Ayah Ideologis, Tak Skeptis Menghadapi Krisis

Banyak di antara kita, para ayah, yang akhir-akhir ini bermuka masam. Nilai tukar dollar naik, imbasnya harga sembako melambung, kebutuhan meningkat, namun uang semakin tipis saja yang tertinggal di kantong. Boro-boro menyisihkannya untuk ditabung, hidup sederhana saja terasa demikian sulit. Bayangan masa depan yang suram, sulit, dan lesu telah menjadi trauma bagi mereka. Merosostnya ekonomi nampaknya menjadi kambing hitam yang dituding menjadi biang penyebab masalah. Benarkah krisis ini serupa monster mengerikan yang akan melumat kita bulat-bulat?

Seperti kehilangan akidah, banyak yang sedih, murung, stress, skeptis hingga depresi menghadapi hari-hari. Hingga kita lupa bahwa Allah-lah yang menjadi penentu segalanya, bukan asing dan aseng, merosotnya rupiah, atau apapun nama makhluk yang bisa kita sebut. Padahal, Sang Mahakaya yang memiliki seluruh perbendaharaan yang ada, bahkan dalam semua yang tidak pernah kita duga, telah menjamin rezeki bagi seluruh makhluk-Nya yang melata. Lalu, adakah jalan keluar?

Pertama

Harus kita sadari, bahwa melambungnya harga, bahan pokok dan melemahnya rupiah saat ini adalah buah dari kecongkakan manusia dengan sistem ekonomi ribawinya. Sistem zhalim yang penuh kecurangan itu benar-benar telah terbukti menyengsarakan umat manusia. Hal yang akan membuat kita tahu bahwa solusinya, mestinya, adalah kembali kepada sistem ekonomi syariah yang menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Sistem yang jauh dari kezhaliman antar sesama; lebih adil, manusiawi, menguntungkan, dan barakah.

Kedua

Insyaallah, inilah saatnya merenung tentang tujuan pernikahan yang sebenarnya. Bahwa ia bukan semata mencari kemapanan finansial belaka, hal yang memang seringkali dianggap sebagai indikator keberhasilan, bahkan harga diri seseorang. Hingga segalanya tampak mudah dan selesai dengan uang. Yang berarti pula, semua masalah akan muncul dengan ketiadaannya. Jika tanpa krisis saja, kita sudah pontang-panting mengumpulkan materi, apa jadinya kita di masa kritis begini?

Padahal, tujuan pernikahan jelas lebih luas daripada itu. Kemapanan mental emosional, sosial, bahkan spiritual juga sangat dihajatkan. Saat-saat seperti ini sangat tepat jika kita pergunakan untuk mengatur ulang prioritas hidup. Melancarkan komunikasi dan meneguhkan peran serta masing-masing anggota keluarga. Seberapa sebenarnya jumlah materi yang kita butuhkan, dan seberapa yang kita inginkan. Kemudian, hal lain apa yang ingin kita capai dengan keluarga ini? Inilah yang akan membuat hidup menjadi selaras seimbang, dan tidak terjebak menjadi penghamba materi. Hal yang akan menyeret kita ke dalam pusaran pencarian yang melelahkan dan mengorbankan banyak hal.

Mereka yang fokus pada kemapanan materi, sebenarnya melalaikan fakta bahwa banyak kebutuhan non finansial, dan banyak masalah yang tidak akan pernah selesai dengan uang. Ia terpendam menjadi bom waktu yang mengancam keharmonisan dan keutuhan rumah tangga, dan akan meledak saat krisis finansial datang. Apalagi bagi mereka yang mengidap sindrom ingin lebih, berapapun capaian materi yang mereka dapatkan, selalu ada keinginan untuk menambahnya. Sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam, ia tiada berkesudahan kecuali jika kematian datang. Terus, bagaimana dengan mereka yang gagal mencapai keinginan materinya? Jelas lebih mengerikan!

Ketiga

Kita harus belajar berhemat; hanya membeli hal-hal yang benar-benar kita butuhkan. Demi untuk keberhasilannya, selain komitmen yang tinggi, teladan dari orangtua dan dukungan seluruh anggota keluarga mutlak diperlukan. David Hochman, seorang penulis barat, pernah berlatih hidup sederhana, dan dalam sebulan, dia bisa menghemat uang belanja keluarga hingga 2000 dollar. Nilai yang sangat besar, tentu saja. Nah, kalau David bisa, kenapa kita tidak? Meski dengan jumlah uang yang jauh lebih kecil, penghematan tetaplah pilihan yang cerdas dan terpuji. Dan kalau ternyata ada sisa uang belanja, kita harus menabungnya, seraya memikirkannya agar kelak bisa kita gunakan sebagai modal investasi.

