Warisan Terbaik

إِنَّ وَلِيِّيَ اللَّهُ الَّذِي نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ

“Sesungguhnya pelindungku adalah Allah yang telah menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) dan Dia melindungi orang-orang yang shalih.” (QS. al-A’raf: 196)

Ibnu al-Jauzi dalam al-Muntazham menyebutkan sebuah riawayat bahwa suatu kali, saat di mana Umar bin Abdul Azis mendekati ajalnya, Maslamah bin Abdul Malik menjenguk beliau. Ketika itu ia bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, Anda tidak memiliki harta yang berarti untuk diwariskan kepada anak-anak Anda, maka sekiranya Anda berwasiat kepada saya untuk mereka!” Ketika itu beliau minta didudukkan dengan sandaran, lalu berkata, “Saya tidak menghalangi mereka untuk mendapatkan apa yang memang menjadi hak mereka, namun saya juga tidak mungkin memberikan kepada mereka dengan apa yang memang bukan menjadi hak mereka. Wasiatku untuk mereka adalah sebagaimana firman Allah Ta’ala,

“Sesungguhnya pelindungku adalah Allah yang telah menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) dan Dia melindungi orang-orang yang shalih.” (QS al-A’raf 196)

Anak-anakku hanya ada dua kemungkinan, apakah mereka bertakwa kepada Allah lalu Allah pasti memberikan jalan keluar dari segala masalah, ataukah termasuk (na’udzu billah) orang yang suka berbuat dosa, dan setidaknya saya tidak membantu dia untuk bermaksiat kepada Allah.”

Maknanya, bahwa orang yang meninggalkan banyak harta kepada ahli warisnya namun tidak membekali anak-anaknya dengan takwa dan keshalihan, itu artinya orang tua menyiapkan sarana bagi ahli warisnya utuk bermaksiat kepada Allah dengan hartanya. Karena itulah beliau memilih untuk meninggalkan didikan takwa dan keshalihan daripada harta. Karena jika anak-anak shalih, Allah tidak akan menelantarkan mereka.

Dan benarlah apa yang dikatakan oleh Umar bin Abdul Azis rahimahullah. Peristiwa menarik disaksikan oleh Muqatil bin Sulaiman rahimahullah. Pada saat beliau diminta nasihat oleh Khalifah al-Manshur yang baru dilantik, beliau berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Sesungguhnya Umar bin Abdul Aziz mempunyai sebelas orang anak. Ketika beliau wafat, dia hanya meninggalkan harta sebanyak 18 dinar. 5 Dinar digunakan untuk membeli kafan dan biaya penyelenggaraan jenazahnya. 4 dinar untuk membeli sebidang tanah untuk kuburannya. Selebihnya dibagikan kepada 11 orang anaknya.

Sementara Hisyam bin Abdul Malik juga mempunyai sebelas orang anak. Setelah ia wafat, masing-masing anak mendapatkan warisan 1 juta dinar. Tapi demi Allah wahai Amirul Mukminin;

Aku menyaksikan pada hari yang sama, salah seorang anak Umar bin Abdul Aziz menyedekahkan 100 ekor kuda untuk berjihad di jalan Allah, sedangkan salah seorang anak Hisyam bin Abdul Malik meminta-minta di tengah pasar.”

Allahu Akbar, lihatlah dampak dari keshalihan. Ia menjadi modal bagi seseorang untuk mendapatkan kemaslahatan di dunia dan tentunya lebih berfaedah lagi bagi akhiratnya. Karena Allah menjadi Wali bagi orang-orang yang beriman dan beramal shalih, dan siapakah yang lebih baik penjagaannya dari Allah?

Imam ath-Thabari menjelaskan bahwa Dialah Allah al-Waliy yang diibadahi dan ditaati oleh para hamba-Nya, dengan mendekatkan diri kepada-Nya dalam berbagai macam ibadah. Dia yang mengurus semua hamba-Nya dengan mengatur mereka dan melaksanakan ketentuan takdir atas mereka, serta menggariskan untuk hamba-hamba-Nya dengan berbagai macam aturan.

