Istikharah, Untuk Pilihan Terbaik

Istikharah artinya meminta pilihan. Abu Amru Abdillah al Hamadi menjelaskan, istikharah artinya  meminta agar keinginan hati dicondongkan pada apa yang terbaik dan utama menurut Allah, dengan cara menunaikan shalat sunah dan berdoa dengan doa istikharah yang diajarkan Nabi ﷺ .

Prakteknya cukup mudah, seseorang menunaikan shalat sunah -bukan shalat wajib- dua rakaat dan membaca surat apapun dari al Qur`an setelah al Fatihah. Setelah salam, membaca tahmid atau bacaan yang berisi pujian pada Allah, membaca shalawat untuk Nabi ﷺ lalu berdoa dengan do’a istikharah dan ditutup dengan shalawat. Soal waktu pelaksanaannya, pada dasarnya bisa dikerjakan kapan saja, tapi lebih utama dilaksanakan pada waktu-waktu yang memiliki fadhilah (keutamaan) seperti pada sepertiga malam akhir.

Adapun lafazh doanya bisa kita baca dalam hadits shahih riwayat Imam al Bukhari, dari Jabir bin Abdillah beliau berkata,

“Adalah Rasulullah ﷺ mengajari kami Istikharah untuk memutuskan segala sesuatu, sebagaimana mengajari surah al Qur-an. Beliau bersabda: “Apabila seseorang di antara kamu mempunyai rencana untuk mengerjakan sesuatu, hendaknya melakukan shalat sunah dua rakaat, kemudian membaca:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوبِ اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي –أَوْ قالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ- فَاقْدُرْهُ لِي وَيَسِّرْهُ لِي ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّهُ شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي -أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ- فَاصْرِفْهُ عَنِّي فَاصْرِفْنِي عَنْهُ وَاقْدُرْ لِي الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ رَضِّنِي بِهِ

“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta pilihan yang tepat kepada-Mu dengan ilmu pengetahuan-Mu dan aku mohon kekuasaan-Mu (untuk mengatasi persoalanku) dengan kemahakuasaan-Mu. Aku mohon kepada-Mu sesuatu dari anugerah-Mu yang Maha Agung, sesungguhnya Engkau Mahakuasa, sedang aku tidak kuasa, Engkau mengetahui, sedang aku tidak mengetahuinya dan Engkau adalah yang Maha Mengetahui hal yang ghaib. Ya Allah, apabila Engkau mengetahui bahwa urusan ini lebih baik bagi agamaku, kehidupanku dan akibatnya terhadap diriku – atau Nabi ﷺ bersabda: untuk dunia atau akhiratku- sukseskanlah untukku, mudahkan jalannya, kemudian berilah berkah. Akan tetapi apabila Engkau mengetahui bahwa persoalan ini lebih berbahaya bagi dalam agamaku, kehidupanku dan akibatnya kepada diriku, maka singkirkan persoalan tersebut, dan jauhkan aku daripadanya, takdirkan kebaikan untukku di mana saja kebaikan itu berada, kemudian berilah kerrdhaan-Mu kepadaku.” Lalu menyebutkan urusannya.

 

Boleh Doa Saja

Yang paling utama adalah melakasanakan istikharah adalah sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits; diawali dengan shalat sunah dua rakaat kemudian membaca doa. Sebab, ada hikmah yang agung dalam anjuran untuk melakukan shalat sunah sebelum memanjatkan doa.

Al Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Hikmah disyariatkanya shalat sebelum doa adalah, bahwa tujuan istikharah adalah memperoleh  kebaikan dunia dan akhirat. Untuk itu seseorang harus mengetuk pintu al Malik (Allah). Dan tidak ada cara yang lebih baik untuk mendapatkan itu semua selain dengan shalat, karena di dalamnya terdapat pengagungan kepada Allah, pujian dan rasa membutuhkan yang sempurna.”

Akan tetapi bagi yang tidak mungkin melaksanakan shalat, diperbolehkan istikharah hanya dengan membaca doanya saja. Misalnya seorang wanita yang tengah haid dan ingin melakukan istikharah karena suatu keperluan.

Imam an Nawawi berkata, ” Jika tidak memungkinkan bagi seseorang melakasanakan shalat, ia boleh istikharah dengan berdoa saja.” Inilah pendapat ulama madzhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i.

