Hukum Mendonorkan Organ Tubuh

Donor artinya derma atau sumbangan. Donor organ tubuh berarti mendermakan organ tubuh untuk orang lain demi kepentingan medis. Secara medis donor organ tubuh adalah legal asal sesuai prosedur. Namun menurut syariat, ada beberapa hal yang harus diperhatikan.

Pembahasan ini bisa dibagi menjadi empat hal:

 

Pertama, Donor Organ Yang Bisa Pulih

Di antara anggota tubuh yang bila diambil, bisa pulih kembali adalah darah, yang selanjutnya lebih dikenal dengan donor darah. Donor darah dilakukan manakala pasien kekurangan darah akibat operasi, kecelakaan, kebakaran, persalinan, gagal ginjal, kanker darah dan lainnya.

Secara syar’i hukum donor darah adalah boleh untuk kepentingan yang sifatnya darurat (Fatawa Kibar Ulama al Ummah, hal. 939 ) Alasannya:

 

     1.Menjaga Jiwa (hifdzu an nafs). Donor darah dapat membantu kesembuhan dan menghindarkan pasien kehabisan darah yang bisa menyebabkan kematian. Dalilnya:

Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. “  (Qs Al Maidah : 32)

     Dalam ayat ini, Allah SWT memuji setiap orang yang memelihara kehidupan orang lain, maka dalam hal ini, para pendonor darah dan dokter yang menangani pasien adalah orang-orang yang mendapatkan pujian dari Allah SWT, karena memelihara kehidupan seorang pasien, atau menjadi sebab hidupnya pasien dengan ijin Allah SWT.

Firman Allah swt:

 ” Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya…” (Qs. Al Baqarah: 172)

     Ayat di atas menunjukkan diangkatnya dosa bagi orang yang terpaksa memakan yang haram karena keadaan darurat, donor darah adalah termasuk di dalamnya.

 

     2.Donor darah, secara umum, tidak menyebabkan madharat pada pendonor karena darah diproduksi oleh tubuh dan berganti secara berkala.

     Dibolehkannya donor darah kepada seseorang harus memenuhi empat syarat:

1.Sang pasien memang benar-benar membutuhkan darah tersebut, dan harus ada rekomendasi dari dokter.

2.Tidak ada cara pengobatan lain kecuali dengan memasok darah.

3.Darah tersebut tidak membahayakan pasien.

4.Pasien mengambil darah secukupnya. Ini sesuai dengan kaidah fikih yang berbunyi ” Apa-apa yang diperbolehkan karena darurat, maka itu diukur sesuai kadarnya “. (As Suyuti, al- Asybah wa An Nazha’ir, hal. 84).

5.Pasien mendapatkan donor darah secara gratis. Jika tidak mendapatkannya secara gratis, maka dibolehkan baginya untuk membeli darah tersebut, dan dosanya akan ditanggung oleh yang menjual, karena menjual darah hukumnya haram, sebagaimana yang disebutkan dalam hadist bahwasanya Rasulullah SAW melarang seseorang untuk menjual darah. (Shahih Bukhari, Juz II, hal 8).

Imam Nawawi berkata: “Sebagaimana diharamkan mengambil upah dari (perbuatan haram), maka diharamkan juga untuk memberikan upah kepadanya. Akan tetapi dibolehkan memberikan upah(kepada sesuatu yang haram), jika dalam keadaan darurat ” (Raudhoh At Tholibin, Juz V, hal : 194-195). Hal ini sesuai dengan permasalahan membeli darah karena darurat. 

Kemudian, bagaimana hukum mendonorkan darah untuk disimpan di bank-bank darah seperti PMI atau rumah sakit untuk dipakai dalam peristiwa – peristiwa yang mendadak?

Jawabannya adalah boleh, karena maslahatnya lebih besar daripada madharatnya. 

 

Kedua, Donor Organ Tubuh Yang Bisa Menyebabkan Kematian

Ada beberapa organ tubuh, yang jika diambil, akan menyebabkan kematian seseorang, misalnya; limpa, jantung, ginjal dan otak. Maka mendonorkan organ-organ tubuh tersebut kepada orang lain hukumnya haram, karena termasuk dalam katagori bunuh diri. Allah berfirman,

“..dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan. ” (Qs. Al Baqarah: 195).

Juga dengan firman Allah swt :

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (Qs. An Nisa: 29).

 

Ketiga, Donor Organ Tubuh Tunggal

Organ tunggal bisa jadi memang organ tersebut hanya satu seperti rahim dan lidah, ada juga yang pada asalnya ganda tapi karena salah satunya rusak atau tidak berfungsi sehingga menjadi tunggal, misalnya mata atau ginjal yang tinggal satu. Mendonorkan organ-organ seperti ini hukumnya haram, walaupun hal itu kadang tidak menyebabkan kematian. Karena, kemaslahatan yang ingin dicapai oleh pasien tidak kalah besarnya dengan kemaslahatan yang ingin dicapai pendonor. Bedanya jika organ tubuh tadi tidak didonorkan, maka maslahatnya akan lebih banyak, dibanding kalau dia mendonorkan kepada orang lain.

