Dosa Riba Tergantung Persentasenya ?

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

Dari ‘Amir bin Syarahil berkata; aku mendengar An Nu’man bin Basyir berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Yang halal sudah jelas dan yang haram juga sudah jelas. Namun diantara keduanya ada perkara syubhat (samar) yang tidak diketahui oleh banyak orang. Maka barangsiapa yang menjauhi diri dari yang syubhat berarti telah memelihara agamanya dan kehormatannya.

Dan barangsiapa yang sampai jatuh (mengerjakan) pada perkara-perkara syubhat, sungguh dia seperti seorang penggembala yang menggembalakan ternaknya di pinggir jurang yang dikhawatirkan akan jatuh ke dalamnya.

Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki batasan, dan ketahuilah bahwa batasan larangan Allah di bumi-Nya adalah apa-apa yang diharamkan-Nya. Dan ketahuilah pada setiap tubuh ada segumpal darah yang apabila baik maka baiklah tubuh tersebut dan apabila rusak maka rusaklah tubuh tersebut. Ketahuilah, ia adalah hati”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Bunga Bank Haram

Riba telah diharamkan dengan jelas dalam alqur’an (al Baqarah: 275) begitu pula dalam hadits Nabi yang shahih, dan status keharamannya tidak berubah hingga hari ini bahkan sampai kiamat, sehingga riba benar benar haram dan jelas keharamannya. Bahkan ancamannyapun tidak berubah yaitu Allah dan RasulNya mengumumkan perang.

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al Baqarah: 278-279)

Bunga bank termasuk riba yang diharamkan dalam syariat, para ulama telah bersepakat akan keharamannya, pernah diadakan mu’tamar ‘aalam pertama di Makkah al Mukarramah pada tahun 1396 H/  1976 M, kemudian yang kedua di Kuwait pada tahun 1983 M, para ulama sepakat bahwa bunga bank adalah haram. Tapi realitas yang ada pada hari ini, kita melihat bahwa bank dan lembaga keungan yang berbasis riba menggurita dan menguasai tiap pojok transaksi yang ada.

BACA JUGA : Kredit, Apa Ada Ribanya?

Meski Sedikit Tetap Haram

Indonesia pada penghujung tahun ini berupaya memudahkan dan seakan akan menghimbau masyarakat untuk mengambil dan berursan dengan keharaman bunga bank. Dikutip dalam tribunnews.com, Jakarta, Salah satu kendala bagi pengusaha kecil untuk maju, menurut Jusuf Kalla adalah akses terhadap modal. Tingginya suku bunga bank, telah menghambat para pengusaha. Ia mengatakan, pemerintah akan terus berupaya agar suku bunga bisa turun.

Dan Rencananya pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan memberlakukan suku bunga rendah pada akhir 2016, yang ini disebut oleh pengamat ekonomi sebagai fenomena spektakuler dalam industri keuangan nasional.

Yang lebih parah lagi, seorang muslim yang sudah mengetahui kemaraman bunga bank, kemudian berdalih dengan akal dan hawa nafsunya, kalau prosentase bunganya sedikit maka dosanya juga sedikit, kemudian memilih pinjaman dengan suku bunga yang paling rendah.

Dalam Islam sesuatu yang sudah jelas keharamanya, maka sedikit darinya pun tetap haram, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

مَا أَسْكَرَ كَثِيرُهُ فَقَلِيلُهُ حَرَامٌ

“Sesuatu yang memabukkan, maka banyak dan sedikitnya adalah haram.” (HR. Abu Daud, dishahihkan Al Albany)

Begitu pula riba, bukan berarti larangan dalam surat ali Imran :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imran: 130)

Berarti yang dilarang hanya yang berlipat lipat, yang sedikit tidak dilarang. Ini adalah pemahaman yang salah, karena pada umumnya orang mengambil riba itu berlipat lipat dan tidak sedikit, maka mengambil atau memakan bunga bank meskipun sedikitpun tetap dilarang dan haram.