 

Baca Juga: Menjadi Istri Penyejuk Hati

 

Yang perlu diperhatikan, hendaknya lafazh doa yang dibaca, persis seperti apa yang diriwayatkan dalam hadits yang shahih. Kita harus berusaha menghafalnya sebisa mungkin. Ulama mengatakan, lafazh doa ini diajarkan oleh Rasulullah sebagaimana beliau mengajarkan surat al Qur`an, sedang surat dalam al Qur`an tidak boleh ditambah atau dikurangi. Beliaulah yang paling tahu mengenai lafazh terbaik untuk memohon kepada Allah.”

Artinya, lafazh istikharah semacam inilah yang paling pas, syamil (mencakup semuanya) dan utama karena diajarkan oleh manusia yang paling dekat dengan Allah. Kita bisa melihat betapa indahnya doa tersebut –salah satunya- dari kalimat ” yang terbaik untuk dienku, hidupku dan akibat sesudah itu bagiku” maknanya bahwa hendaknya kebaikan tersebut adalah kebaikan yang menyentuh semua aspek; dien, kehidupan dan akhir atau dari itu semua dan kebaikan akhirat. Sebab bisa jadi, sesuatu terlihat baik bagi dunianya tapi buruk bagi agamanya.

 

Tak Hanya untuk Memilih Jodoh

Istikharah adalah doa bagi hamba ketika menghadapi dilema, harus memilih antara dua atau beberapa hal. Karena tak jarang, kita dihadapkan pada pilihan-pilihan yang membutuhkan keputusan tepat mengingat urusan tersebut sangatlah krusial bagi diri kita atau mungkin juga orang lain. Seberapa penting atau tidaknya, besar kecilnya, krusial atau sepelenya setiap urusan, masing-masing orang memiliki standar berbeda dan lebih tahu dengan urusannya. Sehingga persepsi bahwa Istikharah hanyalah ritual khusus untuk memilih calon pasangan saja adalah salah karena kita juga disunahkan melakukan istikharah untuk selian itu, misalnya; saat akan memilih tempat tinggal atau sekolah, apakah harus pergi (safar) ataukah mengurungkannya, mengatakan suatu rahasia kepada teman, keluar dari pekerjaan atau tidak, memutus hubungan kerja dengan seseorang dan urusan lainnya.

Anas bin Malik berkata, “Ketika Rasulullah wafat, di madinah ada dua orang tukang gali kubur, yang satu pembuat lahad (kubur yang digali agak condong ke samping/dinding lubang) dan dharih (lubang kubur biasa). Orang-orang berkata, ” Kita istikharah pada Allah lalu kita utus dua orang kepada dua tukang gali itu. Utusan yang datang terakhir, kita tinggalkan.” Lalu penggali lahad datang lebih dahulu dan digalilah kubur Rasulullah SAW dalam bentuk lahad.”

Intinya bahwa istikharah adalah salah satu sunah bagi kita saat harus mengambil keputusan dan pilihan. Tujuannya agar dalam mengambil keputusan selalu melandaskannya pada keimanan dan syariat-Nya. Yaitu iman bahwa Allahlah yang Mahakuasa dan Maha Mengetahui, hanya kepada-Nyalah kita meminta petunjuk dan arahan dan iman pada takdir. Sehingga apapun yang kita pilih, hati kita akan tenang dan yakin bahwa apa yang telah Allah takdirkan adalah yang terbaik dengan segala hikmah yang ada padanya.

 

Istisyarah, Bukan Menanti Mimpi

Apa yang harus kita lakukan setelah menunaikan istikharah? Menunggu ilham dan mimpi atau terus saja melangkah sesuai kata hati?

Dalam hal ini, para ulama telah menjelaskan pada kita beberapa hal yang sangat berguna. Setelah istikharah hendaknya seseorang melakukan dua hal:

Pertama, istisyarah, yaitu musyawarah atau meminta pendapat para ulama dan orang-orang bijak. Disebutkan dalam Kitab “Kasyfus Sitarah ‘an Shalatil Istikharah” bahwa sebagian salaf mengatakan, “Termasuk tindakan orang berakal yang benar adalah menambahkan pendapat para ulama pada pendapatnya dan menyatukan pikirannya dengan pikiran orang-orang bijaksana. Sebab, satu pendapat bisa jadi salah, dan satu pikiran mungkin tergelincir.”

 

Baca Juga: Orang Tua Belum Mengizinkan Menikah

 

 

Abul Hasan al-Marudi asy-Syafi’i berkata, ” Sikap yang mengindikasikan kemantapan seorang yang berakal adalah ia tidak memutuskan perkara atau membuat keputusan tanpa bermusyawarah dengan orang yang bisa menasehati dan analisa dari orang yang berpemikiran lurus. Bahkan Allah masih menyuruh Nabi-Nya agar bermusyawarah, padahal Allah telah menyatakan akan selalu memberi petunjuk padanya ﷺ.

