Logika Penyembah Setan

Setelah diusir dari jannah karena enggan memberi hormat pada Adam, Iblis berjanji akan menyesatkan manusia dengan cara apapun. Dendam kesumat ini membara hingga kiamat. Berbagai siasat telah diterapkan dengan hasil yang bervariasi. Orang-orang yang “mukhlas” terjaga, sedang yang lain terjebak dengan tingkat keparahan berbeda-beda. Hasil paling memuaskan yang dicapai dari program penyesatan ini sepertinya ada pada fenomena yang hari ini begitu marak terjadi berupa penyembahan terhadap setan. Dulu, Iblis diusir karena enggan disuruh sujud kepada manusia, tapi kini justru makhluk dari tanah inilah yang bersimpuh menyembahnya.  Ada yang yang membentuk sekte dan benar-benar melakukan ritual sujud dan pengorbanan sampai yang hanya mengangungkan secara samar lewat musik dan simbol-simbol setan.

Salah satu alasan mengapa mereka mengagungkan Iblis adalah karena dalam persepsi mereka Iblis lebih mulia dari para malaikat yang bersujud. Iblis lebih monotheis dan taat tuhan karena hanya bersujud pada-Nya dan enggan pada selain-Nya. Benarkah apa yang mereka persepsikan ini?

Imam Asy Syahrastani, seorang ulama ahli perbandingan agama dalam bukunya al Milal wa an Nihal I/15 memberikan sanggahan yang sangat apik. Dijelaskan, bohong kalau dikatakan keengganan Iblis untuk tunduk adalah karena ketaatannya pada Alloh dan kekuatan tauhidnya. Yang benar, Iblis enggan sujud murni karena keangkuhan dirinya. Jelas diungkapkan dalam ayat, komplain Iblis atas perintah Alloh bukan karena faktor sujudnya, tapi soal asal usul penciptaannya. Logika iblis menyatakan unsur ciptaannya lebih mulia daripada Adam hingga dia menolak untuk sujud.

Imam Asy Syahrastani menukil dari salah satu buku Tafsir Injil, sebuah dialog antara Iblis dan Malaikat. Iblis mempertanyakan kebijaksanaan Allah tentang pengusirannya. Mengapa dia dilaknat karena tidak mau sujud kepada Adam gara-gara hanya ingin berserah diri kepada Alloh saja? Lalu dikatakan bahwa Allah menjawab melalui malaikat, “ Engkau berdusta dan tidak tulus saat mengatakan kau berserah diri pada-Ku. Kalau kau jujur bahwa Aku adalah Rabb sekalian alam, kau tidak akan menyanggah-Ku dengan “Mengapa?” bukankah tidak ada ilah selain-Ku dan Aku tidak akan ditanya atas apa yang aku lakukan, sedang makhluklah yang akan ditanya?.

Lebih dari itu, Imam al Baghawi menjelsakan dalam tafsirnya (I/85, versi Syamilah),  sujud yang dimaksud saat itu adalah sujud ta’zhim, bukan ibadah. Tapi juga menjadi bukti ketaatan kepada Allah. Ini seperti sujudnya saudara Yusuf pada Yusuf (QS. Yusuf; 100). Bentuknya adalah inhina’ (membungkuk) yang setelah Islam datang hal itu dilarang.

Imam asy Syahrastani melanjutkan, pola penentangan Iblis akhirnya diwariskan kepada manusia dengan pola berpikir yang sama. Perhatikanlah dua ayat ini, Allah berfirman:

”Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu”. Menjawab iblis:”Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah”. (QS. 7:12). Dan,

“Dan tidak ada sesuatu yang menghalangi manusia untuk beriman tatkala datang petunjuk kepadanya, kecuali perkataan mereka:”Mengapa Allah mengutus seorang manusia menjadi rasul.” (QS. 17:94)

Alasan para penyembah setan yang selanjutnya adalah Iblis mereka anggap sebagai penyeimbang alam. Di dunia ada kebajikan ada keburukan. Keduanya seimbang dan memang harus ada. Dua-duanya memperjuangkan kemenangan dan mereka berada di pihak kegelapan untuk membantu menjaga keseimbangan alam.

Omong kosong. Ini sebenarnya hanyalah alasan untuk memberontak dari ketaatan pada agama. Memangnya kenapa kalau seandainya di dunia ini orangnya jadi baik semua? Mereka hanya ingin mencari pembenaran atas segala tindakan busuk mereka; kriminal, kejahatan seksual, mabuk-mabukan dan sebagainya. Bagi mereka agama hanya mengekang kebebasan dan nafsu. Dan pada akhirnya, kebanyakan para pemuja setan menjadi atheis alias tidak mengakui keberadaan Allah. Meskipun, konsekuensinya mereka juga tidak mengakui keberadaan Iblis dan menuhankan diri sendiri. Namun begitu, setan tidak rugi karena toh pada akhirnya,mereka akan tetap bertemu di ujung jalan, neraka jahanam.

