Istikharah, Cara Terbaik Untuk Memilih yang Terbaik

Istikharah artinya meminta pilihan. Abu Amru Abdillah al-Hamadi menjelaskan, istikharah artinya meminta agar keinginan hati dicondongkan pada apa yang terbaik dan utama menurut Allah, dengan cara menunaikan shalat sunah dan berdoa dengan doa istikharah yang diajarkan Nabi SAW.

Prakteknya cukup mudah, seseorang menunaikan shalat sunah -bukan shalat wajib- dua rakaat dan membaca surat apapun dari al- Quran setelah al-Fatihah. Setelah salam, membaca tahmid atau bacaan yang berisi pujian pada Allah, membaca shalawat untuk Nabi SAW lalu berdoa dengan do’a istikharah dan ditutup dengan shalawat. Soal waktu pelaksanaannya, pada dasarnya bisa dikerjakan kapan saja, tapi lebih utama dilaksanakan pada waktu-waktu yang memiliki fadhilah (keutamaan) seperti pada sepertiga malam akhir.

 

Baca Juga: Yang Menyenangkan Belum Tentu Membuat Bahagia

 

Adapun lafazh doanya bisa kita baca dalam hadits shahih riwayat Imam al Bukhari, dari Jabir bin Abdillah beliau berkata,

“Adalah Rasulullah SAW mengajari kami Istikharah untuk memutuskan segala sesuatu, sebagaimana mengajari surah al-Qur-an. Beliau bersabda: “Apabila seseorang di antara kamu mempunyai rencana untuk mengerjakan sesuatu, hendaknya melakukan shalat sunah dua rakaat, kemudian membaca:

 

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوبِ اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي –أَوْ قالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ- فَاقْدُرْهُ لِي وَيَسِّرْهُ لِي ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّهُ شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي -أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ- فَاصْرِفْهُ عَنِّي فَاصْرِفْنِي عَنْهُ وَاقْدُرْ لِي الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ رَضِّنِي بِهِ

 

“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta pilihan yang tepat kepada-Mu dengan ilmu pengetahuan-Mu dan aku mohon kekuasaan-Mu (untuk mengatasi persoalanku) dengan kemahakuasaan-Mu. Aku mohon kepada-Mu sesuatu dari anugerah-Mu yang Maha Agung, sesungguhnya Engkau Mahakuasa, sedang aku tidak kuasa, Engkau mengetahui, sedang aku tidak mengetahuinya dan Engkau adalah yang Maha Mengetahui hal yang ghaib. Ya Allah, apabila Engkau mengetahui bahwa urusan ini lebih baik bagi agamaku, kehidupanku dan akibatnya terhadap diriku – atau Nabi SAW bersabda: untuk dunia atau akhiratku- sukseskanlah untukku, mudahkan jalannya, kemudian berilah berkah. Akan tetapi apabila Engkau mengetahui bahwa persoalan ini lebih berbahaya bagi dalam agamaku, kehidupanku dan akibatnya kepada diriku, maka singkirkan persoalan tersebut, dan jauhkan aku daripadanya, takdirkan kebaikan untukku di mana saja kebaikan itu berada, kemudian berilah keridhaan-Mu kepadaku.” Lalu menyebutkan urusannya.

 

Boleh Hanya Dengan Berdoa

Yang paling utama adalah melakasanakan istikharah sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits; diawali dengan shalat sunah dua rakaat kemudian membaca doa. Sebab, ada hikmah yang agung dalam anjuran untuk melakukan shalat sunah sebelum memanjatkan doa.

Al Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Hikmah disyariatkanya shalat sebelum doa bahwa tujuan istikharah adalah memperoleh kebaikan dunia dan akhirat. Untuk itu seseorang harus mengetuk pintu Allah. Dan tidak ada cara yang lebih baik untuk mendapatkan itu semua selain dengan shalat, karena di dalamnya terdapat pengagungan kepada Allah, pujian dan rasa membutuhkan yang sempurna.”

