Rusaknya Jasad Lebih Ringan Dari Pada Rusaknya Hati

Hinaan Dan Ejekan

Setelah beruntun bencana yang terjadi tahun lalu berupa kekeringan, kebakaran, gunung meletus, banjir, longsor, kurangnya air, gempa dan yang semisalnya beruntun pula bencana bencana yang lebih mengerikan seperti penistaan ayat ayat Allah; dari cara pembacaannya (langgam jawa), kertas sampulnya (menjadi bahan terompet tahun baru, peringatan orang kafir); hingga plat cetaknya digunakan sebagai loyang dan diperjual belikan.

Musibah jasad tidaklah berarti bagi seorang muslim karena akan berakhir dengan terangkatnya nyawa, bila ia beriman dan tidak melakukan pembatal keimanan serta mati dalam keadaan islam maka akhir yang akan didapat adalah keselamatan.

Namun bila hatinya terkena musibah kekafiran, menghina Allah, RasulNya dan Agama Islam, meski ia mengaku Islam maka yang akan didapat adalah kehinaan dan kebinasaan dunia dan akhirat. Bila di dunia jasadnya sengsara karena terus mendapat bencana, dan di akhirat selalu mendapat siksa..sungguh betapa merana keadaannya. Allahumma sallim sallim.

Masih dalam bulan yang sama, terdengar kabar bahwa syi’ar Islam yang mencerminkan ketauhidan dicampur adukkan dengan syi’ar kebatilan dan kesyirikan, Adzan dan lagu greja mengiringi perayaan kekafiran. Sudah jelas bahwa inti dari perayaannya adalah kekafiran, masih saja ada orang orang yang mengaku Islam mendatanginya sebagai agenda rutin nasional, bahkan ada beberapa mahasiswa Universitas Islam Negri Jogja masuk ke greja dengan dalih toleransi kemudian mengucapkan selamat kepada orang orang yang merayakannya, padahal sudah jelas bahwa dalam masalah agama sikap seorang muslim sebagaimana firman Allah, lakum diinukum waliyadiin.

Beberapa hari kemudian, muslimun harus kecewa dengan dipentaskannya tarian bali yang diselenggarakan di kantor kemenag DKI yang beralaskan karpet yang biasanya digunakan buat shalat umat Islam di negri ini. Yang sejurus kemudian Panitia Hari Amal Bhakti (HAB) ke-70 Kanwil Kementerian Agama DKI Jakarta menyampaikan permohonan maaf kepada umat Islam terkait peristiwa tarian Bali di atas sajadah dalam rangkaian peringatan HAB, Ahad (03/01/16). lansir Kemenag.go.id

Sabar Dan Jihad

Wajar bila Penghinaan kepada Allah, Alqur’an, RasulNya dan syi’ar syi’ar Islam dilakukan orang orang kafir karena memang sudah dinashkan dalam Al Qur’an, tak henti hentinya mereka berupaya menjauhkan muslimin dari agamanya dan terus memberikan syubhat syubhatnya siang dan malam dengan berbagai cara. Allah ta’ala berfirman :

“Sebahagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma’afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya[Maksudnya: keizinan memerangi dan mengusir orang Yahudi]. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al Baqara: 109)

Bersabar terhadap penghinan dan ejekan bila tiada kekuatan untuk melawan adalah memenuhi perintah Allah sebagaimana disebutkan dalam tafsir Ibnu Katsir ketika menafsiri ayat, “Maka Maafkanlah dan biarkanlah mereka” ditafsiri dengan ayat yang serupa :

“ Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. jika kamu bersabar dan bertakwa, Maka Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk urusan yang patut diutamakan.” (QS. Ali Imran: 186)

Itulah yang dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya di Makkah, bersabar, bertaqwa dan membiarkan mereka, hingga datanglah ijin berjihad, maka ayat memaafkan dan membiarkan dihapus dengan ayat pedang. Tinggal bagaimana hari ini muslimun menyiapkan dirinya untuk belajar, berlatih, menghimpun kekuatan dan bersiap berjihad. Allah ta’ala berfirman :

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk.” (QS. At Taubah: 29).

BACA JUGA : Meluruskan shaf shalat, tradisi Arab?