Allah berfirman,

“Dan (ingatlah) hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka semuanya kemudian Allah berfirman kepada malaikat:”Apakah mereka ini dahulu menyembah kamu?” Malaikat-malaikat itu menjawab:”Maha Suci Engkau.Engkaulah pelindung kami, bukan mereka; bahkan mereka telah menyembah jin; kebanyakan mereka beriman kepada jin itu”. (QS. Saba’:40-41)

“Katakanlah, ‘Maukah aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik ) itu disisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, diantara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi (dan orang yang) menyembah Taghut (setan)”. Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus.” (QS. Al Maidah:60)

Iblis dan Setan hanyalah makhluk Allah yang membangkang dan senang mengajak yang lain agar mengikuti jejaknya. Mereka memang mengisi salah satu sisi kehidupan berupa keburukan. Tapi, Allah tidak meridhai hal itu dan tidak ridha kita ikutan-ikutan mengisi sisi kehidupan yang mereka tempati.

Itulah syubhat dan keraguan yang disebar setan sebagai hama yang merusak pohon keimanan kita. Masih ada segudang syubhat dan muslihat pikiran lain yang dimiliki. Karenanya, jangan kaget jika dalam beberapa kesempatan, kita sering dibisiki keraguan tentang persoalan iman yang membuat hati kita bertanya-tanya bahkan membuat hati menjadi galau.  Tapi tak perlu khawatir. Hal seperti itu juga dialami  bahkan oleh shahabat nabi. Jika saat keraguan itu muncul lalu hati kita menjadi khawatir dan takut untuk mengucapkannya apatah lagi meyakininya, itu justru tandanya iman masih ada di hati kita.

عَنْ أَبُو هُرَيْرَة رَضِيَ اللَّه عَنْهُ ( قَالَ : جَاءَ نَاسٌ مِنْ أَصْحَاب النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلُوهُ : إِنَّا نَجِد فِي أَنْفُسنَا مَا يَتَعَاظَم أَحَدُنَا أَنْ يَتَكَلَّمَ بِهِ . قَالَ : وَقَدْ وَجَدْتُمُوهُ ؟ قَالُوا : نَعَمْ قَالَ : ذَاكَ صَرِيحُ الْإِيمَانِ

 

Dari Abu Hurairah berkata, “ Ada beberapa orang shahabat Nabi bertanya, “ Kadangkala kami mendapati sesuatu dalam pikiran kami yang kami merasa berat bahkan untuk sekadar membicarakannya.” Nabi bersabda, “ Kalian merasa begitu?” Mereka menjawab, “ Iya.” Rasululalh bersabda, “ Itulah iman yang jelas.” (HR. Muslim).

Yang perlu kita lakukan adalah berusaha menyadari bahwa itu dari setan, menepis dengan ilmu yang dimiliki, mencari nasihat ulama, dan senantiasa mengucapkan “amantu billah” (aku beriman kepada Allah)dan menguatkan keyakinan serta berserah diri kepada Allah. Minimal, kita harus menjaga agar keraguan itu tetap menjadi keraguan dalam hati dan tidak sampai menjadi keyakinan.

Ya Allah, sesungguhnya jiwa dan raga kami ada dalam kekuasaan-Mu. Kami berserah diri kepada-Mu atas segala yang mengganggu iman kami agar Engkau hilangkan dan engkau gantikan dengan keyakinan yang lebih kuat. Hanya kepada-Mu kami memohon perlindungan. Amin. Wallahua’lam. (anwar)

Menjauh dari Allah, Mendekat kepada Iblis

Setan memang senantiasa menggoda manusia. Selalu berusaha mencari celah dan kesempatan untuk menyeretnya menuju kedurhakaan. Godaan yang intens membuat banyak manusia yang akhirnya terjerembab ke dalam dosa. Dalam hal ini setan memang salah. Tapi terjadinya dosa, manusialah yang paling layak disalahkan karena dialah yang menentukan pilihan. Dosa terjadi karena pilihan yang diambilnya adalah pilihan yang disarankan setan.  Setan hanya memberi saran dengan sedikit ajakan. Manusia benar-benar diberi keleluasaan untuk mengikuti atau berdiam diri. Jika pada akhirnya dia ikut dan akhirnya dihukum karenanya, jangan heran jika sang pemberi saran mengelak dan mengatakan, “Fala talumuni, walumuu anfusakum” janganlah kalian mencaciku, tapi cercalah diri kalian sendiri.