Akan tetapi bagi yang tidak mungkin melaksanakan shalat, diperbolehkan istikharah hanya dengan membaca doanya saja. Misalnya seorang wanita yang tengah haid dan ingin melakukan istikharah karena suatu keperluan.

Imam an Nawawi berkata, ” Jika tidak memungkinkan bagi seseorang melakasanakan shalat, ia boleh istikharah dengan berdoa saja.” Inilah pendapat ulama madzhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i.

 

Baca Juga: Antara pilihan Kita dan Pilihan-Nya

 

Yang perlu diperhatikan, hendaknya lafazh doa yang dibaca, persis seperti apa yang diriwayatkan dalam hadits yang shahih. Kita harus berusaha menghafalnya sebisa mungkin. Ulama mengatakan, lafazh doa ini diajarkan oleh Rasulullah sebagaimana beliau mengajarkan surat al-Qur`an, sedang surat dalam al Qur`an tidak boleh ditambah atau dikurangi. Beliaulah yang paling tahu mengenai lafazh terbaik untuk memohon kepada Allah.”

Artinya, lafazh istikharah sudah pas, syamil (mencakup semuanya) dan utama karena diajarkan oleh Nabi secara langsung. Kita bisa melihat betapa indahnya doa tersebut –salah satunya- dari kalimat ” yang terbaik untuk dienku, hidupku dan akibat sesudah itu bagiku” maknanya bahwa hendaknya kebaikan tersebut adalah kebaikan yang menyentuh semua aspek; dien, kehidupan dan akhir atau dari itu semua dan kebaikan akhirat. Sebab bisa jadi, sesuatu terlihat baik bagi dunianya tapi buruk bagi agamanya.

 

Tak Hanya Untuk Memilih Jodoh

Istikharah adalah doa bagi hamba ketika menghadapi dilema, harus memilih antara dua atau beberapa hal. Karena tak jarang, kita dihadapkan pada pilihan-pilihan yang membutuhkan keputusan tepat mengingat urusan tersebut sangatlah krusial bagi diri kita atau mungkin juga orang lain. Seberapa penting atau tidaknya, besar kecilnya, krusial atau sepelenya setiap urusan, masing-masing orang memiliki standar berbeda dan lebih tahu dengan urusannya. Sehingga persepsi bahwa Istikharah hanyalah ritual khusus untuk memilih calon pasangan saja adalah salah, karena kita juga disunahkan melakukan istikharah untuk selian itu, misalnya; saat akan memilih tempat tinggal atau sekolah, apakah harus pergi (safar) ataukah mengurungkannya, mengatakan suatu rahasia kepada teman, keluar dari pekerjaan atau tidak, memutus hubungan kerja dengan seseorang dan urusan lainnya.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ketika Rasulullah wafat, di Madinah ada dua orang tukang gali kubur, yang satu pembuat lahad (kubur yang digali agak condong ke samping/dinding lubang) dan dharih (lubang kubur biasa). Orang-orang berkata, “Kita istikharah pada Allah lalu kita utus dua orang kepada dua tukang gali itu. Utusan yang datang terakhir, kita tinggalkan.” Lalu penggali lahad datang lebih dahulu dan digalilah kubur Rasulullah SAW dalam bentuk lahad.”

 

Baca Juga: Cara Allah Menjaga Iman Hamba-Nya

 

Intinya bahwa istikharah adalah salah satu sunah bagi kita saat harus mengambil keputusan dan pilihan. Tujuannya agar dalam mengambil keputusan selalu melandaskannya pada keimanan dan syariat-Nya. Yaitu iman bahwa Allah lah yang Mahakuasa dan Maha Mengetahui, hanya kepada-Nyalah kita meminta petunjuk dan arahan dan iman pada takdir. Sehingga apapun yang kita pilih, hati kita akan tenang dan yakin bahwa apa yang telah Allah takdirkan adalah yang terbaik dengan segala hikmah yang ada padanya.