Iman Dan Amal Shaleh

Lembut, tenang dan tidak tergesa gesa merupakan sikap yang harus didahulukan oleh setiap muslim dalam menghadapi fitnah, jangan dahulukan kemarahan karena ia akan menghantarkan kepada sikap tergesa gesa yang bisa mengakibatkan penyesalan.

Bekali diri dan keturunan dengan ilmu yang diambil dari sumber yang jelas kesahihannya, di lembaga pendidikan yang bukan yahudi metodenya, jelas tujuan dan arahnya untuk meninggikan kalimat tauhid, bukan malah yang mengkaburkan tauhid. Supaya tidak selalu terulang pertanyaan yang sama, bolehkah mengucapkan selamat natal?!, Ajarkan amal amalan yang sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, jangan malah mengikuti amalan kebanyakan orang yang tidak jelas sandaran ilmunya. sehingga sudah tidak lagi disibukkan dengan orang yang mengucapkan selamat natal dengan berdalih kebanyakan orang yang melakukannya.

Menjadi kewajiban bagi kita semua untuk menyelamatkan diri dan keluarga serta siapa saja yang bisa kita jangkau, bukankah empat langkah untuk menjadi orang yang beruntung dunia akhirat dalam surat al ‘ashr didahului dengan iman, kemudian amal shaleh (dua hal ini menyempurnakan pribadi muslim) baru kemudian Nasehat menasehati dalam al haq, amar ma’ruf nahi mungkar serta terakhir saling menasehati untuk bersabar atas gangguan (dua yang terakhir ini menyempurnakan masyarakat). Semoga kita semua dihindarkan Allah dari fitnah dan syubhat yang datang sebagaimana datangnya ombak lautan. Alahumma amin..

Tanpa Ucapan La ilaha illallah di Akhir Hayat apakah tanda Suul Khatimah?

Ada yang merasa sedih pada saat orang yang dicintai meninggal tanpa mengucapkan kalimat la ilaha illallah. Dia tidak sempat mentalqinkannya lantaran tidak mengira bahwa apa yang dilihatnya merupakan pertanda dekatnya dengan kematian. Muncul was-was dan kesedihan, jangan-jangan itu tanda suul khatimah, padahal dalam pandangannya, si mayit itu dulunya atau setidaknya di waktu-waktu terakhir hidupnya begitu perhatian terhadap ibadahnya.

Hal senada, mungkin banyak pula yang bertanya-tanya, apakah kematian yang husnul khatimah itu selalu dan harus ditandai dengan ucapan la ilaha illallah? Dan apakah jika seseorang tidak mengucapkan kalimat tersebut di akhir hayatnya berarti masuk dalam kategori suul khatimah?

Ucapan La ilaha Illallah di Akhir Hayat

Telah masyhur dan maklum di kalangan kaum muslimin, bahwa di antara tanda kematian husnul khatimah adalah ketika kalimat terakhir yang diucapkan adalah “la ilaha illallah.” Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّة

“Barangsiapa yang akhir ucapannya lailahaillallah maka ia masuk jannah.” (HR Abu Dawud)

Karena itu pula Nabi shallallahu alaihi wasallam menghasung kita untuk mentalqin orang yang tampak tanda-tanda kematiannya untuk mengucapkan kalimat la ilaha illallah, agar seseorang itu menjadikan kalimat tersebut sebagai ucapan terakhirnya.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ

“Talqinlah (dikte dan tuntunlah) orang yang hendak mati di antara kalian dengan kalimat “la ilaha illallah”.

Tapi, apakah berarti orang yang tidak mengakhiri hidupnya dengan la ilaha illallah berarti suul khatimah?

Yang perlu diketahui bahwa tanda-tanda husnul khatimah itu banyak dan bukan berarti harus tampak seluruh tanda-tanda tersebut pada satu orang yang wafat dengan husnul khatimah. Bisa jadi hanya tampak satu atau dua tanda, dan tidak tampak tanda-tanda yang lain.

Seperti orang yang diwafatkan oleh Allah di hari Jumat. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

“Tidaklah seorang muslim meninggal pada hari Jum’at atau malam Jum’at kecuali Allah selamatkan dari fitnah kubur.” (HR Ahmad dan Tirmidzi)

Tentu saja dalil ini tidak menunjukkan bahwa semua orang yang mati di selain hari Jumat atau malamnya lantas tidak selamat dari fitnah kubur. Bukan berarti pula mereka semua suul khatimah. Bahkan Nabi shallallahu alaihi wasallam menurut sebagian riwayat wafat pada hari Senin. Dan tidak semua sahabat yang dijanjikan masuk jannah wafat di hari jumat atau malamnya.