Yang dilakukan setan adalah memberi sugesti dan arahan yang menjauhkan manusia dari Allah. Karena jika manusia jauh dari Rabbnya, maka akan mudah bagi setan untuk membantunya menentukan pilihan-pilihan dalam hidupnya. Memudahkannya untuk mendikte langkah manusia agar seirama dengan langkahnya. Semakin jauh dari-Nya, hidupnya akan semakin terisi dengan keputusan-keputusan yang salah dan langkah-langkah sesat. Pada akhirnya, ketika posisinya benar-benar jauh dari koordinat iman, berangsur-angsur dirinya akan berubah menyerupai makhluk yang menyesatkannya. Na’udzubillah min dzalik.

Ibnul Qayim dalam bukunya ad Daa’ wad Dawa’ menjelaskan, al bu’du minallah atau jauh dari Allah Allah terbagi menjadi empat level. Yang pertama adalah al ghaflah. Selanjutnya adalah level maksiat, ketiga level bid’ah dan terakhir adalah nifak dan syirik.(hlm. 90)

Ibnul Qayim memang tidak menjelaskan lebih lanjut keempat level ini. Tapi dengan merujuk ke beberapa pembahasan mengenai kempat hal ini, kita dapat memahami lebih dalam makna dari penjelasan beliau.

Level pertama adalah ghaflah atau lalai. Imam al Munawi mengatakan, ghaflah adalah kondisi di saat mana seseorang kehilangan kesadaran terhadap segala hal yang semestinya dia sadari. (at Tauqif ‘ala Muhimmatit Ta’arif; 540). Dan di dunia ini tidak ada yang lebih layak untuk disadari oleh manusia melebihi kesadaran terhadap tujuan mereka diciptakan, yaitu beribadah kepada Allah.

Lalai dari tujuan ini akan menjauhkan manusia dari Rabbnya. Dalam stadium ini, barangkali dia tidak melakukan kemaksiatan tapi juga tidak melakukan ibadah yang mendekatkannya kepada Allah. Dia sibuk melakukan hal-hal mubah yang hanya bernilai di dunia tapi tak berharga di akhirat. Lama terkungkung dalam kelalaian akan membuat manusia tak lagi menggubris perintah-Nya dan mulai acuh terhadap larangannya. Pada akhirnya dia akan terseret menuju stadium berikutnya, maksiat. Sampan ghaflah akan menjauhkannya dari daratan ridha Allah menuju singgasana Iblis.

Yang kedua adalah maksiat. Tak perlu dibahas lagi bagaimana jauhnya manusia dari Allah saat berada dalam kemaksiatan. Larangan Allah ibarat batas wilayah. Melanggarnya berarti keluar dari wilayah-Nya dan berpindah menuju wilayah setan.

Tahapan selanjutnya adalah bid’ah. Perlu dipahami, level ini bukanlah level yang secara berturut digunakan untuk menyesatkan manusia. Level ini adalah tingkatan jauhnya jarak manusia kepada Allah. Artinya, bisa saja seseorang langsung terperangkap dalam tingkat bid’ah tanpa harus dibuat lalai dan melakukan maksiat terlebih dulu.

Bid’ah adalah membuat ritual ibadah baru yang tidak ada tuntunannya dari Nabi SAW. Bidah menduduki level tertinggi ketiga dalam menjauhkan manusia dari Allah karena sifatnya yang ‘unik’. Bidah sangat korosif terhadap iman dan pahala tapi menipu karena pelakunya justru merasa yang sebaliknya; merasa banyak ibadah dan pahala selalu bertambah. Merasa mendekat kepada Allah padahal Allah menjauh darinya.  Mengapa Allah menjauh? Bukan lain karena membuat atau menambah-nambah ibadah tanpa ada tuntunan syariat adalah sikap sok pintar. Merasa lebih tahu cara beribadah yang lebih baik dari yang sudah dituntunkan Rasul-Nya. Tak pelak, pelaku bidah akan terdepak jauh dari rahmat-Nya dan justru dekat dengan Iblis.

Ibnul Qayim berkata dalam Kitab Madarijus Salikin, “ Sebagian salaf berkata, ‘Bidah lebih disukai Iblis daripada maksiat, karena maksiat masih diharapkan bisa bertaubat sedang bidah tidak.” (I/322) pelaku maksiat kadang-kadang masih sadar bahwa yang dilakukannya salah. Tapi pelaku bidah justru merasa benar, mendapat pahala dan mengajak orang untuk melakukan hal serupa, padahal yang dilakukannya lebih pantas mendapat murka.