     Akan tetapi ada organ tubuh tunggal yang jika diambil tidak membahayakan pendonor dan bermanfaat bagi pasien, yaitu rahim. Maka donor rahim hukumnya boleh, tetapi harus terpenuhi beberapa syarat tertentu, diantaranya adalah;

  1. Indung telur pasien masih bisa berfungsi sehingga rahim yang akan diambil dari pendonor bermanfaat baginya.
  2. Rahim pendonor harus steril dari sel telur dan sel sperma lama yang masih hidup, sehingga pencampuran nasab bisa dihindari.
  3. Pemindahan rahim tersebut tidak membahayakan bagi pendonor.

 

Keempat, Mendonorkan Salah Satu Organ

Jika donor salah satu organ tubuh tersebut tidak membahayakan pendonor dan kemungkinan besar bisa menyelamatkan pasien, maka hukumnya boleh, seperti seseorang yang mendonorkan salah satu ginjalnya. Alasannya, bahwa seseorang masih bisa hidup, bahkan bisa beraktifitas sehari-hari sebagaimana biasanya meski hanya menggunakan satu ginjal saja. Hanya saja pemindahan ginjal dari pendonor ke pasien tersebut jangan sampai membahayakan pendonor itu sendiri.

Syeikh Bin Baz – rahimahullahu – Mufti  Saudi Arabia (Fatawa Kibar Ulama Ummah, hal. 941) menjelaskan, “Tidak apa-apa mendonorkan ginjal, jika memang sangat dibutuhkan, karena para dokter telah menyatakan bahwa hal tersebut tidak berbahaya baginya, dan dalam sisi lain, bisa bermanfaat bagi pasien yang membutuhkannya. Pendonornya insyaallah akan mendapatkan pahala dari Allah SWT, karena perbuatan ini termasuk berbuatan baik dan menolong orang lain agar terselamatkan jiwanya, Sebagaimana firman Allah  :

” dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik “  (Qs Al Baqarah: 192)

Dan Rasulullah bersabda:

” Dan Allah akan selalu membantu hamba-Nya selama hamba tersebut membantu saudaranya ” )  HR Muslim no 2699 ).  

 

Oleh: Dr. Ahmad Zain an-Najah, MA

 

Baca Juga: 

Hukum Arisan Dalam Islam

Hukum Bank ASI

Hukum Menyusui Orang Yang Sudah Dewasa

 

Hukum Makan Sesajen

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa sesajen adalah makanan atau bunga-bungaan yang dipersembahkan kepada mahluk halus. Kebiasaan masyarakat yang terpengaruh dengan ajaran Animisme, mereka memberikan makanan sesajen yang dipersembahkan kepada mahluk halus yang menurut kepercayaan mereka menjadi penunggu pohon, batu, atau tempat-tempat tertentu.

Bagaimana hukum makanan sesajen tersebut? Jawabannya bahwa hukum makanan sesajen harus dirinci terlebih dahulu.

Pertama, jika makanan sesajen itu berupa daging dari sembelihan yang dipersembahkan kepada selain Allah, seperti daging ayam, daging kambing, daging sapi, yang ketika disembelih diniatkan untuk jin penunggu pohon yang dikramatkan, atau diniatkan untuk nyi Roro Kidul, maka jelas daging semacam ini hukumnya haram.

Ini berdasarkan firman Allah subhanahu wata’ala:

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 173).
Ahalla artinya bersuara keras. Orang-orang dahulu tatkala melihat bulan sabit yang muncul di awal bulan, mereka berteriak dan bersuara, maka akhirnya bulan sabit disebut dengan hilal, karena kemunculannya selalu diiringi dengan suara-suara manusia yang menyambutnya.

Begitu juga bayi yang baru lahir kemudian menangis disebut dengan Istahalla ash-shobiyyu, karena ketika lahir, bayi tersebut mengeluarkan suara tangisan.
Maka yang dimaksud dengan wama uhilla bihi li ghairillah, pada ayat di atas adalah apa-apa dari binatang ternak yang ketika disembelih disebut nama selain Allah atau dipersembahkan kepada selain Allah. Ini berlaku hanya khusus pada binatang yang disembelih.

