Siksa yang Ditunda

Segala pilihan maupun tindakan, pasti ada resiko di belakangnya. Dan tidak ada resiko yang paling parah dan fatal melebihi resiko orang yang berbuat dosa. Bahkan, setiap musibah, bencana, kesusahan maupun penderitaan terjadi karena dosa. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَآأَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُوا عَن كَثِيرٍ

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (QS. Asy Syura :30)

Dampaknya melingkupi segala sisi kehidupan dan zaman. Menimbulkan penyakit jasmani dan ruhani, merusak kesejahteraan hidup di muka bumi, dan berujung pada kesengsaraan akhirat yang kekal abadi.

Segala bencana di dunia yang Allah timpakan kepada umat terdahulu disebabkan karena dosa. Siksa pedih tiada tara yang Allah kisahkan dalam Kitab-Nya hanya berlaku pula bagi orang-orang yang berdosa.

Dosa menyebabkan Adam dan Hawa dikeluarkan dari jannah, tempat kelezatan, kenikmatan dan kesenangan dan kegembiraan ke negeri yang sarat dengan penderitan, kesedihan dan musibah. Kaum Nabi Nuh, tenggelam oleh air bah yang tingginya melampaui puncak gunung, itu juga semata karena dosa.

 

Baca Juga: Berlindung dari Siksaan Kubur dan Panasnya Api Neraka

 

Angin super dingin yang menyapu kaum ‘Ad sehingga mereka mati  bergelimpangan di muka bumi, hingga mereka lakasana tunggul-tunggul pokok kurma yang telah lapuk, pun disebabkan karena dosa. Tak terkecuali kaum Luth yang dijungkirbalikkan bumi mereka, kemudian diikuti hujan batu dari tanah yang terbakar, sehingga lengkaplah siksaan atas mereka. Dan banyak lagi kisah yang bisa dijadikan pelajaran.

Demikian gamblang Allah gambarkan, begitu detil pula Nabi menceritakan kisah para pendosa di dalam hadits-haditsnya, namun masih banyak yang nekat berbuat dosa. Mereka tidak sadar akan resiko setelahnya.

Dosa Yang Dibalas Segera

Kadangkala, Allah menimpakan hukuman bagi orang yang berdosa dengan segera. Bagi orang kafir dan fajir, bencana itu merupakan prolog dari siksa, sebelum siksa dahsyat di akhirat. Namun bagi insan beriman, ia akan menjadi sadar, bahwa apa yang dialaminya adalah teguran dari Allah. Dia akan bersabar, dan sesegera mungkin dia akan berbenah untuk kembali kepada-Nya. Lalu, sekecil apapun musibah itu bisa menjadi penggugur dosa. Nabi saw,

إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الْخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوبَةَ فِى الدُّنْيَا

“Jika Allah menghendaki kebaikan atas hamba-Nya, maka Dia akan menyegerakan hukumannya di dunia” (HR Tirmidzi, al-Albani mengatakan shahih)

Maka, musibah bisa menjadi rahmat bagi orang mukmin, karena dosanya telah lunas terbayar di dunia, dan dia akan terhindar dari siksa akhirat, padahal siksa akhirat itu lebih berat dan lebih kekal,

“Dan sesungguhnya azab di akhirat itu lebih berat dan lebih kekal.” (QS Thaha 127)

Nabi SAW juga bersabda,

أَنَّ عَذَابَ الدُّنْيَا أَهْوَنُ مِنْ عَذَابِ الآخِرَةِ

“Sesungguhnya siksa dunia itu jauh lebih ringan dibanding siksa akhirat.” (HR Bukhari dan Muslim)

Pun begitu, tidak boleh bagi seorang muslim berharap, apalagi memohon supaya disegerakan siksanya di dunia. Karena seakan dia menantang Allah untuk menghukumnya. Bahkan ini menyerupai karakter orang kafir yang dikisahkan oleh Allah,

”Dan mereka berkata, “Ya Rabb kami cepatkanlah untuk kami azab yang diperuntukkan bagi kami sebelum hari berhisab”. (QS. Shaad 16)