 

BACA JUGA: Bahagia Di Penghujung Usia

 

Dalil tentang keutamaan mati di Hari Jumat inipun tidak berlaku mutlak, akan tetapi muqayyad (terikat) dengan qarinah atau dalil-dalil lain. Artinya, tidak semua orang yang mati di hari Jumat lantas dipastikan masuk jannah. Orang kafir, meskipun mati di malam Jumat maka dia suul khatimah dan masuk neraka, begitupula orang yang bunuh diri di hari Jumat.

Bukan Syarat Husnul Khatimah

Kembali tentang orang yang di akhir hayatnya tidak mengucapkan kalimat la ilaha illallah, maka tidak bisa divonis bahwa dia mati dalam keadaan suul khatimah. Karena bisa jadi ada tanda-tanda lain yang tampak, atau bahkan Allah tidak menampakkan tanda-tanda itu di hadapan manusia.

Yang menjadi syarat adalah mati dalam keadaan konsekuen dengan kalimat la ilaha illallah yang pernah diikrarkannya, tidak dalam keadaan musyrik dan dia mati dalam keadaan muslim.

Jikalau ucapan ucapan la ilaha illallahu itu menjadi syarat sah untuk meraih husnul khatimah, maka akan ada beberapa kontradiksi baik antara satu dalil dengan dalil yang lain, ataupun juga dengan realita.

Seperti Nabi shallallahu alaihi wasallam menyebutkan bahwa

“Matinya seorang mukmin adalah dengan berkeringat dahinya.” (HR. Ahmad, An-Nasai, at-Tirmidzi)

Lantas bagaimana dengan orang yang syahid di dalam air, belum tentu keringatnya keluar saat di syahid.

Juga disebutkan dalam riwayat bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

“Orang yang mati syahid itu ada lima: mati karena tha’un, mati karena sakit perut, mati karena tenggelam, mati karena keruntuhan bangunan dan mati perang di jalan Allah.” (HR Bukhari, Muslim)

Dalam kondisi tenggelam secara tiba-tiba, terkena reruntuhan benda keras atau tajam, bisa jadi tidak ada kesempatan bagi mereka untuk mengucapkan kalimat laa ilaha illallah.

Tentang para sahabat yang dijamin masuk jannah, tidak pula disebutkan riwayat bahwa masing-masing dari mereka semua wafat dalam keadaan mengucapkan kalimat la ilaha illallah. Tapi yang pasti, mereka mati tidak dalam keadaan sedang bermaksiat dan dalam kondisi taat terhadap syariat Allah di akhir hayatnya, sebagaimana mereka juga taat di hari-hari sebelumnya.

Bahkan, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan,

كَانَ آخِرُ كَلاَمِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الصَّلاَةَ الصَّلاَةَ اتَّقُوا اللَّهَ فِيمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ».

Ucapan terakhir Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah “(jagalah) shalat…! Jagalah shalat…! Dan bertakwalah kepada Allah berkaitan dengan budak yang kalian miliki.” (HR Abu Dawud)

Intinya, bahwa mengucapkan kalimat la ilaha illallah di akhir hayat adalah satu di antara sekian banyak tanda husnul khatimah, tapi tidak secara otomatis bahwa orang yang tidak mengucapkannya di akhira hayat lantas dipastikan suul khatimah.

Adapun tentang tanda-tanda yang disebutkan Nabi shallallahu alaihi wasallam hendaknya diyakini secara umum dan global. Adapun untuk menerapkan kepada masing-masing personal, meskipun tampak sebagian tanda itu pada seseoranag, maka hendaknya kita tidak menetapkan kecuali yang telah disebutkan secara personal oleh Allah dan rasul-Nya shallallahu alaihi wasallam. Seperti sepuluh orang yang dijamin jannah, Bilal bin Rabah, Abdullah bin Salam dan sahabat lain yang telah disebutkan oleh dalil. Adapun yang tidak disebutkan, kita tidak berhak memastikan, karena kita tidak tahu apakah ada mawani’ (penghalang) untuk mendapatkan husnul khatimah ataukah tidak. Baik penghalang yang bersifat dhahir, apalagi bathin. Wallahu a’lam bishawab.

 

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Motivasi