sesungguhnya ada orang yang mengucapkan satu ucapan yang dia tidak berfikir (baik buruknya), ternyata ucapan itu melemparkan ia ke neraka yang jauhnya melebihi antara timur dan barat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Bagaimana satu ucapan bisa berdampak begitu berat? Bisa jadi, kata-kata itu mengandung kemungkaran yang besar, atau bisa jadi pula ucapan itu tersebar luas sehingga banyak orang yang terjatuh ke dalam dosa lantaran ucapan itu. Sementara ia tidak memikirkan dampaknya saat berucap, wal ‘iyadzu billah.

Contoh lain, ketika ada seseorang mempublikasikan foto atau film yang mengandung kemaksiatan, maka ia memikul dosa semua orang yang menyaksikan. Pun tidak mengurangi dosa orang yang menyaksikan. Padahal, sekarang betapa mudah menyebarluaskan konten apapun di era ini; internet, facebook, youtube, What’s App, Instagram serta sarana lain yang mudah untuk diakses.

Begitupun ketika seseorang membuat suatu tren atau tradisi dengan konten kesesatan. Sebagai pelopor, maka ia memikul semua dosa orang yang melestarikan tradisi itu, sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam,,

وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

“Dan barangsiapa yang mempelopori dalam Islam ini suatu tradisi yang buruk, maka baginya dosa yang ia lakukan dan juga menanggung dosa orang-orang yang mengikuti setelahnya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim)

Semestinya kita berhati-hati saat berucap dan bertindak, apalagi kita berada di era informasi yang dengan mudah segala hal menular kepada banyak orang. Jangan sampai kita menganggap remeh, padahal di sisi Allah adalah perkara besar, wallahu a’lam bishawab.

Kultum Ramadhan/Majalah ar-risalah/Ust. Abu Umar Abdillah