Begitulah orang kafir yang berbuat lancang kepada Allah, menantang agar hukuman disegerakan. Padahal, belum tentu mereka kuat menjalaninya. Yang lebih baik bagi seorang mukmin adalah bertaubat, memohon pengampunan dan kebaikan di dunia, juga kebahagiaan di akhirat. Sahabat Anas bin Malik rdl mengisahkan, bahwa Rasulullah saw menjenguk seorang muslim yang sakit. Dia dalam kondisi yang sangat lemah layaknya anak seekor burung pipit. Lalu Rasulullah saw bertanya, ”Apakah kamu pernah berdoa atau memohon sesuatu?” Orang itu menjawab, ”Benar, aku berdoa kepada Allah, ”Ya Allah, aku tidak kuasa menerima hukuman di akhirat, maka segerakanlah hukuman untukku di dunia!” Rasulullah SAW bersabda,

سُبْحَانَ اللَّهِ لاَ تُطِيقُهُ – أَوْ لاَ تَسْتَطِيعُهُ – أَفَلاَ قُلْتَ اللَّهُمَّ آتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

”Subhanallah, kamu tidak akan mampu, mengapa Anda tidak berdoa ”ya Allah, anugerahkanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan jauhkanlah kami dari adzab neraka” (HR Muslim)

Maka Nabi SAW mendoakan untuk kesembuhannya dan Allah menyembuhkannya.

Dihukum, Namun Tidak Peka

Hukuman bagi pelaku dosa tak hanya berujud musibah ataupun bencana yang kasat mata. Namun bisa pula hukuman itu ditimpakan atas hati dan seringkali manusia tidak menyadari. Padahal, bahaya dosa bagi hati itu pasti. Ibnu Qoyyim al-Jauziyah mengumpamakan efek dosa bagi hati, itu laksana luka bagi jasad, bisa jadi luka itu akan menyebabkan  kematian.

Lemahnya greget untuk berbuat baik, jauhnya seseorang dari teman-teman yang shalih, tumpulnya kepekaan hati dalam mendeteksi dosa, dan kerasnya hati adalah sebagian dari hukuman yang ditimpakan atas hati bagi pelaku dosa. Sebenarnya, hukuman hati lebih berat deritanya dari hukuman fisik, karena tak ada yang lebih menderita dari hati yang jauh dari Allah.

Namun sayang, tidak banyak yang menyadari hal ini sebagai hukuman dari dosa. Mereka merasa bahwa dosa yang telah dijalaninya tidak berdampak apa-apa. Ibnu al-Jauzi berkata, ”ketahuilah, bahwa musibah paling besar adalah ketika seseorang merasa aman setelah melakukan dosa, padahal bisa jadi hukuman itu ditunda. Hukuman paling berat adalah tatkala seorang tidak peka terhadap efek dosa. Dia menduga bahwa dengan menyimpang dari agama, hati yang buta dan usaha yang haram ternyata badan masih sehat dan tujuan juga tercapai.”

Pola pikir seperti ini menyebabkan sikap menganggap remeh dosa, dan tak ada rasa takut memperturutkan hawa nafsunya, karena siksa tak terlihat jelas di depan mata. Di sisi inilah besarnya bahaya, ketika dosa rutin dijalani, siksa pun bertubi-tubi. Makin banyak akumulasi dosa, makin berat siksa yang akan disandangnya.

 

Baca Juga: Neraka, Menyiksa Tiada Jeda

 

Para salaf, sangat peka sekali terhadap efek dosa. Bahkan mereka bisa mengenali dampak dosa pada setiap musibah yang mereka alami, dalam hal duniawi maupun ukhrawi.

Abu Daud Al-Hafri bercerita, “Aku masuk kerumah Kurz bin Wabiroh dan mendapatinya menangis, aku bertanya kepadanya, “Kenapa Anda menangis?” Beliau menjawab, “Pintu kebaikan tertutup, kehormatanku ternoda, dan tadi malam aku gagal membaca Al-Qur’an seperti biasanya. Itu semua gara-gara satu dosa yang telah aku kerjakan.”

Pada saat tabi’in Bashrah, Muhammad bin Sirin hingga beliau terlilit hutang, beliau berkata, “Aku sungguh mengetahui penyebab hutang yang kini melilitku. Aku pernah mengejek seorang lelaki sekitar empat puluh tahun yang silam, “Wahai orang yang bangkrut!” Tatkala Ubaidillah bin As-Sirri menceritakan hal ini kepada Abu Sulaiman Ad-Darani, beliau memberi komentar, “Dosa-dosa mereka (para salaf) sedikit, karenanya mereka tahu dosa mana yang menyebabkan musibah terjadi. Sementara dosa-dosa kita banyak, sehingga kita tidak tahu dosa mana yang menyebabkan musibah itu terjadi.”

