Maksiat Yang Paling Menjijikan Permisalannya

Ghibah, gosip, isu, rumor atau apapun namanya, yang intinya adalah menggunjing orang lain adalah dosa besar atau al kabirah. Imam ash-Shan’ani rahimahullah dalam kitabnya Subulus Salam menukil salah satu pernyataan Imam al Qurthubi bahwa ghibah adalah dosa besar. Pendapat ini didukung oleh banyak dalil.

Diantara dalil tersebut adalah hadits dari Said bin Zaid, ia berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Sesungguhnya termasuk perbuatan riba yang paling puncak adalah melanggar kehormatan seorang Muslim tanpa haq.” (HR. Abu Daud, dishahihkan al Albani).

Dua perumpamaan yang sangat buruk, bahkan menjijikkan pun tak ayal melekat pada perbuatan tercela ini. Pertama Allah mengibaratkan ghibah dengan “memakan bangkai saudara sendiri” seperti dalam surat al Hujurat ayat 12. Kedua, Rasulullah SAW menyamakan ghibah dengan perumpamaan yang sama dan menambahkan bahwa saking kotornya, andai saja ghibah dicampur dengan air laut, niscaya, ghibah bisa mencemari samudra.

 

Ghibah Tetangga, Lebih Besar Dosanya

Dengan status buruk seperti diatas, apapun caranya, kita harus bisa menghindarkan diri dari berbuat ghibah. Selain itu kita juga harus pandai-pandai menjaga diri agar tidak ikut terseret ke dalam majelis ghibah. Lebih-lebih jika yang dighibah adalah tetangga sendiri. Dimana dosanya bisa jadi lebih besar. Sebab, Rasulullah SAW telah banyak mewasiatkan agar kita benar-benar menghormati dan menjaga tetangga agar tidak terkena gangguan kita dalam bentuk apapun. Rasulullah SAW bersabda, ” Jibril tak henti-hentinya mewasiatkan padaku agar berbuat baik pada tetangga, hingga aku mengira mereka akan mewarisi (warisanku).”  (Mutafaq ‘alaih).

 

Baca Juga: Jihad Setan Melawan Manusia

 

Memang, bisa jadi tetangga kita justru beruntung karena dosanya terkurangi. Namun tetap, perbuatan ghibah adalah haram dan termasuk menyakiti. Sebab, pelaku ghibah ikut andil dalam menyebarkan aibnya pada orang lain. Jika kemudian orang lain tersebut membenci atau merendahkan tetangga yang dighibah, maka ia juga terkena dampak dosanya.

Alasan ghibah karena ingin berbuat baik pada tetangga dengan mengurangi dosanya tanpa sepengetahuannya hanyalah persepsi konyol. Biasanya, hal itu datang dari orang-orang yang suka bermain dengan logika-logika terhadap ketentuan-ketentuan agama.

Dari sini kita juga bisa mengukur, bagaimana seandainya yang dighibah adalah para ulama dan orang-orang shalih? Tidakkah kemadharatannya akan jauh lebih besar?

 

Terlarang di Setiap Waktu dan Tempat

Dilihat dari segi objek yang dighibah, dosa ghibah bisa bertambah. Sekarang kita bisa mengkaji lebih dalam dari sisi waktu dan tempat yang dipakai untuk mengghibah. Kapan pun dan di manapun, ghibah tetaplah tercela. Tapi jika dilakukan pada waktu dan di tempat tertentu, bahayanya bisa jauh lebih besar. Misalnya ghibah pada saat shaum. Tak hanya berdosa, ghibah juga akan menggerogoti pahala shaum. Bahkan Ibnu Hazm menegaskan, dengan ghibah, shaum bisa batal. Yang lain, ghibah saat majelis ta’lim yang dilangsungkan di masjid. Majelis ilmu adalah majelis mulia yang dinaungi sayap malaikat. Lantas, balasan seperti apa yang akan kita terima jika kita nodai dengan ghibah? Masjid juga merupakan Baitullah. Tidakkah perbuatan kita mengghibah di masjid bisa dikatakan perbuatan yang sangat lancang karena melakukan dosa di rumah Allah?