Menyesal, Bertaubat Dan Tidak Mengulanginya

Ketika seseorang telah tersadarkan, ternyata meminjam bunga bank meski sedikit prosentasenya tetap haram, apalagi ketika tidak bisa membayar dengan lancar sehingga bunganya terus meningkat, maka semakin tersadar bahwa bermuamalah dengan keharaman bukanlah solusi, bahkan jika Allah memberikan keberhasilan setelah meminjam uang dengan akad yang haram, maka itu adalah istidraj (Apabila Anda melihat Allah memberikan kenikmatan dunia kepada seorang hamba, sementara dia masih bergelimang dengan maksiat).

Ketika tersadar, menyesal, dan segera bertaubat kepada Allah maka selesaikanlah segera urusan keharaman ini, yaitu degan membayarkan pokok pinjaman dan tidak ada kewajiban untuk membayar tambahan dari pokok pinjaman (yaitu bunga bank), karena bunga bank itu haram maka tidak wajib mengembalikan yang haram. Dalilnya adalah firman Allah :

“Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al Baqarah: 279)

bila bisa diupayakan, maka berupayalah untuk hanya membayar yang pokok, namun bila ada madharat dan masalah yang diyakini akan menimpa dengan tidak membayar kelebihannya (bunganya), sehingga terpaksa membayarnya maka bayarlah dengan ketidak ridhaan dan pertaubatan kepada Allah Subhanahu wata’ala. wallahua’lam bis shawab.

 

 

Suka Sesama Jenis Bawaan atau Penyimpangan?

Gonjang-ganjing mengenai isu LGBTI (Lesbian Gay Bisexual Transgender and Intersex) terus menghangat. Antara yang pro, pegiat maupun pelaku, berhadapan dengan yang kontra, melarang hingga mengecam. Di antara yang menjadi titik krusial masalah adalah tentang kecenderungan kepada sesama jenis, apakah bersifat bawaan dan fithrah ataukah penyimpangan dan kelainan?

Sebelum kepada perbedaan tentang masalah ini, semestinya yang harus disepakati oleh kaum muslimin adalah bahwa praktik LGBTI dalam bentuk melampiaskan syahwat kepada sesama jenis; baik sesama laki-laki maupun sesama perempuan hukumnya mutlak haram sebagaimana yang disepakati ulama berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih. Perbuatan ini bukan termasuk fithrah yang boleh dilegalkan.

Andai saja perbuatan tersebut merupakan fithrah, tentu Allah tidak akan mengadzab kaum Luth dengan hujan batu terhadap kaum yang mempraktikkan perbuatan ini. Allah Ta’ala berfirman dalam Surat An-Naml ayat 54 – 58.:

Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika dia Berkata kepada kaumnya: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan keji (kotor) itu sedang kamu memperlihatkan(nya)?” ”Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu (mu), bukan (mendatangi) wanita? Sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu).” Maka tidak lain jawaban kaumnya melainkan mengatakan: “Usirlah Luth beserta keluarganya dari negerimu; Karena Sesungguhnya mereka itu orang-orang yang (menda’wakan dirinya) bersih.” Maka kami selamatkan dia beserta keluarganya, kecuali isterinya. Kami telah mentakdirkan dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan kami turunkan hujan atas mereka (hujan batu), Maka amat buruklah hujan yang ditimpakan atas orang-orang yang diberi peringatan itu. (An Naml: 54-58).

Peristiwa itu bukan semata-mata kejadian alam, tapi Allah telah menyebutkan sebab dari hujan batu itu, yakni ketika kaum Luth terang-terangan mempraktikkan perbuatan homoseksual (zina antara laki-laki dengan laki-laki) maupun lesbian (zina antara perempuan dengan perempuan).

Justru yang jelas-jelas sesuai dengan fithrah adalah pernikahan antara laki-laki dengan perempuan sehingga menghasilkan keturunan. Adapun pernikahan sesama jenis, jelas bertentangan dengan fithrah dan tujuan pernikahan untuk menghasilkan keturunan.