Allah berfirman,

Dan ajak musyawarahlah mereka dalam memutuskan perkara.” (QS. Ali Imran; 159).

Ada banyak manfaat yang bisa diperoleh dari pendapat, nasehat dan arahan dari orang lain yang lebih berilmu atau lebih berpengalaman dari kita. Kekhawatiran atau pertimbangan-pertimbangan yang kurang baik yang barangkali pernah kita pikirkan sebelumnya bisa teratasi. Sebab, ilmu dan pengamalan serta kebijaksanaan yang Allah berikan pada mereka adalah sesuatu yang mungkin belum kita miliki.

Ibnu Taimiyah berkata,

“Tak akan menyesal orang yang telah istikharah pada al-Khalik, musyawarah dengan para makhluk dan mantap dengan pilihannya.”

Ahli sastra mengatakan,

مَا خَابَ مَنِ اسْتَخَارَ وَلاَ نَدِمَ مَنِ اسْتَشَارَ

“Tak akan rugi orang yang telah istikharah, dan tak akan menyesal oang yang sudah bermusyawarah.”

Istisyarah adalah salah satu anjuran yang sangat baik setelah istikharah. Seakan keduanya adalah dua mata koin. Namun begitu, pada beberapa kondisi, bisa jadi istisyarah tidak bisa kita lakukan karena beberapa alasan. Dan hal itu tidak masalah karena kita hanya dituntut untuk beramal sesuai kemampuan kita.

Kedua: Memantapkan hati atas satu pilihan dan melaksanakannya dengan penuh tawakal.

Caranya dengan menyingkirkan berbagai pertimbangan yang dilandasi nafsu. Dalam hal ini kita harus jujur pada diri sendiri. Karena jika tidak, hal inilah yang akan menjadi pemicu malapetaka. Al Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Orang yang sudah berniat melakukan sesuatu, hendaknya ia tidak melaksanakan apa yang membuat hatinya senang, tapi didasari hawa nafsu yang kuat sejak sebelum ia istikharah.”

Izzudin bin Abdissalam berkata, “Hendaknya ia kerjakan apa yang ia yakini.”

Muhammad bin Ali Kamaludin az Zamlakani menjelaskan bahwa jika seseorang telah menunaikan dua rakaat istikharah untuk suatu perkara, maka hendaknya ia lakukan apa yang jelas baginya, baik hatinya merasa benar-benar lega atau belum. Sebab di situ pasti ada kebaikan meski -mungkin-  masih ada yang mangganjal di hatinya.

Dengan kedua hal di atas, kita telah menempuh sunah syar’iyahnya dengan menjalankan sunah dari rasul dan juga sunah kauniyahnya dengan musyawarah dan memikirkan berbagai pertimbangan nalar yang kemudian akan melahirkan sebuah pilihan atau keputusan.

Sebuah langkah yang begitu indah jika kita senantiasa menjalankannya dalam setiap perkara, memohon petunjuk pada Yang Mahakuasa, bermusyawarah dengan orang yang bijkasana dan menjalani segalanya dengan kemantapan hati, tawakal dan husnudzan pada Allah. Takdirnya pasti akan terjadi sesuai kehendak-Nya dan itulah yang terbaik bagi kita.

Soal mimpi, bisa jadi memang merupakan salah satu isyarat. Tapi tidak dibenarkan jika kita bertindak atau tidak bertindak hanya berdasarkan mimpi dan melupakan musyawarah dan berbagai pertimbangan kemashlahatan.

Bisa jadi, mimpi tersebut hanyalah bunga tidur karena pikiran kita memang tangah betul-betul fokus pada satu suatu urusan hingga terbawa ke pikiran bawah sadar kita. Istikharah adalah doa sebagaimana doa lainnya. Artinya tidak selalunya setelah istikharah, Allah pasti akan menjawab doa kita dengan memberi tanda dan isyarat melalui mimpi. Wallahua’am.

Oleh: Redaksi/Fadhilah

 

Milikilah Rasa Cemburu

Pagi itu, sepasang suami istri turun dari motornya dipelataran sebuah mall yang cukup besar. Sang istri meraih tangan suaminya dan mencium punggung tangan suaminya. Mesra sekali. Sang istri kemudian masuk ke dalam mall sementara sang suami pergi, mungkin pulang ke rumahnya. Saya lupakan kejadian itu, tapi sekilas kemudian saya berpikir, tidak kah sang suami tadi cemburu melepaskan sang istri bekerja bahkan mengantarnya dari rumah menuju tempat kerjanya sementara tampak riasan tebal dengan beraneka polesan make-up di wajah istrinya. Pakaiannya pun ‘sekadarnya’ dengan menampakkan aurat di sana-sini yang mestinya hanya dimiliki oleh suami. Sudah pudarkah rasa cemburu dari diri suami hingga rela melepaskan istri dalam kondisi seperti tadi.