Tak bisa dibayangkan jika semua perkara itu dikumpulkan. Mengghibah tetangga saat pengajian di masjid pada saat shaum. Na’udzubillah. Dosa ghibah saja sudah terlampau berat untuk dipikul apalagi ditambah semua itu.

 

Diperbolehkan Tapi Bukan Untuk Permainan

Imam an Nawawi menjelaskannya dalam Riyadhus Shalihin Hal. 525-526, bahwa ada jenis ghibah yang dibolehkan. Ghibah ini dilakukan untuk tujuan yang benar dan syar’i, di mana perkara tersebut tidak bisa tuntas kecuali dengan ghibah.

Pertama,

orang yang teraniaya (mazhlum) boleh menceritakan kelakuan buruk saudaranya pada hakim atau yang berwenang memutuskan perkara. Tujkuannya untuk mendapatkan keadilan atau bantuan. Namun demikian memberi maaf dan menyembunyikan keburukan adalah lebih baik, dalam kondisi tertentu.

Kedua,

menceritakan kelakuan buruk atau maksiat seseorang pada orang lain dengan maksud meminta bantuan untuk amar ma’ruf nahi mungkar. Sebab setiap muslim harus bahu membahu dalam memberantas kebatilan.

Ketiga,

Istifta’ (meminta fatwa) tentang sesuatu hal. Walaupun kita diperbolehkan menceritakan keburukan seseorang untuk meminta fatwa, untuk lebih berhati-hati, ada baiknya kita hanya menyebutkan keburukan orang lain sesuai yang ingin kita adukan, tidak lebih.

Keempat,

ghibah dalam rangka memperingatkan saudara muslim dari beberapa cacat dan keburukan orang lain. Misalnya, di dalam ilmu hadits hal dikenal dengan al Jarh wa at Ta’dil. Yaitu ilmu tentang penilaian perawi hadits dari sisi positif dan negatifnya. Tentang ini ada pembahasan tersendiri. Contoh lain, misalnya, untuk memperingatkan agar saudara kita tidak tertipu saat membeli barang atau budak. Wallahua’lam, untuk saat ini mungkin bisa dianalogikan dengan mencari pembantu atau pegawai. Tujuannya agar terhindar dari keburukannya. Atau untuk memperingatkan seorang pelajar  agar tidak salah memilih guru yang ahli bid’ah dan fasik.Tentu dengan cara yang tidak berlebihan.

 

Baca Juga: Lima Do’a Penghuni Neraka

 

Kelima,

menceritakan perbuatan fasik yang dilakukan secara terang-terangan. Lebih-lebih jika si pelaku tak merasa terganggu, bahkan mungkin bangga, jika kefasikannya disebut-sebut. Misalnya peminum khamr, pezina, tukang palak dan lainnya. Al Hasan pernah ditanya, ” Apakah menyebut secara langsung orang yang melakukan kekejian secara terang-terangan disebut ghibah?” Jawabnya, ” Tidak, sebab ia tidak memiliki kehormatan diri.”

Keenam,

sekadar untuk menjelaskan karakter seseorang pada yang belum mengenal. Misalnya kita menyebut si A yang pincang, buta, tuli atau lainnya. Hal ini boleh jika tidak ditujukan untuk menghina atau menjadikannya bahan tertawaan.

Yang harus diingat bahwa, dispensasi yang diberikan dalam ghibah diatas haruslah dilakukan dengan proporsional, secukupnya dan melihat kondisi dan situasi yang pas. Kita juga harus hati-hati karena setan akan berusaha memanipulasi ghibah yang haram menjadi seakan-akan diperbolehkan.