Yang terakhir dan yang terjauh adalah level syirik dan nifak. Ini adalah akhir dari semuanya. Lembah terdalam di daratan kesesatan, atau palung tergelap dari samudera kebinasaan. Benar-benar jauh dari cahaya-Nya. Di sini segala kebaikan menjadi tidak berarti. Di lembah ini, kebaikan itu ibarat percikan cahaya yang hanya sekejap dan hilang ditelan pekatnya kegelapan. Semua amal kebaikan dalam kemunafikan dan kesyirikan akan menjadi habaa’an manstura, terbang berhamburan tak dapat digenggam untuk diambil manfaatnya.

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا

“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan .”(QS. Al Furqan;23)

Inilah maratib atau tingkatan jarak antara hamba dan Rabb-nya. Dimanakah koordinat kita? Semoga tidak termasuk dalam keempat level ini. Dan bagaimana caranya menjaga agar tidak terseret kesana? Jawabannya simpel tapi pelaksanaannya tidak sesimpel jawabannya; banyak berdzikir kepada Allah. Bukan hanya dzikir lisan dan anggota badan, tapi lebih penting adalah dzikir hati. Yakni kondisi hati yang selalu sadar terhadap keberadaan-Nya, pengawasannya dan kedudukan dirinya dihadapan Allah. Kesadaran ini akan membuat kita senantiasa terjaga dan dengan iringan dzikir lisan dan anggota badan, kita akan berusaha untuk selalu mendekat kepada-Nya. Semoga Allah senantiasa menjaga kita agar selalu dekat dengan-Nya. Amin, ya rabbal a’alamin. Wallahul musta’an. (Abu Rozin)

Mengumpat Setan berarti Memuji

Mengumpat. Ekspresi dari rasa marah dan kesal dalam ungkapan verbal yang menghina. Mengumpat menjadi pelampiasan marah yang paling sering dilakukan.  Bahkan tak sedikit yang secara reflek pasti mengumpat saat amarah mencuat. Memang, tidak mudah menahan diri untuk tidak mengumpat saat marah. Baik umpatan ditunjukan langsung pada subjek pemicu marah atau hanya berupa umpatan dalam gumam. Berbeda dengan pelampiasan marah berupa tindakan memukul atau yang lebih jauh lagi. Kalau yang ini, biasanya orang masih bisa berpikir untuk tidak memperpanjang masalah dengan melakukannya.

Karena sulit, tidak sedikit yang memilih memlesetkan kata-kata kasarnya menjadi kata lain. Dia tidak ingin mengucapkan kata-kata kasar, tapi sulit untuk tidak mengumpat saat kesal.  Akhirnya, kata-kata kasar diplesetkan menjadi kata-kata yang tidak bermakna, atau ada yang mengganti dengan kata lain yang sebenarnya tidak pas untuk mengumpat. Misalnya, biasanya orang menggunakan kata anjing, tapi biar tidak kasar diganti jangkrik.

Namun begitu, umpatan tetaplah umpatan. Sisi yang hendaknya dijauhi bukan sekedar kata-kata kasarnya, tapi juga luapan amarahnya. Karenanya, jika kita ingin memiliki kemampuan mengendalikan marah dengan sempurna, kita harus belajar menahan diri agar lisan kita juga pandai menahan marah.

 

Baca Juga: Setan Dibelenggu, Nafsu Menghasutmu

 

Apalagi jika yang kita hadapai adalah saudara muslim. Bukankah dalam hadits disebutkan bahwa “Mengumpat orang muslim itu adalah perbuatan fasik, dan membunuhnya merupakan perbuatan kufur.” (muttafaq alaih)

Jangankan orang muslim yang merupakan saudara kita, bahkan musuh kita yang paling nyata sekalipun tidak boleh diumpat. Siapa dia? Setan. Ya setan. Padahal setan adalah sumber segala keburukan hingga rasa-rasanya patut kiranya jika dilempari dengan kata-kata kasar. Tapi ternyata Rasulullah melarang hal itu. Pasalnya,mengumpat setan justru tidak akan membuatnya terhina tapi malah bangga. Umpatan buruk baginya tak ubahnya tepuk sorak yang semakin meneguhkan bahwa keburukan yang dilakukannya benar-benar buruk. Dalam sebuah riwayat disebutkan:

عَنْ أَبِى الْمَلِيحِ عَنْ رَجُلٍ قَالَ كُنْتُ رَدِيفَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَعَثَرَتْ دَابَّتُهُ فَقُلْتُ تَعِسَ الشَّيْطَانُ . فَقَالَ : لاَ تَقُلْ تَعِسَ الشَّيْطَانُ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ تَعَاظَمَ حَتَّى يَكُونَ مِثْلَ الْبَيْتِ وَيَقُولَ بِقُوَّتِى وَلَكِنْ قُلْ بِسْمِ اللهِ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ تَصَاغَرَ حَتَّى يَكُونَ مِثْلَ الذُّبَابِ.