Satu hal yang harus kita ingat, bahwa apa yang akan terjadi besok adalah hal ghaib yang tidak kita ketahui, hingga tidak ada alasan untuk takut menghadapinya. Agar siap menghadapi apapun keadaan yang akan kita temui nanti, kita harus menambah kadar keimanan. Bukankah keadaan orang yang beriman itu sangat menakjubkan? Bersyukur di saat mendapatkan kelapangan, dan bersabar saat menemui kesempitan. Alangkah indahnya!

Jangan lupakan untuk membangun komunitas muslim yang saling berta’awun dalam kebaikan dan ketakwaan, termasuk dalam perekonomian. Sebab menurut Ibnu Abbas, loyalitas sesama muslim yang dilandasi kecintaan dan kebencian karena Allah, akan menjadi jalan tergapainya pertolongan Allah.

Selain itu, kita harus tetap berbuat kebaikan sebanyak mungkin. Karena kita percaya sunatullah, bahwa mereka yang menanam kebaikan akan memanen kebaikan, dan demikian juga sebaliknya. Karena Allah Mahaadil yang tidak mungkin berbuat zhalim terhadap hamba-hamba-Nya, inilah saatnya kita memperbanyak tabungan kebaikan.

Jadi, tetap optimis menghadapi krisis. Semoga Allah memudahkan urusan kita semua!

Oleh: Redaksi/Keluarga

Ayah Pemilik Tanda

Syahdan, Yusuf pun sempat tertarik atas ajakan wanita itu. Sebagai lelaki normal, keadaan yang ada sangatlah menggoda iman. Jelita, menyediakan diri di kamar tertutup pintu berlapis-lapis, penjagaan yang ketat, kesempatan yang terbuka luas, hingga kenyataan bahwa dirinya tetaplah manusia biasa yang sudah mencapai kematangan biologisnya. Hanya Allah jualah yang bisa menyelamatkan dirinya dari tipu daya keji ini.

Allah menjelaskannya di dalam surat Yusuf ayat 24, “Sesungguhnya wanita itu bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusufpun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Rabbnya. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.”

Ya, burhan (tanda) dari Rabbnya-lah yang menjadikan Yusuf mengurungkan niat melakukan perbuatan terkutuk itu. Sebuah kesadaran yang hadir di saat-saat genting menghadapi pilihan melenakan, menjanjikan kenikmatan instan, atau ketergesaan yang seringkali membuahkan penyesalan di kemudian hari. Sebuah kendali diri yang sangat efektif saat akal tidak bisa lagi berfikir jernih, saat nafsu amarah menguasai diri.

Alangkah dahsyatnya burhan ini! Betapa inginnya kita memilikinya agar tetap terjaga di dalam kebaikan dan tidak tergoda berbagai tawaran menggiurkan. Karena kita menyadari, betapa berat menjaga keistiqamahan diri sepanjang waktu. Apalagi dunia masa kini menjanjikan jebakan-jebakan setan yang memudarkan iman dan menenggelamkan akal sehat, membuat akhirat kemudian menjadi terasa jauh. Dan ini terjadi nyaris tanpa henti, tanpa pernah kita tahu titik kritisnya.

Sebagai sebuah capaian, self control (kontrol diri) yang hebat ini jelas tidak muncul begitu saja. Ia adalah buah keberhasilan tarbiyah yang dimulakan prosesnya, dengan kejelasan konsep dan kedisiplinan yang tinggi dalam aplikasinya. Tarbiyah yang benar-benar berfungsi mengubah seseorang menjadi labih baik, dan bukan sekadar tarbiyah palsu yang memukau secara normatif namun gagal memberikan output yang berkualitas. Tarbiyah sebenarnya, sebagaimana ia seharusnya menjalankan fungsinya.

Lalu, apakah burhan yang dimaksud ini?

Sebagian dari tafsiran burhan dari Rabbnya dalam ayat di atas adalah bahwa Yusuf melihat wajah ayahnya, Ya’qub alaihis salam, sedang menggigit jari sambil berkata, Yusuf! Yusuf! Apakah kamu akan mengerjakan tindakan orang-orang bodoh, padahal kamu telah tercatat sebagai salah satu Nabi? Dalam riwayat lain, Yusuf melihat Ya’qub memukul dadanya.Sehingga Allah mencabut setiap syahwat yang ada di setiap persendiannya.Ya, burhan itu adalah kehadiran bayangan ayah dalam benak si anak saat menghadapi situasi yang sulit dan rumit.