 

Oleh: Redaksi/Muhasahah

 

Dosa Itu Kini Tumbuh Besar

Sebagai manusia, kita terkesan biasa melihat hal-hal kecil dan remeh dalam hidup kita. Kita tidak terlalu memikirkan apalagi mengkaji hal tersebut, karena pikiran kita mengenai hal tersebut adalah hal yang tidak penting dan tidak tidak memberi keuntungan. Begitu juga sebagian kaum muslimin memandang remeh perkara dosa kecil.

Abu Hamid al-Ghazali mengungkapkan, “Dosa adalah ungkapan untuk segala pelanggaran terhadap perintah Allah denga berbuat jahat dan meninggalkan yang wajib.” Adapun dosa kecil menurut para Ulama adalah : “Dosa yang tidak sampai pada ukuran dosa besar yang terkecil atau dosa yang pelakunya tidak dikenakan Hadd (Hukuman dunia) atau wa’id (ancaman siksa akhirat).”

Namun jangan pernah meremehkan dosa-dosa kecil. Dosa kecil yang luput dari perhatian kita, akan tumbuh terakumulasi menjadi dosa besar. Faktor-faktor penyebabnya adalah,

 

1.Apabila dilakukan dengan konsisten dan terus-menerus. Oleh sebab itu para ulama sepakat, “Tidak ada namanya dosa kecil apabiladilakukan dengan terus-menerus. Dan tidak ada namanya disa besar bila diiringi dengan taubat.”

 

2.Ada unsur meremehkan. Sesungguhnya perbuatan dosa itu apabila dianggap berat oleh hamba, akan menjadikannya kecil di sisi Allah. namun sebaliknya, apabila diremehkan ia akan menjadi besar di sisi Allah. karena anggapan sebuah dosa sebagai dosa yang besar berpangkal dari hati yang benci kepadanya dan berupaya menghindarinya.

 

3.Apabila seorang hamba merasa senang melakukannya. Jika rasa senang telah mendominasi pada diri seseorang, maka menjadi besarlah dosa itu dan besar pula pengaruhnya untuk menghitamkan hati. Sesungguhnya dosa-dosa itu membinasakan. Apabila seorang hamba terjerumus pada semua bentuk dosa dan pelanggaran, setan berhasil menggiringnya ke arah lembah hitam. Hendaklah ia segera sadar bahwa dirinya telah dikalahkan setan dan dirinya semakin jauh dari Allah.

 

4.Apabila dosa dilakukan terang-terangan. Yaitu jika seseorang menyebut dan menceritakan kepada orang banyak tentang perbuatan dosa atau kemaksiatan yang ia perbuat. Dampak perbuatan ini adalah menimbulkan dan mengundang hasrat orang lain yang mendengarnya, sehingga tertarik untuk untuk menirunya. Jadilah dua macam dosa terkumpul menjadi satu yang konsekwensinya pun lebih berat.

 

“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh berbuat yang mungkar dan melarang berbuat yang makruf. (QS. at-Taubah: 67).

Sebagian Ulama salaf berpendapat: Tidak pernah seorang hamba itu melanggar kehormatan seseorang paling besar daripada menolong saudaranya melakukan maksiat dan memudahkan jalan maksiat kepadanya.

Kala Cinta Bersalin Rupa

Setiap manusia mestinya takut menyelisihi perintah Allah. Takut kalau-kalau dirinya tertimpa fitnah atau tertimpa azab lantaran itu. Setiap kita mestinya takut bermaksiat kepada Allah. Jangan melihat kecilnya, tetapi lihatlah kebesaran Zat yang dimaksiati.

 

Baca Juga:  Cinta-Mu, Cinta Pecinta-Mu, dan Cinta Amal Kebaikan

 

Jangan menganggap remeh sekecil apapun dosa karena Rasulullah bersabda bahwa perumpamaan dosa-dosa remeh itu seperti suatu kaum yang singgah di sebuah lembah. Kemudian satu orang datang membawa sebatang kayu lalu yang lain datang membawa sebatang kayu. Begitu seterusnya hingga kayu tersebut cukup untuk memasak roti. Dan ketika dosa-dosa remeh itu ketika dilakukan akan membinasakannya.