Diriwayatkan dari Abu Malih dari seorang laki-laki, ia berkata, “Ketika aku dibonceng Nabi shallalloohu’alaihi wa sallam tiba-tiba unta beliau tergelincir. Serta-merta aku katakan, ‘Celakalah syaitan.’ Lalu beliau bersabda, ‘Jangan kamu katakan, ‘celakalah syaitan,’ sebab jika kamu katakan seperti itu maka syaitan akan membesar sebesar rumah dan berkata, ‘Demi kekuatanku,’ Akan tetapi ucapakanlah ‘Bismillah’ sebab jika kamu ucapkan lafadz tersebut syaitan akan mengecil hingga sekecil lalat’.” (Shahih, HR Abu Dawud [4982]).

Umpatan baginya serasa pujian yang membuatnya semakin sombong. Bukankah manusia juga kadang begitu? Saat seseorang berhasil membuat sebuah karya luarbiasa dan banyak menuai pujian, dia tidak akan marah, bahkan bangga jika ada yang melihat karyanya lalu malah bilang, “Gila nih yang bikin!”. Umpatan itu justru menjadi pujian dosis tinggi yang membanggakan.

 

Baca Juga: Menepis Tipuan Angan, Waspadai Muslihat Setan

 

Dalam kultur kita, mungkin tidak terbiasa mengumpat setan secara langsung. Yang biasa terjadi adalah menggunakan kata “setan” atau “anak setan” atau “iblis” sebagai penisbatan untuk mengumpat perbuatan yang memicu amarah. Wallahua’lam, sepertinya kata-kata ini juga akan berdampak sama dengan mengumpat setan secara langsung.

Nah, tentunya kita tidak akan membiarkan setan berbangga diri. Syariat selalu mengajarkan kita berbagai cara agar setan terhina dan kalah. Karenanya, jangan sampai kita justru memujinya tanpa sadar dengan umpatan.

Tak jauh beda dengan setan dari golongan jin, mengumpat setan dari golongan manusia juga dilarang. Khususnya umpatan atau hinaan atas tuhan mereka. Tema “tuhan” akan menjadi isu paling sensitiv jika disinggung. Ini biasa terjadi jika kita terlibat perdebatan soal ketuhanan. Saat perdebatan memanas, adakalanya kita terpancing dan tak tahan untuk tidak mengumpat tuhan dan keyakinan mereka. Aksi hina-menghina pun tak terelakkan.

Dulu para shahabat juga sering menghina berhala.Hal itu dilakukan guna menguatkan keyakinan bahwa berhala tidak mampu mendatangkan bahaya meski dicaci maki. Namun kemudian, orang-orang musyrik tidak terima dan balas menghina Allah. Dari segi manfaat dan madharat, hinaan kepada berhala jauh lebih kecil manfaatnya dibanding madharat yang muncul karenanya berupa hinaan dan umpatan kepada Allah. Karenanya, hal ini pun dilarang. Allah berfirman;

وَلاَ تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللهِ فَيَسُبُّوا اللهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ

 

“Dan janganlah kalian mencaci orang-orang yang berdoa kepada selain Allah lalu mereka mencaci Allah dengan penuh kebencian dan tanpa ilmu.” (QS. Al An’am;108)

 

Baca Juga: Penghargaan Bagi Setan

 

Di dalam tafsirnya, Imam Ibnu Katsier mengait0kan hal ini dengan larangan mencaci orangtua dari ksesama muslim karena hal itu berarti mencaci dan mengumpat orangtua sendiri. Karena setelah mencaci, orangtuanya juga akan dibalas dicaci maki.

Pada akhirnya, memang tak ada pilihan bagi kita selain berusaha sekuat tenaga menahan diri dari melampiaskan marah dalam umpatan. Mengingat pelampiasan sesaat ini tidak akan membawa manfaat bahkan mendatangkan keburukan. Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba yang kuat karena mampu menahan marah. Amin.

 

 

 


Belum Baca Majalah Ar-risalah Edisi Terbaru? Dapatkan Di Sini

Majalah hati, majalah islam online yang menyajikan khutbah jumat, artikel islam keluarga dan artikel islam lainnya