Dia melindungi mereka dengan perlindungan yang khusus. Dia membimbing mereka dan mengeluarkan mereka dari gelapnya kebodohan, kekufuran, kemaksiatan, kelalaian, dan keengganan menuju cahaya ilmu, keyakinan, iman dan ketaatan. Juga membimbing mereka untuk menyempurnakan pengabdiannya kepada Rabb mereka. Dia menerangi hati mereka dengan memberikan padanya cahaya wahyu dan iman, memberikan kemudahan untuk mereka dan menjauhkan dari kesusahan, mendatangkan manfaat bagi mereka dan menjauhkan mereka dari kemudharatan.

BACA JUGA: YANG PALING DURHAKA & YANG PALING BERBAKTI

Orang-orang yang shalih dari sisi niat, ucapan dan perbutannya, dan fokus terhadap Rabb dengan iman dan takwa, dan tidak berpaling kepada selain-Nya yang tidak memberikan manfaat dan madharat, niscaya Allah akan melindungi mereka dan berlaku lembut kepada mereka. Dia akan menolong mereka untuk mendapatkan segala kebaikan dan mashlahat bagi agama dan dunia mereka.

Bukankah keshalihan adalah modal terwujdunya kemaslahatan dunia dan akhirat. Bahkan keshalihan menjadi sarana terjaganya anak dan keturunan seseorang sebagaimana tersirat dalam firman Allah Ta’ala,

“Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang Ayahnya adalah seorang yang shalih, Maka Rabbmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Rabbmu” (QS Al-Kahfi : 82)

Dikarenakan ayahnya seorang yang shalih, maka Allah melindungi kedua anak yatim itu, dan menjaga kemaslahatan dunia keduanya.

Al-Haafizh Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan ayat tersebut dalamkitabnya al-Bidayah wa an-Nihayah, “Dikatakan bahwa ayah (yang tersebutkan dalam ayat di atas) adalah ayah atau kakek ketujuh, dan ada yang berpendapat maksudnya adalah kakek yang kesepuluh. Dan manapun pendapat yang rajih maka ayat ini merupakan bukti bahwasanya seseorang yang shalih akan dijaga keturunannya”

Begitulah di antara cara Allah menjaga dan melindungi orang-orang shalih. Maka menekankan keshalihan pribadi dan juga dalam mendidik generasi mestinya menjadi prioritas dan perhatian utama. Ini jauh lebih penting daripada mengumpulkan harta untuk mereka dan agar cukup bagi mereka menikmati tanpa bekerja keras dan berusaha. Jika ia menjadi shalih, maka orang yang shalih tidak akan menyia-nyiakan potensi. Jika Allah memudahkan baginya untuk meraih kekayaan dari jalan yang halal dan untuk ditunaikan haknya, terlebih bisa memperbaiki kesejahteraan umat, tentu ini merupakan bagian dari keshalihan itu sendiri. Tapi, kekayaan yang tidak dilandasi keshalihan dan ketakwaan, maka kerusakan yang ditimbulkan lebih banyak dari manfaat yang dihadirkan. Wallahu a’lam bishawab.

(Abu Umar Abdillah)

Memaknai Islam Sebagai Rahmatan Lil ‘alamiin

Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin, artinya Islam merupakan agama yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi seluruh alam semesta, termasuk hewan, tumbuhan dan jin, apalagi sesama manusia. Sesuai firman Allah, “Dan tidaklah engkau (Muhammad) diutus ke muka bumi ini kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (QS. al-Anbiya: 107)

Namun, hari ini kita menemukan adanya upaya mendistorsi (tahrîf) makna rahmatan lil ‘alamin, sebagai dalih atas pemahaman sesat dan menyesatkan. Rahmatan lil ‘alamin selalu dikaitkan dengan masalah toleransi dan intoleransi, kehidupan sosial dalam bernegara, dan masalah kearifan lokal. Meskipun ada benarnya, namun masalahnya tak melulu soal itu. Jika hal ini dibiarkan tentu akan berakibat fatal. Salah satunya muncul istilah-istilah asing yang sebelumnya belum pernah dikenal dalam Islam semacam Islam fundamental, Islam Arab, Islam Nusantara, Islam radikal dan semisalnya yang disematkan kepada suatu kelompok tertentu. Akar dari semua ini karena adanya pemaknaan yang salah terhadap makna rahmatan lil ‘alamin.

Padahal jika kita telisik lebih dalam tujuannya tak lain adalah untuk menstigma negative terhadap ummat Islam yang konsisten dengan keislamannya dan mencoba menerapkan syari’at Islam secara kaafah.