Akibat dari maksiat yang dilakukan iblis adalah laknat di dunia dan akhirat. Ia menjadi pemuka bagi para pendosa dan membawa mereka masuk ke neraka. Padahal neraka adalah seburuk-buruk tempat yang didatangi.

Setan juga telah memaklumatkan permusuhan dengan manusia. Ia ingin mengubah fitrah lurus yang manusia diciptakan di atasnya. Membelokkan manusia dari jalan lurus yang semestinya dan menjerumuskannya ke dalam kebinasaan. “Karena Engkau telah menghukum saya sesat, saya akan menghalang-halangi mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka. Dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur,” begitu ia bersumpah kepada Rabbnya.

 

BACA JUGA : Ketaatan Adalah Ujian

 

Apa yang menyebabkan iblis terusir dari kerajaan langit. Yang menyebabkan batinnya lebih buruk daripada rupanya. Yang menggantikan kedekatannya dengan Allah dengan kejauhan. Rahmat dengan laknat. Ketampanan dengan keburukan. Surga dengan neraka yang menyala. Iman dengan kufur. Cinta kepada yang Maha Melindungi dengan permusuhan dan penentangan. Suara tasbih dan tahlil dengan suara kekafiran, kesyirikan, kedusataan, kepalsuan, dan kekejian.

Menggantikan pakaian iman dengan pakaian kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan? Lalu ia menjadi mahluk terhina di hadapan Rabbnya. Ia terjatuh dari rahmat-Nya sejatuh-jatuhnya dan mendapatkan kemurkaan-Nya. Allah menghinakannya dan memurkainya semurka-murkanya. Lalu menjadikannya sebagai pengendali setiap orang fasik lagi jahat. Ia lebih suka memegang kendali ini daripada ibadah dan dan kemuliaan yang ia miliki sebelumnya. Kami berlindung kepadamu ya Allah dari perbuatan menyelisihi perintah-Mu dan larangan-Mu. Demikian Ibnu Qayim al-Jauziah menuliskan renungan dalam kitabnya.

Semoga orang-orang yang hidup hatinya bisa mengambil pelajaran dan orang-orang yang lalai segera tersadar.

Hukum Ta’ziyah dan Mensholatkan Pelacur, Gay dan Lesbian

Para Pelacur, Gay dan Lesbian termasuk dalam katagori Fasik. Dan fasik secara bahasa berasal dari ‘fasaqa ‘ yang artinya keluar. Orang Arab menyebutkan : “ Fasaqa ar-Rutabu “ (Kurma basah yang terkelupas dari kulitnya ). Maka Orang Fasik adalah seorang muslim yang banyak meninggalkan ( keluar ) dari ajaran-ajaran Islam dengan melakukan dosa- dosa besar, seperti berzina, mencuri, membunuh orang tanpa hak, minum khamr dan perbuatan sejenis. Atau yang melakukan dosa-dosa kecil yang sangat banyak dan secara terus menerus. ( ar-Raghib al-Ashfahani(W.502 H), al-Mufradat fi Gharibi al-Qur’an, hlm.380 ) 

Salah satu ayat al-Qur’an yang menyebutkan lafadh fasik yang berarti “keluar” adalah firman Allah :

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلًا

 

“ Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam”, maka sujudlah mereka kecuali iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia keluar (durhaka )dari perintah Tuhannya.  Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang lalim.( Qs. al-Kahfi : 50)

 

Mayoritas ulama mengatakan bahwa ta’ziyah disunnahkan untuk orang yang meninggal dunia dalam keadaan fasik dan bermaksiat. Sebagian kecil dari ulama asy-Syafi’iyah mengatakan bahwa ta’ziyah untuk orang fasik hukumnya makruh. ( Nihayatu al-Muhtaj : 3/13, Hasyiatu al-Qalyubi :1/432)

Adapun dalil disunnahkan ta’ziyah untuk mereka adalah sebagai berikut :

Pertama : Keumuman hadist-hadist yang menunjukkan anjuran dan keutamaan ta’ziyah  untuk kaum muslimin yang terkena musibah secara umum. Dan belum ada dalil yang membatasi ta’ziyah khusus orang-orang yang taat saja.