Lihatlah bagaimana penjelasan para ulama dalam hal ini. Sebuah konsep parenting yang sangat penting, bahwa pendidikan anak yang kuat ternyata dilakukan oleh seorang ayah. Penanaman akidah, pembentukan karakter, penetapan standar moral, hingga pendisiplinan ibadah dan hal-hal positif lainnya, ternyata tidak bisa dipisahkan dari keterlibatan para ayah. Dalam bayangan saya, Yusuf, jauh sebelum akhirnya dibuang oleh saudara-saudaranya, memiliki kebersamaan dan mendapatkan pendidikan yang berkualitas dari sang ayah, Nabi Ya’qub ‘alaihi salam.

Sebagai ayah, kita jelas tidak bisa mengabaikan pesan ini, berperan secara aktif membentuk anak-anak kita menjadi shalih-shalihah. Menganggapnya tidak penting, atau menyerahkannya begitu saja kepada pihak lain, adalah tindakan penuh resiko yang bisa jadi mengindikasikan ketidakpedulian atau sikap pengecut. Sebab, selain hal itu bisa memberikan hasil yang mengecewakan, sebenarnya tidak ada yang lebih baik daripada pendidikan seorang ayah. Karenaayah-lah yang akan mempertanggungjawabkannya di sisi Allah kelak, sehingga, mestinya, dialah pihak yang paling berkepentingan atas hasil tarbiyah atas anak-anaknya.

 Dan untuk menjadi ayah pemilik tanda ini, kita harus memiliki kejelasan visi dan konsep pendidikan anak-anak. Bagaimana konsep ini bisa berjalan dengan baik atau hanya tertinggal dalam angan-angan, juga sangat ditentukan oleh pilihan berbagai tindakan kita dalam aplikasi kesehariannya. Dan hal ini tidak bisa ditunda-tunda lagi karena tarbiyah ini akan memberi hasil maksimal, insyaallah, jika dimulai sedini mungkin. Sehingga penundaannya berarti kehilangan kesempatan emas, momentum terbaiknya.

 Jika semua ayah memiliki kesadaran fungsi sebagai pemilik burhan ini, niscaya banyak anak-anak yang tumbuh dalam kebaikan dan memberikan kebaikan bagi sekitarnya. Mengurangi keburukan dan kejahatan karena mereka memiliki pengendali yang bersemayam di dalam diri. Dan hal itu adalah perasaan tidak nyaman saat akan melakukan satu keburukan, karena wajah ayah yang mulia itu selalu membayangi mereka.

 Maka, marilah kita menjadi para ayah pemilik tanda. Yang peduli akan keshalihan keturunan kita, dan bukan hanya menjadi ayah-ayah biologis yang seringkali menjadi beban peradaban sebab tidak berkontribusi apa-apa selain meninggalkan generasi penerus yang menimbulkan kerusakan dan kejahatan di dunia.

 Semoga Allah memampukan kita memikul tanggung jawab ini. Mengambilnya dengan amanah dan menunaikannya sebaik mungkin. Insyaallah, Yusuf-Yusuf yang lain akan segera hadir dan memakmurkan bumi dengan keshalihan. Yusuf-Yusuf yang memiliki ayah-ayah pilihan, para ayah pemilik tanda. Semoga!

Komitmen Seorang Ayah

Di luar sana, ada keruntuhan hebat yang sedang terjadi. Gerakan baru menyeruak keluar, membabat habis norma-norma tradisional yang dianggap kuno dan ketinggalan zaman. Hebat dalam penampilan, lezat dalam penawaran, cepat dalam gerakan. Melindas makna pernikahan, keluhuran moral dan kerendahan hati, juga nilai-nilai agama. Dan karenanya, banyak di antara kita kehilangan arah, bahkan tujuan hidup!

51 % remaja putri tidak lagi perawan, bukanlah angka yang bisa diremehkan. Belum jumlah aborsi yang bisa diatas 2,5 juta pertahun, penggunaan narkoba yang kian menjangkau kota-kota kecil, atau aneka bentuk geng dan kenakalan yang makin memprihatinkan. Semuanya dengan jumlah riil yang kita yakini jauh melampaui angka-angka yang dilaporkan.

Budaya populer yang tidak sejalan dengan akal sehat dan kebutuhan batin menjadi panutan, bahkan agama baru. Memunculkan kebingungan, kebebasan tanpa batas, sinis terhadap agama, hingga kesendirian akut tanpa kepedulian akan perasaan dan keinginan orang lain.“Aku tidak hidup untuk menjadi polisi bagi orang lain,” begitu kata mereka. Hingga kemudian, banyak di antara mereka yang kehilangan nyaman dan hangatnya hubungan emosionaldengan orang lain. Dan itu sangat merusak mental.

Dalam perjalanan waktu yang panjang, pada akhirnya, kita akan menyadari bahwa kehangatan, kebahagiaan, penerimaan, dan kenyamanan batin adalah kebutuhan asasi. Dan di sanalah keluarga mengambil peran pentingnya. Tempat ideal yang menyenangkan untuk saling terhubung secara emosional, memperoleh kasih sayang tak terputus, berbicara satu dengan yang lain, saling menghargai, menikmati keberadaan, juga dukungan penuh saat datang masalah.