Merekalah para ahli ibadah yang begitu peka terhadap dosa. Sa’id bin Jubair rahimahullah, yang disebut-sebut paling ahli dalam hal tafsir di kalangan tabi’in pernah ditanya, “Siapakah orang yang paling hebat ibadahnya?” Beliau menjawab, “Orang yang merasa terluka hatinya karena dosa, dan jika ia ingat dosanya maka ia memandang kecil amal perbuatannya”.

Dosa yang siksanya ditunda

Jika seseorang belum merasakan dampak dari dosa, janganlah merasa aman darinya, karena sesungguhnya Allah tidak pernah lupa. Termasuk dosa-dosa yang bahkan telah dilupakan pelakunya. Bisa jadi bencana di dunia datang dengan tiba-tiba di saat yang tidak pernah ia duga. Atau ditangguhkan siksanya hingga di akhirat, Nabi saw bersabda,

وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ بِkذَنْبِهِ حَتَّى يُوَافِيى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Dan jika Allah menghendaki keburukan atas hamba-Nya, maka Allah akan menangguhkan hukuman atas dosanya, hingga dia akan membawa dosanya itu pada Hari Kiamat.” (HR Tirmidzi, al-Albani mengatakan shahih)

Ath-Thiibi menjelaskan, “yakni Allah tidak menghukum atas dosa yang dilakukannya hingga dia datang pada Hari Kiamat akan mendapatkan sangsi berupa siksa atas dosa yang dilakukannya.”

Saatnya kita mencegah dan menghentikan segala dampak buruk dosa dengan bertaubat dan meninggalkan maksiat. Alangkah cerdas kesimpulan dari sahabat Ali bin Abi Thalib RDL, “Tiada turun musibah melainkan karena dosa dan tidak akan dicabut musibah melainkan dengan taubat.” Wallahu a’lam. (Abu Umar Abdillah)

Hukuman Bagi yang Berpaling

Pernahkah pembaca mendapati orang yang meraih kesuksesan dunia,tapihidup tidak bahagia?Bergelimang materi, tetapi tidak mampu menutupi pancaran duka karena gagal meraih kebahagiaan. Sungguh, saya berharap pembaca tidak termasuk dalam tipe ini.

Benar!Rona wajah yang kusut dan tanpa sinar kebahagiaan tak dapat disepuh dengan make up, tidak pula dapat dipoles lewat kursus penampilan. Meski, wajah tersebut dapat dibuat indah menawan di mata umumnya manusia, namun tak dapat mengelabuhi hamba Allah yang memiliki bashirah, mata hati.

Mata hati dapat dengan mudah mengenali makhluk Allah yang berusaha menyembunyikan kegagalan hidup dibalik penampilanglamour. Dapat pula membedakan antara wajah asli dan wajah yang terbungkus dengan masker kepalsuan. Sehingga terlihat berbeda antara orang yang kantung matanya menggantung karena shalat malam dan munajat dengan begadang setiap malam memikirkan rencana melanggengkan kekuasaan.

Akar Kebahagiaan
Kebanyakan manusia salah persepsi apa sesungguhnyasumber kebahagiaan hidup. Padahal kekeliruan dalam permasalahan ini akibatnya fatal. Contoh di atas, merupakan sebagian dari akibat salah persepsi terhadap sesuatu yang disangka akan mendatangkan kebahagiaan, ketika sesuatu tadi dapat diraih, ternyata kebahagiaan yang diimpikan tidak juga tergapai. Bak mengejar fatamorgana, ketika sampai di tempat yang dikejar, bayangan keindahan itu selalu ada di depannya.

Sesungguhnya sumber kebahagiaan sejati ada pada ma’rifah kepada Allah dan mencintai-Nya sepenuh cinta tanpa menyekutukannya, berharap kepada-Nya dan menunggalkan-Nya dalam harap, takut kepada kemurkaan dan adzab-Nya melebihi takut kepada makhluk-Nya.

Ketika Keagungan Allah Bertahta diKalbu
Kalbu yang telah bertahta padanya Kebesaran dan Keagungan Allah akan menyembul daripadanya beragam ‘amalan hati; yang paling utama adalah mencintai Allah. Cinta ini mengalahkan semua tuntutan dan pengorbanan yang menghalanginya dari meraih cinta-Nya dan bersedia membayar apapun dan berapapun.Ma’rifah dan cinta itu pula yang menjadikan lisan dan qalbu seorang mukmin merasakan tenang kalamenyebut dan mengingat-Nya, serta rindu berkhalwat dengan-Nya dalam khusuknya ibadah. Salah seorang salafmenggambarkan kebahagiaan itu dengan ungkapan, “Tidak ada yang lebih membuatku gelisah dalam 40 tahun ini melebihi (berakhirma malam dan) tibanya fajar”.