Kedua : orang yang fasik ahli maksiat termasuk dalam katagori muslim selama tidak melakukan hal-hal yang menyebabkannya keluar dari Islam. Diantara dalilnya adalah firman Allah :

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا

“ Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya.’ (Qs.al-Hujurat: 9)

Berkata Ibnu Katsir di dalam tafsirnya ( 7/374 ) :

 فسماهم مؤمنين مع الاقتتال. وبهذا استدل البخاري وغيره على أنه لا يخرج من الإيمان بالمعصية وإن عظمت، لا كما يقوله الخوارج ومن تابعهم من المعتزلة ونحوهم

“ Mereka masih disebut orang-orang beriman walaupun saling berperang. Dengan ayat ini, al-Bukhari dan lainnya berdalil bahwa seseorang tidak keluar dari keimanan dengan maksiat walaupun berupa dosa besar, tidak seperti yang dikatakan oleh al-Khawarij dan pengikutnya seperti al-Mu’tazilah dan sejenisnya. “

Begitu juga firman Allah :

فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ

 

“  Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” (Qs. al-Baqarah : 178)

 

Ayat di atas menunjukkan bahwa seorang muslim yang dengan sengaja membunuh  orang muslim lainnya masih disebut saudara, yaitu saudara seiman. Ini menunjukkan bahwa dosa besar tidak mengeluarkan seseorang dari keimanan.

 

Berkata Syekh Abdul Aziz bin Baz di dalam Majmu’ Fatawanya : “ Tidak apa-apa, bahkan dianjurkan untuk berta’ziyah, walaupun yang mati adalah  pelaku maksiat seperti bunuh diri atau yang lainnya. Begitu juga dianjurkan berta’ziyah kepada keluarga yang salah satu anggotanya dihukum qishas karena membunuh orang lain, atau dirajam sampai mati karena berzina padahal dia sudah menikah, begitu juga peminum khamer yang mati karenanya. Maka tidak dilarang untuk berta’ziyah kepada keluarganya, dan tidak dilarang pula  mendo’akannya untuk mendapatkan ampunan dan rahmat Allah. “

 

Hukum Mensholatkan Orang Fasik

 

Boleh mensholatkan orang fasik atau ahli maksiat yang meninggal dunia, karena dia masih dianggap muslim. Diantara dalilnya adalah hadist Zaid bin Khalid al-Juhani  radhiyallahu ‘anhu :

 

 أَنَّ رَجُلاً مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- تُوُفِّىَ يَوْمَ خَيْبَرَ فَذَكَرُوا ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ « صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ ». فَتَغَيَّرَتْ وُجُوهُ النَّاسِ لِذَلِكَ فَقَالَ « إِنَّ صَاحِبَكُمْ غَلَّ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ». فَفَتَّشْنَا مَتَاعَهُ فَوَجَدْنَا خَرَزًا مِنْ خَرَزِ يَهُودَ لاَ يُسَاوِى دِرْهَمَيْنِ.

                “ Bahwa seorang laki-laki dari sahabat nabi meninggal dunia dalam perang Khibar. Maka mereka menceritakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, beliaupun bersabda :“Sholatkanlah teman kalian.” Maka wajah para sahabat berubah(merasa aneh) dengan pernyataan tersebut. Maka beliaupun bersabda :“Sesungguhnya sahabat kalian telah melakukan kecurangan di jalan Allah.” Kemudian kami periksa barangnya, maka kami dapatkan dompet miliknya orang Yahudi yang harganya tidak sampai dua dirham.“(HR. Ahmad, Abu Daud, an-Nasai, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban. Berkata Syu’aib al-Arnauth : Ini hadist shahih )

Hadist di atas menunjukkan kebolehan mensholatkan orang yang berbuat curang (mengambil ghanimah sebelum dibagi) dalam perang. Adapun Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam memilih untuk tidak mensholatkannya sebagai bentuk teguran kepadanya dan kepada siapa saja yang berbuat seperti perbuatannya.