Ketika cemburu sirna, keruntuhan akhlak akan menimpa. Ketika suami tak lagi memiliki cemburu terhadap istrinya maka tak ada alasan baginya untuk menjaga istrinya dengan baik. Menjaganya dalam istana yang mulia agar tidak terjamah tatapan mata dan sentuhan tangan yang tak memiliki hak atasnya. Rasa cemburulah yang dapat mendorong suami untuk menjaga istrinya agar tidak melakukan hal-hal yang dilarang Allah.

Cemburu Itu Perlu

Dalam Islam suami dituntut untuk memiliki rasa cemburu kepada istrinya, sehingga ia tidak menghadapkan istrinya kepada perkara yang mengikis rasa malu dan mengeluarkannya dari kemuliaan.

Saad bin ‘Ubadah radhiallahu ‘anhu pernah berkata dalam mengungkapkan kecemburuan terhadap istrinya, “Seandainya aku melihat seorang laki-laki bersama istriku niscaya aku akan memukul laki-laki itu dengan pedang (yang dimaksud bagian yang tajam, red.)…”

Nabi kemudian bersabda,“Apakah kalian merasa heran dengan cemburunya Sa’d? Sungguh aku lebih cemburu daripada Sa’d, dan Allah lebih cemburu dariku.” (Sahih, HR. Bukhari dan Muslim).

Asma’ bintu Abi Bakr ash-Shiddiq bertutur tentang dirinya dan kecemburuan suaminya,

“Az-Zubair menikahiku dalam keadaan ia tidak memiliki harta dan tidak memiliki budak. Ia tidak memiliki apa-apa kecuali hanya seekor unta dan seekor kuda. Akulah yang memberi makan dan minum kudanya. Aku yang menimbakan air untuknya dan mengadon tepung untuk membuat kue. Karena aku tidak pandai membuat kue maka tetangga-tetanggaku dari kalangan Anshar-lah yang membuatkannya. Mereka adalah wanita-wanita yang jujur. Aku yang memikul biji-bijian di atas kepalaku dari tanah milik az-Zubair yang diserahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bagiannya. Jarak tempat tinggalku dengan tanah tersebut 2/3 farsakh.

Baca Juga: Doa Untuk Keshalihan Keluarga

Suatu hari aku datang dari tanah az-Zubair dengan memikul biji-bijian di atas kepalaku, maka aku bertemu dengan Rasulullah beserta sekelompok orang dari kalangan Anshar. Beliau memanggilku, kemudian menderumkan untanya agar aku naik ke atasnya.
Namun aku malu untuk berjalan bersama para lelaki dan aku teringat dengan az-Zubair dan kecemburuannya, sementara dia adalah orang yang sangat pencemburu
.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui bahwa aku malu maka beliau pun berlalu. Aku kembali berjalan hingga menemui az-Zubair. Lalu kuceritakan kepadanya, ‘Tadi aku berjumpa dengan Rasulullah dalam keadaan aku sedang memikul biji-bijian di atas kepalaku, ketika itu beliau disertai oleh beberapa orang sahabatnya. Beliau menderumkan untanya agar aku dapat menaikinya, namun aku malu dan aku tahu kecemburuanmu’.” (Sahih, HR. Bukhari dan Muslim).

Demikianlah cemburunya orang-orang mulia. Cemburu bukan berarti posesif dan selalu berprasangka buruk kepada istri. Sehingga ia harus selalu mengunci pintu saat pergi dan meninggalkan istrinya di dalam rumah. Sebab istri shalihah tahu batas hak dan kewajibannya sehingga dia akan menjaga harga dirinya dan suaminya.