Adapun tentang kecenderungan sesama jenis, atau kecenderungan seseorang untuk menjadi yang berbeda dengan jenis kelamin dirinya, secara isyarat nash-nash menunjukkan bahwa itu merupakan penyimpangan dari fithrah. Syariat telah mengajarkan kita untuk mempertegas diri dengan apa yang telah Allah ciptakan untuk kita. Agar yang laki-laki tegas menjadi lelaki, dan agar wanita jelas karakter wanitanya. Degan cara itulah fithrah bisa terjaga.

Islam melarang kaum lelaki untuk menyerupai kaum wanita, baik dalam pakaian, perhiasan, perilaku atau lainnya, dan demikian juga sebaliknya.

لَعَنَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم الْمُخَنَّثِينَ من الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلَاتِ من النِّسَاءِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknati lelaki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai lelaki.” (Muttafaqun’alaih)

Berdasarkan hadits ini, kaum lelaki dilarang untuk mengenakan pakaian dan perhiasan yang merupakan ciri khas kaum wanita, dan demikian juga sebaliknya. Sebagaimana kaum lelaki juga dilarang untuk menyerupai suara, cara berjalan, dan seluruh gerak-gerik kaum wanita, demikian juga sebaliknya. Di antara hikmahnya, karena kesamaan dhahir akan mempengaruhi kesamaan kecenderungan dan kebiasaan.

Dr. Muzammil Siddiqi dari the Islamic society of north america menyatakan bahwa homoseksual adalah kerusakan moral. Tidak seorangpun yang dilahirkan homoseksual sebagaimana tidak adanya seorang yang dilahirkan sebagai pencuri atau sebagi penjahat. Orang melakukan tindakan ini hanya karena kurangnya pendidikan dan bimbingan yang layak. Sedangkan Prof Dr.dr. Dadang Harawi menjelaskan bahwa homoseksual sebenarnya dari pola hidup yang tidak benar dan ditambahkan oleh beliau bahwa “orang Barat cenderung mencari-cari pembenaran terhadap homoseksual karena tuntutan gaya hidup bebas mereka.

Ringkasnya, tatkala ada kecenderungan suka kepada sesama jenis seharusnya dilakukan terapi, bukan justru dilegalkan dan dieksiskan sehingga memicu terjadinya perbuatan yang dilaknat oleh Allah.

Bahwa seseorang belum bisa menghilangkan kecenderungan itu, bukan menjadi alasan diperbolehkan melampiaskan kecenderungan itu. Sebagaimana seorang laki-laki tetaplah haram melampiaskan nafsunya kepada wanita yang bukan istrinya dengan alasan suka. Seperti orang yang tidak berselera dengan makanan-makanan yang halal, bukan berarti boleh memakan makanan yang haram dengan alasan ia berselera terhadapnya dan tidak berselera dengan jenis makanan-makanan yang halal.

Hendaknya diri terus bermujahadah untuk menyesuaikan diri dengan apa yang telah Allah tetapkan atas dirinya. Ketika Allah menciptakan manusia dengan akal dan jasmani. maka disitulah letak taklif dalam Islam dan setiap yang diberikan oleh Allah merupakan amanah yang harus dipertanggungjawabkan kepadaNya. Bentuk pertanggungjawaban manusia itu sendiri adalah menetapkan segala perbuatan/perilaku sesuai dengan aturan Allah. Maka tidak ada kebebasan yang tanpa batas.

BACA JUGA : Rusaknya Jasad Lebih Ringan Dari Pada Rusaknya Hati

Adapun bagi para pendukung dan pegiat atau pembela LGBT bahwa istri Nabi Luth turut dibinasakan bukan karena ia melakukan praktik lesbi, akan tetapi ia turut mendukung dan memfasilitasi praktik liwath (homoseks), wa ‘iyadzu billah. Karena dukungan tersebut justru akan menyuburkan penyimpangan dan menjauhkan manusia dari fithrah.