MAKNA RAHMATAN LIL ‘ALAMIN

Para ulama mufassir berbeda pendapat dalam menafsirkan kata rahmatan lil ‘alamin dalam surat al-Anbiya’: 107. Imam Thabari menjelaskan, “Para ahli tafsir berbeda pendapat dalam masalah ini, apakah rahmatan lil ‘alamin diperuntukkan khusus bagi orang Islam saja atau berlaku umum bagi seluruh manusia?. Namun pendapat yang benar dalam hal ini adalah perkataan yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, beliau mengatakan bahwa Allah mengutus Rasulullah sebagai rahmat bagi seluruh alam baik itu yang beriman ataupun mereka yang kafir. Kepada mereka yang beriman Allah berikan kepada mereka hidayah dan untuk yang kafir Allah menunda adzab bagi mereka sebagaimana yang terjadi pada ummat-ummat terdahulu yang mereka mendustakan apa yang dibawa oleh Rasul mereka.” (Jami’ul bayan fi ta’wilil qur’an: 18/552).

Ibnu Katsir dalam tafsir al-qur’anul ‘adzim menukilkan sebuah hadits dari Abu Hurairah yang menyatakan bahwa syari’at yang dibawa oleh Rasulullah selain rahmatan lil ‘alamin juga berfungsi sebagai hadiah dari Allah, إنما أنا رحمة ومهدة (sesungguhnya aku adalah rahmat dan hadiah).

Maknanya, Allah tidak akan menurunkan langsung adzab kepada orang-orang kafir dan ingkar sebagaimana Allah turunkan adzab kepada kaum Tsamud, ‘Ad, juga sebagaimana Allah menenggelamkan Fir’aun, atau menurunkan hujan batu pada kaum Nabi Luth. Tapi Allah akan menunda adzab itu selama masih ada yang mengamalkan syari’at Nabi Muhammad sampai hari kiamat. Itulah makna rahmatan lil’alamin bagi orang-orang kafir.

KANDUNGAN SYARI’AT ADALAH MASLAHAT

Inti syari’at Islam adalah maslahat, sebagaimana yang dikatakan oleh  Ibnu ‘Asyur, “Maksud umum dari syari’at secara global maupun terperinci adalah menjaga tata aturan dan keberlangsungan maslahat yang menjadi bagian dari manusia baik dari sisi akal atau amalnya, atau apa yang ada dikedua tangannya dengan perantara orang-orang alim yang hidup dizamannya.” (Maqashid as-syari’ah al-Islamiyah, hal: 148)

Maslahat adalah salah satu cara untuk melihat bentuk rahmatan lil ‘alamin dari sisi kandungannya. Menurut Imam asy-Syatibi, maslahat yang terkandung dalam syari’at Islam terbagi menjadi tiga berdasarkan tingkatannya, yaitu dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyat. Dharuriyat adalah kebutuhan yang jika tidak dipenuhi maka keselamatan ummat manusia akan terancam. Hajiyat adalah kebutuhan yang jika tidak terpenuhi tidak sampai mengancam keselamatan manusia tapi akan menyusahkannnya. Keberadaannya dibutuhkan untuk memberikan kemudahan serta menghilangkan kesukaran dan kesulitan bagi seorang mukallaf. Sedangkan tahsiniyat adalah semua keperluan dan perlindungan untuk membuat manusia lebih nyaman dan terlindungi (al-muwafaqat, 2/17)

Dari tiga klasifikasi maslahat tersebut, pembahasan tentang dharuriyatlah yang menjadi inti dari maslahat. Ada lima point penting kandungan dharuriyat. Para ulama menyebutnya dharuriyat al-Khamsah atau al-Kulliyat al-khamsah. Lima hal itu adalah: hifdz ad-ddin (penjagaan terhadap agama), hifdz an-nafs (penjagaan teradap jiwa), hifdz an-nasl (penjagaan terhadap keturunan), dan hifdz al-‘aql (penjagaan terhadap akal), hifdz al-maal (penjagaan terhadap harta). Kandungan inilah yang menjadi pondasi bangunan maslahat dalam syari’at Islam. Namun hal ini menjadi tak bermakna ketika berhenti pada tataran teori tanpa aplikasi. Adapun aplikasinya terbagi menjadi dua sisi: jihat al-wujud (sisi keharusan untuk mewujudkannya) dan jihat al-‘adam (sisi keharusan untuk menghilangkannya).