Karena itulah, kualitas hidup berkeluarga berpengaruh besar pada kesejahteraan emosional, kesehatan mental, dan kebahagiaan anggotanya. Pun sebaliknya, keluarga amburadul, menyumbang saham yang signifikan terhadap berbagai masalah sosial di masyarakat.

Keluarga yang sehat, adalah tempat di mana kita memasukinya untuk memperolah kenyamanan, pengembangan diri, dan regenerasi, serta dari mana kita merasa diperbaharui dan diberi energi untuk bangkit secara positif, kala terpuruk. Pelabuhan yang akan melindungi anggota keluarga dari berbagai perusak mental; ketakutan, kekhawatiran, penolakan, dan kesepian.Benteng pertahanan dari amukan kerusakan moral yang makin merapat ke batas-batas teritorial keluarga.

Karena itu, keluarga idaman bukan sekedar menyatukan dua jenis kelamin yang membutuhkan penyaluran biologis. Ia juga bukan ikatan sesaat untuk hari ini atau besuk pagi saja,tanpa kegembiraan, tanpa keamanan, penerimaan, dan tanpa arti. Karenanya ia harus bermula dari visi yang jelas; beribadah kepada Allah, bertujuan jelas; meraih sakinah mawaddah wa rahmah, serta berkomitmen tinggi akan keberhasilannya sebagai keluarga bahagia dengan anak-anak yang shalih yang mendoakan orangtuanya.

Komitmen inilah yang kini mulai memudar, bahkan hilang. Begitu mudah kita menemukan pasangan, mengucap janji pernikahan, kemudian bercerai ketika merasa tidak ada lagi kecocokan. Atau bahkan ada yang sekedar mencari teman tidur, memasrahkan tubuh kepada lawan jenis tanpa jaminan ikatan pernikahan, pada pertemuan pertama di sebuah pesta, bahkan meski kita tidak tahu alamat dan nama lengkapnya. Sedih, sebab fakta ini begitu transparan terbaca dari gaya hidup dancara berfikir mereka.

Membangun keluarga yang sehat dan bahagia adalah sebuah pekerjaan besar, pondasi dari peradaban bermartabat dan bernilai tinggi. Dengan pekerjaan kecilnya berupa pengurangan sumber masalah di dalam keluarga, juga di masyarakat. Dan ia akan sulit berhasil jika tidak disertai komitmen yang tinggi untuk berbagi sumber daya, kehangatan dan perhatian.

Komitmen terhadap pernikahan bermula dari kesadaran akan sebuah pilihan bertanggung jawab. Bahwa kita mengambil penghalalan persetubuhan itu dengan sejumlah konsekuensi kepemimpinan yang akan dipertanggungjawabkan. Sebuah ikatan yang kuat, mitsaaqan ghaliizhan, medan perjuangan mewujudkan surga dunia yang sangat peduli terhadap pikiran, perasaan, dan keberadaan setiap anggota keluarga. Seringkali, hal itu merubah prioritas hidup, pengorbanan yang besar, juga kedewasaan yang cukup.

Komitmen terhadap keluarga adalah tekad untuk senantiasa hadir dan memberi dukungan saat diperlukan, kapan pun itu terjadi, kecuali ada udzur syar’i yang bisa dibenarkan. Berjanji untuk menerima, mendengarkan, merasakan, dan memberi dukungan, hingga setiap anggota merasa diterima sebagai bagiannya, dimiliki, dan dihargai. Karena setiap komponennya adalah manusia yang berperasaan dan setiapnya adalah penting adanya.

Kalau perlu, komitmen ini mewujud pada sejumlah tradisi yang bisa mewadahi makna kesetiaan dan kehadiran itu, serupa makan bersama, waktu khusus untuk keluarga, atau apalah namanya. Semua merasa terlibat untuk saling berbicara membagi visi dan mendengarkan. Dan tidak ada yang boleh mengabaikan dan mengalahkannya kecuali untuk kepentingan yang lebih besar.

Percayalah, anak-anak akan merasa aman, modal penting dalam tumbuh kembang mereka,  jika melihat kedua orangtua mereka saling mendukung dan mencintai.

Tapi kenapa kita sulit menempatkan urusan keluarga di tempat yang layak? Berpura-pura melakukan kegiatan lain yang, kita anggap, penting. Zaman berganti, waktu berputar, pekerjaan bisa berubah, lalu kita bertanya kepada diri sendiri, “Apa yang telah terjadi terhadap keluargaku?” Semua boleh pergi dan berganti, tetapi aku akan tetap menjadi suami dan ayah. Aku tetap pemimpin keluarga yang akan ditanya!