Bahkan Allah Pun Cemburu

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam ad-Da’ wa Dawa menuturkan bahwa bara dan panasnya cemburu akan menyaring kejelekan dan sifat tercela, sebagaimana emas dan perak dibersihkan dari kotoran yang mencampurinya. Orang-orang mulia dan tinggi harga dirinya pasti memiliki cemburu yang besar terhadap dirinya dan orang-orang yang dekat dengannya, juga terhadap orang lain secara umum. Karena itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling memiliki rasa cemburu terhadap umatnya. Dan cemburunya Allah ‘azza wa jalla lebih dibanding beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ أَحَدَ أَغْيَرَ مِنَ اللهِ، وَلِذَلِكَ حَرَّمَ الْفَوَاحِشَ ما ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ

“Tidak ada satu pun yang lebih cemburu daripada Allah. Karena cemburu-Nya inilah Dia mengharamkan perbuatan keji baik yang tampak maupun yang tersembunyi.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 5220 dan Muslim no. 2760)

Hilangnya Cemburu

Dari paparan Ibnu Qayim diatas, kita bisa mengetahui bahwa barangsiapa mengabaikan sifat cemburu maka ia hidup dengan hati yang rusak dan melenceng dari fitrahnya. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada ad-dayyuts pada hari kiamat, dan tidak akan memasukkannya ke dalam surga.”

Siapakah ad-Dayyuts? Dayuts adalah seorang suami yang tidak memiliki sifat cemburu dan membiarkan isterinya berbuat maksiat. Dan sebaliknya, suami yang terlalu berlebihan rasa cemburunya akan hidup sengsara dan tersiksa, bahkan jarang seorang istri yang mampu hidup lama dengannya, karena selalu merasa diawasi dan merasa tertekan.

Baca Juga: Istri Shalihah Pendukung Dakwah

Cemburu yang tepat akan membawa dampak positif, terpeliharanya harga diri, kehormatan dan tercapainya kehidupan yang berbahagia. Tanpa rasa cemburu akan membawa malapetaka bagi kehidupan rumah tangga.

Peradaban barat yang dapat dengan mudah kita saksikan di televisi banyak dipahami oleh masyarakat sebagai ukuran kemajuan dan keterbukaan. Masyarakatpun mengadopsi budaya tersebut sedikit demi sedikit. Tak jarang seorang suami justru bangga saat kecantikan istrinya bisa dinikmati orang banyak. Alangkah kacaunya rumahtangga saat cemburu tak lagi ada. Wallahu a’lam. (Redaksi/Keluarga/Nikah)

 

Tema Terkait: Pasutri, Keluarga, Fikih Nikah 

Kala Cinta Bersalin Rupa

Setiap manusia mestinya takut menyelisihi perintah Allah. Takut kalau-kalau dirinya tertimpa fitnah atau tertimpa azab lantaran itu. Setiap kita mestinya takut bermaksiat kepada Allah. Jangan melihat kecilnya, tetapi lihatlah kebesaran Zat yang dimaksiati.

 

Baca Juga:  Cinta-Mu, Cinta Pecinta-Mu, dan Cinta Amal Kebaikan

 

Jangan menganggap remeh sekecil apapun dosa karena Rasulullah bersabda bahwa perumpamaan dosa-dosa remeh itu seperti suatu kaum yang singgah di sebuah lembah. Kemudian satu orang datang membawa sebatang kayu lalu yang lain datang membawa sebatang kayu. Begitu seterusnya hingga kayu tersebut cukup untuk memasak roti. Dan ketika dosa-dosa remeh itu ketika dilakukan akan membinasakannya.

Akibat dari maksiat yang dilakukan iblis adalah laknat di dunia dan akhirat. Ia menjadi pemuka bagi para pendosa dan membawa mereka masuk ke neraka. Padahal neraka adalah seburuk-buruk tempat yang didatangi.

Setan juga telah memaklumatkan permusuhan dengan manusia. Ia ingin mengubah fitrah lurus yang manusia diciptakan di atasnya. Membelokkan manusia dari jalan lurus yang semestinya dan menjerumuskannya ke dalam kebinasaan. “Karena Engkau telah menghukum saya sesat, saya akan menghalang-halangi mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka. Dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur,” begitu ia bersumpah kepada Rabbnya.

 

BACA JUGA : Ketaatan Adalah Ujian

 

Apa yang menyebabkan iblis terusir dari kerajaan langit. Yang menyebabkan batinnya lebih buruk daripada rupanya. Yang menggantikan kedekatannya dengan Allah dengan kejauhan. Rahmat dengan laknat. Ketampanan dengan keburukan. Surga dengan neraka yang menyala. Iman dengan kufur. Cinta kepada yang Maha Melindungi dengan permusuhan dan penentangan. Suara tasbih dan tahlil dengan suara kekafiran, kesyirikan, kedusataan, kepalsuan, dan kekejian.