Ibnu Abdil Bar al-Maliki di dalam al-Istidzkar(5/85) berkata : “ Hadist di atas merupakan dalil bahwa imam dan para pemimpin agama tidak menshalatkan pelaku dosa. Akan tetapi tidak boleh juga melarang shalat jenazah terhadapnya. Bahkan dia harus menyuruh orang lain. Sebagaimana sabda Nabi sallallahu ‘alihi wa sallam : ‘Shalatkanlah teman kalian.”

 

Ini dikuatkan dengan hadist Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu :

 أُتِيَ اَلنَّبِيُّ  صلى الله عليه وسلم بِرَجُلٍ قَتَلَ نَفْسَهُ بِمَشَاقِصَ, فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ

 

“ Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam didatangkan kepadanya seorang laki-laki yang bunuh diri dengan anak panah, maka beliau tidak mensholatkannya.” ( HR. Muslim )

Selain orang fasik dan ahli maksiat, beliau juga tidak mau mensholatkan orang yang mempunyai utang dan belum melunasinya sampai meninggal dunia, sebagaimana di dalam hadist Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu :

 

أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يُؤْتَى بِالرَّجُلِ اَلْمُتَوَفَّى عَلَيْهِ اَلدَّيْنُ, فَيَسْأَلُ: ” هَلْ تَرَكَ لِدَيْنِهِ مِنْ قَضَاءٍ? ” فَإِنْ حُدِّثَ أَنَّهُ تَرَكَ وَفَاءً صَلَّى عَلَيْهِ, وَإِلَّا قَالَ: ” صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ ” فَلَمَّا فَتَحَ اَللَّهُ عَلَيْهِ اَلْفُتُوحَ قَالَ: ” أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ, فَمَنْ تُوُفِّيَ, وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَعَلَيَّ قَضَاؤُهُ

“ Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam suatu ketika dihadirkan kepadanya seseorang yang meninggal dunia dalam keadaan punya utang. Maka ditanyakan:“ Apakah meninggalkan sesuatu untuk membayar utangnya ?“ Jika dijawab bahwa ada yang ditinggalkan untuk membayarnya, maka beliau mensholatkannya, jika tidak, maka beliau bersabda:“ Sholatlah kalian untuk saudara kalian ini.“ Ketika terjadi pembukaan kota-kota, beliau bersabda : “ Saya lebih berhak ( untuk membantu ) kaum muslimin daripada mereka sendiri, maka barang siapa yang meninggal dunia dan mempunyai utang, maka saya yang bertanggung jawab untuk membayarnya.“ (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Akan tetapi jika orang fasik atau pelaku tersebut sudah bertaubat dan dihukum oleh pemerintah Islam, maka beliaupun ikut mensholatkannya. Seperti dalam hadist  Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu :

 

أَنَّ رَجُلًا مِنْ أَسْلَمَ جَاءَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاعْتَرَفَ بِالزِّنَا فَأَعْرَضَ عَنْهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى شَهِدَ عَلَى نَفْسِهِ أَرْبَعَ مَرَّاتٍ قَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبِكَ جُنُونٌ قَالَ لَا قَالَ آحْصَنْتَ قَالَ نَعَمْ فَأَمَرَ بِهِ فَرُجِمَ بِالْمُصَلَّى فَلَمَّا أَذْلَقَتْهُ الْحِجَارَةُ فَرَّ فَأُدْرِكَ فَرُجِمَ حَتَّى مَاتَ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرًا وَصَلَّى عَلَيْهِ