 

Bagaimana Seseorang Menemukan Jawaban?

Apa yang harus kita lakukan setelah menunaikan istikharah? Menunggu ilham dan mimpi atau terus saja melangkah sesuai kata hati?

Dalam hal ini, para ulama telah menjelaskan pada kita beberapa hal yang sangat berguna. Setelah istikharah hendaknya seseorang melakukan dua hal:

 

Pertama:

Istisyarah, yaitu musyawarah atau meminta pendapat para ulama dan orang-orang bijak. Disebutkan dalam Kitab “Kasyfus Sitarah ‘an Shalatil Istikharah” bahwa sebagian salaf mengatakan, “Termasuk tindakan orang berakal yang benar adalah menambahkan pendapat para ulama pada pendapatnya dan menyatukan pikirannya dengan pikiran orang-orang bijaksana. Sebab, satu pendapat bisa jadi salah, dan satu pikiran mungkin tergelincir.”

Abul Hasan al Marudi asy Syafi’i berkata, “Sikap yang mengindikasikan kemantapan seorang yang berakal adalah ia tidak memutuskan perkara atau membuat keputusan tanpa bermusyawarah dengan orang yang bisa menasehati dan analisa dari orang yang berpemikiran lurus. Bahkan Allah masih menyuruh Nabi-Nya agar bermusyawarah, padahal Allah telah menyatakan akan selalu memberi petunjuk padanya SAW. Allah berfirman, ” Dan ajak musyawarahlah mereka dalam memutuskan perkara.” (QS. Ali Imran;159).

Ada banyak manfaat yang bisa diperoleh dari pendapat, nasehat dan arahan dari orang lain yang lebih berilmu atau lebih berpengalaman dari kita. Kekhawatiran atau pertimbangan-pertimbangan yang kurang baik yang barangkali pernah kita pikirkan sebelumnya bisa teratasi. Sebab, ilmu dan pengamalan serta kebijaksanaan yang Allah berikan pada mereka adalah sesuatu yang mungkin belum kita miliki.

Ibnu Taimiyah berkata,

“Tak akan menyesal orang yang telah istikharah pada al Khalik, musyawarah dengan para makhluk dan mantap dengan pilihannya.”

Ahli sastra mengatakan,

 

مَا خَابَ مَنِ اسْتَخَارَ وَلاَ نَدِمَ مَنِ اسْتَشَارَ

“Tak akan rugi orang yang telah istikharah, dan tak akan menyesal oang yang sudah bermusyawarah.”

Istisyarah adalah salah satu anjuran yang sangat baik setelah istikharah. Seakan keduanya adalah dua mata koin. Namun begitu, pada beberapa kondisi, bisa jadi istisyarah tidak bisa kita lakukan karena beberapa alasan. Dan hal itu tidak masalah karena kita hanya dituntut untuk beramal sesuai kemampuan kita.

 

Kedua:

Memantapkan hati atas satu pilihan dan melaksanakannya dengan penuh tawakal.

Caranya dengan menyingkirkan berbagai pertimbangan yang dilandasi nafsu. Dalam hal ini kita harus jujur pada diri sendiri. Karena jika tidak, hal inilah yang akan menjadi pemicu malapetaka. Al Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Orang yang sudah berniat melakukan sesuatu, hendaknya ia tidak melaksanakan apa yang membuat hatinya senang, tapi didasari hawa nafsu yang kuat sejak sebelum ia istikharah.”

Muhammad bin Ali Kamaludin az Zamlakani menjelaskan bahwa jika seseorang telah menunaikan dua rakaat istikharah untuk suatu perkara, maka hendaknya ia lakukan apa yang jelas baginya, baik hatinya merasa benar-benar lega atau belum. Sebab di situ pasti ada kebaikan meski -mungkin-  masih ada yang mangganjal di hatinya.