Menggantikan pakaian iman dengan pakaian kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan? Lalu ia menjadi mahluk terhina di hadapan Rabbnya. Ia terjatuh dari rahmat-Nya sejatuh-jatuhnya dan mendapatkan kemurkaan-Nya. Allah menghinakannya dan memurkainya semurka-murkanya. Lalu menjadikannya sebagai pengendali setiap orang fasik lagi jahat. Ia lebih suka memegang kendali ini daripada ibadah dan dan kemuliaan yang ia miliki sebelumnya. Kami berlindung kepadamu ya Allah dari perbuatan menyelisihi perintah-Mu dan larangan-Mu. Demikian Ibnu Qayim al-Jauziah menuliskan renungan dalam kitabnya.

Semoga orang-orang yang hidup hatinya bisa mengambil pelajaran dan orang-orang yang lalai segera tersadar.

Mencoba Saling Memahami

Hampir satu tahun berlalu ketika saya mendapat undangan untuk membedah sebuah buku tentang curhat seorang istri di ibukota. Beberapa bulan kemudian membedah ‘pasangan’ buku itu sebagai pembanding. Secara umum, isinya tentang keinginan masing-masing ingin agar pasangannya bisa memahami dirinya dengan baik, agar hubungan mereka semakin berkualitas.

Sekarang hal ini menjadi trend dalam kajian-kajian bertemakan keluarga sakinah. Jadwal saya padat dengan permintaan kajiaan bertemakan ‘suamiku dengarkanlah curhatku’, sampai beberapa bulan ke depan. Gejala apa ini? Kesadaran untuk bisa memahami pasangan dengan lebih baik sedang tumbuh, atau banyak keluarga yang merasa tidak dimengerti karena gagal berkomunikasi, atau keduanya?

 

Baca Juga: Bila Rasa Bosan Dengan Pasangan Mulai Menjangkiti

 

Yang saya bedah, sebenarnya, bukan buku baru. Namun tema yang cenderung ‘abadi’ tentang rahasia pernikahan bahagia, yaitu pemahaman yang baik tentang pasangan, jelas punya nilai kekinian yang sangat cukup untuk selalu dikaji. Dan buku ini bisa menjadi batu loncatannya. Apalagi faktanya, banyak pasangan suami istri yang gagal mewujudkan keluarga bahagia meski mereka sama-sama memiliki niat baik. Sehingga terasa aneh jika kedua belah pihak yang sama memiliki niat untuk bahagia, namun akhirnya gagal meraihnya.

Tapi fakta menunjukkan fenomena itu. Bahwa kebahagiaan keluarga tak cukup dibangun hanya dari niat baik semata. Selain faktor ilmu yang memadai sebagai bekal, faktor pamahaman akan pasangan memiliki saham yang kuat untuk mencapai kebahagiaan yang didambakan itu. Bukan saja akhirnya, masing-masing lebih bisa memahami, mengerti, dan menghargai pasangan, namun juga menjadi lebih sehat dalam berkomunikasi.

Mendudukkan persoalan secara benar dan proporsional dan bukan hanya berdasarkan asumsi. Sebab kenyataan yang harus diterima dengan baik oleh pasangan suami istri adalah bahwa lelaki dan perempuan tidak sama, dan tidak akan pernah sama, sampai kapanpun.

Para perempuan yang secara alami memiliki kecenderungan ‘keluar gua’, atau tidak sabar untuk membagi persoalan yang dihadapinya kepada orang lain, nyatanya tidak mudah membaginya justru kepada para suami mereka. Keenganan itu muncul, entah karena suami memang terlihat sangat sibuk sampai tidak memiliki waktu untuk sekedar berbincang ringan dan santai, atau adanya kekhawatiran jika gayung tak bersambut sehingga menambah luka hati, atau malah khawatir jika pembicaraan yang diinginkan menjadi tambahan beban suami yang sudah terlihat berat.

 

Baca Juga: Kisah Pasangan Harmonis Paling Tragis

 

Dengan bahaya isyarat dan pertanda, para istri ingin agar para suami bisa mengerti dan memahami posisi mereka. Namun seringkali hal itu tidak mudah karena berbagai hal. Sehingga momen kajian dengan tema seperti ini menjadi ajang untuk memahamkan kepada para suami tentang siapa sebenarnya para perempuan yang kini menjadi para istri itu. Tentang perbedaan mereka dengan para lelaki, harapan dan keinginan, hingga sikap seperti apa yang mereka rindukan dimunculkan para suami dalam kehidupan berumah tangga.