“Bahwa seseorang yang berasal dari suku Aslam datang kepada nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan mengaku telah berbuat zina, nabi shallallahu ‘alahi wa sallam tidak menanggapinya, sehingga dia bersaksi kepada dirinya empat kali, maka nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bertanya kepadanya : “ Apakah anda sudah gila ?” Dia menjawab :“Tidak”, Nabi bertanya : “Apakah anda sudah menikah “? Dia menjawab :‘Ya‘, maka beliaupun memerintahkan agar orang tersebut dirajam di musholla (tempat lapang), ketika batu-batu menimpanya, diapun lari, dan berhasil ditangkap lagi dan dirajam sampai mati. Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam berkata tentangnya dengan sesuatu yang baik dan mensholatkan jenazahnya.“ ( HR. Bukhari, 6820)

Memang ada riwayat lain yang menyebutkan bahwa nabi shallallahu ‘alahi wa sallam tidak mensholatkannya, tetapi Imam Ahmad ketika ditanya masalah ini, beliau mengatakan :

 

لا يعلم أن النبي – صلى الله عليه وسلم – ترك الصلاة على أحد إلا على الغال وقاتل نفسه.

“ Tidak diketahui bahwa nabi shallallahu ‘alahi wa sallam tidak mau mensholatkan jenazah sahabatnya kecuali orang yang mencuri harta rampasan perang dan yang melakukan bunuh diri. (al-Hasan ash-Shan’ani( 1276H), Fathu al-Ghaffar, 2/721)

 

Hal ini dikuatkan dengan hadist Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu :

 

أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ أَتَتْ نَبِىَّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهِىَ حُبْلَى مِنَ الزِّنَى فَقَالَتْ يَا نَبِىَّ اللَّهِ أَصَبْتُ حَدًّا فَأَقِمْهُ عَلَىَّ فَدَعَا نَبِىُّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَلِيَّهَا فَقَالَ « أَحْسِنْ إِلَيْهَا فَإِذَا وَضَعَتْ فَائْتِنِى بِهَا ». فَفَعَلَ فَأَمَرَ بِهَا نَبِىُّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَشُكَّتْ عَلَيْهَا ثِيَابُهَا ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَرُجِمَتْ ثُمَّ صَلَّى عَلَيْهَا فَقَالَ لَهُ عُمَرُ تُصَلِّى عَلَيْهَا يَا نَبِىَّ اللَّهِ وَقَدْ زَنَتْ فَقَالَ « لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ قُسِمَتْ بَيْنَ سَبْعِينَ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ لَوَسِعَتْهُمْ وَهَلْ وَجَدْتَ تَوْبَةً أَفْضَلَ مِنْ أَنْ جَادَتْ بِنَفْسِهَا لِلَّهِ تَعَالَى

 “ Bahwa seorang wanita dari Juhainah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan hamil karena zina. Wanita itu berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Ya Rasulullah, aku telah melanggar sesuatu yang menyebabkan hukuman rajam, maka tegakkanlah hukuman tersebut atas diriku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil wali wanita tersebut, lalu beliau berkatanya : “Berbuat baiklah pada wanita ini dan apabila ia telah melahirkan, maka bawalah dia kepadaku.”Maka diapun melaksanakan perintah tersebut. Setelah itu beliau memerintahkan agar wanita diikat pakaiannya dengan erat dan dilaksanakan hukuman rajam. Kemudian beliaupun mensholatkannya. Saat itu Umar berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Engkau mensholatkannya wahai Nabi Allah, padahal dia telah berbuat zina?” Beliau bersabda, “Wanita ini telah bertaubat dengan taubat yang jika taubatnya tersebut dibagi kepada 70 orang dari penduduk Madinah maka itu bisa mencukupi mereka. Apakah engkau dapati taubat yang lebih baik dari seseorang mengorbankan jiwanya karena Allah Ta’ala?”  (HR. Muslim)