CONTOH APLIKASI DHARURIYAT AL-KHAMSAH

Hifdz ad-addin dilihat dari keharusan untuk mewujudkannya (jihat al-wujud) seperti perintah untuk beriman kepada Allah, mencintai-Nya, mengagungkan-Nya, mengetahui nama-nama dan sifat-Nya. Kemudian kewajiban untuk berpegang teguh kepada Islam, mempelajari serta mendakwahkannya. Sedangkan dari sisi harus meniadakannya (jihat al-‘adam), ada perintah untuk berhati-hati terdahap perkara riya’, perintah untuk menjauhi bid’ah dan memerangi para pelakunya, perintah untuk memerangi orang-orang murtad. Masalah ini berkaitan erat dengan perkara-perkara yang bersidat I’tiqadiyah (keyakinan).

Hifdz an-nafs dilihat dari jihat al-wujud, aplikasinya seperti kebolehan untuk memakan hal-hal yang diharamkan dalam keadaan darurat dan perintah untuk mencari nafkah. Dari jihat al-‘adam  haramnya membunuh jiwa yang tidak bersalah dan kewajiban untuk melakukan qishash.

Hifdz al-‘aql dilihat dari jihat al-wujud adanya perintah syari’at untuk mengikuti petunjuk yang dibawa oleh Rasulullah, sebab akal tidak bisa membedakan antara baik dan buruk kecuali atas bimbingan risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Sedangkan dari jihat al-‘adam keharaman berjudi, nyanyian, melihat hal-hal yang diharamkan, keharaman khamer, ganja, dan jenis-jenis narkoba lainnya

Hifdz an-nasl dilihat dari jihat al-wujud adanya anjuran untuk menikah, keharusan adanya saksi dalam pernikahan, perintah untuk menafkahi keluarga. Sedangkan dari jihat al-‘adam adanya larangan untuk berzina dan adanya ketetapan hukum syari’at bagi bagi pezina, larangan untuk mencerai istri kecuali dalam keadaan darurat, keharaman menyingkap aurat dan memandang yang bukan mahram, haramnya ikhtilath antara laki-laki dan perempuan, serta keharaman meremehkan pendidikan anak.

Yang terakhir adalah hifdz al-maal, dilihat dari jihat al-wujud kewajiban untuk bekerja dan berusaha, kewajiban untuk menjaga harta yang menjadi tanggungan, anjuran untuk bershadaqah, kebolehan jual beli dan berhutang. Dari jihat al-‘adam haramnya merampas harta, mencuri dan adanya ketetapan hukuman bagi pencuri, perintah mempertahankan harta benda jika dirampas, haramnya merusak harta dan menghilangkan harta milik orang lain tanpa sebab (Diringkas dari: Maqashid as-Syari’ah ‘inda Ibn at-Taimiyyah: 445-487)

Inilah maslahat universal yang dikehendaki oleh syari’at. Jika semua maslahat itu terwujud secara sempurna maka Islam akan menjadi rahmatan lil ‘alamin. Letak rahmatan lil ‘alaiminnya pada  maslahat yang terkandung dalam syari’at Islam yang bukan hanya diakui oleh agama Islam saja, tetapi oleh semua agama. (al-muwafaqat,1/31).

Dalam tataran praktek dalam mewujudkan semua maslahat di atas, semua maslahat tersebut harus terakomodir oleh sistem yang berasal dari Islam. Ia tidak akan sempurna ketika diatur oleh sistem kufur. Dalam sistem kufur akan banyak maslahat yang hilang karena tidak bisa diterapkan. Padahal Allah tak menghendaki yang demikian. Perintah Allah jelas untuk totalitas dalam berislam:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kedalam Islam secara sempurna dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh ia musuh yang nyata bagimu.” (QS. al-Baqarah: 208).

Maka rahmatan lil ‘alamin, bukan melulu bicara soal toleransi dan intoleransi; soal kehidupan antar agama dalam bernegara; atau soal kearifan lokal, tapi mencakup seluruh syari’at secara global dan terperinci. Ia akan terwujud ketika syari’at Islam dilaksanakan secara sempurna dibawah payung sistem Islam yang bernama khilafah a’la minhaj an-nubuwah. Wallahu a’lam