Dengan kedua hal diatas, kita telah menempuh sunah syar’iyah nya dengan menjalankan sunah dari rasul dan juga sunah kauniyahnya dengan musyawarah dan memikirkan berbagai pertimbangan nalar yang kemudian akan melahirkan sebuah pilihan atau keputusan.

Soal mimpi, bisa jadi memang merupakan salah satu isyarat. Tapi tidak dibenarkan jika kita bertindak atau tidak bertindak hanya berdasarkan mimpi dan melupakan musyawarah dan berbagai pertimbangan kemashlahatan. Bisa jadi, mimpi tersebut hanyalah bunga tidur karena pikiran kita memang tangah betul-betul fokus pada satu suatu urusan hingga terbawa ke pikiran bawah sadar kita. Istikharah adalah doa sebagaimana doa lainnya. Artinya tidak selalunya setelah istikharah, Allah pasti akan menjawab doa kita dengan memberi tanda dan isyarat melalui mimpi. Wallahua’am

 

Oleh: Redaksi/Doa

Dilema Klasik: Menikah atau Mengejar Obsesi?

Ada dilema klasik yang secara turun temurun dialami oleh kaum muda. Yaitu kebingungan antara menikah atau menundanya demi meraih cita-cita dan obsesi. Biasanya dilema ini muncul saat angka depan dari umur sudah berganti menjadi angka 2. Kalau sudah kepala tiga, statusnya bukan dilema lagi tapi beban.

Dua pilihan ini memang membingungkan. Di satu sisi, saat umur-umur duapuluhan ke atas keinginan untuk menikah memang mulai menguat. Secara psikis maupun fisik, seseorang memang sudah berada dalam fase menuju matang dan siap berumah tangga. Anjuran syariat untuk segera menikah berikut berkah dan anugerah yang dijanjikan semakin menguatkan keinginan. Lebih dari itu, kekhawatiran pada  fitnah lawan jenis adalah alasan utama untuk segera melaksanakannya. Fitnah yang satu ini memang seringkali membuyarkan fokus dan tujuan. Ditambah bayang-bayang romantisme saat bertemu belahan jiwa nanti, seakan-akan tidak ada lagi alasan untuk menunda.

 

Baca Juga: Katanya, Adik tak Boleh Mendahului Kakaknya Menikah?

 

Tapi di sisi lain, kegamangan juga sama kuatnya merambati pikiran. Secara kodrati seseorang pasti menyadari bahwa menikah akan membelah dirinya; waktunya, tenaganya dan pikirannya. Padahal masih ada cita-cita, target dan obsesi yang ingin dicapai. Dan menurut prediksi rasio, rasanya sulit meraih obsesi jika hanya bermodalkan kebulatan tekat tanpa kebulatan fokus, pikiran, tenaga dan waktu. Soal anjuran syariat, toh beberapa ulama menjelaskan, menikah masih boleh ditunda demi sebuah target yang membawa kemashlahatan yang nyata serta mampu bersabar.

Menghadapi kebingungan ini tidak sedikit yang akhirnya hanya bisa berujar, “Biarlah waktu yang menjawabnya.” Sebenarnya, kalau kita cermat dalam mengurai masalah, kita tidak perlu menyerahkan jawabannya kepada waktu karena pilihannya ada di tangan kita. Yang kita perlukan adalah memahami secara proporsional konsekuensi dan tuntutan yang ada pada tiap pilihan.

Kalau kita ingin memilih segera menikah, perlu diketahui bahwa prediksi rasio di atas ada benarnya. Menikah memang tidak akan menghalangi tujuan dan cita-cita sama sekali. Namun, menikah pasti menuntut waktu, tenaga, sepertiga, separuh atau bahkan lebih dari itu. Padahal secara kauniyah hanya tiga fasilitas inilah yang dapat kita jadikan alat untuk meraih target dan cita-cita. Untuk meraih cita-cita tertentu dalam menuntut ilmu misalnya, tidak sedikit para ulama yang menunda nikah atau bahkan ada yang sampai tidak menikah. Imam Ahmad menunda nikah demi ilmu hingga umur 40. Ibnu Taimiyah dan Imam ath Thabari bahkan rela membujang hingga akhir hayat, meski tidak pernah menganjurkan hal itu kepada murid-muridnya.