Dan bagi penentang perbuatan keji ini, jangan takut dikatakan sok suci, karena Nabi Luth juga dicap sok suci tatkala menentang praktik perbuatan tersebut, wallahul musta’an.

Anda Bukan Ummu Sulaim Dan Mereka Bukan Abu Thalhah

Belum lama, media dihebohkan oleh kabar seorang artis yang murtad karena mengikuti agama suaminya. Betapa masyarakat tercengang, karena artis itu biasa memerankan sosok muslimah berjilbab nan anggun dalam sinetron-sinetron religi. Sebenarnya pada awalnya, pernikahan dilakukan dengan cara Islam, di mana mempelai laki-laki menyatakan masuk Islam dan bersedia mengucapkan syahadatain.

Modus Pemurtadan
Tapi apa lacur, tak selang lama muncul kabar tentang si suami yang kembali kepada agama semula. Waktu bergulir hingga kemudian tersiar kabar sang wanita juga tampak berdoa di gereja alias murtad.
Ini hanyalah fenomena gunung es, sebenarnya kasus yang tak tersiar sangat banyak. Hanya saja posisi seorang artis menyebabkan berita terdengar heboh. Hal ini menyadarkan kita betapa hari ini harga akidah begitu murah. Seseorang dengan mudah melepas keislamannya karena sesuatu yang dianggapnya lebih penting. Dan adakah yang lebih penting dari Islam yang mampu menyelamatkan manusia di dunia dan akhirat?

Telah tiba zaman yang telah dikabarkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam,

بَادِرُوا بِالأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِى كَافِرًا أَوْ يُمْسِى مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا

“Bersegeralah melakukan amalan sholih sebelum datang fitnah (musibah) seperti potongan malam yang gelap. Yaitu seseorang pada waktu pagi dalam keadaan beriman dan di sore hari dalam keadaan kafir. Ada pula yang sore hari dalam keadaan beriman dan di pagi hari dalam keadaan kafir. Ia menjual agamanya karena sedikit dari keuntungan dunia” (HR. Muslim).

Pada sisi yang lain, fenomena di atas dinilai oleh banyak tokoh muslim sebagai modus pemurtadan dengan kedok pernikahan. Ketua Tim Forum Antisipasi Kegiatan Pemurtadan (FAKTA), Abu Deedat, menyatakan bahwa kasus ini adalah salah satu bentuk Kristenisasi.
“Ini adalah strategi nyata dari Kristenisasi lewat perkawinan. Modusnya sang lelaki pura-pura masuk Islam agar bisa menikahi muslimah.”

Menurutnya, wanita rentan menjadi korban, karena resiko mempertahankan keimanan dalam pernikahan beda agama bagi seorang muslimah adalah diceraikan.
“Ketika sudah menikah, pria Kristen yang pura-pura masuk Islam akan kembali ke ajaran Kristennya, sang muslimah akan dihadapkan pada dua pilihan berat, ikut pindah agama bersama suaminya atau diceraikan. Berat bagi muslimah yang lemah imannya jika harus menyandang status janda, apalagi kalau sudah mengandung,” jelasnya.
Menurut Abu Deedat, dalam masa-masa awal pernikahan itu, biasanya sang muslimah akan dicuci otaknya dengan doktrin yang menjelek-jelekkan Islam. Terutama menggunakan isu seperti poligami, Islam tidak penyayang, dan mengangkat citra buruk umat muslim lainnya.

Islam Sebagai Mahar
Di antara faktor yang menyebabkan muslimah mau dinikahi orang kafir adalah karena ada pengharapan calon suami masuk Islam. Sehingga tatkala ada kesediaan calon suami untuk masuk Islam, muslimah itu mengiyakan. Barangkali mereka ingin mengikuti jejak Ummu Sulaim yang mau dinikahi oleh Abu Thalhah dengan mahar keislamannya.