Banyak orang menyangka bahwa sumber kebahagiaan ada pada melimpahnya harta. Atau tingginya pangkat dan kedudukan. Ketika semua yang disangka sebagai sumber kebahagiaan tadi telah diraih, ternyata kegelisahan hati dan dahaga kebahagiaan tak juga terobati apalagi terpuaskan. Tak hanya itu, apa yang telah diraihnya bahkan menjadi beban yang semakin menggelisahkan.

Mungkin masih tersisa kebaikan pada orang tersebut, karena masih bisa merasakan kekeringan hati dan kegagalan meraih kebahagiaan. Sehingga masih terbuka pintu kesadaran yang menjadikannya berpeluang untuk menemukan sa’adah atau kebahagiaan sejati jika dia bersungguh-sungguh dan rahmat Allah berpihak kepadanya. Ada yang lebih buruk; hamba Allah yang gagal meraih kebahagiaan, hidup dalam kegersangan hati meski bergelimang dalam kubangan materi, tetapi tidak tahu bahwa dirinya gagal meraih kebahagiaan. Selubung ron(noda) yang menyelimuti hatinya telah demikian tebal, Iblis dan kabilahnya juga telah berhasil menghiasi kegagalannya dengan kesombongan jahiliyah sehingga semua keterpurukannya nampak sebagai keberhasilan,hingga maut menjemput.

Wujud Kasih Sayang-Nya
Allah SWT lebih sayang kepada hamba-Nya melebihi kasih sayang ibu kepada anak. Tanda kasih sayang itu bukan dengan memanjakan manusia dengan kenikmatan hidup. Melainkan dengan memberikan paduan berupa kitab suci sebagai kabar gembira, peringatan dan pedoman hidup bagi manusia. Barang siapa berpegang teguh kepada kitab suci tersebut, dijamin baginya kebahagiaan di dunia dan di akherat.

Allah membandingkan manifestasi kasih sayang-Nya tersebut dengan apa yang disangka kebanyakan manusia sebagai sumber kebahagiaan.Firman-Nya :

Katakanlah, “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Yunus: 48)

Imam Jalaluddien Al-Mahalli dan Imam Jalaluddien As-Suyuthi dalam Tafsir Jalalain menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ‘karunia Allah’ dalam ayat ini adalah ‘Islam’ sedang  ‘rahmat-Nya’ adalah ‘Al-Quran’. Adapun ‘apa yang mereka kumpulkan’ adalah ‘materidunia’.

Namun sayang, manusia tak menyadari kasih sayang itu. Bukannya mendekat, tapi malah lari menjauh dari Adz-Dzikr (Al-Quran). Sehingga mereka tak akan pernah mendapatkan kecintaan dari Allah. Ada sekat penghalang dalam hati mereka, sehingga gagal meraih cinta-Nya. Sekat itu berwujud materi duniawi yang mereka kumpulkan dengan sangkaan akan membawa kebahagiaan. Kegandrungan kepada dunia itu akan menyirami hawa nafsunya bakbensin menyiram api

Berpaling dari peringatan Allah, mencampakkan pedoman hidup dan enggan menempuh jembatan membentang untuk meraih kasih sayang-Nya berarti ‘membuta’ secara maknawi. Hamba yang berbuat seperti itu pasti akan mendapatkan cicipan adzab di dunia dengan kesempitan hati dan kegundahan. Di alam kubur cicipan adzab itu lebih nyata dan terasa, kuburpun akan menyempit sehingga tulang rusuknyasaling masuk bersilangan , sedang siksa di akherat yang lebih dahsyat telah menanti.

Tak hanya itu. Kebutaan maknawi mereka di dunia berlanjut hingga di akherat. Kelak mereka benar-benar buta dalam arti tak bisa melihat dengan mata. Mereka akan dibangkitkan dalam keadaan buta, sebagai hukuman nyata atas sikapnya. Tatkala mereka memprotes kebutaan itu, Allah bantah dengan sikap mereka yang membutakan mata hatinya terhadap ayat-ayat-Nya ketika di dunia. Allah pun melupakan mereka sebagai balasan atas sikap mereka melupakan peringatan Allah dan pedoman-Nya. Naudzubillah min dzalik.