Dalam situasi seperti inilah, seringkali saya merasa menjadi juru bicara para istri kepada para suami untuk bisa menyampaikan berbagai persoalan itu. Mereka berharap saya bisa berbicara dengan jelas dan runtut, lengkap dengan dalil-dalil tanggung dibutuhkan, sedang saya berharap para suami yang mendengarkan menemukan pencerahan. Apalagi dengan pendekatan amanah yang harus dipertanggungjawabkan di sisi Allah kelak. Agar kita tidak menjadi arogan dan sensitif ketika diingatkan akan tanggung jawab sebagai suami atau istri, untuk kemudian marah-marah secara emosional.

Sebab pernikahan tidak bisa kita klaim sebagai milik kita sendiri, sehingga mengabaikan batasan syar’i tentang hak dan kewajiban dengan alasan ini rumah tangga saya, dan melarang orang lain untuk ikut campur. Tetapi pernikahan adalah ibadah yang jika syarat penerimaannya diabaikan, maka akan sangat melelahkan bagi pelakunya tanpa jaminan penerimaan dari Allah sebagai amal shalih kita.

 

Baca Juga: Ujian Keimanan Pasangan Beriman

 

Berbagai kajian ini adalah upaya saling menasihati dan mengingatkan agar kita melakukan semua tindakan kita dengan sadar dan bertanggung jawab, berdasarkan ilmu yang cukup dan keikhlasan hati agar menjadi tambahan amal shlih kita di sisi Allah, dan bukan menjadi ajang eksploitasi pasangan dengan berlindung di balik dalil-dalil syar’i. Juga sebagai alat bantu untuk melihat posisi pasangan kita secara lebih adil. Bahwa kita tidak bisa mengabaikan perasaan pasangan dalam hidup berumah tangga sebab dia juga bekerja keras untuk kebahagiaan keluarga dan berharap hasil yang setimpal. Di sisi lain, harapan mewujudkan keluarga yang bahagia, yang samara, betul-betul merupakan kerja ta’awun yang melibatkan seluruh anggota keluarga sehingga menjadi ringan dan melegakan.

Saya berdoa agar diberi kesehatan agar upaya menghidupkan kajian-kajian keluarga bisa memberi manfaat yang maksimal. Karena saya rindu melihat keluarga-keluarga yang bahagia dalam arti yang sebenarnya. Kententraman batin yang kuat, komunikasi yang sehat, hingga output berpa anak-anak shalih sebagai tabungan akhirat benar-benar bisa terwujud. Semoga!

Cinta-Mu, Cinta Pecinta-Mu, dan Cinta Amal Kebaikan

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَتَرْكَ الْمُنْكَرَاتِ وَحُبَّ الْمَسَاكِينِ وَأَنْ تَغْفِرَ لِي وَتَرْحَمَنِي وَإِذَا أَرَدْتَ فِتْنَةَ قَوْمٍ فَتَوَفَّنِي غَيْرَ مَفْتُونٍ أَسْأَلُكَ حُبَّكَ وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ وَحُبَّ عَمَلٍ يُقَرِّبُ إِلَى حُبِّكَ

“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta-Mu agar aku dapat berbuat kebaikan, meninggalkan kemungkaran dan mencintai orang-orang miskin. Ampunilah aku dan rahmatilah aku. Bila Engkau menghendaki ujian atas suatu kaum, wafatkanlah aku dalam keadaan tidak terkena fitnah. Aku memohon cinta-Mu, juga cinta dari orang yang mencintai-Mu dan cinta pada amalan yang mendekatkanku pada cinta-Mu.” (HR. Ahmad, Timidzi, dan di shahihkan al Albaniy)

Setiap doa yang diajarkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam selalu berciri kalimat lugas dan yang diminta memang merupakan hal-hal yang esensial dan urgen. Perhatikanlah kandungan permohonan dalam doa ini dari awal hingga akhir. Ada sembilan poin yang dimintakan. Dan kalau kita renungi secara mendalam, sembilan hal ini benar-benar penting untuk diminta.

Yang pertama memohon agar diberi kemampuan melakukan kebajikan. Kalau saja setelahnya tidak terdapat permohonan agar meninggalkan keburukan, maka memohon kebaikan sudah mencakupnya. Tapi lebih spesifik yang dimaksud barangkali adalah kebaikan dalam bentuk ibadah kepada  Allah dan kebaikan terhadap sesama. Sedang meninggalkan kemungkaran berarti meninggalkan segala yang dilarang.

 

Baca Juga: Cinta Nabi, Tapi Meninggalkan Perintahnya?

 

Dua hal ini sebenarnya sudah mencakup segala macam kebaikan. Akan tetapi pada permohonan selanjutnya masih dirincikan poin-poin yang lain. Dengan dirinci, permohonan kita benar-benar bisa sampai ke hati. Bukan sekedar permohonan secara umum.