Kedua, jika makanan sesajen itu berupa buah-buahan seperti pisang, mangga, jeruk, atau berupa makanan lainnya seperti nasi, tahu, tempe, selain daging dari hewan yang disembelih untuk selain Allah, maka hukumnya boleh dimakan, karena tidak ada dalil yang mengharamkannya dan tidak termasuk dalam katagori apa yang dipersembahkan kepada selain Allah.
Syekh Abdul Aziz bin Baz mantan Mufti Saudi Arabia, pernah berpendapat bahwa makanan yang dipersembahkan kepada selain Allah selain daging hasil sembelihan, boleh dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Bahkan beliau pun membolehkan mengambil binatang-binatang ternak yang belum disembelih, jika memang sudah ditinggalkan oleh pemiliknya.
Hukum Makanan Dalam Acara Hari Kematian

Jika makanan tersebut berupa buah-buahan, nasi dan lauk pauknya serta tidak ada dagingnya, maka hukumnya halal karena tidak dalil yang mengharamkan.
Jika makanan tersebut berupa daging sembelihan, maka dirinci juga: jika diniatkan karena Allah, maka hukumnya halal, karena daging tersebut tidak dipersembahkan kepada selain Allah, melainkan untuk menghormati tamu yang datang pada acara tersebut, dan ini yang sering diakui oleh orang-orang yang punya hajat dalam acara tersebut. Tetapi jika benar-benar ada sebagian yang ketika menyembelih meniatkan untuk arwah orang yang meninggal, maka status daging tersebut menjadi haram.
Pertanyaannya: Bukankah acara memperingati kematian seseorang tersebut tidak ada tuntunan dari Rasulullah? Bukankah orang yang memakan makanan yang disuguhkan berarti telah menyetujui dan mendukung acara yang tidak ada tuntunannya, berarti hukumnya haram memakan makanan tersebut?
Jawabannya:

Pertama, tidak semua orang yang ikut makan setuju dengan acara tersebut, karena terkadang dia hanya mendapat kiriman makanan dari tetangganya, walaupun dia tidak ikut acara tersebut, bahkan barangkali dia menentang acara tersebut.
Apakah makanan tersebut dikembalikan lagi, atau diberikan kepada orang yang lebih membutuhkan? Ini tergantung kepada keadaan masyarakat yang menjadi obyek dakwah.

Kedua, harus dibedakan antara dzat makanan yang pada dasarnya halal, dengan sebuah acara bid’ah yang tidak ada tuntunannya dari Rasulullah. Keduanya tidak saling terkait. Bukankah Anda tidak setuju dengan orang Jepang yang menyembah matahari atau tidak beragama, tetapi tetap saja Anda membeli mobil yang diproduksinya? Apakah membeli mobil yang diproduksi orang kafir, berarti kita setuju dengan kekafiran mereka? Tentu saja tidak ada kelaziman antara keduanya.
Bagaimana Hukum Makanan dari Perayaan Natalan?

Jika makanan tersebut bukan masuk dalam katagori ritual agama mereka, atau bukan untuk dipersembahkan kepada selain Allah yang berupa daging dan sejenisnya, maka dikembalikan kepada hukum asalnya yaitu halal. Karena makanan tersebut kebanyakan disuguhkan untuk orang-orang yang datang ke gereja, bukan bagian dari ritual itu sendiri.

Jika makanan itu berupa daging yang dipersembahkan kepada selain Allah, maka hukumnya haram. Di dalam Mushonnaf Abdurrozaq disebutkan bahwa:

أن امرأة سألت عائشة، قالت: إن لنا أظآرا من المجوس، وإنه يكون لهم العيد فيهدون لنا؟ قالت: أما ما ذبح لذلك اليوم فلا تأكلوا، ولكن كلوا من أشجارهم.

“Suatu ketika seorang perempuan bertanya kepada Aisyah, seraya berkata, “Kami mempunyai teman orang-orang Majusi, mereka mempunyai hari raya, dimana pada hari itu biasa mereka memberikan hadiah kepada kami.” Berkata Aisyah, “Adapun daging dari sembelihan pada hari itu (yang dipersembahkan kepada selain Allah), maka janganlah kalian makan, tetapi makanlah yang berasal dari pohon-pohon mereka (yang bukan sembelihan).“

عن أبي برزة: أنه كان له سكان مجوس، فكانوا يهدون له في النيروز والمهرجان، فكان يقول لأهله: ما كان من فاكهة فكلوه، وما كان من غير ذلك فردوه.

Dari Abu Barzah, beliau mempunyai tetangga orang-orang Majusi. Pada hari raya mereka, yaitu Nairuz dan Maharjan, mereka memberikan hadiah kepadanya maka beliau menasihati keluarganya, “Yang berupa buah-buahan maka makanlah, selain itu kembalikan kepada mereka.“

Berkata Ibnu Taimiyah dalam Iqtidho Shirathol Mustaqim, hal: 250, menanggapi dua atsar di atas, “Ini semuanya menunjukkan bahwa tidak ada pengaruhnya dalam hari raya mereka untuk menerima hadiah dari mereka. Bahkan (menerima hadiah) pada waktu hari raya atau di luar hari raya adalah hukumnya sama. Karena menerima hadiah dari mereka tidak termasuk dalam membantu penyebaran syiar kekafiran mereka. Oleh karena itu dibolehkan memakan makanan (sembelihan) dari Ahli Kitab dalam hari raya mereka dengan cara jual beli atau pemberian hadiah atau dengan cara-cara yang lain selama mereka tidak menyembelihnya demi ritual hari raya tersebut.
Pondok Gede, 8 Syawal 1424 / 15 Agustus 2013