 

Baca Juga: Orang Tua Belum Mengizinkan Menikah

 

Sebagian orang menasehatkan, menikah tidak akan menghalangi seseorang menuntut ilmu. Bisa saja kuliah sambil menikah. Tapi kadangkala persoalaannya tidak sesimpel itu. Menikah dan berumah tangga adalah pekerjaan yang tidak mungkin dijadikan sambilan. Bahkan, tidak menutup kemungkinan rumah tanggalah yang akan menjadikan urusan lain sebagai sambilan. Apalagi jika sudah punya momongan.

Silahkan saja bertanya pada yang sudah menikah, berapa persen waktu yang harus mereka berikan untuk mengurusi rumah tangga. Tentunya jangan bertanya pada yang menelantarkannya.

Namun begitu, hanya berpatokan pada logika di atas juga tidak sepenuhnya benar. Banyak juga yang mendapatkan track menuju kesuksesan justru setelah menikah. Menjadi penulis, mendapat banyak ilmu dan meraih obsesi justru bisa didapat setelah menikah. Hati yang lebih tenang, bantuan dan kerjasama dengan isteri menjadi faktor yang sangat memengaruhi. Tantangan memenuhi ma’isyah sekaligus hasrat  meraih obsesi justru melecut semangat yang menjadikan usaha dua kalipat kuatnya dari sebelum menikah. Tuntutan hidup juga semakin memupuk kedewasaan dan membuat jiwa lebih sadar akan arti hidup, cita-cita dan masa depan.

Imbang. Dua-duanya memiliki nilai kebenaran argumentatif masing-masing. Jadi sebenarnya yang menjadi persoalan dan membikin bingung bukanlah pilihannya, tapi kesiapan kita untuk meraih apa yang kita inginkan. Karena bagaimanapun kita pasti akan memilih salah satu. Bukankah kalau kita menghindari dilema ini dengan membiarkannya, dan tidak menikah, berarti kita sudah memilih?

 

Baca Juga: Berwasiat Tidak Boleh Menikah Lagi

 

Pilihan apapun tetap akan membawa kita meraih apa yang kita inginkan asal punya target yang jelas, program yang terukur dan tak kalah penting komiten untuk mencapainya. Menikah benar-benar akan ‘menghambat’ kita dalam meraih obsesi jika kita ’nekat’ nikah tapi tidak siap dengan segala tuntutannya. Tidak siap memenej waktu dan bekerja cerdas untuk memenuhi konsekuensinya. Kalau begini, jangan sesali pernikahannya kalau ternyata cita-cita tak kesampaian. Karena seperti terbukti di atas, tidak sedikit yang bisa meraih asa justru setelah menikah.

Demikian pula menunda nikah tetap tidak akan membuat kita lebih mudah meraih keinginan jika pada akhirnya, membujang hanya membuat kita santai-santai dan buang waktu. Yang akan terjadi adalah, kita tetap menjadi bujangan, tetap rawan kena godaan, tak merasakan manisnya pernikahan, dan tidak ada progres alias kemajuan dari apa yang kita cita-citakan. Jadinya nikah tidak, semakin pinter dan sukses juga tidak.

Kesimpulannya, kalau kita dihadapkan pada dilema ini, yang penting adalah kesiapan kita.  Menikah atau single masing-masing  memiliki resiko dan konsekuensi. Asal ada tekat,  target dan program serta komitmen, apapun pilihan kita insyaallah kita akan bisa meraihnya. Wallahua’lam.(aviv)