Mereka lupa bahwa dirinya tidak sekokoh Ummu Sulaim, para lelaki itu juga tidak setegas Abu Thalhah yang memang tidak ada indikasi mencla-mencle. Saksi keislaman Abu Thalhah pun langsung Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Sebagai gambaran, ketika Ummu Sulaim mengetahui terbunuhnya suaminya, Abu Thalhah yang saat itu masih musyrik mendengar tentang kabar tersebut sehingga menjadikan hatinya cenderung cinta dan takjub. Kemudian dia beranikan diri untuk melamar Ummu Sulaim serta menyediakan baginya mahar yang tinggi. Akan tetapi tiba-tiba saja pikirannya menjadi kacau dan lisannya menjadi kelu tatkala Ummu Sulaim menolak dengan wibawa dan penuh percaya diri dengan berkata, ”Sungguh tidak pantas bagiku menikah dengan orang musyrik. Ketahuilah wahai Abu Thalhah bahwa tuhan-tuhan kalian adalah hasil pahatan orang dari keluarga fulan, dan sesungguhnya seandainya kalian mau membakarnya maka akan terbakarlah tuhan kalian.”

Bandingkanlah dengan muslimah yang hendak dilamar oleh calon muslim, adakah ia memiliki ketegasan serupa dengan Ummu Sulaim?
Ummu Sulaim adalah seorang da’iyah yang cerdik yang tatkala melihat dunia menari-nari di hadapannya berupa harta, kedudukan dan laki-laki yang masih muda dia merasakan bahwa keterikatan hatinya dengan islam lebih kuat daripada seluruh kenikmatan dunia. Beliau berkata dengan sopan, ”Orang seperti Anda memang tidak pantas ditolak wahai Abu Thalhah, hanya saja engkau adalah orang kafir sedangkan saya seorang muslimah sehingga tidak boleh bagiku menerima lamaranmu.”

Dalam riwayat an-Nasa’i dikatakan bahwa Ummu Sulaim berkata,”Demi Allah orang seperti anda tidak pantas untuk ditolak, hanya saja engkau adalah orang kafir sedangkan aku adalah seorang muslimah sehingga tidak halal untuk menikah denganmu. Jika kamu mau masuk islam maka itulah mahar bagiku dan aku tidak meminta yang selain dari itu.” (Riwayat an-Nasa’i)

Abu Thalhah bertanya, “Kepada siapa saya harus datang untuk masuk islam?” tanya Abu Thalhah. Beliau berkata,”Datanglah kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk itu!” Maka pergilah Abu Thalhah untuk menemui Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang tatkala itu beliau sedang duduk-duduk bersama para sahabat. Demi melihat kedatangan Abu Thalhah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,

جَاءَكُمْ أَبُو طَلْحَةَ، غُرَّةُ الْإِسْلَامِ بَيْنَ عَيْنَيْهِ

“Telah datang kepada kalian Abu Thalhah sedangkan sudah tampak cahaya islam di kedua matanya.” (HR Abu Dawud)

Dari sini kita tahu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam telah mengetahui ketulusan niat Abu Thalhah sebelum ia mengikrarkan keislamannya. Adapun sekarang, siapa yang memberi jaminan bahwa orang yang hendak melamar muslimah itu betul-betul ingin menjadi muslim yang baik? Memang kita hanya boleh menghukumi orang secara zhahir, jika ia mengucapkan syahadatain dan menyatakan keislamannya maka kita menghukuminya sebagai seorang muslim. Hanya saja, ini ada sesuatu yang dipertaruhkan, sehingga kita butuh jaminan lebih. Apalagi setelah kita tahu bahwa memang cara itu dijadikan sebagai modus pemurtadan, hal yang kita tidak bisa berspekulasi. Karena posisi seorang wanita itu lemah ketika berhadapan dengan suaminya.

Dan seperti yang telah banyak dikisahkan tentang beliau, akhirnya Abu Thalhah masuk Islam dan sangat bagus keislamannya, radhiyallahu ‘anhu.

Maka jangan jadikan Ummu Sulaim sebagai bamper untuk bermudah-mudah menerima lamaran orang kafir yang bersedia menikah dengan cara Islam. Wallahu a’lam bishawab. (Abu Umar Abdillah)