Yang ketiga adalah memohon agar dapat mencintai orang miskin. Mengapa orang miskin? Karena cinta kepada mereka adalah cinta tanpa tendensi. Berbeda dengan cinta kepada yang kaya atau tinggi jabatannya. Cinta kepada orang miskin juga menjadi aspek mendasar bagi perbaikan moralitas dan hubungan sosial. Mencintai orang miskin atau mungkin secara skup besar adalah rak-yat akan menyadarkan orang-orang kaya dan para pejabat akan penderitaan mereka dan menumbuhkan simpati. Kecintaan kepada mereka juga dapat membangun hubungan sosial yang lebih baik. Karena jika tidak, yang akan terjadi adalah kesenjangan. Yang kaya hanya senang berkumpul dengan yang kaya, sedang yang miskin memang sudah jatahnya hanya bisa bergaul dengan sesamanya.

Di dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam pernah berdoa agar dijadikan orang miskin dan diwafatkan dalam keadaan miskin. Tapi menurut para ulama hadits ini lemah (dhaif).

Selanjutanya permohonan rahmat dan ampunan. Tak perlu ditanyakan lagi urgensi dua hal ini. Hanya dengan rahmat-Nyalah manusia bisa masuk jannah dan terhindar dari neraka. Adapun amal mereka hanya sebagai sarana yang menguatkan sebab turunnya rahmat.

Permohonan selanjutnya lebih unik. Jika Allah sudah menghendaki ujian atas suatu kaum, maka kita memohon agar kita diwafatkan tapi tidak terkena fitnah dan musibah itu. Ini bukan permohonan egois. Kita memang tidak mendoakan keselamatan kaum tersebut. Tapi toh jika seluruh kaum muslimin yang ada di dalamnya mengamalkan doa ini, mereka juga akan selamat.

Baca Juga: Kala Cinta  Bersalin Rupa

 

Ini adalah permohonan minimal. Paling tidak kalau ketetapan atas kaum tersebut sudah pasti, kita berharap kita tidak terkena musibah tersebut. Fitnah wujudnya bisa musibah atau tipuan-tipuan yang memperdaya untuk menguji keimanan. Terkena fitnah berarti terpedaya dan turut terkena musibah.

Kalimat selanjutnya sangatlah elok. Ada tiga jenis cinta yang diminta yang memang ketiganya berbeda meski saling terkait. Pertama cinta dari Allah. Cinta ini benar-benar cinta yang harus diminta dan diusahakan dengan segala cara agar kita mendapatkannya. Tidak mudah memang. Tapi jika kita berhasil mendapatkannya, yang akan terjadi selanjutnya sangatlah luar biasa. Rasulullah bersabda,

“Dan tidaklah seseorang bertaqarrub kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku sukai daripada hal-hal yang telah Aku fardhukan. Dan tidaklah seseorang hamba terus menerus bertaqarrub kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Dan apabila Aku telah mencintainya, jadilah Aku pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar dan penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat dan tangannya yang ia gunakan untuk berjuang dan kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Dan jika ia meminta kepada-Ku pasti Aku akan memberinya, dan jika ia minta perlindungan kepada-Ku pasti Aku memberinya perlindungan.” (HR. al-Bukhari)

Hadits ini juga menunjukkan bagaimana caranya mendapatkan cinta Allah.

Selanjutnya cinta dari orang yang mencintai Allah. Tentunya yang paling utama adalah cinta dari Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam. Sebab beliaulah orang yang paling mencintai Allah. Dan lebih penting, cinta Beliau akan mendatangkan syafaat pada hari kiamat. Setelah itu cinta dari orang-orang mukmin yang juga akan bermanfaat dunia akhirat.

Yang terakhir adalah cinta kepada segala perbuatan yang dapat mendekatkan diri kepada cinta Allah. Ini adalah cinta kepada amalan yang dapat memancing cinta.

Ketiganya terkait karena jika seseorang bisa mendapatkan cinta Allah, maka Allah akan membuat hati orang-orang yang mencintai-Nya cinta kepada kita. Dan dengan cinta-Nya kita akan dijauhkan dari segala hal yang bisa merusak cinta-Nya. Artinya kita akan ditunjukkan ke jalan yang lurus.

Dan kecintaan kita kepada amal shalih adalah parameter yang kita miliki untuk mengukur apakah Allah cinta kepada kita atau tidak. semakin cinta kepada amal shalih, insyaallah, menunjukkan bahwa Allah juga semakin cinta kepada kita.  Wallahua’lam. Semoga kita bisa mengamalkan doa ini. (Taufik)